Share

Benih Siapa?

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2022-06-22 17:06:38

"Jangan menyentuhku!" Amira mengulurkan tangan di hadapan Rama yang hendak memeriksa keadaannya dan Azriel. "Kau pikir dengan membantu kami, sudah cukup untuk menebus semua perlakuan bejatmu di masa lalu, hah?" Dada ibu satu anak itu terlihat naik turun menahan ledakan emosi juga rasa frustrasi akibat kisah masa lalunya yang begitu kelam.

"Minggir! Jangan pernah tampakkan wajah menjijikkan itu di hadapanku." Finalnya Amira mendorongnya dada Rama hingga terlonjak keluar. Kemudian menutup pintu, lalu tancap gas.

Meninggalkan Rama yang berdiri mematung di tempat dengan tatapan yang sulit digambarkan.

"M-Mom ...." Azriel menarik pelan ujung hoodie yang Amira kenakan saat melihat kecepatan mobil yang ditumpanginya sudah mencapai lebih dari 100 KM/Jam membelah jalan Tol Cipularang.

"Tutup saja kupingmu dan pejamkan mata, Azriel. Hanya begini caranya supaya kita cepat sampai." Dengan mata yang sudah memerah Amira mengatakannya.

Bocah itu pun menurut dan memasang headphone-nya, lalu memejamkan mata.

Memang tak seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang biasa aktif dan susah diatur. Di usia yang belum genap sembilan tahun ini Azriel masih takut pada ibunya. Didikan keras yang sudah Amira terapkan pada putranya sejak dini, menjadikan bocah itu penurut dan tak suka membantah.

Bukan tanpa alasan Amira menerapkan pola asuh yang demikian. Selain terlahir di lingkungan yang keras, sebagai benih yang sebelumnya tak diharapkan. Amira tentu tak menginginkan Azriel tumbuh sebagai anak pembangkang. Mengingat perjuangannya untuk melahirkan bocah ini di tengah terpaan cobaan yang seolah tiada henti ia dapatkan.

Bahkan bukan sekali Amira hendak mengakhiri hidup, kala menatap perutnya yang terus membesar bersama dengan ingatan tentang kejadian pemerkosaan yang terbayang samar di kepalanya.

Namun, sekali lagi. Keinginannya untuk memberi pelajaran pada para manusia jahat itu lebih kuat, daripada keputusasaannya.

Sembari menatap lurus jalanan di depan, pikirannya jauh menerawang kejadian sembilan tahun silam. Di mana detik-detik kehancuran masa depannya jatuh di tangan para lelaki jahanam.

"Azriel bukan anak Mas Rama, Paman Heru, atau lelaki misterius itu. A-Aku bahkan tak tahu dia anak siapa," lirih Amira sembari menggigit bibirnya kuat, hingga cairan merah segar terlihat mengalir dari sudutnya. Bersamaan dengan itu air mata yang sejak tadi sudah menggenang di pelupuk matanya lolos keluar hanya dengan satu kali kedipan mata ringan.

***

Sembilan Tahun Lalu.

Byur.

"Kau pikir siapa dirimu, hah? Seenaknya saja keluar masuk rumah ini. Sudah bosan hidup? Atau mau menyusul ibumu yang baru saja pergi ke neraka!" teriak Dona bak kesetanan di hadapan tubuh Amira yang sudah bersimpuh di depan teras dengan tubuh yang basah kuyup, karena siraman air bekas rendaman lap pel.

Gadis berusia enam belas tahun itu hanya terbungkam. Menjelaskannya pun percuma, karena Dona tak akan percaya apa pun alasan Amira pulang telat hari ini.

Sembari mengusap wajahnya yang basah, Amira mendongak menatap Dona.

"Sudah selesai Bu Dona? Kalau sudah biarkan saya masuk. Saya lelah," ucapnya dengan ekspresi wajah yang dibuat setenang mungkin. Meskipun dalam hati ia ingin sekali menjerit.

Dona melotot, dia sudah bersiap melayangkan tangan untuk menampar Amira. "Kau ...."

"Ma ... banyak pelayan di sini, mereka bisa saja mengadu pada kakek." Rama tiba-tiba muncul dari dalam dan menghentikan tangan Dona hingga hanya menggantung di udara.

"Ck." Dona berdecak, lalu menepis tangan putranya dan berlalu ke dalam.

Sepeninggal mamanya, Rama menatap Amira yang beranjak bangkit dengan datar. Refleks ia melepas kemeja yang dikenakan dan melingkarkannya di tubuh Amira yang basah kuyup.

"Terima kasih, Mas," ujar Amira tulus. Senyum kecil gadis itu tersungging lembut.

" .... "

Tak ada kata yang terucap dari bibir yang hanya membentuk satu garis horizontal tersebut. Rama menanggapinya hanya dengan anggukan ringan.

Mereka berhenti di ambang pintu kamar Amira. Gadis itu menunduk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ini adalah kali ketiga lelaki pendiam itu melepaskannya dari jeratan Dona. Saat itu juga Rama yang menolongnya ketika dengan kejam Dona membenamkan wajahnya di lubang kloset.

"Permis--"

"Sebentar, Amira!" Rama menahan pintu kamar tinggi menjulang itu, sebelum sempat Amira menutupnya. Sejenak ia menatap gadis itu dari ujung kepala sampai kaki.

"Ya, Mas?"

"Mau pergi jalan-jalan keluar?" tawarnya sungkan.

Amira terdiam sesaat, lalu menggeleng.

"Maaf, Mas. Aku mau di kamar saja," tolak gadis itu halus.

Rama termangu.

"Oh, oke. Aku menawarkan karena mungkin saja nanti kau kesulitan. Kebetulan dua hari ini kakek dalam perjalanan bisnis keluar kota, jadi bisa dipastikan beliau tak akan pulang." Rama pun berbalik setelah mengatakannya.

"Eh, Mas!" Seketika lelaki itu menghentikan langkah, tatapannya tak terbaca kala kembali menghadap Amira. "Aku ikut."

"Baiklah. Ganti pakaianmu. Aku tunggu lewat jalan belakang."

***

"Kenapa kita ke sini, Mas?" Amira yang heran karena dibawa ke sebuah hotel, langsung bertanya pada Rama.

"Lebih baik di sini daripada di rumah, bukan?" ujarnya misterius.

Kedua jemari Amira hanya bisa bertautan, saat Rama menuntunnya menuju lift menuju kamar yang sudah dipesan. Matanya mulai berkejaran gelisah memindai sekeliling lorong hotel sesampainya mereka di kamar dengan nomor 313.

"Mas, aku pulang saja, ya."

"Tenang, Amira. Kita tidur terpisah, kau tak perlu takut." Rama menahan pergelangan tangan Amira yang hendak beranjak.

Akhirnya Amira menyerah, dan melangkah masuk mengekori Rama.

Ia tatap sekeliling kamar hotel yang cukup luas ini, lalu menghela napas lega saat menyadari tak ada yang mencurigakan di sini.

"Istirahatlah! Aku ada di kamar sebelah," ucapnya sebelum berlalu dan menutup pintu.

Sepeninggal Rama, gadis itu masih terlihat gelisah di tempatnya. Ia mulai berjalan menuju pembaringan dan merebahkan diri di atas kasur empuk tersebut.

Sejenak tatapannya lurus menghadap langit-langit. "Bu, Mira kangen," lirihnya sembari mengusap sudut mata yang berair.

Setelah itu Amira kembali bangkit untuk mengunci pintu. Namun, sebelum sempat tangannya berhasil mencapai handle--seseorang dari luar sudah mendahului. Refleks Amira mundur selangkah.

"Ha--"

"Biar aku duluan!"

"Lalu, bagaimana dengan perjanjian kita di awal, Rama."

"Tutup mulutmu!"

Blam.

Amira mematung di tempatnya. Dia tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

Siapa lelaki di belakang Rama yang wajahnya bahkan belum sempat Amira lihat?

Pintu terbanting keras di belakang Rama. Slot kunci pun terdengar setelahnya.

