“Saudara nyonya oma. Datang semalam jam 1 malam. Bibi tahu karena semalam bibi yang membantu membawakan barang-barang mereka, Non.”“Oh, saudara ayah, pantas mirip. Bibi enggak usah buatkan mereka sarapan. Kan, sudah banyak makanan. Bibi temani aku aja ke kamar.”Bik Siti terlihat bingung, tapi kemudian menurut saja. Oma ini aneh sekali sedang dalam keadaan berduka saja makan milih-milih. Di meja makan sudah banyak sekali lauk pauk. Tinggal makan yang ada kok, ngerepotin orang lain. Para tetangga saja sejak selepas subuh tadi sudah banyak yang berdoa dan mengaji Yasin di dekat jenazah ayah. Ini oma sibuk milih-milih makan.“Istirahatlah barang sebentar Bik, pasti Bibi lelah sekali. Ini masih jam 6 pagi, nanti Bibi aku bangunin jam 7.” Meski terlihat bingung, tapi senyum bik Siti mengembangkan. Hitungan menit bik Siti sudah tertidur pulas.Kukunci kamar. Aku tidak mau ada yang mengganggu. Tante Eni ada di kamar nenek. Tadi selepas subuh, calon suaminya datang. Aku gegas mandi, dan bers
🌸🌸🌸“Jangan buat keributan di sini!” gertak Om Ardi. Suaranya terdengar berat giginya bergemeletuk. Mungkin oma takut. Beliau dengan kesal dan tatapan sinis pergi menjauh.Terdengar kasak-kusuk di belakang bilik pemandian ayah. Ustaz dan beberapa warga yang memandikan jenazah ayah terus saja beristighfar.Hatiku teriris melihat kenyataan ini. Mungkin ini hukuman yang setimpal untuk ayah. Hukuman yang meringankan sedikit dosa-dosanya. Wallahu’alam.Selesai dimandikan dengan sigap mereka mengkafani ayah. Yang aku dengar dari ustaz jangan sampai apa yang mereka lihat sewaktu memandikan ayah dikabarkan ke pada banyak orang. Itu menjadi rahasia mereka.Kupandangi sekali wajah ayah sebelum tertutup kain mori dan kapas. Aku ditugaskan untuk menaburkan bubuk wewangian pada seluruh tubuh ayah. Pak ustaz pun menyuruhku untuk mencium ayah untuk terakhir kalinya.Meski ragu aku tetap melakukannya. Aku mendapat giliran terakhir. Oma, opa, Tante Devi terlebih dahulu.Inilah saat terakhir aku men
Ruang keluarga sepi bak kuburan. Di ruang tengah bukan tidak ada orang, ada keluarga besar oma, tapi mereka tidak ada yang bersuara. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Dari kamar tamu terdengar repetan Oma terus menerus. Apa Oma tidak capek? Merepet dan juga mengumpat tidak akan mengembalikan ayah. Ting! Pesan masuk dari Lusi. [Sepupumu baik-baik saja, Al. Tadi dia telepon kamu bermaksud mengucapkannya bela sungkawa. Tadi kami sampai sini sudah ada gengnya dan seorang om-om. Beneran deh, Al. Mereka ini kayaknya sugar baby.] Kubaca ulang pesan yang lumayan panjang dari Lusi. Sugar baby, tapi diari itu? Ah, aku akan bertanya langsung pada Nindi. Sekarang bukan waktu yang tepat. [Lus, yang benar deh! Mungkin itu saudaranya Putri? Jangan asal tuduh takutnya mereka tersinggung. Nanti kamu dalam bahaya.] [Beneran Al, kalau itu saudaranya enggak mungkin juga selengket itu. Mana ada sama suadara ngelendot-ngelendot manja.] [Memang mereka enggak malu sama teman-teman yang lai
Azan Maghrib berkumandang bersamaan dengan tangisan Tante Anin. Ya Allah itu istri dari mana kenapa bisa tidak tahu kalau suaminya meninggal dunia. Padahal dari pihak kepolisian sudah berkali menghubungkan nomornya.Lucunya aku pun baru ingat kalau Tante Anin itu istri ayah. Seolah terhipnotis aku benar-benar lupa tentang Tante Anin.Plak!Tante Anin memegangi pipinya. Tamparan kuat dari oma mendarat cantik di pipi mulus Tante Anin. Oma kasar sekali. Siapa pun kena marah tidak pandang bulu ataupun malu. Berbuat sesuka hati.“Istri tidak tahu diri! Dari mana saja kamu! Apa kamu baru selesai ngelont* hah!” bentak oma.“A—ku ....” Tante Anin menjatuhkan dirinya ke lantai. Menangis histeris. Tangisannya seolah bersahutan dengan azan dan iqomah di Masjid.Di luar sana orang sibuk beribadah, di rumahku orang sibuk bertengkar.“Lihat saja penampilanmu itu Anin. Orang juga sudah bisa menilai kamu dari mana. Menyesal aku menikahkan Hendra denganmu!” kata oma lagi.Benar yang dikatakan oma. Pe
