"Assalamualaikum.""Waalaikumussalam." Mbok Ti dan Hanin kompak menjawab salam Saldi."Sore sekali pulangnya, Sal?" tanya Hanin sambil melirik jam di dinding. Jam setengah lima sore. Warungnya bahkan sudah tutup dari dua jam yang lalu."Iya, Kak. Sekarang kan Saldi sudah SMA. Sekolah Menengah Atas. Banyak kegiatan ekstrakulikuler yang harus diikuti. Selain itu, ya biar tambah banyak teman." Saldi mejawab sambil sedikit cengar-cengir. "Yaaaah." Dipta menggapai-gapai ke arah Saldi, minta digendong. Jalannya yang masih belum terlalu seimbang terlihat sangat lucu.Saldi langsung mengangkat Dipta tinggi-tinggi. Membuat anak itu tertawa terbahak-bahak."Jangan tinggi-tinggi!" Bergegas Hanin mengambil Dipta dari gendongan Saldi."Lah anaknya yang minta, Kak." Saldi menjawab tanpa rasa bersalah. Anak laki-laki itu kemudian menyalami Mbok Ti dan Hanin."Mana ada dia minta? Ngomong juga baru bisa beberapa kata." Hanin mencebik. Adik laki-lakinya ini kadang memang suka ngeyel."Loh, ituloh, pa
"Bagaimana hasil pertemuan dengan bos perusahaan kemarin, Nin?" Mbok Ti bertanya pada Hanin.Mereka baru sempat ngobrol, dari kemarin sampai siang tadi Hanin sibuk mengurus warung. Walaupun sudah ada empat gadis tanggung yang membantu, Hanin tetap turun tangan langsung."Ooh, kemarin itu Pak Hadyan hanya ingin berkenalan dengan pemilik katering yang kerjasama dengan mereka, Bu. Kata Mas Halim memang dari dulu seperti itu. Pimpinan mereka ingin tahu langsung apa-apa yang berhubungan dengan kantor." Cerita Hanin terhenti karena Dipta sudah berjalan hampir keluar rumah.Hanin segera menggendong Dipta, membawanya masuk kembali ke dalam."Selain itu, Pak Hadyan juga minta untuk berlangganan katering harian di rumahnya, Bu. Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kata Pak Hadyan, dia cocok dengan masakan Hanin. Jadi mau sekalian berlangganan."Mbok Ti mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Hanin. Dalam hati wanita itu sangat bersyukur usaha anaknya mulai mengalami kemajuan. Bahkan Han
"Assalamualaikum."Hanin dan Mbok Ti berpandangan. Kok Saldi kembali lagi?Mbok Ti dan Hanin menoleh berbarengan ke pintu."Mas Dimas?""Eh, waalaikumussalam." Mbok Ti menjawab salam Dimas."Waalaikumussalam." Hanin menjawab salam setelah menghela napas panjang.Dimas masuk dan menyalami Mbok Ti."Ke teras samping saja, Mas. Di sini berantakan sekali. Belum dibereskan tadi Dipta main-main." Dimas mengangguk. Lelaki itu mengikuti langkah Hanin yang sudah berjalan lebih dulu ke teras samping. Wajah Dimas terlihat sedikit gugup. Ada yang seperti menghantam dadanya saat Hanin menyebut nama Dipta.Sejujurnya Dimas merindukan anak laki-lakinya itu. Dia hanya menemui Dipta sekali, saat hari kelahirannya. Itu pun tidak lama, karena dia lebih memilih mengejar Sita."Silahkan duduk, Mas." Hanin berusaha tersenyum. Dia dapat melihat dengan jelas kegugupan di wajah mantan suaminya itu.Hanin menggigit bibir. Ingin rasanya dia berteriak dan memaki lelaki yang kini duduk di hadapannya. Untuk apa l
"Apa kau pernah berpikir bagaimana perasaanku hadir di ruang persidangan dalam keadaan hamil besar?Kemudian saat luka bekas operasi masih terasa sakit, berjalan pun aku masih kepayahan, aku harus menerima diriku diceraikan!Bisa kau bayangkan bagaimana hancurnya perasaanku saat ikrar talak kau bacakan? Lalu, kini kau masih bertanya apa kau membuatku kecewa?!"Dimas menunduk semakin dalam. Lelaki itu tidak ada keberanian sedikitpun untuk menatap wajah wanita yang pernah dengan sepenuh hati melayaninya.Hening.Lama mereka terdiam.Dimas sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk, sementara Hanin sibuk menenangkan hatinya yang remuk."Sudahlah, Mas. Semua sudah berlalu." Hanin menarik napas panjang."Ada keperluan apa kemari?""Boleh aku bertemu Dipta, Nin?" Ragu-ragu Dimas mengangkat kepala.Sedetik mata mereka bertemu.Satu menyimpan rindu.Satu menyiratkan pilu.Aduhai! Kalian pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta tapi mustahil bersatu? Putus asa! Begitulah yang dua anak manusia it
"Assalamualaikum.""Waalaikumussalam." Suara kunci pintu dibuka terdengar."Loh? Besan? Ke sini kok tidak berkabar dulu. Ayo ayo masuk." Bu Rita mempersilahkan kedua besannya masuk."Tadi sekalian lewat, Bu Rita. Rasanya sudah lama tidak mampir." Mama Desi tertawa renyah sambil memeluk ramah Bu Rita."Eyaaaaang." Rindu berlari memeluk Bu Rita."Eh ada cucu eyang yang paling cantik. Sini sini." Bu Rita bergegas menggandeng cucunya. "Seadanya, Bu Desi, Pak Roy. Maklum saya tinggal sendiri jadi tidak banyak persedian kue-kue." Bu Rita tertawa kecil sambil membuka toples-toples yang berisi kue kering."Habis dari mana memangnya?""Ini. Papanya Dimas habis terapi di klinik dekat sini, Bu. Baru berjalan satu bulan, ini pertemuan yang kedua.""Loh? Sakit apa memangnya?" Bu Rita menatap Mama Desi dan Papa Roy bergantian."Biasa, Bu. Sakit tua." Papa Roy menjawab sambil tertawa."Ini Papanya Dimas asam urat, Bu. Di klinik sana katanya ada terapi. Jadi ya dicoba dulu." Mama Desi tersenyum simp
"Bu, jujur saja saya sudah angkat tangan dengan Sita. Saya ikut saja apa yang akan Pak Roy dan Bu Desi lakukan. Hanya satu permintaan saya, tolong jangan buat malu keluarga kami." Bu Rita memegang tangan Mama Desi."Bu, maksud kami kemari adalah untuk mencari jalan terbaik bagi rumah tangga anak kita. Bukan bermaksud ikut campur. Tetapi kalau sudah begini, sepertinya kita harus masuk agar masalah bisa selesai. Kita tentu tidak menginginkan adanya perceraian yang Kedua di antara mereka."Bu Rita mengangguk. "Ma, sudah? Ini sepertinya mau hujan." Kepala Papa Roy menyembul dari pintu.Mama Desi mengangguk pada Papa Roy."Bu, kami pamit pulang dulu. Semoga ada jalan terbaik untuk rumah tangga anak kita."Bu Rita mengantar kepergian besannya itu sampai pintu pagar. Wanita itu menatap ujung mobil mereka dengan mata berkaca-kaca. Sepanjang perjalan pulang Papa Roy dan Mama Desi terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Walaupun tadi di teras, Papa Roy bisa mendengar obrolan mere
"Dari mana saja, Mas?" Sita berdiri di depan pintu. Tadi dia bergegas keluar dari kamar saat mendengar mobil Dimas memasuki halaman.Dimas mengerutkan kening. Cepat dia melirik jam ditangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 18.48 WIB. Tumben sekali istrinya itu sudah pulang sesore ini."Ibuuuu." Rindu berlari memeluk Sita."Sayaaaang. Ih wanginya anak ibu, sudah mandi ya?" Sita bertanya sambil mengacak rambut Rindu."Sudah, Bu. Tadi dimandikan oma." Gadis kecil itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi."Oma?" Sita bertanya memastikan sambil menggandeng Rindu ke kamarnya.Sita keluar dari kamar Rindu setelah memastikan anak itu dalam keadaan nyaman."Tumben pulang cepat, Ta?" Dimas menyusul Sita ke kamar Rindu. Wajahnya terlihat segar setelah mandi."Kenapa? Mas kaget karena ketahuan sering kelayapan kemana-mana saat aku belum pulang, hah?!"Dimas menggeleng. Memilih mengabaikan Sita. Lelaki itu melangkah menuju kamar setelah memastikan Rindu aman di kamarnya."Kata Rindu dia seti
"Sudahlah, biarkan Rindu ditempat oma opanya. Toh dia lebih aman di sana."Dimas beringsut mendekati istrinya. Mengusap punggung Sita agar bisa lebih tenang."Kau sudah makan, Ta?"Sita membisu. Perasaannya masih tidak rela Rindu dititipkan di rumah mertuanya."Mau ku masakkan sesuatu?"Sita tertawa kecil."Pasti saat ini kau sedang membanding-bandingkan aku dengan Hanin bukan? Wanita itu selalu siap sedia melayanimu sepertinya?" Sita terkekeh."Kenapa kau selalu seperti ketakutan aku ada hubungan khusus dengan Hanin, Ta? Kisah kami sudah usai. Semua selesai saat aku memutuskan bercerai. Kini dia hanya mantan istriku.""Dulu aku juga mantan istrimu." Sita tersenyum sinis."Aku tidak pernah menemuinya seperti aku menemuimu dulu.""Tetapi kau tetap memikirkan dia, kan?""Ketakutanmu tidak beralasan! Atau sebenarnya kau yang berselingkuh?!" Dimas menarik Sita agar menghadap ke arahnya"Lepas!" Sita berusaha melepaskan cengkeraman Dimas di bahunya."Apa maksudmu aku berselingkuh?!" Sita m
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"