Setelah meminta maaf secara terpaksa, akhirnya Naira dan Sean pun pergi ke kondangan. Tentunya setelah Naira mengganti hijabnya yang kata Sean tidak berkelas.
Di acara yang begitu mewah itu, Naira hanya mengaduk makanannya tanpa minat. Sedangkan Sean sibuk mengobrol dengan beberapa kliennya. Setelah cukup lama, barulah lelaki itu duduk di samping Naira. “Kenapa cemberut?“ tanya Sean. Naira menggeleng pelan. “Kamu tau, para klienku muji kamu loh. Katanya kamu cantik dan berkelas,“ sambung Sean. Naira hanya menanggapinya dengan senyuman kaku. Tak sedikit pun merasa bangga mendengar perkataan Sean. “Habis ini mau kemana?“ tanya Naira. “Terserah kamu saja,“ jawab Sean sambil menikmati makanannya. “Aku mau pulang saja,“ ujar Naira sambil mengaduk minumannya. “Kok pulang sih? Besok aku kan bakal balik lagi ke Tasik. Jadi hari kita puas-puasin dulu ngePercakapan mereka terputus oleh pelayan yang datang membawa tambahan air minum. Naira memanfaatkan momen itu untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Ric ... Kenapa kamu bisa ada di supermarket tadi? Emang biasanya kamu belanja sendiri?” Aric tersenyum kecil, meski ekspresinya masih diliputi kekhawatiran. “Tentu tidak, tapi hari ini kulkas kosong. Sebagai majikan yang baik, dan kebetulan lagi ada waktu senggang, jadi aku lah pergi berbelanja.” “Jadi sebenarnya sekarang kamu tinggal di mana, Ric?” “Ya, di rumahku, Khai. Paling sesekali ke rumah Daddy. Seperti pas kemarin kamu datang,” jawabnya santai. Naira mengangguk pelan. “Oh gitu … ngomong-ngomong aku masih agak bingung sama Daddy, Ibu Hania dan Hilma, Ric.“ Aric terkekeh pelan. “Ibu Hania itu ibu sambung aku, Khai. Dan Hilma itu adik tiri aku. Tapi hubungan kami sangat baik.“ “Aku percaya,“ jawab Naira
Usai dari apartemen Sean, Naira memutuskan mampir ke supermarket. Selain ada beberapa yang harus dibeli, dia juga membutuhkan waktu untuk sendiri meskipun rasa sesak tak kunjung menghilang. Dengan langkah lemas, Naira mengambil beberapa bahan pokok yang mulai habis di rumah. Setiap kali melihat barang yang biasa dikonsumsi si kembar, hatinya terasa seperti disayat. Bayangan wajah ceria mereka terus bermain di benaknya. Membayangkan kehidupan tanpa mereka seperti menghadapi akhir dunia. Naira tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Sean katakan. Bagaimana bisa seorang pria yang mengaku mencintainya begitu tega meminta ia menyerahkan anak-anaknya? Saat Naira sedang melangkah menuju rak susu, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan seseorang yang hendak mengambil produk yang sama. Naira tersentak. “Maaf,” katanya pelan. Orang itu menoleh, d
Begitu masuk ke kamarnya, Naira langsung menghempaskan diri ke atas ranjang. Menatap langit-langit dengan mata berat, mencoba mencari cara untuk melepaskan diri dari tekanan ini. Sean, pertunangan, anak-anak, dan segala ancaman lelaki. Semuanya terasa seperti jerat yang semakin menyesakkan. Ponselnya bergetar di meja. Dengan ragu, dia meraihnya dan melihat nama Sean muncul di layar. “Kenapa lagi?” gumamnya sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo?” “Bagaimana? Apa kamu sudah memikirkan saranku?” Suara Sean terdengar santai, tetapi penuh tuntutan di baliknya. Naira memejamkan mata, berusaha mengontrol nada suaranya. “Sean, aku belum bisa memutuskan. Anak-anak terlalu kecil untuk dipisahkan dariku.” “Tapi mereka juga butuh ayahnya, Naira. Kamu tahu itu.” “Ayahnya bahkan nggak peduli selama ini!” Emosi Naira akhirnya meledak lagi. “Dia nggak pernah datang, nggak pernah bertanya kabar. Dan sekara
“Nai, ada paket buat kamu!“ Teriakan Meera memaksa Naira beranjak dari tempat kerjanya menuju ruang tengah. Matanya lantas menatap kardus besar di atas meja. Kardus berukuran besar itu baru saja diantar oleh kurir beberapa menit yang lalu. Tulisan nama Sean tertulis jelas di bagian pengirim. Dia membuka kardus perlahan. Di dalamnya. Ada sehelai kebaya warna peach yang elegan, berhiaskan manik-manik berkilauan. Di sampingnya, sebuah kartu kecil bertuliskan, "Untuk calon istriku. Aku ingin kamu terlihat sempurna di hari istimewa kita." Naira mendesah panjang. Dia menutup kardus itu tanpa berniat menyentuh apalagi mencoba kebayanya. Sebuah tanggung jawab besar terasa semakin menekan dadanya. Membuat dirinya merasa sesak. Melihatnya melamun, si kembar berlarian ke arahnya. “Paket apa itu, Mommy?“ tanya Razka. Tangan kecilnya terulur hendak membuka kardus itu. “Paket kebaya Mommy, Sayang. Tapi ng
