Suara stilleto yang beradu dengan ubin terdengar nyaring di koridor rumah sakit. Langkah kaki jenjang itu terlihat berayun cepat menuju sebuah ruang ICU. Raut cemas seolah tak bisa disembunyikan perempuan berparas jelita tersebut saat melihat salah satu dari kelima pengawalnya terbaring tak berdaya di atas brankar dengan kondisi kritis.Terlihat pula seorang lelaki dengan wajah penuh lebam yang setia menunggu sang pasien tanpa menghiraukan dirinya sendiri yang juga terluka. "Astagfirullah bisa-bisanya para polisi itu lalai dan meninggalkan tempat penjagaan. Entah bagaimana kalau aku tak memerintahkanmu dan Dede datang, Pak Hanung bisa saja tinggal nama." Napas Amira memburu, mati-matian dia berusaha mempertahankan agar emosinya tidak meledak kini. Al bangkit dari tempatnya, lalu mendorong kursi di samping brankar untuk Amira duduki. "Duduk dulu, Non!" titahnya. Amira menurut dan duduk di samping brankar sembari menatap Dede dengan cemas. "Orangnya persis sekali dengan foto yang Non
"Kalian pulanglah, aku baik-baik saja di sini. Ada perawat dan dokter yang berjaga, Dona juga akan menginap malam ini." Hanung menatap Rama dan Amira bergantian. Lelaki paruh baya itu berangsur pulih setelah kemarin siuman. Meskipun masih lemah terbaring, tapi dia sudah bisa berkomunikasi dengan lancar. "Aku akan pergi setelah Anda makan, Pak." Amira tetap kukuh pada pendiriannya dan tak beranjak sedikit pun dari ruangan itu. Perempuan itu menatap lurus paman sekaligus ayah tirinya yang tak menjawab. Sampai saat ini Amira percaya bahwa Hanung tak benar-benar jahat. Sebuah keadaan sulit telah mendesaknya untuk melakukan hal-hal keji tersebut. Dia yakin pembunuhan itu juga tak sengaja, ada semacam dorongan atau sebuah provokasi yang membuatnya kehilangan kendali. Hal itu bisa dibuktikan dengan trauma lelaki ini terhadap pisau. Bahkan pisau daging untuk memotong steak saja Hanung tak mau menggunakannya lagi. Selalu para pelayan yang membantunya. Tak jarang juga Amira melihat tangan
Di dalam kamar dengan nuansa putih gading itu perempuan dengan balutan gaun pesta A-line yang dihiasi brokat yang menawan, menatap suasana malam dari balkon kamar. Cahaya bulan ditemani gemerlap bintang membuat pekatnya sang malam tak terasa mencekam.Kedua jemari lentik berhias cincin berlian yang melingkar di salah satu tangannya terlihat menggenggam sebuah gantungan boneka usang. Pikirannya jauh berkelana menyusuri masa silam. Saat gantungan tersebut Hanung berikan setelah menjemputnya dari upacara kenaikan kelas tujuh, sekitar tiga belas tahun lalu. Bibir tipis yang dilapisi lipcream berwarna pink soft itu menyunggingkan senyum samar. Kekuatan yang telah dia kumpulkan selama sembilan tahun ini terasa tak ada apa-apanya bila dihadapkan dengan pilihan antara mengedepankan ego atau perasaan. Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dengan kepahaman dan kasih sayang dari sang ibu, membuatnya harus menyerah dengan dendam dan memilih memaafkan meski apa yang dia ucapkan terkadang masi
"Gotcha!" Suara pekikan Ilham di kamar itu seketika mengejutkan Jojo yang baru saja hendak terlelap dengan handuk kecil yang masih melingkar di leher setelah selesai gym dan mandi. Lelaki berkulit putih itu mengguncang tubuh Jojo dengan wajah semringah meskipun lingkaran hitam di bawah matanya terlihat makin kentara. "Dapet, Bang!""Apaan, sih, Ham? Lu masang togel online lagi?""Astagfirullah, bukanlah. Gue pan udah tobat. Ini tentang pelaku yang udah nusuk Bang Dede."Mendengar itu sontak Jojo bangkit dari posisi berbaring memeluk guling. "Serius lu?"Ilham mengangguk mantap. "Yah, dia tinggal di Tangerang. Anaknya satu baru mau masuk SMA, istrinya sakit paru-paru dan harus buru-buru dioperasi.""Ya udah langsung kita kasih tahu Bang Al aja!""Jangan!""Lah?" Jojo mengernyit dahi"Bang Al belum pulih sepenuhnya, kalau dia yang ke sana takutnya tuh penjahat sompret langsung sadar. Bang Jojo sama Bang Yoga aja yang berangkat sono, besok gantian gue tidur, ngantuk beud sumpah," ke
"Lo yakin alamatnya di sini, Jo?"Yoga bertanya sekali lagi setibanya mereka di halaman sebuah rumah bertingkat dua yang berada di kompleks perumahan sederhana. Sekali lagi Jojo menatap saksama alamat yang tertera dalam selembar kertas HVS yang diberikan Ilham dua hari lalu. "Yakin. Semuanya cocok sama alamat yang Ilham kasih.""Tapi, kok rame banget, ya, Jo? Mana ada bendera kuning lagi. Serem." Di balik kemudi Yoga mengernyitkan dahi. "Apa jangan-jangan istrinya meninggal, ya? Kata si Ilham dia kena penyakit paru-paru," terka Jojo. Lelaki kurus itu terlihat mengaruk rambut. Sama-sama bingung. "Daripada penasaran mending turun, gih! Tanyain, biar gue jaga-jaga di sini." Yoga menepuk bahu Jojo. "Oke." Jojo melepas seatbelt, lalu beranjak turun. Hati-hati dia berjalan masuk gerbang, mendekati kerumunan orang yang berkumpul sejajar di luar rumah."Assalamualaikum, Pak."Lelaki berkopiah putih itu menoleh saat Jojo menepuk pelan bahunya. "Wa'alaikumsallam. Ada apa, ya, Mas?""Kal
"Bagaimana keadaan Dede sekarang?" Amira bertanya pada Al setibanya mereka di koridor rumah sakit menuju ruang rawat Hanung. Dari jauh sudah terihat dua orang polisi penjaga yang bisa membawa lelaki paruh baya itu kapan saja setelah pulih. "Alhamdulillah kondisi Dede sudah lebih baik sejak Non Amira mengunjunginya kemarin.""Bagaimana dengan keluarganya?" Sorot mata Amira berubah khawatir. "Mereka tidak ada yang tahu, Non. Karena saat itu kami pamit untuk kerja di pulau seberang."Amira mengusap dada lega. Setidaknya tak ada yang perlu dia khawatirkan tentang masalah dari luar."Syukurlah.""Kalau begitu saya pamit untuk ke ruangan Dede dulu, ya, Non.""Baik, silakan."Amira tiba di depan ruang rawat Hanung, sebelumnya dia sempat berpapasan dengan Dokter Sandi yang baru saja keluar dari ruang rawat pamannya, lalu saling sapa sejenak. Sepeninggal Dokter Sandi giliran Amira yang meminta izin pada kedua polisi penjaga sebelum masuk ke dalam.Setibanya di sana Amira sudah disambut deng
Amira melangkah lebar-lebar menuju sebuah tempat makan tak jauh dari Rumah Sakit Harapan. Terlihat sebuah mobil Lamborghini terparkir mencolok di depan rumah makan sederhana itu dengan inisial plat nomor yang tertera berakhiran 'DAN'Di bangku paling pojok itu Amira melihat lelaki berwajah blasteran yang tersenyum semringah sembari melambaikan tangan ke arahnya. "Mira!""Dokter Dustin!""Berapa kali lagi harus kuingatkan padamu untuk memanggil nama saja tanpa embel-embel di depan?"Amira terkekeh pelan saat mendengar lelaki berambut kecokelatan itu mengkritiknya, karena panggilan yang tak bisa dia tanggalkan. Perempuan itu mendaratkan bokongnya tepat di hadapan lelaki berkulit putih itu. "Oke, Mas Dustin-- ya ampun panggilan itu sama sekali tak cocok dengan wajahmu," kekeh Amira. "Memang kenapa dengan wajahku," goda Dustin yang membuat Amira kembali tertawa.""Wajahmu terlalu internasional untuk panggilan yang tradisional," terang Amira masih dengan sisa tawa yang berusaha dia red
"Jadi di sinilah kamar kalian yang sudah difasilitasi video game, tempat meeting, sama ruang gym dalam satu lantai. WCnya otomatis, ya. Jadi, tinggal pencet aja udah bisa buka sama nutup sendiri. Cocok banget buat tipe-tipe kayak kalian yang kalau udah beol suka lupa nyiram." Perempuan berambut sebahu yang merupakan kepala pelayan Amira yang baru itu mulai menjelaskan pada keempat pemuda yang berbaris sejajar di ruang tengah lantai dua."Anjirlah napa tuh cewe cerewet bisa ada di sini? Jadi, kepala pelayan lagi? Terenggut sudah kebebasan gue kalau begini." Jojo berbisik pada Yoga yang terlihat mengerjapkan mata seolah tak percaya."Jangan tanya gue, Jo. Gue masih takjub ini mimpi atau bukan. MasyaAllah Emak ... Yoga tinggal di istana."Jojo memutar bola mata, lalu beralih pada Ilham. "Ha--" Belum sempat memanggil Ilham, pemuda itu sudah lebih dulu berlari menuju sofa berbulu yang terletak di muka TV, dan merebahkan diri."Asyem si Ilham."Kesempatan terakhirnya jatuh pada Al yang sej
Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d
"Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me
Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas
Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m
"Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai
"Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga
"Jadi, di sini tempatnya?" Zara bertanya pada Al yang memarkirkan mobilnya beberapa meter dari lokasi gudang yang diberi tahu Amira sebelum keberangkatannya.Perempuan itu berpesan bahwa mereka boleh datang bila Amira tak jua kembali setelah larut malam. Entah kenapa sejak awal Amira sudah punya keyakinan meski diberi uang, Rama tak akan pernah membiarkannya pulang dalam kondisi hidup, karena dendam mendalam."Ya." Al menjawab singkat pertanyaan Zara. "Jadi, rencananya gimana, Bang?" tanya Dede yang bersedia mengorbankan dirinya sekali lagi untuk keselamatan orang sebaik Amira. Dia juga bersedia melakukan hal itu untuk membalas perbuatan Rama, setelah tahu bahwa dia adalah dalang di balik kecelakaan Ilham dan Jojo hingga menyebabkan keduanya jatuh koma. "Zara, Dede, dan yang lain alihkan perhatian para penjaga di depan. Hati-hati, mereka membawa senjata laras panjang. Sementara aku dan Dustin akan masuk ke dalam menggunakan pintu belakang." Beberapa orang yang Al maksud adalah para
"Anda yakin, Nona?" Sekali lagi Rafael berusaha meyakinkan Amira. Terlihat Mobil Jeep sudah terparkir di pelataran untuk dikendarai Amira menuju lokasi tujuan dengan dua tas travel besar yang penuh terisi uang berjumlah miliaran rupiah.Tak lama setelah telepon dari Rama ditutupnya, Amira langsung meminta bantuan Rafael untuk mencairkannya. Setelah hampir 1 x 24 jam diproses bank, uang pun sudah siap di tangan meski sebagian hanya berupa cek yang sudah ditanda tangan, karena tak memungkinkan membawa uang triliunan dalam sekali jalan. Senja mulai berpendar, garis jingga yang berbaur dengan awan putih menambah indah suasana sore di langit Jakarta. Dengan jaket parasut yang melapisi pakaian serba gelap di dalamnya, Amira sudah bersiap berangkat ke lokasi di mana Rama menyekap Azriel dan Nicholle. Ketakutan telah ditelan rasa kekhawatiran, hingga yang kentara di wajahnya hanya ambisi untuk segera menyelesaikan semuanya dan menghajar Rama selagi bisa. "Nyawa anak dan sahabatku lebih be
"ARGHHH.... "Brak!Prang!Bruk!Pecahan barang serta teriakan frustrasi terdengar di kamar utama kediaman Adijaya. Sudah tiga jam berlalu sejak Rama hilang dalam pengawasan polisi dan Azriel serta Nicholle tak bisa dihubungi. Semua tampak jelas dan berkaitan kini. Amira benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang mengerikan seperti ini akhirnya terjadi. Zara terlihat maju mundur saat berusaha menenangkan Amira karena melihat barang-barang terlempar tepat di hadapannya. "Kamu sudah memastikan semua pelayan yang berkaitan dengan Rama diberhentikan, kan?" sentak Amira yang membuat Zara sedikit terlonjak dari tempatnya. "Su-sudah, Mir. Aku yakin tak ada satu pun yang tersisa."Amira mengusap wajah sejenak. "Siapa saja yang pergi bersama Azriel dan Nicholle pagi tadi?""Cuma Yoga dan dua pelayan wanita.""Sebentar." Mata Amira tiba-tiba membulat saat dia berhasil mengingat sesuatu. "Ya?""Di mana Yoga saat Jojo dan Ilham kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?""Ng, dia izin pulang,