Assalamualaikum ... Bantu follow akunku, yuk! bagi yang sudah follow aku ucapkan terima kasih banyak 😘🙏🌸🌸🌸“Nah, benar ‘tuh yang dibilang Paman. Aku Juga yakin sekali kalau Mas Hendra semasa hidupnya sudah banayk mengumpulkan harta untuk diwariskan pada orang tua dan anaknya,” sahut keponakan opa yang baru kutahu namanya adalah om Yuda.“Benar. Aku juga yakin begitu. Apa lagi kakakku itu adalah seorang yang pekerja keras untuk keluarganya.” Tante Devi pun tidak tinggal diam. Dia memang selalu semangat kalau membahas masalah harta.“Pak Ustaz dengar sendiri ‘kan, pengakuan dari mereka bagimana anakku selama hidupnya. Itulah kenapa saya sebagai bapaknya ingin segera terselesaikan masalah ini. Saya yakin ada bagian kami di sana karena anak kami itu sangat sayang keluarga,” ucap opa lagi.“Jangankan sama orang tua sama kami para sepupunya juga sayang,” timpal om Yuda.Ck, jelaslah ayah dipuji-puji mereka selama ini ikut menikmati jerih payah ayah dan juga—ibuku tentunya.Pas Ustaz s
“Barang kali aja, ya, kan, Oma? Apa Oma lihat ayah?” tanyaku konyol. Aku juga tahu kalau orang yang sudah meninggalkan mana bisa datang lagi.Oma menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menangis.“Ada apa, Bu? Cepat katakan,” bujuk opa.“Uangku ... uangku hilang, Pak!” teriak oma histeris.“Uang? Uang apa dan di mana?” tanya opa lagi.“Di sana, Pak. Di atas pintu. Ibu simpan di wadah bekas HP ini,” jawab oma. Tangisnya pecah.“Kok, bisa? Kenapa Ibu taruh di sana. Berapa Bu, biar kita bantu cari,” sela Tante Devi.“Du—a, Dev. Du—a puluh juta!” Oma makin histeris.“Apa!” sahut mereka bersamaan.Ha-ha sudah kuduga, pasti mereka terkejut. Duh, Oma, maafkan aku, ya? Aku jadi jahat sama oma.“Kok, Ibu ini aneh! Kenapa uang sebanyak itu Ibu taruh di sana. Aku yakin Ibu pasti lupa narok.” Tante Devi mulai beraksi dia mulai menggeledah lemari baju oma.“Enggak, Dev! Ibu enggak lupa narok, kemarin masih ada,” jawab oma.“Bapak-bapak, Ibu, kami permisi undur diri. Insya Allah besok malam kami ke s
~k~u🌸🌸🌸Hari ini tepat hari ke empat kepergian ayah. Sidang yang seharusnya dijalani ayah juga kemarin telah digelar. Benar kata Om Ardi, Om Jeep mengajukan banding. Harusnya dia menjalani hukuman selama 20 tahun. Aku tidak rela jika akhirnya nanti dia bisa bebas ataupun masa tahanannya berkurang.“Al, boleh pinjam uang enggak mau beli perlengkapannya sekolah,” ujar Nindi. Dia membuyarkan lamunanku.“Enggak ada uang aku, Nin. Minta sama mamahmu saja.”“Mamahku juga enggak ada. Barusan aku minta. Tolonglah, Al. 300 ratus ribu rupiah saja, nanti kalau Om Opik sudah transfer langsung aku balikin.”“Siapa Om Opik?”“Ayolah! Jangan pura-pura enggak tahu, dia itu sugar Daddyku.”“Jadi, kamu sekarang terang-terangan begitu sama aku?”“Mau gimana lagi, Al. Aku terpaksa jika tidak begini aku tidak bisa sekolah. Papaku masuk penjara, mamahku mana bisa biayain aku.”“Gila, kamu Nin! Masih banyak jalan halal. Kamu enggak takut kejadian kemarin terulang lagi?”“Mau pinjemin apa enggak nih? Kal
“Alya, kamu sudah gila, ya! Kamu enggak tahu gimana sebenarnya Opa! Dia, di—a itu monster!” teriak Nindi.“Tenang, Nind. Opa memang monster. Kita harus pakai otak untuk melawan opa. Bukan dengan kekuatan,” kataku meyakinkan.“A—ku takut, Al. Aku ....” Kugenggam erat jemari Nindi aku tahu dia sangat takut dan juga trauma.“Everything is ok! Trust me!” kataku lagi.“Tapi, kalau ....” Nindi ragu melanjutkan kalimatnya.“Nindi, ada Allah yang akan menolong kita, jadi jangan takut. Ada Om Ardi yang memberi kita jaminan keselamatan. Selama kita yakin semua akan baik-baik saja. Kamu kira aku tidak takut pada opa. Sama aku pun takut, tapi kalau kita tunjukkan rasa takut kita opa akan semakin senang dan juga akan semakin menindas kita.”“Thanks, Al.”“You are welcome.”Kami tidak melanjutkan pembicaraan tentang opa lagi karena ada Angga. Ini rahasia keluarga siapa pun tidak boleh tahu. Bila akhirnya tahu biarlah dari orang lain ataupun dari media.Pedofil itu penyakit yang harus ditangani buka