Aric duduk di tepi trotoar sambil menunggu taksi yang dipesannya datang. Tubuhnya terasa berat, seperti dihantam bertubi-tubi oleh rasa lelah dan adrenalin yang menguap. Sementara Erlangga masih sibuk berbicara dengan pihak berwajib, memastikan dua pria yang memakai penutup wajah itu tak akan melarikan diri.
"Nggak nyangka, Ric," ujar Erlangga sambil menghampiri Aric dengan tangan membawa dua botol air mineral. “Lo selalu bilang hidup lo aman-aman aja, tapi hari ini lo bikin gue balapan sama waktu. Yakin nggak ada urusan gelap yang Lo sembunyiin dari gue?“ Aric mendongak, menatap sahabatnya dengan pandangan lelah. “Kalau gue punya urusan gelap, gue pasti nggak bakal ngerepotin lo, Er. Kejadian barusan beneran nggak pernah gue duga.“ Erlangga mendudukkan dirinya di sebelah Aric, lalu menyodorkan sebotol air mineral pada Aric. “Gue percaya lo, Ric. Tapi iSetelah kejadian dramatis yang menimpa Aric dan Rio, Naira jadi semakin waspada. Dia selalu mengecek Shaka dan Razka secara bergantian dan berkala. Tak peduli seberapa lelah tubuhnya. Baginya keselamatan kedua anaknya lebih penting. Aric dan Naira berdiri bersebelahan, di lorong ruang PICU. Pandangan mereka tertuju pada orang yang sama, yaitu Shaka. Tadi Shaka sempat sadarkan diri, tapi setelahnya anak itu tertidur kembali. Harap-harap cemas Naira menanti. Berharap putranya itu kembali sadarkan diri. Setelah cukup lama Aric dan Naira berdiri, Shaka yang semula tampak lemah dan tidak bergerak, perlahan membuka matanya. Nafasnya yang sempat terengah-engah kini mulai tenang, meskipun matanya tampak kabur, mencoba fokus pada wajah yang mengelilinginya. “Shaka bangun, Ric …“ Naira berbisik, air matanya hampir tumpah, tetapi dia menahan diri untuk langsung masuk. Bagaimanapun dia harus mematuhi prosedur rumah sakit. “Shaka … Anakku… kamu baik-baik saja kan?“ Seolah mendengar ri
Kata-kata itu seperti bom yang meledak di tengah-tengah mereka. Seketika suasana menjadi hening, dan setelah cukup lama barulah Bu Anya melayangkan protes. “Apa kamu serius, Nai?“ Bu Anya mendelik tajam. “Kenapa kamu memutuskan hal itu? Kenapa kamu tega memisahkan anak-anak dari dirimu sendiri dan dari kami?“ sambungnya kecewa Naira memilin jemari. Mata lelahnya pun mulai dikabuti air mata. “Ini keputusan yang sangat sulit, Bun. Tapi aku pikir inilah yang terbaik untuk mereka. Sean hanya menginginkanku. Aku nggak bisa membiarkan Shaka, Razka dan kalian terus-menerus diintai bahaya,“ jawab Naira dengan suara bergetar. “Diintai bahaya? Maksudmu apa?“ Meera menyahuti dengan bingung. “Kecelakaan kamu dan si kembar, intimidasi yang didapatkan Aric, lalu penganiayaan yang menimpa Abang … apa kalian pikir itu ulah orang iseng? Atau mungkin memang kejadian biasa? Tidak. Menurutku ini ada hubungannya dengan Sean. Kejadiannya berurutan, dan proses hukumnya pun sangat lambat. Engga
Pagi itu cuaca dihiasi mendung. Angin dingin mengembuskan bisikan lembut ke setiap sudut kota. Naira yang tengah berkutat dengan pesanan para pelanggan, menoleh saat mendengar ketukan di pintu.“Masuk!“Pintu terbuka, menampilkan sosok sang asistennya dengan ekspresi wajah tampak kebingungan.“Ada apa, Nin?“ tanya Naira. Satu alisnya terangkat, melihat gelagat yang tak biasa dari asistennya itu.“Anu, Bu … ada tamu,“ jawab gadis berusia 21 tahun itu. “Siapa?“ Naira mengerutkan dahi. Dia yakin tamunya bukanlah Sean. Karena lelaki itu pasti langsung menghampirinya.“Saya kurang tahu, tapi maaf … tamunya sudah tua.“Jawaban dari sang asisten membuat Naira semakin dilanda rasa penasaran. Setelah menutup jendela di laptop, dia lantas melangkah keluar dari ruangannya.“Orangnya nunggu di luar, Bu.““Oke.“ Naira melangkah ke arah yang ditunjukkan sang asisten. Saat tinggal beberapa jengkal lagi, langkahnya terhenti. Naira menatap punggung lelaki di depannya sambil menerka. Siapa kiranya dia
Pak Atma mengangguk lemah. “Saya tahu. Dan saya tidak akan membelanya. Salah tetaplah salah, Naira. Saya hanya ingin membantumu. Jika kamu mau, saya akan mendukung apapun yang kamu butuhkan untuk membawa Sean ke pengadilan. Tapi saya juga butuh bantuanmu, Naira.” Naira menatapnya dengan dahi berkerut. “Bantuan apa, Om?” “Saya ingin mengambil kembali aset-aset saya. Bukan untuk saya sendiri, tapi untuk menyelamatkan keluarga dan keselamatan kamu sekeluarga juga. Jika aset itu tetap di tangan Sean, dia akan terus bertindak semaunya. Dan Sean tidak akan pernah mendapatkan bantuan medis yang seharusnya dia dapatkan.” Pernyataan itu membuat Naira berpikir keras. Di satu sisi, dia merasa tidak ingin terlibat lebih jauh dalam masalah keluarga ini. Tetapi di sisi lain, dia melihat kesempatan untuk menghentikan Sean dan membalas dendam atas apa yang telah dia lakukan. “Om …,” katanya akhirnya, “saya akan membantu Om. Tapi saya punya satu syarat.” “Apa itu?” “Saya ingin memastikan S
“Honey, kenapa kepalaku rasanya sakit sekali?“ keluh Sean sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.“Masa sih, Mas? Perasaan Mas aja kali,“ sahut Naira sambil beranjak dari sisi Sean. Lalu melangkah ke mejanya, mengambil berkas yang tadi pagi dikirimkan Pak Atma melalui kurir.Berkas itu berisi surat pemindahan aset. Naira harus menyerahkannya pada Sean, dan memastikan kalau calon suaminya itu menandatanginya.“Mas, tolong tandatangani ini,“ kata Naira sambil mengulurkan berkas dalam map biru kepada Sean.Sean menatap berkas di depannya dengan pandangan buram. Kepalanya terasa berat, seolah ada beban yang menghantamnya dari dalam.“Honey ... ini apa?” tanyanya, mengerutkan dahi sambil memegang berkas yang disodorkan Naira.Naira lantas tersenyum dan kembali duduk di sampingnya. “Mas, ini berkas-berkas untuk pernikahan kita. Ada beberapa hal administratif yang harus disiapkan dari sekarang, biar nanti kita nggak repot,” ucapnya dengan nada menenangkan.Sean mencoba membaca, t
“Terus gimana komunikasi Lo sama anak-anak? Aman kan? Gue pengen ketemu mereka, tapi Bang Rio ngelarang. Katanya gue harus dipingit,“ ujar Meera dengan wajah kesalnya.“Baik, kok. Tiap hari aku selalu video call sama mereka. Dan tiga hari sekali, aku selalu jenguk mereka. Mas Hangga sama semuanya baik, kok. Si kembar juga keknya mulai kerasan,“ jawab Naira. Bu Anya merengut. Walau menyayangkan keputusan itu, tapi mau bagaimana lagi, Hangga memang lebih berhak daripada dirinya.“Bunda jangan sedih, ya. Nanti si kembar bakalan datang kok ke pernikahan Meera. Mas Hangga sendiri yang menawarkan menemani mereka di acara pernikahan Meera,“ sambung Naira sambil menatap Bu Anya dan Meera bergantian. Membuat ibu dan anak itu memekik kegirangan.**Ballroom megah tempat diselenggarakannya pernikahan Meera dan Ken mulai dipadati tamu dari pihak laki-laki. Dekorasi serba putih dengan aksen emas memberi kesan elegan dan sakral. Naira dalam balutan gaun bridesmaid yang anggun, berdiri di sisi Me
“Kamu itu bodoh atau tolol sih? Kan sudah aku bilang berulang kali, jangan berharap lagi padaku! Aku sudah punya Sean, bahkan pernikahan kami akan digelar dua Minggu lagi!“ teriaknya.Aric mengerutkan dahi, dan ekspresinya berubah terkejut. Dia menatap Naira bingung, seakan tak percaya kalau perempuan itu bisa berkata kasar padanya.“Khai, sadar! Dia itu nggak sehat. Kalau kamu pikir dia nggak akan menyakitimu, kamu salah besar,“ ujarnya lembut.Naira tidak menjawab. Dia hanya melangkah pergi dengan cepat. Lalu berdiri di sisi Sean yang entah sejak kapan melihatnya bersama Aric. Naira memasang senyuman manis. Seolah tak terjadi apa-apa.“Kalian ngapain?“ tanya Sean, dengan nada datar. Matanya menatap ke arah Aric penuh selidik.“Nggak ngapa-ngapain. Aric cuma ngucapin selamat aja,“ jawab Naira sambil mengusap bahu Aric.“Oh ya? Dia nggak mencoba menggodamu kan?“ tanya Sean, lagi. Naira tersenyum tipis, bergelayut di lengan Sean. Dia tahu kalau lelaki itu sedang dikuasai rasa cemburu
Aric menoleh, memasang ekspresi serius. “Apa itu,Dad?”Pak Frans mengambil napas dalam. “Beberapa hari lalu, sahabat Daddy yang di Tiongkok menelepon. Rumah sakit miliknya sedang mencari dokter anak. Dia menawarkan posisi itu ke Om Dylan, tapi Om Dylan berpikir kamu lebih cocok.”Aric mengerutkan dahi. “Tiongkok?”“Iya. Posisi ini bagus, Ric. Selain gajinya besar, lingkungannya mendukung. Kalau kamu mau, Daddy akan mengatur semuanya,” tambah Pak Frans.Aric terdiam, pikirannya kembali berkecamuk. Di satu sisi, ini adalah kesempatan besar. Di sisi lain, dia tahu meninggalkan Indonesia berarti meninggalkan semua orang yang dia sayangi—termasuk Naira.“Pikirkan baik-baik. Daddy nggak akan memaksa. Tapi kalau kamu terus seperti ini, terjebak dalam masa lalu, mungkin ini jalan terbaik untukmu,” kata Pak Frans, sambil menatap Aric serius. Aric hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.**Naira duduk di ruang tamu rumah Sean dengan gelisah. Sean baru saja pergi ke dapur untuk mengambil m
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga