Di sebuah gazebo villa dengan desain paviliun yang terletak di tengah- tengah taman berumput hijau itu, lima orang pemuda dengan dua wanita terlihat tengah asik bercengkerama. Membahas banyak hal yang sudah mereka lalui selama hampir dua bulan bekerja sama, sembari menikmati pizza dan secangkir kopi panas. Tenaga dan waktu yang terkuras selama lebih dari tujuh pekan itu tak terasa saat kekeluargaan bertambah erat di antara semuanya. Terbukti dengan gelak tawa dan canda yang tercipta menambah hangat suasana di sana. "Non Mimi!" Panggilan lelaki bertubuh tinggi kurus itu mengalihkan perhatian Amira dari ponsel di genggaman tangannya yang tengah menunjukkan sebuah pesan chat dari seseorang yang jauh di sana. "Ya, Jo?" Amira meletakkan ponsel tersebut di pahanya. "Mau cerita." Jojo terlihat ragu-ragu untuk kembali memulai percakapan."Cerita apa?" Pertanyaan itu entah kenapa membuat Jojo semakin gugup, hingga berakhir dengan menggeser tubuhnya mendekati Yoga. "Brai, lu duluan!" ujarn
"Terbuat dari apa dirimu ini, Mira?" ujar Zara sembari memeluk sahabatnya, sepeninggal Al CS. "Selain bermental baja kau juga berhati beton.""Haha ...." Amira tertawa mendengar perumpamaan Zara. "Bodoh memang, bagaimana bisa selama ini aku berpikir kau baik-baik saja." Zara membenamkan wajahnya di ceruk leher Amira yang tertutup kerudung instan berwarna toska. "Hei, kenapa tiba-tiba kau jadi seemosional ini?" Amira menarik diri dan menangkup wajah Zara. "Entahlah, aku hanya kembali mengingat obrolan kita dalam perjalanan tadi. Arrghh ... bagaimana bisa kau menutupi semua ini dariku?Bahkan selama kau di luar negeri kita sering mengobrol melalui telepon dan video call, bisa-bisanya aku menyadari bahwa kau sempat depresi." Zara mulai terisak. "Sudahlah. Sekarang aku baik-baik saja berkat waktu dan pengobatan. Alhamdulillah di sana juga aku tidak sendiri, Zara. Masih banyak orang baik di sana. Ada Nicholle, Azriel, dan--"Sebuah panggilan telepon seketika menginterupsi keduanya. Ter
"Aku tinggal, ya, Al. Tolong laporkan bila ada sesuatu yang mencurigakan. Jaga jarak dengan para polisi penjaga. Jangan sampai mereka tahu kalau diam-diam kita mengawasi Pak Hanung. Aku cuma tak ingin mengambil risiko kejadian sembilan tahun lalu terulang kembali karena kelalaian mereka." Di sebuah koridor sepi dalam rumah sakit ternama itu Amira memberi instruksi pada kepala pengawalnya. Terlihat di sana Al baru tiba bersama Dede yang sudah menyamar mengenakan pakaian OB. Setelah mengetahui bahwa Hanung siuman tadi, kondisinya benar-benar masih lemah. Lelaki paruh baya berusia lima puluh delapan tahun itu juga hanya mampu menangis tanpa suara sembari menatap Amira dan sempat mengucapkan kata maaf dengan terbata. Tujuannya meminta Al dan Dede datang, karena entah kenapa dia tak bisa lagi sepenuhnya percaya pada pihak kepolisian, setelah Lena--ibunya meninggal dalam tahanan bahkan sebelum sidang dan sempat mengajukan pembelaan. Kecuali Zara tentu saja. "Baik, Non. Saya akan berusa
"Ya elah baru aja mau santai-santai sambil berenang, udah dipanggil nugas lagi," gerutu Dede sembari menyapu di sekitar Koridor tempat Hanung dirawat."Nggak usah ngeluh, De. Inget kesepakatan nomber satu dalam kontrak kerja kita," sahut Al yang masih terjaga dengan sapu di genggaman tangannya. "Jam kerja kita bisa cuma 7 jam, 12 jam, bahkan 24 jam dalam sehari sesuai perintah Non Amira, karena situasi genting selalu datang sewaktu-waktu," terang Dede. "Nah, itu hapal, " ejek Al. "Iya, iya. Sorry dah, Bang.""Agak maju dikit coba! Deket pada polisi penjaga itu." Al mendorong bokong Dede dengan ujung sapu. "Cari tahu kira-kira mereka ngobrolin apaan.""Dih, kok Abang kepo." Dede mengernyitkan dahi. Al menghela napas sejenak, sebelum memukul pelan bahu Dede. "Lo paham, nggak, sih tugas kita itu apa?" Suara Al mulai meninggi. "Iya, iya, sorry. Gitu aja ngam--"Ting! "Astagfirullah." Seketika Dede terlonjak saat melihat pintu lift yang baru saja dilewatinya tiba-tiba terbuka. Terl
Suara stilleto yang beradu dengan ubin terdengar nyaring di koridor rumah sakit. Langkah kaki jenjang itu terlihat berayun cepat menuju sebuah ruang ICU. Raut cemas seolah tak bisa disembunyikan perempuan berparas jelita tersebut saat melihat salah satu dari kelima pengawalnya terbaring tak berdaya di atas brankar dengan kondisi kritis.Terlihat pula seorang lelaki dengan wajah penuh lebam yang setia menunggu sang pasien tanpa menghiraukan dirinya sendiri yang juga terluka. "Astagfirullah bisa-bisanya para polisi itu lalai dan meninggalkan tempat penjagaan. Entah bagaimana kalau aku tak memerintahkanmu dan Dede datang, Pak Hanung bisa saja tinggal nama." Napas Amira memburu, mati-matian dia berusaha mempertahankan agar emosinya tidak meledak kini. Al bangkit dari tempatnya, lalu mendorong kursi di samping brankar untuk Amira duduki. "Duduk dulu, Non!" titahnya. Amira menurut dan duduk di samping brankar sembari menatap Dede dengan cemas. "Orangnya persis sekali dengan foto yang Non
"Kalian pulanglah, aku baik-baik saja di sini. Ada perawat dan dokter yang berjaga, Dona juga akan menginap malam ini." Hanung menatap Rama dan Amira bergantian. Lelaki paruh baya itu berangsur pulih setelah kemarin siuman. Meskipun masih lemah terbaring, tapi dia sudah bisa berkomunikasi dengan lancar. "Aku akan pergi setelah Anda makan, Pak." Amira tetap kukuh pada pendiriannya dan tak beranjak sedikit pun dari ruangan itu. Perempuan itu menatap lurus paman sekaligus ayah tirinya yang tak menjawab. Sampai saat ini Amira percaya bahwa Hanung tak benar-benar jahat. Sebuah keadaan sulit telah mendesaknya untuk melakukan hal-hal keji tersebut. Dia yakin pembunuhan itu juga tak sengaja, ada semacam dorongan atau sebuah provokasi yang membuatnya kehilangan kendali. Hal itu bisa dibuktikan dengan trauma lelaki ini terhadap pisau. Bahkan pisau daging untuk memotong steak saja Hanung tak mau menggunakannya lagi. Selalu para pelayan yang membantunya. Tak jarang juga Amira melihat tangan
Di dalam kamar dengan nuansa putih gading itu perempuan dengan balutan gaun pesta A-line yang dihiasi brokat yang menawan, menatap suasana malam dari balkon kamar. Cahaya bulan ditemani gemerlap bintang membuat pekatnya sang malam tak terasa mencekam.Kedua jemari lentik berhias cincin berlian yang melingkar di salah satu tangannya terlihat menggenggam sebuah gantungan boneka usang. Pikirannya jauh berkelana menyusuri masa silam. Saat gantungan tersebut Hanung berikan setelah menjemputnya dari upacara kenaikan kelas tujuh, sekitar tiga belas tahun lalu. Bibir tipis yang dilapisi lipcream berwarna pink soft itu menyunggingkan senyum samar. Kekuatan yang telah dia kumpulkan selama sembilan tahun ini terasa tak ada apa-apanya bila dihadapkan dengan pilihan antara mengedepankan ego atau perasaan. Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dengan kepahaman dan kasih sayang dari sang ibu, membuatnya harus menyerah dengan dendam dan memilih memaafkan meski apa yang dia ucapkan terkadang masi
"Gotcha!" Suara pekikan Ilham di kamar itu seketika mengejutkan Jojo yang baru saja hendak terlelap dengan handuk kecil yang masih melingkar di leher setelah selesai gym dan mandi. Lelaki berkulit putih itu mengguncang tubuh Jojo dengan wajah semringah meskipun lingkaran hitam di bawah matanya terlihat makin kentara. "Dapet, Bang!""Apaan, sih, Ham? Lu masang togel online lagi?""Astagfirullah, bukanlah. Gue pan udah tobat. Ini tentang pelaku yang udah nusuk Bang Dede."Mendengar itu sontak Jojo bangkit dari posisi berbaring memeluk guling. "Serius lu?"Ilham mengangguk mantap. "Yah, dia tinggal di Tangerang. Anaknya satu baru mau masuk SMA, istrinya sakit paru-paru dan harus buru-buru dioperasi.""Ya udah langsung kita kasih tahu Bang Al aja!""Jangan!""Lah?" Jojo mengernyit dahi"Bang Al belum pulih sepenuhnya, kalau dia yang ke sana takutnya tuh penjahat sompret langsung sadar. Bang Jojo sama Bang Yoga aja yang berangkat sono, besok gantian gue tidur, ngantuk beud sumpah," ke
Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d
"Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me
Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas
Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m
"Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai
"Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga
"Jadi, di sini tempatnya?" Zara bertanya pada Al yang memarkirkan mobilnya beberapa meter dari lokasi gudang yang diberi tahu Amira sebelum keberangkatannya.Perempuan itu berpesan bahwa mereka boleh datang bila Amira tak jua kembali setelah larut malam. Entah kenapa sejak awal Amira sudah punya keyakinan meski diberi uang, Rama tak akan pernah membiarkannya pulang dalam kondisi hidup, karena dendam mendalam."Ya." Al menjawab singkat pertanyaan Zara. "Jadi, rencananya gimana, Bang?" tanya Dede yang bersedia mengorbankan dirinya sekali lagi untuk keselamatan orang sebaik Amira. Dia juga bersedia melakukan hal itu untuk membalas perbuatan Rama, setelah tahu bahwa dia adalah dalang di balik kecelakaan Ilham dan Jojo hingga menyebabkan keduanya jatuh koma. "Zara, Dede, dan yang lain alihkan perhatian para penjaga di depan. Hati-hati, mereka membawa senjata laras panjang. Sementara aku dan Dustin akan masuk ke dalam menggunakan pintu belakang." Beberapa orang yang Al maksud adalah para
"Anda yakin, Nona?" Sekali lagi Rafael berusaha meyakinkan Amira. Terlihat Mobil Jeep sudah terparkir di pelataran untuk dikendarai Amira menuju lokasi tujuan dengan dua tas travel besar yang penuh terisi uang berjumlah miliaran rupiah.Tak lama setelah telepon dari Rama ditutupnya, Amira langsung meminta bantuan Rafael untuk mencairkannya. Setelah hampir 1 x 24 jam diproses bank, uang pun sudah siap di tangan meski sebagian hanya berupa cek yang sudah ditanda tangan, karena tak memungkinkan membawa uang triliunan dalam sekali jalan. Senja mulai berpendar, garis jingga yang berbaur dengan awan putih menambah indah suasana sore di langit Jakarta. Dengan jaket parasut yang melapisi pakaian serba gelap di dalamnya, Amira sudah bersiap berangkat ke lokasi di mana Rama menyekap Azriel dan Nicholle. Ketakutan telah ditelan rasa kekhawatiran, hingga yang kentara di wajahnya hanya ambisi untuk segera menyelesaikan semuanya dan menghajar Rama selagi bisa. "Nyawa anak dan sahabatku lebih be
"ARGHHH.... "Brak!Prang!Bruk!Pecahan barang serta teriakan frustrasi terdengar di kamar utama kediaman Adijaya. Sudah tiga jam berlalu sejak Rama hilang dalam pengawasan polisi dan Azriel serta Nicholle tak bisa dihubungi. Semua tampak jelas dan berkaitan kini. Amira benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang mengerikan seperti ini akhirnya terjadi. Zara terlihat maju mundur saat berusaha menenangkan Amira karena melihat barang-barang terlempar tepat di hadapannya. "Kamu sudah memastikan semua pelayan yang berkaitan dengan Rama diberhentikan, kan?" sentak Amira yang membuat Zara sedikit terlonjak dari tempatnya. "Su-sudah, Mir. Aku yakin tak ada satu pun yang tersisa."Amira mengusap wajah sejenak. "Siapa saja yang pergi bersama Azriel dan Nicholle pagi tadi?""Cuma Yoga dan dua pelayan wanita.""Sebentar." Mata Amira tiba-tiba membulat saat dia berhasil mengingat sesuatu. "Ya?""Di mana Yoga saat Jojo dan Ilham kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?""Ng, dia izin pulang,