"Ini rekaman yang kamu minta." Rama menyodorkan sebuah flasdisk berwarna biru bening pada Amira yang baru saja bersiap masuk ke dalam mobil BMW dengan Al yang terlihat sudah duduk di balik kemudi. Seperti biasa, penampilan perempuan itu tak pernah mengecewakan setiap mata yang memandang. Kali ini dia bahkan terlihat begitu memesona dengan straight jins berwarna pudar yang dipadupadan dengan blazer berwarna senada dan kerudung hoodie. Chelsea boots yang melekat di kedua kaki jenjang itu pun menjadi pelengkap penampilannya hari ini.Amira tersenyum kecil, lalu mengambil alih flasdisk tersebut dari tangan Rama. "Oh, iya. Alamat para pegawai yang dikeluarkan sepuluh tahun lalu setelah tragedi itu juga sudah aku list di dalamnya. Kau bisa meminta orang-orang suruhanmu untuk mendatangi mereka satu per satu. Mudah-mudah mereka bersedia bersaksi," tambah Rama. Amira mengangguk kecil, senyum perempuan itu mengembang. "Terima kasih, Mas. Aku tak bisa melakukan ini tanpa bantuanmu." Amira mel
Perempuan berambut sebahu dengan tubuh sintal itu menatap Amira dengan sorot yang tak terbaca. Meskipun tahu ke mana arah pembicaraan mereka, tapi dia tetap menyetujui permintaan Amira untuk bertemu di salah satu kafe yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari apartemen Amira. Kebetulan hubungan mereka memang berjalan baik, meski di tengah perseteruan Amira dengan suaminya. "Kalau kau bertanya tentang keterlibatanku dalam penembakan Paman Heru hari itu, kurasa kesaksianku di kantor polisi sudah menjelaskan semuanya. Pertemuan kami murni karena urusan pribadi." Ucapan perempuan itu terdengar tegas langsung pada intinya. "Jadi, benih siapa yang tumbuh di rahimmu itu, Andin?" Amira langsung menembak tepat pada sasaran hingga berhasil membuat tubuh dalam balutan dress putih itu menegang. Andini terlihat menelan ludah susah payah, dia menjawab dengan sedikit membentak. "Bukan urusanmu! Aku berjanji tak akan menjadikan anak ini sebagai alat untuk memeras kalian. Jadi, tolong jangan us
Pengusaha sukses Hanung Adijaya baru saja dibekuk polisi terkait kasus pembunuhan yang menimpa adik keduanya, Hendra Adijaya yang sudah tertunda lebih dari sepuluh tahun, setelah kematian terduga yang merupakan istri keduanya. Bukan hanya itu, Amira Hasna Adijaya yang merupakan anak tiri dan keponakannya itu juga menuntutnya dengan tuduhan KDRT. Berita hari ini menambah catatan panjang tentang rahasia kelam keluarga konglomerat tersebut yang selama ini disembunyikan dari pub--Seketika layar berukuran 42 inci yang terletak di ruang tengah apartemen tersebut berubah hitam, ketika Amira lekas menekan tombol power pada remot sebelum sempat sang pembawa berita menyelesaikan laporan yang dia bawakan mengenai kondisi keluarganya saat ini. Perempuan dengan jilbab putih itu terlihat mengempaskan diri ke sandaran kursi dan menatap lurus langit-langit di kamar apartemennya."Baru segini kalian sudah mengatakan tentang catatan panjang rahasia kelam. Bagaimana kalau kabar tentang kemandulan dan
Pagi hari di Villa yang merupakan basecamp Al CS, terlihat kelima pemuda yang seminggu terakhir ini bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti yang melibatkan Hanung dalam pembunuhan Hendra sepuluh tahun lalu--berhamburan dari kamar masing-masing. Wajah lelah, kantung mata, serta berbagai keluhan badan mereka serukan satu per satu di atas meja makan berisi nasi padang dengan teh manis hangat yang sudah siapkan beberapa dari mereka. "Woah, sumpah gila sih. Keren beud Non Mimi kemaren. Badan gue sampe dibuat gemeter kayak denger teks proklamasi," seru Jojo yang mengawali percakapan mereka pagi ini. "Please, deh perbandingan lu, Jo. Berlebihan. Walaupun harus gue akui semua lelah ini terbayar saat liat Pak Hanung mati kudu di hadapan Non Mira," sahut Yoga. "Bener banget, Brai. Nggak sia-sia perjuangan kita selama seminggu kerja rodi sampe ngunsep-ngunsep ke parit nyari ketiga saksi. Palagi pas Non Mimi ucapin terima kasihnya bener-bener tulus dengan senyum yang hampir bikin gue diabetes,