"Ma--hmmpp."

Semua begitu cepat saat Rama berlari menerjang tubuh Amira. Mulut kecil itu ia bekap kuat. Beberapa kali pun berontak, kekuatan Amira tak cukup besar untuk menandingin tubuh tinggi kekar Rama.

Sebelum kejadian paling mengerikan dalam hidupnya itu terjadi. Amira sempat menatap Rama dengan pandangan memohon sebelum lelaki itu menutup mata, dan mengikat kedua tangannya menggunakan kain yang semula membungkus kepala Amira.

"Maaf, Amira."

***

Tubuh Amira tergeletak tak berdaya di atas ranjang yang sudah berantakan. Tak ada lagi tenaga yang tersisa bahkan untuk sekadar bangkit dan mencari pertolongan.

Kedua tangannya terikat, pandangannya gelap karena ditutup sepanjang pelecehan yang Rama lakukan. Air mata perempuan itu masih mengalir deras membasahi kain yang menutup matanya dengan suara tangis parau yang nyaris tak terdengar.

Seolah belum cukup sampai di situ, dia mendengar percakapan Rama dengan lelaki tadi yang ia duga temannya.

"S*alan, masa gue dapet bekasan, Ram?"

"Kalau lo nggak mau juga nggak nggak apa-apa. Orang gue juga bukan yang pertama."

"Maksudnya?"

"Sudahlah. Jangan buka penutup matanya, biar dia nggak liat muka lo. Gue mau urus staf hotel dulu."

"Oh, oke."

Pintu tertutup. Lelaki itu mendekati Amira, dan mengelus kulit wajah halusnya.

Bagai luka bernanah yang sengaja disiram air garam. Hari itu Amira harus menerima kenyataan bahwa masa depannya telah hancur di tangan tiga orang lelaki berbeda sekaligus. Setelah sebelumnya Heru--sang paman lebih dulu merenggut kehormatannya di dalam mobil sepulang sekolah.

.

.

.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pada pintu kayu rumah sederhana itu terdengar. Terletak di daerah pedesaan yang masih asri dengan perkebunan teh yang membentang berhektar-hektar, Amira dan Azriel tiba di kediaman sang nenek di daerah Pangalengan-Bandung, saat hari menjelang malam.

Ceklek.

Pintu terbuka. Wajah tua yang terlihat teduh dengan mata yang sudah tak awas, mengenakan kain jarit terlihat di baliknya.

"Mau cari siapa, ya, Ne--"

"Nenek buyut!" Azriel langsung berhambur dalam pelukan wanita tua yang masih terlihat kebingungan.

Amira tersenyum, diusapnya bahu nenek bernama lengkap Imas Marsinah itu sebelum mencium pipi kanan dan kirinya.

"Ini Amira, Nin. Amira Hasna. Cucu Enin!"

Kerutan di dahi Nek Imas semakin bertambah, begitu keras wanita tua berumur hampir tujuh puluh tahun itu mengingat-ingat.

Beberapa saat kemudian, mata sayunya melebar. Dengan senyum semringah ia mengguncang tubuh Amira.

"MasyaAllah, Neng Geulis. Ke mana aja kamu teh?"

***

"Maaf, Bos. Kami kehilangan jejak Nona Amira."

"T*lol."

Suara sambungan telepon dari seberang sana, sontak membuat Rendy meradang. Andini yang baru saja hendak melangkahkan kaki ke kamar, urung dan kembali berlari kecil keluar, lalu mengintip di balik dinding.

"Bagaimana bisa hanya mengikuti satu kelinci liar saja kalian tak becus!"

"Ng, sebenarnya di tengah perjalanan kami dihadang seseorang, Bos."

"Seseorang?"

"Ya, adik Anda dan beberapa bodyguardnya."

Seketika rahang Rendy mengetat.

"Rama ... sebenarnya apa yang kau inginkan, K*parat!"

Andini yang mendengar percakapan itu langsung tertegun, saat mendengar nama adik iparnya disebut.

Bergegas ia mengeluarkan ponsel dari satu dress pas badannya, lalu mengirim pesan pada seseorang.

***

Di sebuah kamar berukuran 6 x 6 itu Amira berada. Duduk di sebuah kursi rotan sembari menatap Azriel yang terlelap nyenyak meski hanya beralaskan dipan dengan kasur tipis.

Tak pernah ia merasa setenang dan sedamai ini sebelummya selama hampir dua pekan menginjakkan kaki di Indonesia.

"Maafkan mommy, Nak. Kalau bukan karena keadilan yang harus ditegakkan. Kalau bukan karena rasa sakit yang kembali menguap. Saat ini mungkin kita masih bisa hidup tenang di New York. Hanya bertiga bersama Nicholle. Maaf, karena mommy tak bisa diam saja membiarkan kebathilan menang di atas kebenaran." Amira tertunduk. Kepalanya mendongak tinggi menahan genangan air yang sudah bersiap ditumpahkan.

Bergegas Amira beranjak dari kursi rotan itu, lalu berjalan menuju jendela yang terbuka. Ditatapnya hamparan daun teh yang terlihat samar-sama di balik cahaya temaram. Kemudian meraih ponsel dari balik kantong celana jins yang dikenakan, dan mulai menghubungi seseorang.

"Halo, Mrs." Suara lembut itu terdengar dari seberang sana.

"Halo, Nicholle. Bisakah kau terbang ke Indonesia untuk menemani Azriel sampai aku menyelesaikan urusan di sini."

" ...."

"Oke, aku akan mengatur penerbanganmu besok. Thank you."

Tring.

Tak lama setelah sambungan telepon terputus Amira kembali mendapatkan email dari pengirim misterius. Kali ini berupa file gambar yang berjumlah lebih dari tujuh buah dengan berbagai situasi berbeda.

Dahinya mengernyit saat melihat foto-foto menjijikkan yang menunjukkan adegan perselingkuhan ibu tirinya--Dona dengan banyak pria muda yang salah satunya adalah adik iparnya sendiri--Heru.

"Jadi yang sebenarnya p*lacur itu siapa di sini?" Amira tersenyum miring. "Baiklah. Sudah selesai pemanasannya. Sekarang saatnya bersungguh-sungguh. Siapa pun kamu yang bergerak di balik layar ... sepenuh hati aku ucapkan terima kasih."

.

.

.

Bersambung.

Enin : Sebutan Nenek dalam bahasa Sunda khususnya Bandung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku ucapkan terimakasih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Mencari Pengawal

    "Hati-hati di jalan, ya, Neng. Lain kali kenalkan suamimu sama Enin."Pesan dari Nek Imas, sontak membuat Amira tersentak untuk beberapa saat. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk meski tak yakin. Satu kali kebohongan telah ia lontarkan pada sang nenek, tak lama mungkin akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang lain.Hal itu ia lakukan agar Azriel tak menjadi gunjingan warga di sini. Biarlah Nek Imas tahu kalau dirinya sudah menikah, dan suami Amira sibuk di luar negeri. Daripada ia harus menambah beban di tubuh renta tersebut dengan memberi tahu yang sebenarnya. Terlepas dari berbagai alasan di atas, Amira juga tak mau dipandang sebagai wanita menyedihkan seperti yang selalu dikatakan Dona. "InsyaAllah, Nin." Senyum Amira terkulum lembut, diusapnya jemari ringkih yang sejak tadi menggenggam erat tangannya. Kemudian beralih pada Azriel yang berada dalam pelukan Nicholle.Sekitar dua hari lalu perempuan paruh baya berambut blonde ini tiba ke Indonesia. Amira lan

    Last Updated : 2022-06-22
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Kembalinya Putri yang Hilang

    Mobil yang dikendari Amira dan Zara berhenti di depan sebuah gedung olahraga yang ada di daerah Bekasi Selatan. Tepatnya depan gerobak penjual pecel dan ketoprak yang ramai dikerubungi warga yang didominasi anak muda. "Kamu yakin, Zar?" Amira bertanya dengan kernyitan di dahinya. Zara mengangguk mantap. "Kamu liat aja sendiri nanti." Gadis bertubuh tinggi di atas rata-rata itu menarik tangan Amira menerobos antrian. "Permisi, air panas, air panas!" "Dih, mentang-mentang pake seragam seenak dengkul nyerobot antrian," celetuk salah seorang pembeli yang tak terima karena Zara menyerobot tempatnya, sementara Amira yang mengekor di belakang dengan sungkan hanya bisa meminta maaf tanpa suara. "Duduk sini, Mir!" Zara menunjuk salah satu bangku untuk Amira duduki. Sementara dia maju ke depan dan menggulung lengan seragamnya. Dia beralih menepuk bahu lebar lelaki yang baru sempat Amira lihat dari belakang. Tubuhnya memang tinggi tegap dengan potongan rambut yang rapi. Seperti yang sudah Z

    Last Updated : 2022-06-22
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Masuk Perusahaan

    Besoknya. Seperti biasa meja makan dalam kediaman Adijaya itu diisi lima orang keluarga inti. Pagi ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan tenang, hingga hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar beradu dengan piring. "Wah ... ini adalah sarapan ternikmat semenjak dua pekan kepergian anak sial itu. Walaupun sempat kesal karena dia membawa pergi semua makanan catering pesananku. Tapi, tak apa. Sepertinya semua itu untuk bekal mereka berkemah di hutan selama dua pekan." Dona memulai percakapan dengan komentarnya tentang kepergian Amira dan Azriel selama dua pekan tanpa pamit. "Jangan terlalu percaya diri, Dona. Kau lihat saja nanti. Besok atau lusa Amira akan kembali," timpal Heru setelah meneguk air putih di gelas."Kenapa kau begitu yakin, Heru?""Entahlah, hanya feeling.""Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Tak boleh telat untuk menjemput kekuasaan," cetus Hanung sembari bangkit lebih dulu. "Ah, kau benar, Sayang. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui susunan organis

    Last Updated : 2022-06-22
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Butuh Bukti

    "Haaahhh ...." Tepat ketika pintu lift tertutup tubuh Amira tiba-tiba limbung dan kehilangan keseimbangan hingga harus berpegangan pada dinding lift. "Nggak usah cari kesempatan!" Salah satu pengawal Amira yang bertubuh paling tinggi menepuk tangan temannya, yang bertubuh agak kurus saat hendak meraih tubuh Amira yang nyaris terjatuh. "Nona Mimi mau jatoh, Brai. Sebagai pengawal yang baek, ya gue kudu siap tanggaplah," belanya. "Ya, nggak gitu juga. Barusan lu jatohnya malah mau peluk-peluk. Lagian sejak kapan Nona Amira namanya ganti jadi Mimi?""Fix, mereka bukan temen gue." Teman yang ada di sebelahnya memutar bola mata. "Hadeuh, si Jojo mulai." Sementara yang lain menggeleng. "Berisik kalian semua! Nona Amira bisa dengar!" Al melerai perdebatan para anak buahnya. Lelaki itu terlihat geram sendiri. "Ingat. Attitude," tekannya."Siap, Bang Bos. Sorry." Amira yang mendengar semua itu, lantas berbalik dan menghadap lima pengawalnya yang terlihat gagah dengan setelah hitam-hitam

    Last Updated : 2022-06-22
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Tumbang Satu Per Satu

    Di villa yang menjadi basecamp tempat perkumpulan para pengawalnya-- ditemani Zara, petang itu Amira tiba dengan dua kantong besar berisi makanan yang sengaja dipesannya dari salah satu restoran Nusantara.Pelan-pelan mereka melangkah agar tak menimbulkan suara, saat menyadari para pemuda yang tengah bersantai itu sama sekali belum menyadari kehadiran keduanya.Ada yang duduk di atas sandaran kursi, ada yang dengan santainya jalan ke sana ke mari tanpa atasan. Ada yang ngemil kuaci di atas meja. Bahkan ada yang tertidur di lantai. "Primitif. Sepertinya tatak rama belum diajarkan di sini." Amira hanya terkekeh mendengar sindiran Zara. Brak!Perempuan bertubuh tinggi berisi itu menggebrak pintu."Astagfirullah. Ini villa mewah bukan kos-kosan, woy," teriaknya. Semua orang terlonjak. Bahkan Al yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada membelalak seketika saat bersitatap dengan Amira. Lalu berlari masuk lagi untuk mengenakan pakaian."Astaga. Beginikah kelakuan ex

    Last Updated : 2022-06-22
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Fakta Baru Terkuak

    "Dasar anak pelakor.""Cewek sial.""Tak habis pikir kenapa bisa perempuan sepertimu lahir ke dunia!""Lonte."Amira tersenyum miring dalam diam. Betapa ironis kala ia membayangkan kata-kata makian juga bentakan yang dulu kerap kali Rendy lontarkan dengan ringan itu--kembali terngiang dan berputar-putar di kepalanya. Lelaki yang sebelumnya sering kali mendongakkan dagu angkuh setiap mereka bertemu, sering kali memaki dengan kata-kata kejam yang begitu menyakitkan, juga melayangkan tamparan tanpa perasaan--hari ini, tiba-tiba berlutut di hadapan Amira memohon belas kasihan. Bukan hanya dagu yang dia turunkan, tapi juga kepalanya menunduk dalam. Bahkan untuk pertama kalinya sejak Amira menyandang status sebagai keluarga Adijaya setelah dua puluh tahun, Rendy memanggil namanya dengan ratapan dan sorot mata penuh penyesalan. "Ini pertama kalinya kau memanggil namaku tanpa embel-embel kata-kata makian, Mas," ujarnya sarkastis. Tubuh Rendy menegang. Sedikit demi sedikit dia mengangkat k

    Last Updated : 2022-06-23
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Ayah Sebenarnya

    "Tepatnya kita akan pergi ke mana, Nona?" Al bertanya pada Amira yang sepanjang jalan hanya bisa menatap lurus ke depan dengan bibir terbungkam. Setelah membaca pesan dari pengirim misterius di kantor tadi, Amira langsung meminta Al untuk menyetir ke Bandung, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang tujuan sebenarnya. Entahlah. Sekarang pikiran Amira begitu kalut. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, tapi tak ada satu pun jawaban yang dia dapatkan. Bagaimana bisa Hanung mandul, sedangkan ada tiga penghuni rumah mewah itu yang mengaku sebagai anaknya? Amira benar-benar tak mengerti, sebenarnya seberapa banyak rahasia yang disembunyikan keluar Adijaya? Semakin Amira berusaha memikirkannya, semakin pening kepalanya. Bahkan setelah sepanjang perjalanan berpikir Amira masih belum juga menemukan titik terang."Eh, itu. Ke arah utara Al-- daerah Pangalengan. Omong-omong Dede sudah kau suruh pulang, kan?" Amira beralih menatap Al setelah sekian lama larut dalam dunianya sen

    Last Updated : 2022-06-24
  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Awal Semuanya

    Pangalengan, 10 Januari 1990Brak!Sruuuk!Suara benda berat yang terperosok jatuh dari atas jalan besar, terlihat menggantung di tepi jurang perkebunan Teh seluas lima hektare. Seorang pria paruh baya yang diketahui petani Teh yang tengah menggembala kambing di sekitar perkebunan pun dibuat terkejut sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Dengan hati-hati dia menyisir tanah merah yang dikenal licin agar bisa mendekati benda jatuh yang baru bisa dilihat dari dekat ternyata sebuah mobil, dengan pengendara yang sudah pingsan di dalam. Pria paruh baya yang kebingungan itu menoleh ke kanan dan kiri. Namun, dia tak menemukan satu pun orang yang sekiranya bisa membantu, kebetulan hari memang sudah beranjak petang, saat mobil ini terjatuh pun dia sudah berniat pulang.Setelah melewati berbagai pertimbangan dan pemikiran yang matang, mengingat rasa kemanusiaannya jauh lebih besar daripada ketakutan akan nyawa yang dipertaruhkan, pertani teh bernama Dadang itu berinisiatif untuk melepas t

    Last Updated : 2022-06-24

Latest chapter

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Last Extra Part

    Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Extra Part (2)

    "Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Extra Part (1)

    Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Berdamai dengan Masa Lalu, Menuju Hidup Baru

    Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Minta Maaf

    "Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Pengorbanan

    "Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Anak yang Tak Dianggap

    "Jadi, di sini tempatnya?" Zara bertanya pada Al yang memarkirkan mobilnya beberapa meter dari lokasi gudang yang diberi tahu Amira sebelum keberangkatannya.Perempuan itu berpesan bahwa mereka boleh datang bila Amira tak jua kembali setelah larut malam. Entah kenapa sejak awal Amira sudah punya keyakinan meski diberi uang, Rama tak akan pernah membiarkannya pulang dalam kondisi hidup, karena dendam mendalam."Ya." Al menjawab singkat pertanyaan Zara. "Jadi, rencananya gimana, Bang?" tanya Dede yang bersedia mengorbankan dirinya sekali lagi untuk keselamatan orang sebaik Amira. Dia juga bersedia melakukan hal itu untuk membalas perbuatan Rama, setelah tahu bahwa dia adalah dalang di balik kecelakaan Ilham dan Jojo hingga menyebabkan keduanya jatuh koma. "Zara, Dede, dan yang lain alihkan perhatian para penjaga di depan. Hati-hati, mereka membawa senjata laras panjang. Sementara aku dan Dustin akan masuk ke dalam menggunakan pintu belakang." Beberapa orang yang Al maksud adalah para

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Menantang Maut

    "Anda yakin, Nona?" Sekali lagi Rafael berusaha meyakinkan Amira. Terlihat Mobil Jeep sudah terparkir di pelataran untuk dikendarai Amira menuju lokasi tujuan dengan dua tas travel besar yang penuh terisi uang berjumlah miliaran rupiah.Tak lama setelah telepon dari Rama ditutupnya, Amira langsung meminta bantuan Rafael untuk mencairkannya. Setelah hampir 1 x 24 jam diproses bank, uang pun sudah siap di tangan meski sebagian hanya berupa cek yang sudah ditanda tangan, karena tak memungkinkan membawa uang triliunan dalam sekali jalan. Senja mulai berpendar, garis jingga yang berbaur dengan awan putih menambah indah suasana sore di langit Jakarta. Dengan jaket parasut yang melapisi pakaian serba gelap di dalamnya, Amira sudah bersiap berangkat ke lokasi di mana Rama menyekap Azriel dan Nicholle. Ketakutan telah ditelan rasa kekhawatiran, hingga yang kentara di wajahnya hanya ambisi untuk segera menyelesaikan semuanya dan menghajar Rama selagi bisa. "Nyawa anak dan sahabatku lebih be

  • KARMA : Balasan untuk Keluarga Tak Tahu Diri   Tebusan

    "ARGHHH.... "Brak!Prang!Bruk!Pecahan barang serta teriakan frustrasi terdengar di kamar utama kediaman Adijaya. Sudah tiga jam berlalu sejak Rama hilang dalam pengawasan polisi dan Azriel serta Nicholle tak bisa dihubungi. Semua tampak jelas dan berkaitan kini. Amira benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang mengerikan seperti ini akhirnya terjadi. Zara terlihat maju mundur saat berusaha menenangkan Amira karena melihat barang-barang terlempar tepat di hadapannya. "Kamu sudah memastikan semua pelayan yang berkaitan dengan Rama diberhentikan, kan?" sentak Amira yang membuat Zara sedikit terlonjak dari tempatnya. "Su-sudah, Mir. Aku yakin tak ada satu pun yang tersisa."Amira mengusap wajah sejenak. "Siapa saja yang pergi bersama Azriel dan Nicholle pagi tadi?""Cuma Yoga dan dua pelayan wanita.""Sebentar." Mata Amira tiba-tiba membulat saat dia berhasil mengingat sesuatu. "Ya?""Di mana Yoga saat Jojo dan Ilham kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?""Ng, dia izin pulang,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status