"Sudah di kabari Rizal?" tanya Donna pada Andreas, suaminya."Suruh pulang saja langsung sehari sebelum hari pertunangan mereka, aku sudah malas berdebat dengan anak laki-laki mu itu." Andreas mengancingkan satu per satu kancing kemejanya."Ck, sudahlah nanti aku suruh Hanna aja bicara langsung dengan Rizal." "Aku ada meeting pagi ini dengan Datuk Basri Alam kami mau membahas tentang pembukaan tambang batubara di Kalimantan.""Apa nggak terlalu dini kamu memberikan investasi saham pada mereka, Pa. Lagi pula, kita belum berpengalaman dengan bisnis tambang ini.""Kalo nggak di coba, nggak akan tau. Kamu tenang aja, Ma. Investasi yang kuberikan juga belum sepenuhnya.""Hhmm ... ya sudahlah. Aku masih pusing memikirkan urusan anak lelakimu ini.""Paksa saja dia pulang, atau bila perlu suruh orang untuk memaksa dia pulang. Terlalu lama dia di Jogja nanti semakin jauh saja langkahnya." Donna mengantarkan suaminya hingga pekarangan rumah, dan saat mobil Andreas hilang dari pandangan Donna
Mobil Brio hitam terparkir di pekarangan rumah Bu Sum. Hari ini jadwal Dara memeriksakan diri ke dokter, sudah seminggu berlalu gadis itu keluar dari rumah sakit."Mobil siapa, Mas?" tanya Dara berdiri di ambang pintu.Rizal tersenyum, dia merangkul pundak Dara mengiringinya menuju mobil. Dara berjalan memang masih sangat lambat, collar neck juga masih terpasang di leher gadis itu. Meski kondisinya membaik, tetapi masih harus berhati-hati."Motor kamu mana?"Dara kembali bertanya saat sudah masuk ke dalam mobil. Rizal menyalakan mobil dan mulai keluar dari pekarangan rumah."Ibu kemana? kok tadi rumah sepi?" tanya Rizal."Aku loh yang nanya, kamu malah balik nanya," ujarnya dengan alis bertaut."Haha ... motor aku jual, aku ganti dengan mobil ini," jawab Rizal sekilas menoleh pada Dara.Dua hari lalu Rizal menjual motornya dengan membeli mobil bekas, meski harus menambah sedikit uang dari tabungannya."Kenapa Mas jual?""Udah waktunya aja di ganti. Lagian lumayan juga buat keluarga ke
"Padang?" tanya Bu Sum."Iya, Bu. Saya minta izin membawa Dara pulang ke Padang, apakah boleh?""Kapan? Acara apa, Nak Rizal?""Hari Jumat, Bu. Enggak ada acara apa-apa hanya ingin mengenalkan Dara pada keluarga, Bu. Saya ingin serius dengan Dara, Bu." Rizal kembali menatap Dara yang duduk di sebelah Bu Sum. Rizal sudah menyatakan niatnya pada Bu Sum."Gimana ya, Nak Rizal. Jujur, ini baru pertama kali Dara pergi keluar dari Jogja, dan tanpa Ibu. Apalagi mau dikenalkan dengan keluarga besar Nak Rizal." Ya, ada perasaan takut bergelayut di hati Bu Sum. Sudah pernah dia utarakan pada Dara, jika mereka hanya keluarga biasa saja berbeda dengan Rizal. Bagaimana jika nanti Dara ke Padang dan tidak di terima baik oleh keluarga Rizal. Bagaimana jika cara pandang keluarga Rizal memandang mereka sebelah mata. Dan banyak lagi pikiran-pikiran negatif yang datang silih berganti di benak Bu Sum."Saya berniat menjalani hubungan ini ketahap lebih serius, Bu. Saya ingin keluarga saya juga mengenal
"Sekali kamu melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Maka jangan pernah sekalipun bermimpi untuk kembali!" Semua mata menatap pada Donna, wanita cantik paruh baya ini memang terkenal dengan ketegasannya. "Ma ...." Hanna berusaha menenangkan sang Mama. "Sebaiknya kalian kembali ke hotel," ucap Hasan pada Rizal. "Sebentar Uda, aku mau malam ini semua jelas di sini," kata Rizal. "Maaf Ma, Pa ... Rizal datang kesini dengan niat ingin memperkenalkan Dara pada semua anggota keluarga kita. Rizal meminta doa restu pada kalian semua terkhusus Papa dan Mama. Apapun yang mungkin membuat kalian berat untuk menerima kamu berdua, tolong biarkan kami memulai hidup kamu tanpa ada lagi bayang-bayang keluarga ini." Rizal menelan salivanya, helaan napasnya sudah tidak lagi memburu seperti tadi. "Rizal pamit," ucapnya. "Kita pulang, Sayang." Rizal lalu tersenyum getir pada Dara yang masih berdiri tertunduk di sana. "Aku yang pulang, kamu tetap di sini," ucap Dara menatap teduh pada Rizal. "Ra?"
Seminggu berlalu, Rizal dan Dara sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak ada lagi pembahasan tentang masalah saat mereka berada di Padang waktu itu. Bahkan Bu Sum pun belum mengetahui permasalahan yang mereka hadapi saat itu. Bu Sum hanya tahu Dara di terima baik oleh keluarga Rizal. "Mas, ini mau di taruh dimana?" tanya Dara sambil membawa makrame berwarna putih gading ke depan pintu kamar. "Taruh ... sini aja deh," jawab Rizal meraih hiasan dinding berupa simpul-simpul itu dan dia letakkan tepat di dinding tempat tidurnya. "Baguskan?" Rizal mengamati seisi ruang kamarnya sambil memeluk Dara dari belakang. "Kamu punya selera interior yang bagus ternyata," ujar Dara merekatkan tangan Rizal yang melingkar di pinggangnya. "Kapan kita bilang ke ibu tentang rencana kita, Sayang," ucap Rizal sambil menciumi leher Dara hingga membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. "Kapan kamu siap, aku juga siap." "Ok. Minggu depan?" "Tapi dengan satu syarat." "Apa?" "Kamu harus jujur pada I
"Keadaannya memang seperti ini, Bu," ujar Dara setelah Rizal menjelaskan duduk perkaranya."Saya berniat ingin menikahi Dara, Bu." Rizal menatap Bu Sum sungguh-sungguh."Ya Tuhan, bisa-bisanya kalian dalam situasi seperti ini malah memikirkan pernikahan." Bu Sum meraup wajahnya, mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. Bisa-bisanya kejadian 25 tahun silam terjadi lagi pada Dara, hanya bedanya sang suami berhasil meyakinkan keluarganya hingga mereka bisa menikah dengan restu orang tua."Ibu nggak bisa."Jawaban Bu Sum membuat mereka berdua terkejut."Bu?" Dara memohon."Ibu nggak bisa merestui kalian, jika kalian belum mendapatkan restu dari orang tua Nak Rizal.""Kami sudah meminta restu kedua orang tua saya, Bu. Tapi nyatanya kami di usir.""Kalian di usir karena Nak Rizal memilih Dara.""Karena saya mencintai Dara, Bu."Bu Sum terdiam, ujung matanya sudah basah. Dia pandangi lagi kedua pasangan kekasih itu. Apa yang akan terjadi dengan Dara nanti jika suatu saat bertemu lagi dengan
"Cal." Hanna mendekati Rizal ya g sedang berbincang dengan para kerabat."Ya, Uni.""Uni pulang hari ini juga ya, penerbangan terakhir malam ini. Uni nggak mau Papa dan Mama curiga kalo kami ke Jogja.""Malam ini?" Rizal terkejut."Iya, Zal. Uda besok ada meeting penting jadi kami sebisa mungkin malam ini sampai di Padang." Hasan"Mobil rental kami sudah menunggu, sekali lagi selamat ya Cal." Hanna memeluk adiknya, lalu melambaikan tangan pada Dara hingga Dara datang mendekat. "Uni pulang ya.""Hah? Sekarang?""Iya, Uda Hasan ada meeting penting besok pagi," jelas Hanna. "Ra, selamat ya. Maaf kalo Uni nggak bisa lama-lama di sini. Tapi melihat kalian sudah resmi menjadi suami istri, Uni senang sekali.""Maaf untuk keadaan ini ya, Uni.""Ra, jangan di sesali. Ini sudah keputusan kalian, jadi harus dijalani. Pokoknya Uni doakan semuanya berjalan sesuai dengan harapan kita semua. Jangan khawatirkan Mama dan Papa, Uni janji semua aman.""Makasih Uni." Dara memeluk erat wanita cantik berhi
Lampu kamar masih dibiarkan menyala, sementara dua insan telah menyatukan raga mereka. Di selingi lenguhan dan desahan lembut, membuat keadaan di kamar pengantin itu semakin hangat.Tangan Dara mencengkram erat lengan berotot Rizal saat Rizal mencoba masuk memilik Dara. Seakan tak mau kehilangan kesempatan, Rizal kembali menyesapi buah dada Dara secara bergantian sambil terus mencoba masuk, hingga terdengar suara Dara yang menjerit kecil."Sstt ... maaf ya." Sambil berucap Rizal mengayunkan tubuhnya lembut di atas tubuh Dara.Cengkraman tangan itu pun mengurai, mata yang terpejam kemudian perlahan terbuka. Mereka saling bertatapan, hetakan kecil beberapa kali Rizal berikan semakin membuat Dara mendesah nikmat.Merasa Dara sudah merasa nyaman dengan gerakannya, Rizal bersiap menyentakkan kembali kali ini lebih keras dan terus berayun semakin cepat. Tubuh Dara yang berada di bawah sana bergerak penuh dengan hasrat, menggelinjang, mendesah, dan merasakan kenikmatan hingga langit ke tujuh.
"Jadi mantumu belum hamil?" "Belum, Etek. Hanna juga kemarin nunggu sampai enam bulan akhirnya hamil." "Iya, tapi Hanna itu kan anak angkat mu. Sedangkan Rizal itu anakmu sendiri, jadi dia harus punya keturunan untuk meneruskan adat istiadat kita, hartamu dan banyak lagi semuanya, Don. Cukup sekali saja kau gagal dalam menjodohkan Rizal dengan anak konglomerat itu, jangan juga kau gagal mendapatkan cucu, darah daging Rizal." "Sudah berapa lama mereka menikah?" "Delapan bulan sepertinya," ujar Donna lalu menyeruput secangkir teh hangat sore itu di taman belakang. "Hampir satu tahun ... lalu wanita yang dulu mau kau jodohkan dengan Rizal, bagaimana kabarnya?" "Perusahaan Andreas masih bekerjasama dengan perusahaan orangtuanya. Kenapa Etek?" "Enggak ada, aku cuma tanya. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan kata-kata Etek mu ini. Bisa jadi Rizal akan lama mendapatkan keturunan dari istrinya." "Maksud, Etek?" "Ya kau cari caralah bagaimana istri Rizal itu hamil. Atau kau cadangkan s
Synthia melenguh, suaranya mendesah berkali-kali, tubuhnya sudah polos dan berada di dalam kungkungan Matthew. Pria itu terkejut saat membuka pintu apartemennya malam itu. Melihat Synthia berdiri di ambang pintu dengan melempar senyum padanya.Malam setelah resepsi pernikahan Dara dan Rizal, Synthia memutuskan untuk terbang ke Jakarta. Tempat dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas lagi. Ini malam kedua dia menghabiskan waktunya bersama Matthew, selain menjadi teman bisnis, Matthew juga merupakan partner di atas ranjang, saat dibutuhkan."Akh ...." Desahan lembut itu kembali keluar dari bibir sensual Synthia."Sebentar lagi," ucap suara parau Matthew. Hentakan terakhir Matthew membawa pelepasan bersama mereka.Napas yang memburu dari keduanya setelah menghabiskan banyak energi malam itu. Suhu ruangan pun masih terasa panas, peluh keringat membasahi keduanya.Matthew menarik pinggang ramping yang membelakanginya itu mendekat pada tubuh telanjangnya."Mau lagi?" tanya Matthe
“Rancak bini si Rizal ... kamek (cantik istri Rizal)," ucap seorang kerabat jauh keluarga Rizal."Iyo, santun pulo anaknyo. Cocok dan patuik bana jo si Rizal yang gagah coga berwibawa.” (Iya, santun juga anaknya. Cocoklah dengan Rizal, ganteng dan berwibawa," ujar yang lain.)“Iyo batua, dibandiang nan ka dijodohan kapatang ko, rancak iko lai. Nampak elok dari raut mukonyo.” (Bener, dibandingkan dengan yang dijodohkan dengan Rizal waktu itu, ini lebih baik kelihatan dari wajahnya.)“Oh anak Datuak Basri Alam tu yo? Nan itu banyak urang mangecek kalau inyo suko pai ka klub malam dan hura2 se karajonyo. Ma cocok samo si Rizal ko.” (Oh anaknya Datuk Basri Alam itu? Ah kalo dia itu banyak yang bilang suka ke club, mungkin masih suka hura-hura. Mana cocok dengan Rizal.)“Iyo kan, padahal anak urang tapandang juo nak, tapi parangainyo di lua nagari awak kabanyo ndak elok." (Ah iya, padahal anak orang terpandang juga tapi kelakuannya di luar kota kita ini, gosipnya nggak bagus.)"Beruntungla
"Ya, Ical akan kembali ke rumah ini dengan syarat Dara ikut tinggal di sini. Kalian terima, layaknya seperti anggota keluarga yang lain."Andreas menelan ludahnya kasar, dia seperti membuat kesepakatan bisnis dengan putranya sendiri. Di sisi lain, Andreas menginginkan keluarganya kembali utuh namun di sisi lain dia masih berat menerima menantu barunya dari kalangan orang biasa."Papa nggak ada masalah, selagi semua berjalan baik-baik saja.""Secepat itu Papa merubah pendirian Papa, nggak ada maksud lain kan, Pa?""Ah, Cal ... Papa ini sudah tua. Setelah Papa pikir lagi, hidup Papa juga sudah nggak lama lagi. Jadi ya, mungkin Papa harus berdamai dengan keadaan." Andreas lalu menatap Dara."Rizal bicarakan dulu dengan istri Ical. Bulan depan Ical ujian kelulusan.""Setelahnya kembali lah," ujar Andreas penuh harap.Perbincangan antara Rizal, Dara dan Andreas pagi itu seperti membawa titik terang. Dara hanya bisa mengikuti apa yang suaminya yakini benar. Mereka tetap perlu berbicara dari
"Aku membawa Dara kemari bukan untuk memperkeruh keadaan keluarga kita. Tapi perlu kalian ketahui bahwa kami sudah sah menjadi suami dan istri. Jadi tidak ada alasan lagi untuk kalian memisahkan kami berdua. Senang ataupun tidak senang, kalian harus menerimanya." Semua orang terdiam dan menatap Rizal serta Dara. Hanna dan Hasan menarik sudut bibir, kagum dan terharu pada sikap Rizal. Lain hal dengan keluarga Synthia, hembusan napas kasar dan wajah kekecewaan kentara sekali terlihat. Jangan tanya bagaimana dengan Dahlan dan Synthia, mereka masih setia dengan drama keluarga Andreas. "Jadi biarkan kamu hidup dengan tenang dan damai. Karena kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri sekarang. Aku, Rizal juga tidak akan mengurusi urusan kalian. Tentang bagaimana perusahaan dan rumah sakit ini berjalan, aku serahkan pada kalian. Silahkan kalian coret namaku dari semua surat wasiat." "Mama, Papa ... Ical minta maaf, bukan karena Ical sengaja melakukan ini tapi memohon restu dari Papa dan
Donna mondar mandir di ruang tunggu pasien, Hanna dan suaminya duduk dengan gelisah. Sementara Dahlan berdiri tepat di dekat pintu ruang ICU. "Cal." Hanna berdiri saat melihat Rizal datang setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Andreas. "Apa kata dokter?" "Serangan jantung, tapi akan di periksa lebih lanjut langkah apa yang harus dilakukan setelah ini. Melihat kondis papa dulu, kita berdoa saja. Semoga tidak ada penyempitan pembuluh darah." "Maksud kamu apa, Cal?" Donna mendekat. "Kalo sudah mengalami itu, maka papa diharuskan pasang ring, Ma." "Ya Allah." Donna memalingkan wajahnya, Hanna mengusap punggung sang Ibu memberikan kekuatan. "Semua baik-baik aja, Ma. Papa bisa melewatinya, percaya sama aku." Bagaimanapun, sejahat apapun orang tua padanya, tetap saja yang terbaring di rumah ICU dan yang berdiri di hadapannya dengan terisak ini adalah orangtuanya. "Sebaiknya Mama istirahat dulu, aku sudah minta ruangan untuk kita beristirahat tadi. Uni bisa bawa Mama kesa
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sab
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t