Di sebuah gazebo villa dengan desain paviliun yang terletak di tengah- tengah taman berumput hijau itu, lima orang pemuda dengan dua wanita terlihat tengah asik bercengkerama. Membahas banyak hal yang sudah mereka lalui selama hampir dua bulan bekerja sama, sembari menikmati pizza dan secangkir kopi panas. Tenaga dan waktu yang terkuras selama lebih dari tujuh pekan itu tak terasa saat kekeluargaan bertambah erat di antara semuanya. Terbukti dengan gelak tawa dan canda yang tercipta menambah hangat suasana di sana. "Non Mimi!" Panggilan lelaki bertubuh tinggi kurus itu mengalihkan perhatian Amira dari ponsel di genggaman tangannya yang tengah menunjukkan sebuah pesan chat dari seseorang yang jauh di sana. "Ya, Jo?" Amira meletakkan ponsel tersebut di pahanya. "Mau cerita." Jojo terlihat ragu-ragu untuk kembali memulai percakapan."Cerita apa?" Pertanyaan itu entah kenapa membuat Jojo semakin gugup, hingga berakhir dengan menggeser tubuhnya mendekati Yoga. "Brai, lu duluan!" ujarn
"Terbuat dari apa dirimu ini, Mira?" ujar Zara sembari memeluk sahabatnya, sepeninggal Al CS. "Selain bermental baja kau juga berhati beton.""Haha ...." Amira tertawa mendengar perumpamaan Zara. "Bodoh memang, bagaimana bisa selama ini aku berpikir kau baik-baik saja." Zara membenamkan wajahnya di ceruk leher Amira yang tertutup kerudung instan berwarna toska. "Hei, kenapa tiba-tiba kau jadi seemosional ini?" Amira menarik diri dan menangkup wajah Zara. "Entahlah, aku hanya kembali mengingat obrolan kita dalam perjalanan tadi. Arrghh ... bagaimana bisa kau menutupi semua ini dariku?Bahkan selama kau di luar negeri kita sering mengobrol melalui telepon dan video call, bisa-bisanya aku menyadari bahwa kau sempat depresi." Zara mulai terisak. "Sudahlah. Sekarang aku baik-baik saja berkat waktu dan pengobatan. Alhamdulillah di sana juga aku tidak sendiri, Zara. Masih banyak orang baik di sana. Ada Nicholle, Azriel, dan--"Sebuah panggilan telepon seketika menginterupsi keduanya. Ter
"Aku tinggal, ya, Al. Tolong laporkan bila ada sesuatu yang mencurigakan. Jaga jarak dengan para polisi penjaga. Jangan sampai mereka tahu kalau diam-diam kita mengawasi Pak Hanung. Aku cuma tak ingin mengambil risiko kejadian sembilan tahun lalu terulang kembali karena kelalaian mereka." Di sebuah koridor sepi dalam rumah sakit ternama itu Amira memberi instruksi pada kepala pengawalnya. Terlihat di sana Al baru tiba bersama Dede yang sudah menyamar mengenakan pakaian OB. Setelah mengetahui bahwa Hanung siuman tadi, kondisinya benar-benar masih lemah. Lelaki paruh baya berusia lima puluh delapan tahun itu juga hanya mampu menangis tanpa suara sembari menatap Amira dan sempat mengucapkan kata maaf dengan terbata. Tujuannya meminta Al dan Dede datang, karena entah kenapa dia tak bisa lagi sepenuhnya percaya pada pihak kepolisian, setelah Lena--ibunya meninggal dalam tahanan bahkan sebelum sidang dan sempat mengajukan pembelaan. Kecuali Zara tentu saja. "Baik, Non. Saya akan berusa
"Ya elah baru aja mau santai-santai sambil berenang, udah dipanggil nugas lagi," gerutu Dede sembari menyapu di sekitar Koridor tempat Hanung dirawat."Nggak usah ngeluh, De. Inget kesepakatan nomber satu dalam kontrak kerja kita," sahut Al yang masih terjaga dengan sapu di genggaman tangannya. "Jam kerja kita bisa cuma 7 jam, 12 jam, bahkan 24 jam dalam sehari sesuai perintah Non Amira, karena situasi genting selalu datang sewaktu-waktu," terang Dede. "Nah, itu hapal, " ejek Al. "Iya, iya. Sorry dah, Bang.""Agak maju dikit coba! Deket pada polisi penjaga itu." Al mendorong bokong Dede dengan ujung sapu. "Cari tahu kira-kira mereka ngobrolin apaan.""Dih, kok Abang kepo." Dede mengernyitkan dahi. Al menghela napas sejenak, sebelum memukul pelan bahu Dede. "Lo paham, nggak, sih tugas kita itu apa?" Suara Al mulai meninggi. "Iya, iya, sorry. Gitu aja ngam--"Ting! "Astagfirullah." Seketika Dede terlonjak saat melihat pintu lift yang baru saja dilewatinya tiba-tiba terbuka. Terl