Seketika, sebuah ide melintas di benaknya. Dia akan menyalin beberapa bukti pesan itu di ponselnya sendiri. Dengan hati-hati, Naira memotretnya dan mengirimnya ke email pribadinya. Tak lupa menghapus jejaknya. Setelah selesai, dia mematikan ponsel itu. Lalu menyimpannya di kotak sepatu yang sudah tak terpakai. Dia tahu, Sean pasti akan menyadari sesuatu jika ponselnya hilang. Sementara itu, di apartemennya, Sean sedang mengobrol dengan kedua orangtua. Tak jauh berbeda dengan Bu Anya dan Rio. Mereka juga membahas acara pernikahan nanti. “Gimana untuk persiapan pernikahan kamu nanti? Mau menyiapkan sendiri atau bareng-bareng sama Naira?“ tanya Pak Atma. “Bareng-bareng dong, Pi. Ini kan pernikahan mereka berdua,“ sahut Bu Annisa. “Ya kirain aja mau dihandel sendiri. Papi rasa Naira bakalan seneng-seneng aja kalau nggak ikut dilibatkan di persiapan pernikahan kalian,“ ujar Pak Atma. “Bukan masalah
Naira terduduk di pinggiran ranjang usai Sean keluar dari kamarnya. Tangannya masih bergetar, dan napasnya terasa berat. Setelah terdengar deru suara mobil Sean semakin jauh, Naira pun lantas mengambil kardus sepatu yang didalamnya terdapat ponsel Sean. “Cepat atau lambat Dia pasti tahu kalau akulah pelakunya,“ gumamnya sambil menatap ponsel ponsel Sean. “Aku harus menitipkannya di tempat yang aman,“ sambungnya. “Tapi dimana? Siapa yang bisa kupercaya? Tak mungkin aku menitipkannya di Adila, Cantika apalagi Meera. Mereka punya kesibukan masing-masing.“ Naira memijat lembut kepalanya yang dibalut hijab. Lalu tiba-tiba saja satu nama melintas begitu saja di pikirannya. “Aric? Haruskah aku menitipkannya pada Aric?“ Naira bergeming cukup lama. Setelah berpikir berulang-ulang, dia pun langsung mengirim pesan pada lelaki itu. [Ric, can you help me?] Centa
Waktu berjalan lambat. Naira duduk di ruang tunggu dengan tatapan kosong, mulutnya terus berkomat-kamit melafalkan doa. Rio mondar-mandir di depan pintu, sesekali mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang membuncah. Alisa terus memeluk Naira, mengusap punggungnya untuk memberikan kekuatan. Sementara Meera hanya diam, tenggelam dalam rasa bersalah yang tak tertahankan. Pun dengan Bu Anya. Setelah hampir tiga jam, pintu ruang tindakan akhirnya terbuka. Aric keluar dengan pakaian operasi masih melekat di tubuhnya. Ekspresi wajahnya serius, menunjukkan kelelahan yang amat sangat. “Bagaimana anak-anakku, Dok?” Naira langsung berdiri, tubuhnya gemetar. Aric menarik napas dalam sebelum menjawab. “Atharrazka stabil. Luka di dadanya sudah kami tangani, dan dia sekarang sedang dalam masa observasi. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Naira men
“Ada apa, Bun?“ tanya Rio, melihat Bu Anya yang tampak melamun di depan laptop. Bu Anya menoleh, lalu menggeleng pelan. “Nggak ada apa-apa. Cuma ini katanya hape Sean hilang. Tadi Annisa minta rekaman cctv kemarin, tapi ternyata nggak ada. Kira-kira siapa ya yang matiin cctv-nya?“ ujarnya dengan nada penasaran. “Mungkin tukang dekor, Bun,“ jawab Rio. “Masa sih?“ Bu Anya tampak tak percaya pada asumsi Rio. “Bisa jadi nggak sengaja. Tapi hari ini gimana? Udah tersambung lagi?“ Rio bertanya sambil membuka rekaman cctv. “Yang hari ini udah nyala lagi. Ini ada pas kita berangkat tadi,“ lanjutnya sambil menunjukan rekaman cctv saat mereka hendak berangkat. “Tau lah. Nanti bunda coba tanya ke Naira,“ kata Bu Anya sambil beranjak berdiri. “Kok tanya Naira sih, Bun? Apa hubungannya?“ Rio mengerutkan dahi.
Suasana di ruang PICU hanya dihiasi suara detak mesin yang memonitor kondisi Shaka. Tubuh mungilnya terbaring lemah, dengan selang dan kabel yang berserakan di sekitar tempat tidur. Naira tak pernah merasa begitu hancur seperti saat ini. Tangannya gemetar menyentuh kaca, seakan sedang menyentuh anaknya. Sementara air mata terus mengalir di pipinya. “Shaka … mommy di sini, Nak,” bisiknya dengan suara parau. “Mommy nggak akan pergi, jadi kamu juga harus bangun, ya? Mommy mohon …” Sedangkan di sisi lain, Razka yang baru dipindahkan dari ruang perawatan mulai membuka matanya perlahan. Kelopak matanya bergerak, tubuh kecilnya tampak menggeliat. “Adek sudah bangun, Sayang?“ Rio yang bertugas menungguinya, buru-buru menghampirinya. Dia merunduk, mengusap rambut dan menatap wajah pucat putra angkatnya itu. “Razka, Sayang …“ “Ayah … Abang mana?“ Razka merespon sambil mengerjap beberapa kali.
Perlahan, Naira menatapnya. “Aku takut, Ric. Aku takut kehilangan mereka…” “Kamu nggak akan kehilangan mereka,” jawab Aric tegas. “Selama aku di sini, aku akan berusaha menjaga kalian. Semaksimal mungkin tak akanmembiarkan hal itu terjadi.” Naira ingin mempercayai kata-kata itu, tapi ketakutan masih menghantuinya. Namun melihat tatapan Aric yang penuh keyakinan, dia merasa sedikit tenang. Sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki mendekat membuat mereka berdua menoleh. “Naira …” Sebuah suara berat menginterupsi keheningan di antara keduanya. Tak jauh dari mereka, Hangga berdiri di ujung koridor. Wajahnya tampak penuh rasa bersalah, dan tangannya mengepal erat. “Mas Hangga?” Suara Naira bergetar. “Aku tak sengaja bertemu dengan sahabatmu. Aku dengar anak-anak kecelakaan. Apa itu benar?” Hangga melangkah mendekat, tatapannya bergantian antara Naira dan Aric.
Naira masih terduduk di kursi ruang tunggu PICU, meski matanya sudah mulai terasa berat. Sementara Razka, ditunggui Rio dan Bu Anya. Sebenarnya Rio dan Bu Anya memintanya pulang untuk beristirahat. Naira pun memang lelah, tapi pikirannya menolak untuk beristirahat. Wajah anak-anaknya terus muncul di benaknya, terutama Shaka yang masih berjuang di ruang PICU. Di sebelahnya, Aric duduk dengan tubuh condong ke depan, kedua siku bertumpu pada lutut. Dia tak banyak bicara sejak tadi, membiarkan Naira menikmati keheningan dan ketenangan yang dia tahu sangat dibutuhkan. Tiba-tiba langkah kaki tergesa terdengar mendekat. Naira mendongak dan tubuhnya seketika menegang. Sean berdiri di sana, mengenakan jaket hitam dan celana jeans, wajahnya keras dan penuh amarah yang tertahan. “Naira,“ panggilnya, nada suaranya dingin. Naira langsung bangkit dari duduknya, nalurinya mendorongnya untu
Aric duduk di tepi trotoar sambil menunggu taksi yang dipesannya datang. Tubuhnya terasa berat, seperti dihantam bertubi-tubi oleh rasa lelah dan adrenalin yang menguap. Sementara Erlangga masih sibuk berbicara dengan pihak berwajib, memastikan dua pria yang memakai penutup wajah itu tak akan melarikan diri. "Nggak nyangka, Ric," ujar Erlangga sambil menghampiri Aric dengan tangan membawa dua botol air mineral. “Lo selalu bilang hidup lo aman-aman aja, tapi hari ini lo bikin gue balapan sama waktu. Yakin nggak ada urusan gelap yang Lo sembunyiin dari gue?“ Aric mendongak, menatap sahabatnya dengan pandangan lelah. “Kalau gue punya urusan gelap, gue pasti nggak bakal ngerepotin lo, Er. Kejadian barusan beneran nggak pernah gue duga.“ Erlangga mendudukkan dirinya di sebelah Aric, lalu menyodorkan sebotol air mineral pada Aric. “Gue percaya lo, Ric. Tapi i
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme