"Kalian pulanglah, aku baik-baik saja di sini. Ada perawat dan dokter yang berjaga, Dona juga akan menginap malam ini." Hanung menatap Rama dan Amira bergantian. Lelaki paruh baya itu berangsur pulih setelah kemarin siuman. Meskipun masih lemah terbaring, tapi dia sudah bisa berkomunikasi dengan lancar. "Aku akan pergi setelah Anda makan, Pak." Amira tetap kukuh pada pendiriannya dan tak beranjak sedikit pun dari ruangan itu. Perempuan itu menatap lurus paman sekaligus ayah tirinya yang tak menjawab. Sampai saat ini Amira percaya bahwa Hanung tak benar-benar jahat. Sebuah keadaan sulit telah mendesaknya untuk melakukan hal-hal keji tersebut. Dia yakin pembunuhan itu juga tak sengaja, ada semacam dorongan atau sebuah provokasi yang membuatnya kehilangan kendali. Hal itu bisa dibuktikan dengan trauma lelaki ini terhadap pisau. Bahkan pisau daging untuk memotong steak saja Hanung tak mau menggunakannya lagi. Selalu para pelayan yang membantunya. Tak jarang juga Amira melihat tangan
Di dalam kamar dengan nuansa putih gading itu perempuan dengan balutan gaun pesta A-line yang dihiasi brokat yang menawan, menatap suasana malam dari balkon kamar. Cahaya bulan ditemani gemerlap bintang membuat pekatnya sang malam tak terasa mencekam.Kedua jemari lentik berhias cincin berlian yang melingkar di salah satu tangannya terlihat menggenggam sebuah gantungan boneka usang. Pikirannya jauh berkelana menyusuri masa silam. Saat gantungan tersebut Hanung berikan setelah menjemputnya dari upacara kenaikan kelas tujuh, sekitar tiga belas tahun lalu. Bibir tipis yang dilapisi lipcream berwarna pink soft itu menyunggingkan senyum samar. Kekuatan yang telah dia kumpulkan selama sembilan tahun ini terasa tak ada apa-apanya bila dihadapkan dengan pilihan antara mengedepankan ego atau perasaan. Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dengan kepahaman dan kasih sayang dari sang ibu, membuatnya harus menyerah dengan dendam dan memilih memaafkan meski apa yang dia ucapkan terkadang masi
"Gotcha!" Suara pekikan Ilham di kamar itu seketika mengejutkan Jojo yang baru saja hendak terlelap dengan handuk kecil yang masih melingkar di leher setelah selesai gym dan mandi. Lelaki berkulit putih itu mengguncang tubuh Jojo dengan wajah semringah meskipun lingkaran hitam di bawah matanya terlihat makin kentara. "Dapet, Bang!""Apaan, sih, Ham? Lu masang togel online lagi?""Astagfirullah, bukanlah. Gue pan udah tobat. Ini tentang pelaku yang udah nusuk Bang Dede."Mendengar itu sontak Jojo bangkit dari posisi berbaring memeluk guling. "Serius lu?"Ilham mengangguk mantap. "Yah, dia tinggal di Tangerang. Anaknya satu baru mau masuk SMA, istrinya sakit paru-paru dan harus buru-buru dioperasi.""Ya udah langsung kita kasih tahu Bang Al aja!""Jangan!""Lah?" Jojo mengernyit dahi"Bang Al belum pulih sepenuhnya, kalau dia yang ke sana takutnya tuh penjahat sompret langsung sadar. Bang Jojo sama Bang Yoga aja yang berangkat sono, besok gantian gue tidur, ngantuk beud sumpah," ke
"Lo yakin alamatnya di sini, Jo?"Yoga bertanya sekali lagi setibanya mereka di halaman sebuah rumah bertingkat dua yang berada di kompleks perumahan sederhana. Sekali lagi Jojo menatap saksama alamat yang tertera dalam selembar kertas HVS yang diberikan Ilham dua hari lalu. "Yakin. Semuanya cocok sama alamat yang Ilham kasih.""Tapi, kok rame banget, ya, Jo? Mana ada bendera kuning lagi. Serem." Di balik kemudi Yoga mengernyitkan dahi. "Apa jangan-jangan istrinya meninggal, ya? Kata si Ilham dia kena penyakit paru-paru," terka Jojo. Lelaki kurus itu terlihat mengaruk rambut. Sama-sama bingung. "Daripada penasaran mending turun, gih! Tanyain, biar gue jaga-jaga di sini." Yoga menepuk bahu Jojo. "Oke." Jojo melepas seatbelt, lalu beranjak turun. Hati-hati dia berjalan masuk gerbang, mendekati kerumunan orang yang berkumpul sejajar di luar rumah."Assalamualaikum, Pak."Lelaki berkopiah putih itu menoleh saat Jojo menepuk pelan bahunya. "Wa'alaikumsallam. Ada apa, ya, Mas?""Kal
"Bagaimana keadaan Dede sekarang?" Amira bertanya pada Al setibanya mereka di koridor rumah sakit menuju ruang rawat Hanung. Dari jauh sudah terihat dua orang polisi penjaga yang bisa membawa lelaki paruh baya itu kapan saja setelah pulih. "Alhamdulillah kondisi Dede sudah lebih baik sejak Non Amira mengunjunginya kemarin.""Bagaimana dengan keluarganya?" Sorot mata Amira berubah khawatir. "Mereka tidak ada yang tahu, Non. Karena saat itu kami pamit untuk kerja di pulau seberang."Amira mengusap dada lega. Setidaknya tak ada yang perlu dia khawatirkan tentang masalah dari luar."Syukurlah.""Kalau begitu saya pamit untuk ke ruangan Dede dulu, ya, Non.""Baik, silakan."Amira tiba di depan ruang rawat Hanung, sebelumnya dia sempat berpapasan dengan Dokter Sandi yang baru saja keluar dari ruang rawat pamannya, lalu saling sapa sejenak. Sepeninggal Dokter Sandi giliran Amira yang meminta izin pada kedua polisi penjaga sebelum masuk ke dalam.Setibanya di sana Amira sudah disambut deng
Amira melangkah lebar-lebar menuju sebuah tempat makan tak jauh dari Rumah Sakit Harapan. Terlihat sebuah mobil Lamborghini terparkir mencolok di depan rumah makan sederhana itu dengan inisial plat nomor yang tertera berakhiran 'DAN'Di bangku paling pojok itu Amira melihat lelaki berwajah blasteran yang tersenyum semringah sembari melambaikan tangan ke arahnya. "Mira!""Dokter Dustin!""Berapa kali lagi harus kuingatkan padamu untuk memanggil nama saja tanpa embel-embel di depan?"Amira terkekeh pelan saat mendengar lelaki berambut kecokelatan itu mengkritiknya, karena panggilan yang tak bisa dia tanggalkan. Perempuan itu mendaratkan bokongnya tepat di hadapan lelaki berkulit putih itu. "Oke, Mas Dustin-- ya ampun panggilan itu sama sekali tak cocok dengan wajahmu," kekeh Amira. "Memang kenapa dengan wajahku," goda Dustin yang membuat Amira kembali tertawa.""Wajahmu terlalu internasional untuk panggilan yang tradisional," terang Amira masih dengan sisa tawa yang berusaha dia red
"Jadi di sinilah kamar kalian yang sudah difasilitasi video game, tempat meeting, sama ruang gym dalam satu lantai. WCnya otomatis, ya. Jadi, tinggal pencet aja udah bisa buka sama nutup sendiri. Cocok banget buat tipe-tipe kayak kalian yang kalau udah beol suka lupa nyiram." Perempuan berambut sebahu yang merupakan kepala pelayan Amira yang baru itu mulai menjelaskan pada keempat pemuda yang berbaris sejajar di ruang tengah lantai dua."Anjirlah napa tuh cewe cerewet bisa ada di sini? Jadi, kepala pelayan lagi? Terenggut sudah kebebasan gue kalau begini." Jojo berbisik pada Yoga yang terlihat mengerjapkan mata seolah tak percaya."Jangan tanya gue, Jo. Gue masih takjub ini mimpi atau bukan. MasyaAllah Emak ... Yoga tinggal di istana."Jojo memutar bola mata, lalu beralih pada Ilham. "Ha--" Belum sempat memanggil Ilham, pemuda itu sudah lebih dulu berlari menuju sofa berbulu yang terletak di muka TV, dan merebahkan diri."Asyem si Ilham."Kesempatan terakhirnya jatuh pada Al yang sej
12 Januari ~ Setengah jam sebelum tragedi meninggalnya Hendra. Pemuda berusia sembilan belas tahun itu baru saja turun dari tangga saat ia melihat Hendra mengekori ibu tirinya menuju gudang belakang. Mata tajam itu awas memerhatikan keduanya sampai masuk ke dalam bangunan yang hanya berisi barang-barang yang sudah terbengkalai. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan, tapi sorot dingin itu menyiratkan sesuatu yang kelak bisa berakibat fatal untuk orang di sekitar. Bersamaan dengan itu dia melihat Hanung berjalan bersama beberapa bodyguard-nya masuk ke dalam rumah. Wajah lelaki berkulit legam itu tampak lelah. Mungkin karena akhir-akhir ini dia disibukan dengan urusan kantor juga tekanan Pak Harun, sebab kinerjanya tak sebaik sang adik--Hendra. "Pa!" Seketika langkah Hanung yang baru saja hendak menaiki tangga menuju lantai dua, berhenti di undakan ketiga."Ya, Rama.""Bisa kita bicara sebentar?" tanya Rama hati-hati. Hanung terdiam sesaat, lalu mengangguk. Mereka pun berjalan