Saat tiba di rumah, si kembar langsung berlari menyambutnya. Naira memeluk mereka erat-erat, seolah menemukan kekuatan baru dari senyum mereka. “Mommy, martabaknya ada kan?“ tanya Razka. “Ada, Sayang,“ jawab Naira sambil mengusap kepala anak bungsunya itu. Sementara Shaka hanya diam saja. “Ayo duduk, kita buka martabaknya sama-sama,“ kata Naira. Shaka dan Razka menurut. Beranjak mengekori Naira ke ruang makan. Tak lama Bu Anya muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh hangat. “Bagaimana kebaya lamaranmu, Nai? Sudah pas kan?“ tanyanya. Naira mengangguk, tak ingin membahasnya lebih jauh. “Bunda juga sudah pesankan dekorasi dan catering. Tadi dapat potongan juga, tapi mereka pengen videonya diunggah sama kamu.“ Bu Anya melanjutkan. Naira menahan napas sejenak, menatap wanita itu dengan bimbang dan heran. Kenapa Bu Anya selalu memaksakan kehendak? Apa karena meras paling
“Gue kira Lo bakalan sama Aric, Nai. Sumpah!“ Cantika berbisik sambil melirik pada Sean yang menatap ke arah mereka. “Aku juga, Nai. Kupikir sama Aric, tapi kok malah sama yang lain sih? Dia sama-sama oke. Tapi kok feeling aku nggak enak ya?“ timpal Adila. Cantika mengangguk setuju. “Kalian doakan saja, ya,“ sahut Naira. “Kamu juga jangan lupa istikharah, Nai. Ingat! Belajarlah dari pengalamanmu dengan Hangga dulu,“ ujar Adila. Naira mengangguk. Setelah itu, dia menyuruh kedua sahabatnya untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia. Mengingat dia punya misi yang sangat penting. “Mereka ngomong apa?“ Belum sempat Naira beranjak, Sean menghampirinya dengan wajah keruh. “Cuma ngucapin selamat aja,“ jawab Naira. “Oh ya? Mereka nggak ngomong yang aneh-aneh kan? Kok aku merasa mereka itu tukang Hasut ya? Mereka itu tipe pembawa pengaruh aneh,“ cetus Sean sambil melirik Adil
Seketika, sebuah ide melintas di benaknya. Dia akan menyalin beberapa bukti pesan itu di ponselnya sendiri. Dengan hati-hati, Naira memotretnya dan mengirimnya ke email pribadinya. Tak lupa menghapus jejaknya. Setelah selesai, dia mematikan ponsel itu. Lalu menyimpannya di kotak sepatu yang sudah tak terpakai. Dia tahu, Sean pasti akan menyadari sesuatu jika ponselnya hilang. Sementara itu, di apartemennya, Sean sedang mengobrol dengan kedua orangtua. Tak jauh berbeda dengan Bu Anya dan Rio. Mereka juga membahas acara pernikahan nanti. “Gimana untuk persiapan pernikahan kamu nanti? Mau menyiapkan sendiri atau bareng-bareng sama Naira?“ tanya Pak Atma. “Bareng-bareng dong, Pi. Ini kan pernikahan mereka berdua,“ sahut Bu Annisa. “Ya kirain aja mau dihandel sendiri. Papi rasa Naira bakalan seneng-seneng aja kalau nggak ikut dilibatkan di persiapan pernikahan kalian,“ ujar Pak Atma. “Bukan masalah
Naira terduduk di pinggiran ranjang usai Sean keluar dari kamarnya. Tangannya masih bergetar, dan napasnya terasa berat. Setelah terdengar deru suara mobil Sean semakin jauh, Naira pun lantas mengambil kardus sepatu yang didalamnya terdapat ponsel Sean. “Cepat atau lambat Dia pasti tahu kalau akulah pelakunya,“ gumamnya sambil menatap ponsel ponsel Sean. “Aku harus menitipkannya di tempat yang aman,“ sambungnya. “Tapi dimana? Siapa yang bisa kupercaya? Tak mungkin aku menitipkannya di Adila, Cantika apalagi Meera. Mereka punya kesibukan masing-masing.“ Naira memijat lembut kepalanya yang dibalut hijab. Lalu tiba-tiba saja satu nama melintas begitu saja di pikirannya. “Aric? Haruskah aku menitipkannya pada Aric?“ Naira bergeming cukup lama. Setelah berpikir berulang-ulang, dia pun langsung mengirim pesan pada lelaki itu. [Ric, can you help me?] Centa
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme