Liinata terdiam, perasaan tidak nyaman langsung menguasai dirinya. Naira. Nama yang dari dulu sering dia lihat di ponsel, catatan maupun media sosial Aric, sekarang muncul di hadapannya. Sosok Naira yang pernah membuatnya gelisah, sekaligus seseorang yang diam-diam dia anggap sebagai ancaman, kini berada di ruang tamu rumah Aric, tepat di hadapannya.Liinata tak memungkiri kalau sosok di depannya memang kharismatik. Selain cantik, penampilan Naira memang mempesona walau dalam balutan hijab. Pantas saja Aric susah move on darinya.Naira yang menyadari perubahan ekspresi Liinata, mencoba untuk menjaga suasana supaya tetap bersahabat. Dia tersenyum lebih lebar. kali ini lebih tulus, mencoba mencairkan ketegangan. “Senang bertemu langsung denganmu, Liinata.”Namun, Liinata hanya menanggapi dengan anggukan kecil, tak menunjukkan antusiasme sama sekali. Matanya tetap mengamati Naira, seolah menilai setiap detail dari penam
“Sean, dengarkan aku! Ini bukan masalah uang saja. Tapi ini masalah hobiku. Kamu harus bisa dong menerima hobiku seperti Papi yang menerima hobi Mami,“ ujar Naira. “Tapi masalahnya kamu sama Mami itu berbeda, Naira!“ sahut Sean dengan suara penuh emosi. “Berbeda? Apanya yang berbeda?“ Naira cukup tersinggung dengan ucapan lelaki itu. “Sudahlah, lupakan saja! Lebih baik bawa barang-barang itu ke dalam. Besok pakai itu dan temani aku ke pernikahan anaknya klien,“ ujar Sean. Naira menatap beberapa paper bag brand-brand kenamaan di atas meja. Tak sedikit pun ada rasa senang yang di hatinya. Malah dia merasa seperti boneka saja. Namun rasa lelah yang menggelayuti tubuh, membuatnya enggan memprotes. Tanpa berkata apapun, dia mengambil semua paper itu dan membawanya ke kamar. Sedangkan Sean mengikutinya dari belakang. Naira yang risih pun lantas menghentikan langkah, membalikkan badan dan m
Setelah meminta maaf secara terpaksa, akhirnya Naira dan Sean pun pergi ke kondangan. Tentunya setelah Naira mengganti hijabnya yang kata Sean tidak berkelas. Di acara yang begitu mewah itu, Naira hanya mengaduk makanannya tanpa minat. Sedangkan Sean sibuk mengobrol dengan beberapa kliennya. Setelah cukup lama, barulah lelaki itu duduk di samping Naira. “Kenapa cemberut?“ tanya Sean. Naira menggeleng pelan. “Kamu tau, para klienku muji kamu loh. Katanya kamu cantik dan berkelas,“ sambung Sean. Naira hanya menanggapinya dengan senyuman kaku. Tak sedikit pun merasa bangga mendengar perkataan Sean. “Habis ini mau kemana?“ tanya Naira. “Terserah kamu saja,“ jawab Sean sambil menikmati makanannya. “Aku mau pulang saja,“ ujar Naira sambil mengaduk minumannya. “Kok pulang sih? Besok aku kan bakal balik lagi ke Tasik. Jadi hari kita puas-puasin dulu nge
Percakapan mereka terputus oleh pelayan yang datang membawa tambahan air minum. Naira memanfaatkan momen itu untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Ric ... Kenapa kamu bisa ada di supermarket tadi? Emang biasanya kamu belanja sendiri?” Aric tersenyum kecil, meski ekspresinya masih diliputi kekhawatiran. “Tentu tidak, tapi hari ini kulkas kosong. Sebagai majikan yang baik, dan kebetulan lagi ada waktu senggang, jadi aku lah pergi berbelanja.” “Jadi sebenarnya sekarang kamu tinggal di mana, Ric?” “Ya, di rumahku, Khai. Paling sesekali ke rumah Daddy. Seperti pas kemarin kamu datang,” jawabnya santai. Naira mengangguk pelan. “Oh gitu … ngomong-ngomong aku masih agak bingung sama Daddy, Ibu Hania dan Hilma, Ric.“ Aric terkekeh pelan. “Ibu Hania itu ibu sambung aku, Khai. Dan Hilma itu adik tiri aku. Tapi hubungan kami sangat baik.“ “Aku percaya,“ jawab Naira
Usai dari apartemen Sean, Naira memutuskan mampir ke supermarket. Selain ada beberapa yang harus dibeli, dia juga membutuhkan waktu untuk sendiri meskipun rasa sesak tak kunjung menghilang. Dengan langkah lemas, Naira mengambil beberapa bahan pokok yang mulai habis di rumah. Setiap kali melihat barang yang biasa dikonsumsi si kembar, hatinya terasa seperti disayat. Bayangan wajah ceria mereka terus bermain di benaknya. Membayangkan kehidupan tanpa mereka seperti menghadapi akhir dunia. Naira tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Sean katakan. Bagaimana bisa seorang pria yang mengaku mencintainya begitu tega meminta ia menyerahkan anak-anaknya? Saat Naira sedang melangkah menuju rak susu, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan seseorang yang hendak mengambil produk yang sama. Naira tersentak. “Maaf,” katanya pelan. Orang itu menoleh, d
Begitu masuk ke kamarnya, Naira langsung menghempaskan diri ke atas ranjang. Menatap langit-langit dengan mata berat, mencoba mencari cara untuk melepaskan diri dari tekanan ini. Sean, pertunangan, anak-anak, dan segala ancaman lelaki. Semuanya terasa seperti jerat yang semakin menyesakkan. Ponselnya bergetar di meja. Dengan ragu, dia meraihnya dan melihat nama Sean muncul di layar. “Kenapa lagi?” gumamnya sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo?” “Bagaimana? Apa kamu sudah memikirkan saranku?” Suara Sean terdengar santai, tetapi penuh tuntutan di baliknya. Naira memejamkan mata, berusaha mengontrol nada suaranya. “Sean, aku belum bisa memutuskan. Anak-anak terlalu kecil untuk dipisahkan dariku.” “Tapi mereka juga butuh ayahnya, Naira. Kamu tahu itu.” “Ayahnya bahkan nggak peduli selama ini!” Emosi Naira akhirnya meledak lagi. “Dia nggak pernah datang, nggak pernah bertanya kabar. Dan sekara
“Nai, ada paket buat kamu!“ Teriakan Meera memaksa Naira beranjak dari tempat kerjanya menuju ruang tengah. Matanya lantas menatap kardus besar di atas meja. Kardus berukuran besar itu baru saja diantar oleh kurir beberapa menit yang lalu. Tulisan nama Sean tertulis jelas di bagian pengirim. Dia membuka kardus perlahan. Di dalamnya. Ada sehelai kebaya warna peach yang elegan, berhiaskan manik-manik berkilauan. Di sampingnya, sebuah kartu kecil bertuliskan, "Untuk calon istriku. Aku ingin kamu terlihat sempurna di hari istimewa kita." Naira mendesah panjang. Dia menutup kardus itu tanpa berniat menyentuh apalagi mencoba kebayanya. Sebuah tanggung jawab besar terasa semakin menekan dadanya. Membuat dirinya merasa sesak. Melihatnya melamun, si kembar berlarian ke arahnya. “Paket apa itu, Mommy?“ tanya Razka. Tangan kecilnya terulur hendak membuka kardus itu. “Paket kebaya Mommy, Sayang. Tapi ng
Saat tiba di rumah, si kembar langsung berlari menyambutnya. Naira memeluk mereka erat-erat, seolah menemukan kekuatan baru dari senyum mereka. “Mommy, martabaknya ada kan?“ tanya Razka. “Ada, Sayang,“ jawab Naira sambil mengusap kepala anak bungsunya itu. Sementara Shaka hanya diam saja. “Ayo duduk, kita buka martabaknya sama-sama,“ kata Naira. Shaka dan Razka menurut. Beranjak mengekori Naira ke ruang makan. Tak lama Bu Anya muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh hangat. “Bagaimana kebaya lamaranmu, Nai? Sudah pas kan?“ tanyanya. Naira mengangguk, tak ingin membahasnya lebih jauh. “Bunda juga sudah pesankan dekorasi dan catering. Tadi dapat potongan juga, tapi mereka pengen videonya diunggah sama kamu.“ Bu Anya melanjutkan. Naira menahan napas sejenak, menatap wanita itu dengan bimbang dan heran. Kenapa Bu Anya selalu memaksakan kehendak? Apa karena meras paling
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga