Pagi itu cuaca dihiasi mendung. Angin dingin mengembuskan bisikan lembut ke setiap sudut kota. Naira yang tengah berkutat dengan pesanan para pelanggan, menoleh saat mendengar ketukan di pintu.“Masuk!“Pintu terbuka, menampilkan sosok sang asistennya dengan ekspresi wajah tampak kebingungan.“Ada apa, Nin?“ tanya Naira. Satu alisnya terangkat, melihat gelagat yang tak biasa dari asistennya itu.“Anu, Bu … ada tamu,“ jawab gadis berusia 21 tahun itu. “Siapa?“ Naira mengerutkan dahi. Dia yakin tamunya bukanlah Sean. Karena lelaki itu pasti langsung menghampirinya.“Saya kurang tahu, tapi maaf … tamunya sudah tua.“Jawaban dari sang asisten membuat Naira semakin dilanda rasa penasaran. Setelah menutup jendela di laptop, dia lantas melangkah keluar dari ruangannya.“Orangnya nunggu di luar, Bu.““Oke.“ Naira melangkah ke arah yang ditunjukkan sang asisten. Saat tinggal beberapa jengkal lagi, langkahnya terhenti. Naira menatap punggung lelaki di depannya sambil menerka. Siapa kiranya dia
Pak Atma mengangguk lemah. “Saya tahu. Dan saya tidak akan membelanya. Salah tetaplah salah, Naira. Saya hanya ingin membantumu. Jika kamu mau, saya akan mendukung apapun yang kamu butuhkan untuk membawa Sean ke pengadilan. Tapi saya juga butuh bantuanmu, Naira.” Naira menatapnya dengan dahi berkerut. “Bantuan apa, Om?” “Saya ingin mengambil kembali aset-aset saya. Bukan untuk saya sendiri, tapi untuk menyelamatkan keluarga dan keselamatan kamu sekeluarga juga. Jika aset itu tetap di tangan Sean, dia akan terus bertindak semaunya. Dan Sean tidak akan pernah mendapatkan bantuan medis yang seharusnya dia dapatkan.” Pernyataan itu membuat Naira berpikir keras. Di satu sisi, dia merasa tidak ingin terlibat lebih jauh dalam masalah keluarga ini. Tetapi di sisi lain, dia melihat kesempatan untuk menghentikan Sean dan membalas dendam atas apa yang telah dia lakukan. “Om …,” katanya akhirnya, “saya akan membantu Om. Tapi saya punya satu syarat.” “Apa itu?” “Saya ingin memastikan S
“Honey, kenapa kepalaku rasanya sakit sekali?“ keluh Sean sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.“Masa sih, Mas? Perasaan Mas aja kali,“ sahut Naira sambil beranjak dari sisi Sean. Lalu melangkah ke mejanya, mengambil berkas yang tadi pagi dikirimkan Pak Atma melalui kurir.Berkas itu berisi surat pemindahan aset. Naira harus menyerahkannya pada Sean, dan memastikan kalau calon suaminya itu menandatanginya.“Mas, tolong tandatangani ini,“ kata Naira sambil mengulurkan berkas dalam map biru kepada Sean.Sean menatap berkas di depannya dengan pandangan buram. Kepalanya terasa berat, seolah ada beban yang menghantamnya dari dalam.“Honey ... ini apa?” tanyanya, mengerutkan dahi sambil memegang berkas yang disodorkan Naira.Naira lantas tersenyum dan kembali duduk di sampingnya. “Mas, ini berkas-berkas untuk pernikahan kita. Ada beberapa hal administratif yang harus disiapkan dari sekarang, biar nanti kita nggak repot,” ucapnya dengan nada menenangkan.Sean mencoba membaca, t
“Terus gimana komunikasi Lo sama anak-anak? Aman kan? Gue pengen ketemu mereka, tapi Bang Rio ngelarang. Katanya gue harus dipingit,“ ujar Meera dengan wajah kesalnya.“Baik, kok. Tiap hari aku selalu video call sama mereka. Dan tiga hari sekali, aku selalu jenguk mereka. Mas Hangga sama semuanya baik, kok. Si kembar juga keknya mulai kerasan,“ jawab Naira. Bu Anya merengut. Walau menyayangkan keputusan itu, tapi mau bagaimana lagi, Hangga memang lebih berhak daripada dirinya.“Bunda jangan sedih, ya. Nanti si kembar bakalan datang kok ke pernikahan Meera. Mas Hangga sendiri yang menawarkan menemani mereka di acara pernikahan Meera,“ sambung Naira sambil menatap Bu Anya dan Meera bergantian. Membuat ibu dan anak itu memekik kegirangan.**Ballroom megah tempat diselenggarakannya pernikahan Meera dan Ken mulai dipadati tamu dari pihak laki-laki. Dekorasi serba putih dengan aksen emas memberi kesan elegan dan sakral. Naira dalam balutan gaun bridesmaid yang anggun, berdiri di sisi Me
“Kamu itu bodoh atau tolol sih? Kan sudah aku bilang berulang kali, jangan berharap lagi padaku! Aku sudah punya Sean, bahkan pernikahan kami akan digelar dua Minggu lagi!“ teriaknya.Aric mengerutkan dahi, dan ekspresinya berubah terkejut. Dia menatap Naira bingung, seakan tak percaya kalau perempuan itu bisa berkata kasar padanya.“Khai, sadar! Dia itu nggak sehat. Kalau kamu pikir dia nggak akan menyakitimu, kamu salah besar,“ ujarnya lembut.Naira tidak menjawab. Dia hanya melangkah pergi dengan cepat. Lalu berdiri di sisi Sean yang entah sejak kapan melihatnya bersama Aric. Naira memasang senyuman manis. Seolah tak terjadi apa-apa.“Kalian ngapain?“ tanya Sean, dengan nada datar. Matanya menatap ke arah Aric penuh selidik.“Nggak ngapa-ngapain. Aric cuma ngucapin selamat aja,“ jawab Naira sambil mengusap bahu Aric.“Oh ya? Dia nggak mencoba menggodamu kan?“ tanya Sean, lagi. Naira tersenyum tipis, bergelayut di lengan Sean. Dia tahu kalau lelaki itu sedang dikuasai rasa cemburu
Aric menoleh, memasang ekspresi serius. “Apa itu,Dad?”Pak Frans mengambil napas dalam. “Beberapa hari lalu, sahabat Daddy yang di Tiongkok menelepon. Rumah sakit miliknya sedang mencari dokter anak. Dia menawarkan posisi itu ke Om Dylan, tapi Om Dylan berpikir kamu lebih cocok.”Aric mengerutkan dahi. “Tiongkok?”“Iya. Posisi ini bagus, Ric. Selain gajinya besar, lingkungannya mendukung. Kalau kamu mau, Daddy akan mengatur semuanya,” tambah Pak Frans.Aric terdiam, pikirannya kembali berkecamuk. Di satu sisi, ini adalah kesempatan besar. Di sisi lain, dia tahu meninggalkan Indonesia berarti meninggalkan semua orang yang dia sayangi—termasuk Naira.“Pikirkan baik-baik. Daddy nggak akan memaksa. Tapi kalau kamu terus seperti ini, terjebak dalam masa lalu, mungkin ini jalan terbaik untukmu,” kata Pak Frans, sambil menatap Aric serius. Aric hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.**Naira duduk di ruang tamu rumah Sean dengan gelisah. Sean baru saja pergi ke dapur untuk mengambil m
Langit menggantungkan awan kelabu yang berat di senja itu. Kafe kecil di sudut jalan menjadi pelarian bagi mereka yang membutuhkan kehangatan. Lampu-lampu redup di dalamnya memancarkan cahaya lembut, beradu dengan aroma kopi yang menyeruak di udara. Di sudut dekat jendela besar, Sean duduk dengan secangkir cappuccino yang kini hanya tersisa separuh. Matanya sesekali melirik ke luar, menembus kaca yang dipenuhi jejak rintik hujan. Sudah dua puluh menit dia menunggu seseorang yang sebenarnya tak dikenalnya sama sekali.Sean mendatangi kafe itu berbekal dari DM yang dikirimkan Liinata. DM itu tentu saja memantik rasa penasarannya. Bagaimana tidak, Liinata mengaku sebagai seseorang yang dekat dengan Aric dan mempunyai sebuah rahasia antara Aric dengan Naira.Dering ponsel mengalihkan atensinya. Sean lekas berdiri dengan cepat, dan menjawab panggilan dari Liinata. “Kamu di sebelah mana?“ tanya Liinata. Sean tak langsung menjawab. Matanya meliar, menyapu seluruh kafe yang memang tak b
Naira mengangkat wajahnya, menatap Sean dengan tenang. “Ya. Itu aku, Sean.”Jawaban itu membuat Sean semakin murka. Dengan gerakan cepat, dia mengambil gelas jusnya dan menyiramkannya ke wajah Naira. Cairan dingin itu mengalir di wajah dan bajunya, tetapi Naira tidak bergeming. Dia tetap menatap Sean dengan tatapan tegas tanpa mengusapnya sama sekali.“Dasar Perempuan murahan!” Sean berteriak, nadanya penuh hinaan. “Aku bodoh karena pernah berpikir kamu layak jadi istriku!”Naira tertawa sumbang, mengusap wajahnya dengan tisu, lalu berdiri. “Terima kasih, Sean. Terima kasih sudah membuat semuanya jadi sangat mudah bagiku.”Sean terdiam, matanya menyipit. “Apa maksudmu?”Naira menghela napas berat. “Dari awal, aku tak pernah tertarik padamu. Apalagi setelah tahu kalau kamu itu sakit jiwa . Dan asal kamu tahu, aku mau menikah denganmu karena sebuah tujuan. Dan sebentar lagi tujuanku tercapai.“Ekspresi puas tercetak di wajah Naira. Sean menggebrak meja dengan keras. Tetapi Naira malah
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme