"Bagaimana gaun yang ini saja?" Jennie bertanya pada Garvin.
Jennie menunjukkan gaun putih pilihannya pada Garvin.
"Sangat jelek! Kau pikir kau mau kemana? Seleramu sangat jelek dan terlihat murahan." Garvin menolak mentah-mentah gaun yang Jennie pilih.
Jennie cemberut. Dia mendengus kesal. Sudah ada 6 gaun pernikahan yang dipilihnya dan semua ditolak oleh Garvin. Entah gaun yang seperti apa yang cocok di mata Garvin.
Ya, saat ini Jennie dan Garvin sedang berada di butik gaun pernikahan untuk membeli gaun pernikahan Jennie.
Flashback on :
"Ayolah. Ini tidak akan lama. Hanya 3 bulan. 3 bulan waktu yang sangat singkat. Terima saja tawaranku. Kau tidak akan mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku." Jennie terus berusaha meyakinkan Garvin.
"Kawin kontrak hanya 3 bulan. Dan kita sama-sama diuntungkan. Ayolah, setuju saja. Dimana lagi kau mendapatkan wanita cantik dan cerdas sepertiku untuk diajak kawin kontrak?? Nama baikmu akan terjaga jika menikah denganku." Jennie tak pernah lelah membujuk Garvin supaya setuju kawin kontrak dengannya.
Garvin memijat kepalanya yang terasa mau meledak. Keadaan ini benar-benar merugikan Garvin. Suara Jennie hanya menambah sakit kepalanya saja.
"Apa kau tau? Lebih baik menikah dan cerai daripada dicap sebagai lelaki seperti itu. Jika kau dicap menyukai sesama jenis, kau tidak akan pernah menikah dengan siapa pun. Tidak akan ada wanita yang ingin menikah dengan lelaki sepertimu meskipun kau kaya raya." Jennie menghasut Garvin dengan berbagai cara.
Garvin diam. Dia diam bermenit-menit. Hanya diam dan merenung.
"Apa kau tidak pernah berniat punya keluarga kecil bersama wanita yang kau suka? Jika citramu sebagai lelaki penyuka sesama jenis, tidak akan ada wanita yang mau menikahimu." Jennie terus menghasut Garvin.
Garvin menghela nafasnya. Sepertinya dia sudah lelah berpikir.
"Baiklah! Aku setuju. Hanya 3 bulan." Pada akhirnya dengan banyak pertimbangan Garvin setuju kawin kontrak dengan Jennie.
Mendengar itu Jennie tersenyum lebar, dia langsung melompat kegirangan. "Yes! Ini adalah hal yang bagus! Hahaha akhirnya aku punya tempat tinggal." Jennie melompat-lompat kegirangan.
Jennie mendudukkan dirinya di samping Garvin. Senyum lebar tak bisa pudar dari bibirnya. "Sekarang ayo kita buat perjanjian untuk pernikahan kontrak kita ini."
"Pertama, kita hanya menikah selama 3 bulan. Kedua, kau harus membayarku karena aku sudah setuju membantumu untuk menikah kontrak denganmu. Ketiga--"
"Stop stop stop!"
Garvin terlihat shock mendengar syarat yang diajukan Jennie. "Apa-apaan kau?! Kau yang memaksaku untuk menikah kontrak denganmu. Kenapa kau minta bayaran padaku?" Garvin memotong ucapan Jennie.
Jennie berdecak kesal. "Kenapa kau menyela ucapanku? Setidaknya dengarkan dulu sampai aku selesai bicara." Ucapnya kesal.
Jennie melanjutkan ucapannya. "Yang ketiga, kau harus memberiku uang belanja bulanan selayaknya istri sungguhan. Yang keempat, kau tidak boleh menyentuhku. Yang kelima, aku akan tinggal di sini sampai kontrak pernikahan kita berakhir dan berikan aku mobil." Setelah selesai mengatakan semua syarat miliknya, Jennie langsung menatap Garvin dengan kedua kaki yang dilipat dan senyum manis bak wanita anggun yang ada di dalam drama.
Garvin mengerutkan dahinya. Dia menatap Jennie dengan tatapan tak suka. "Apa kau mau memerasku?" Tanya Garvin to the point.
Jennie terkejut mendengar jawaban Garvin. "Kau adalah orang kaya, kau punya banyak uang. Hanya itu yang aku minta. Dalam pernikahan kontrak ini kaulah yang banyak diuntungkan. Citra baikmu tidak akan tercoreng. Aku hanya meminta itu. Tolong setujui. Aku tidak punya apa pun sekarang. Perjanjian yang aku ajukan tadi tidak akan membuatmu miskin. Kumohon, setujuilah. Hartamu sangat banyak, kau tidak akan miskin karena itu. Dan jika kau mati, hartamu tidak akan kau bawa. Tolong jangan jadi lelaki perhitungan." Harusnya yang marah adalah Garvin, bukan malah Jennie.
Garvin semakin tidak paham dengan kegilaan Jennie.
"Kenapa kau bertingkah seperti aku yang membuat semua kekacauan ini?" Tanya Garvin pada Jennie.
Jennie menghela nafasnya. Lalu dia menundukkan kepalanya. Jennie terlihat lelah.
"Maaf karena aku sudah merugikanmu. Aku hanya ingin bertahan hidup. Aku kabur dari rumah dan tidak membawa apa-apa, aku benar-benar miskin sekar--"
"Baiklah-baiklah. Stop. Berhenti menjual cerita sedihmu. Aku tidak tertarik." Garvin sepertinya muak mendengar celotehan Jennie.
"Maaf. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika aku tidak dalam masalah, aku tidak akan mengorbankan diriku seperti ini." Jennie berbicara dengan kepala ertunduk.
Entah itu maaf yang tulus atau hanya sebuah taktik agar Garvin masuk ke dalam perangkapnya.
Garvin berdecak kesal. "Baiklah aku setuju. Aku akan mengajukan persyaratanku untuk perjanjian ini." Garvin akhirnya menyetujui perjanjian yang Jennie ajukan padanya. Bukan karena Garvin luluh. Tapi karena Garvin sudah muak mendengar celotehan Jennie. Lagi pula benar kata Jennie, harta Garvin tidak akan habis hanya karena itu.
Karena Garvin menyetujui syarat yang Jennie berikan, Jennie langsung tersenyum senang. "Tuhan ... terimakasih kau sudah menyelamatkan hidupku. Aku benar-benar terharu. Selalu ada jalan lain saat aku menemukan jalan buntu." Jennie bicara dengan sedikit keras. Jennie mengusap air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Setelah itu Jennie menundukkan wajahnya, pura-pura menghapus air mata. Nyatanya dia tersenyum miring tanpa diketahui Garvin. "Yesss! akhirnya aku berhasil! Sekarang hidupku sedikit terselamatkan." Senyum penuh kemenangan terukir jelas di bibir Jennie.
Garvin memutar bola matanya malas saat melihat Jennie menahan tangis.
"Aku juga akan mengajukan syarat padamu." Garvin bersuara, dia akan mengajukan syarat juga.
Jennie tersenyum manis. "Silahkan, aku akan menerima apa pun syaratmu." Jennie mempersilahkan Garvin untuk berbicara.
Garvin berdeham, lalu dia langsung menyebutkan semua syarat yang diajukannya. "Ekhemm... Yang pertama, jangan mengaturku. Ini hidupku. Jangan pernah ikut campur dalam kehidupanku. Yang kedua, jangan pernah masuk ke kamar ujung di lantai atas." Garvin menatap Jennie dengan tatapan seriusnya.
"JA-NGAN PER-NAH" Garvin menegaskan ucapannya sekali lagi.
"Yang ketiga, apa pun fakta yang kau ketahui suatu saat nanti, jangan pernah katakan pada siapa pun. Simpan rahasia itu sendiri jika kau sudah mengetahuinya." Garvin melanjutkan ucapannya. Dia mengajukan semua syarat-syarat pernikahan kontraknya pada Jennie.
Jennie mengerutkan dahinya. "Apa? Rahasia? Rahasia apa?" Tanya Jennie pada Garvin. Mengapa Garvin tiba-tiba terlihat sok misterius?
"Ra-ha-si-a! Kau tau rahasia bukan? Rahasia tidak akan pernah dikatakan pada siapa pun." Garvin menatap sinis ke arah Jennie.
"Apa kau ingat poin pertama? Jangan ikut campur pada kehidupanku. Itu dimulai dari sekarang!" Garvin bicara dengan tegas. Dia tak ingin Jennie merusak kehidupannya. Jadi dia harus mengantisipasi sebelum itu terjadi.
Jennie menghela nafasnya. Lalu mengedikkan bahunya. "Oke. Tidak masalah. Apa pun itu, terserahmu." Ucap Jennie tak peduli.
Garvin kembali melanjutkan ucapannya. "Lalu, tidak ada acara pertunangan. 3 hari lagi kita akan menikah. Lebih cepat lebih baik." Ucap Garvin dengan nada datar.
Jennie terkejut. Dia membelalakkan matanya lebar. "Apa?! 3 hari lagi kita menikah? Yang benar saja! Bukankah itu terlalu cepat?" Tanya Jennie shock.
Garvin mendengus kesal. "Lebih cepat lebih baik. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa. Aku tidak rugi." Garvin tidak menerima protes.
Jennie kembali menghela nafas untuk ke sekian kalinya. Dia hanya bisa pasrah pada keputusan Garvin. "Baiklah-baiklah. Terserah kau saja." Jennie akhirnya setuju dengan Garvin. Dari pada Garvin berubah pikiran dan tidak mau menerima pernikahan kontrak dengannya, lebih baik Jennie menyetujuinya.
"Siapa namamu?" Tanya Garvin pada Jennie.
"Jennie Alexa." Jennie menjawab singkat
Garvin menganggukkan kepalanya. "Oke. Aku akan menyuruh Sekretarisku untuk mengurus surat kontraknya." Setelah mengatakan itu Garvin berdiri dan pergi meninggalkan Jennie sendiri.
Flashback off.
"Lalu aku harus pakai gaun pernikahan yang mana? Semua gaun pernikahan kau bilang jelek? Yang benar saja! Apakah matamu tidak berfungsi dengan baik?" Jennie kesal, dia sangat frustasi. Semua pilihannya salah dimata Garvin. Ingin sekali saat ini Jennie memukul kepala Garvin dengan balok kayu.
Jennie memutar pandangannya ke sekitar. Lalu dia berjinjit dan membisikkan sesuatu pada Garvin. "Lagi pula kita hanya kawin kontrak. Tidak perlu gaun yang mahal-mahal. Sayang uangnya."
Wajah Garvin langsung berubah, dia terlihat tidak terima dengan apa yang Jennie katakan. "Meski pun begitu tetap saja aku seorang CEO. Aku punya banyak perusahaan. Aku juga terdaftar sebagai CEO muda yang paling berpengaruh di negara ini. Aku adalah sumber perhatian semua orang. Yang datang ke pernikahanku nanti adalah orang-orang penting, mana mungkin kau memakai gaun pernikahan yang jelek! Aku bukan orang miskin!" Garvin mengomeli Jennie.
Jennie kena semprot. Padahal maksud Jennie baik. Mereka hanya menikah kontrak, pernikahan yang aslinya dilakukan untuk tujuan akan diakhiri tiga bulan ke depan. Untuk apa membeli gaun mahal? Sayang uangnya. Lebih baik digunakan untuk keperluan lain. Atau lebih baik diberikan pada Jennie saja.
Jennie memutar bola matanya jengah. Dia tidak bisa protes, dia hanya bisa mengalah. "Terserah kau sajalah! Kau yang mengurus semuanya." Jennie pasrah. Dia tak ingin memilih gaun pengantin lagi. Sudah lelah karena semua pilihannya ditolak mentah-mentah.
Garvin langsung memanggil penjaga butik dan meminta penjaga butik itu untuk memberikan gaun pernikahan yang paling mahal yang ada. Tidak perlu memilih lagi. Gaun paling mahal itu berarti gaun yang paling bagus.
"Ikutlah dengan penjaga butik itu. Coba gaun pernikahan yang paling mahal. Aku akan melihatnya." Garvin meminta Jennie untuk mencoba gaun pernikahannya.
Jennie pasrah, dia mengikuti kemana penjaga butik itu pergi.
Setelah 20 menit berlalu, Jennie keluar dengan gaun pernikahan yang dipilih Garvin melalui penjaga butik.
Jennie menatap Garvin. "Bagaimana?" Tanya Jennie pada Garvin.
Garvin melihat Jennie dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan alis yang terangkat sebelah. Lalu dia menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Sepertinya ini lebih baik. Yang ini saja." Ucap Garvin setuju.
Jennie berdecak. "Ck! Dari tadi harusnya kau langsung saja bilang ingin gaun yang paling mahal supaya aku tidak capek-capek memilih!"
Jennie membalikkan badan, dia meninggalkan Garvin dan segera mengganti bajunya kembali. Memakai Gaun ini membuat dirinya tidak nyaman, sangat berat.
Setelah selesai mengurus gaun pernikahan mereka, Garvin membawa Jennie ke kantornya untuk menandatangani surat kontrak pernikahan mereka.
Semua karyawan di kantor Garvin menatap Jennie dengan rasa penasaran. Mereka tidak pernah melihat CEO mereka dekat dengan satu wanita pun. Ini yang pertama kalinya. Jadi mereka benar-benar penasaran siapa wanita yang berhasil menaklukkan hati CEO mereka yang dingin itu.
Garvin dan Jennie masuk ke dalam ruangan Garvin. Lalu setelahnya sekretaris Garvin langsung masuk dan memberikan surat-surat yang harus Garvin dan Jennie tanda tangani.
"Mia, jangan sampai ada yang tau tentang ini." Garvin berpesan pada Mia, sekretarisnya.
Mia mengangguk patuh. "Baik, Pak."
"Tandatanganilah. Ini sudah sesuai dengan perjanjian kita. Kalau tidak percaya, kau bisa baca terlebih dahulu." Garvin menanda tangani terlebih dahulu. Lalu dia langsung memberikannya pada Jennie.
"Tidak perlu. Aku percaya padamu." Jennie langsung menandatangani surat kontrak itu tanpa membaca dan bertanya apa pun.
"Kalau begitu ini sudah selesai. Ayo kita pergi. Belikan mobil untukku." Jennie mengajak Garvin pergi dari kantor.
Garvin berdecak. Jennie benar-benar tidak tau malu, dia bicara dengan blak-blakan, padahal di sini masih ada Mia. Dasar wanita gila! Matre sekali dia.
"Mobilku banyak, kau bisa pakai yang mana saja yang kau mau." Garvin menawari Jennie.
Jennie menatap Garvin sinis. "Apa kau bilang? Mobil bekasmu?" Tanya Jennie.
"Tidak. Aku tidak ingin memakai mobil bekasmu. Aku ingin mobil baru untukku." Jennie menolak tawaran Garvin. Dia menginginkan mobil baru.
Garvin menatap Jennie tajam. Dia mengepalkan tangannya menahan emosi. Jika tidak di kantor, mungkin Garvin akan memukul kepala Jennie dengan sapu agar Jennie sadar dari kegilaannya.
Jennie berdiri, lalu berjalan meninggalkan ruangan Garvin. Dia tidak perduli dengan tanggapan Mia, sekretaris Garvin. Dia hanya ingin Garvin menuruti permintaannya.
"Ayo cepat! Aku sudah tidak sabar untuk beli mobil baru." Jennie sudah berjalan keluar duluan tanpa menunggu Garvin.
Garvin memukul sofa yang didudukinya dengan kuat. Dia benar-benar gila jika terus begini.
Mau tidak mau Garvin harus menuruti permintaan Jennie. Lagipula Garvin sudah menyetujui syarat dari Jennie untuk membelikan mobil untuknya.
Garvin berjalan cepat menyusul Jennie. Mereka akan pergi ke showroom mobil untuk membeli mobil baru buat Jennie.
Hari ini waktu mereka akan mereka habiskan untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Sedikit sulit untuk mempersiapkan pernikahan mendadak seperti ini. Tapi selama punya banyak uang, apa yang tidak mungkin?
"Ingat perjanjian kita. Jangan pernah masuk ke dalam ruangan ujung itu." Garvin memperingati Jennie.Saat ini Garvin dan Jennie sedang berada di lantai atas rumah Garvin. Ada 4 kamar di lantai atas. Kamar pertama kosong, kamar kedua kamar Jennie, kamar ketiga kamar Garvin, dan kamar keempat kamar rahasia milik Garvin yang tidak boleh dimasuki siapa pun."Baiklah, terserah kau saja. Aku juga tidak peduli dengan itu." Ucap Jennie tak peduli."Aku lelah mau tidur. Selamat malam, aku tidur duluan." Jennie masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Meninggalkan Garvin sendiri.Setelah Jennie masuk ke kamarnya, Garvin langsung masuk ke kamar rahasia miliknya.Garvin duduk di sofa. Dia diam untuk beberapa saat. Sungguh yang terjadi belakangan ini begitu sulit dicerna. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan membuat beban Garvin bertambah.Garvin memijat kepalanya. "Kepalaku rasanya mau pecah." Garvin menghela nafasnya lelah."Mungkinkah ini yang dinamakan takdir? Tuhan mengutukku tidak akan pernah
Hari ini Garvin dan Jennie menghabiskan waktu di rumah saja. Garvin sedikit sibuk menerima banyak telepon dari rekan bisnisnya yang shock mendapat undangan pernikahan Garvin tiba-tiba."Ayo tidur." Jennie mengajak Garvin tidur. Ini tiba-tiba sekali.Garvin mengerutkan dahinya. "Tidur? Yasudah sana kau tidur. Untuk apa mengajakku?" Tanya Garvin kesal. Garvin kembali fokus pada ponselnya."Apa kau gila? Setelah rumah ini dimasuki oleh pembunuh kau suruh aku tidur sendirian? Aku tidak ingin mengambil resiko. Aku ingin tidur denganmu supaya aman." Jennie mengungkapkan maksud dirinya mengajak Garvin tidur bersama. Jennie tidak berbohong. Dia memang sangat takut karena kejadian itu.Mendengar penjelasan Jennie, Garvin terkejut sekaligus bingung. "Tidur bersama?" Tanya Garvin."Tidak! Tidak mau! Kau saja tidur sendiri. Aku tak ingin tidur denganmu!" Garvin menolak Jennie mentah-mentah.Jennie berdecak kesal. "Hei! Aku tidak bermaksud apa pun. Aku hanya ingin selamat. Tidak ingin mati dibunuh
"Di mana Jack? sepertinya dia tidak di rumah. Padahal aku ingin mengajaknya pergi." Jennie berjalan menuju kamar Jack."Baby ...." Jennie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar. Dia mengerutkan dahinya setelah mendengar sayup-sayup suara dari dalam kamar."Apa aku salah dengar? suara wanita?" Jennie menempelkan telinganya di pintu. Merasa ada yang tak beres, Jennie langsung membuka pintu kamar itu. "Ja-Jack ...."Jennie diam mematung. Jantungnya langsung berdegup lebih kencang, matanya membelalak lebar melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya saat ini. Dia benar-benar terkejut.Pintu kamar Jack terbuka, menampilkan seorang wanita yang tidak memakai busana sedang bercumbu mesra dengan Jack, kekasih Jennie. "Jennie...”Jack melotot hebat. Dia benar-benar terkejut melihat kedatangan Jennie. Tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Jack di tengah-tengah kegiatan panasnya bersama Ella, Jennie datang dan memergokinya. Benar-benar mimpi buruk.Jennie berjalan menuj
Sesampainya di rumah Garvin, Jennie langsung memapah Garvin masuk ke dalam rumahnya.Tidak ada orang sama sekali di rumah Garvin, rumah ini benar-benar sepi.Jennie memapah Garvin dengan susah payah. "Berat sekali lelaki ini." Refleks Jennie langsung mencampakkan Garvin ke atas sofa.Nafas Jennie tersengal. Dia mengelap peluh yang menetes di dahinya. "Sungguh, lelah sekali membawa lelaki ini hanya ke dalam rumah saja. Kebanyakan dosa pasti, makanya berat." Jennie mendudukkan dirinya di atas sofa. Berniat beristirahat.Baru saja Jennie mendudukkan dirinya, tiba-tiba saja masalah menghampirinya."GARVIN! GARVIN! BUKA PINTUNYA! GARVIN!!"Mata Jennie terbelalak lebar mendengar suara itu. Suara yang sama dengan suara yang di telepon tadi.Jennie benar-benar terkejut saat tiba-tiba pintu rumah digedor kuat, jeritan memanggil nama Garvin semakin membuat bulu kuduk Jennie merinding.Jennie memejamkan matanya frustasi. "Matilah aku! Itu pasti si Edward gila." Jennie mengacak rambutnya kasar."
Hari ini Garvin dan Jennie menghabiskan waktu di rumah saja. Garvin sedikit sibuk menerima banyak telepon dari rekan bisnisnya yang shock mendapat undangan pernikahan Garvin tiba-tiba."Ayo tidur." Jennie mengajak Garvin tidur. Ini tiba-tiba sekali.Garvin mengerutkan dahinya. "Tidur? Yasudah sana kau tidur. Untuk apa mengajakku?" Tanya Garvin kesal. Garvin kembali fokus pada ponselnya."Apa kau gila? Setelah rumah ini dimasuki oleh pembunuh kau suruh aku tidur sendirian? Aku tidak ingin mengambil resiko. Aku ingin tidur denganmu supaya aman." Jennie mengungkapkan maksud dirinya mengajak Garvin tidur bersama. Jennie tidak berbohong. Dia memang sangat takut karena kejadian itu.Mendengar penjelasan Jennie, Garvin terkejut sekaligus bingung. "Tidur bersama?" Tanya Garvin."Tidak! Tidak mau! Kau saja tidur sendiri. Aku tak ingin tidur denganmu!" Garvin menolak Jennie mentah-mentah.Jennie berdecak kesal. "Hei! Aku tidak bermaksud apa pun. Aku hanya ingin selamat. Tidak ingin mati dibunuh
"Ingat perjanjian kita. Jangan pernah masuk ke dalam ruangan ujung itu." Garvin memperingati Jennie.Saat ini Garvin dan Jennie sedang berada di lantai atas rumah Garvin. Ada 4 kamar di lantai atas. Kamar pertama kosong, kamar kedua kamar Jennie, kamar ketiga kamar Garvin, dan kamar keempat kamar rahasia milik Garvin yang tidak boleh dimasuki siapa pun."Baiklah, terserah kau saja. Aku juga tidak peduli dengan itu." Ucap Jennie tak peduli."Aku lelah mau tidur. Selamat malam, aku tidur duluan." Jennie masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Meninggalkan Garvin sendiri.Setelah Jennie masuk ke kamarnya, Garvin langsung masuk ke kamar rahasia miliknya.Garvin duduk di sofa. Dia diam untuk beberapa saat. Sungguh yang terjadi belakangan ini begitu sulit dicerna. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan membuat beban Garvin bertambah.Garvin memijat kepalanya. "Kepalaku rasanya mau pecah." Garvin menghela nafasnya lelah."Mungkinkah ini yang dinamakan takdir? Tuhan mengutukku tidak akan pernah
"Bagaimana gaun yang ini saja?" Jennie bertanya pada Garvin.Jennie menunjukkan gaun putih pilihannya pada Garvin."Sangat jelek! Kau pikir kau mau kemana? Seleramu sangat jelek dan terlihat murahan." Garvin menolak mentah-mentah gaun yang Jennie pilih.Jennie cemberut. Dia mendengus kesal. Sudah ada 6 gaun pernikahan yang dipilihnya dan semua ditolak oleh Garvin. Entah gaun yang seperti apa yang cocok di mata Garvin.Ya, saat ini Jennie dan Garvin sedang berada di butik gaun pernikahan untuk membeli gaun pernikahan Jennie.Flashback on :"Ayolah. Ini tidak akan lama. Hanya 3 bulan. 3 bulan waktu yang sangat singkat. Terima saja tawaranku. Kau tidak akan mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku." Jennie terus berusaha meyakinkan Garvin."Kawin kontrak hanya 3 bulan. Dan kita sama-sama diuntungkan. Ayolah, setuju saja. Dimana lagi kau mendapatkan wanita cantik dan cerdas sepertiku untuk diajak kawin kontrak?? Nama baikmu akan terjaga jika menikah denganku." Jennie tak pernah lela
Sesampainya di rumah Garvin, Jennie langsung memapah Garvin masuk ke dalam rumahnya.Tidak ada orang sama sekali di rumah Garvin, rumah ini benar-benar sepi.Jennie memapah Garvin dengan susah payah. "Berat sekali lelaki ini." Refleks Jennie langsung mencampakkan Garvin ke atas sofa.Nafas Jennie tersengal. Dia mengelap peluh yang menetes di dahinya. "Sungguh, lelah sekali membawa lelaki ini hanya ke dalam rumah saja. Kebanyakan dosa pasti, makanya berat." Jennie mendudukkan dirinya di atas sofa. Berniat beristirahat.Baru saja Jennie mendudukkan dirinya, tiba-tiba saja masalah menghampirinya."GARVIN! GARVIN! BUKA PINTUNYA! GARVIN!!"Mata Jennie terbelalak lebar mendengar suara itu. Suara yang sama dengan suara yang di telepon tadi.Jennie benar-benar terkejut saat tiba-tiba pintu rumah digedor kuat, jeritan memanggil nama Garvin semakin membuat bulu kuduk Jennie merinding.Jennie memejamkan matanya frustasi. "Matilah aku! Itu pasti si Edward gila." Jennie mengacak rambutnya kasar."
"Di mana Jack? sepertinya dia tidak di rumah. Padahal aku ingin mengajaknya pergi." Jennie berjalan menuju kamar Jack."Baby ...." Jennie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar. Dia mengerutkan dahinya setelah mendengar sayup-sayup suara dari dalam kamar."Apa aku salah dengar? suara wanita?" Jennie menempelkan telinganya di pintu. Merasa ada yang tak beres, Jennie langsung membuka pintu kamar itu. "Ja-Jack ...."Jennie diam mematung. Jantungnya langsung berdegup lebih kencang, matanya membelalak lebar melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya saat ini. Dia benar-benar terkejut.Pintu kamar Jack terbuka, menampilkan seorang wanita yang tidak memakai busana sedang bercumbu mesra dengan Jack, kekasih Jennie. "Jennie...”Jack melotot hebat. Dia benar-benar terkejut melihat kedatangan Jennie. Tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Jack di tengah-tengah kegiatan panasnya bersama Ella, Jennie datang dan memergokinya. Benar-benar mimpi buruk.Jennie berjalan menuj