New York, 28 Januari 2018
"Pulang sekarang, Mir. Kakek sekarat."Seketika mata perempuan berjilbab itu membulat sempurna, saat menerima panggilan telepon dari tanah kelahirannya setelah sembilan tahun lamanya.Baru saja ia hendak mengabaikan panggilan dari nomor privat dengan suara yang disamarkan tersebut, tapi urung saat mendengar nama sang kakek disebut. Amira jelas tak bisa diam saja mengetahuinya.Mengingat pria tua berumur akhir tujuh puluh itu adalah satu-satunya orang yang memihak Amira saat hampir semua keluarganya mengasingkan perempuan berusia dua puluh enam tahun itu sejak sembilan tahun lalu dalam keadaan hamil muda ke negara ini. Kakeknya pulalah yang membiayai kehidupan dan sekolah Amira selama tinggal di negara Paman Sam selama lebih dari sewindu."Ini siapa?" lirih Amira bertanya.Tut! Tut! Tut!Namun, panggilan langsung terputus secara sepihak sebelum sempat ia mendapat jawaban.Amira terjaga cukup lama dalam posisi itu. Dia tatapan pemandangan Kota New York dari balik kaca pembatas lantai lima belas kamar apartemennya.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia menginjakkan kaki di sini, seorang diri, dalam keadaan hamil, tanpa seorang pun yang dikenal. Air matanya seolah telah habis ditumpahkan di pusara terakhir sang ibu yang wafat di sel tahanan, karena perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.Meskipun terlahir dalam salah satu keluarga konglomerat terkaya di Indonesia. Namun, sejak kecil ia sudah mendapatkan bertubi-tubi ketidakadilan dari hampir seluruh anggota keluarganya, hanya karena terlahir dari seorang wanita yang mereka anggap rendahan.Dalam ponsel di genggaman tangannya, Amira menatap sebuah artikel yang baru terbit beberapa jam lalu. Layar datar berukuran tujuh inci tersebut menunjukkan tentang kondisi sang kakek saat ini.*Pengusaha ternama Harun Adijaya terkena serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit. Menurut kesaksian salah satu anggota keluarganya, beliau tengah dalam keadaan kritis.*Amira menghela napas sejenak, dan mulai membulatkan tekad serta mengumpulkan keberanian untuk kembali berhadapan dengan keluarga yang berhasil membuatnya merasakannya betapa menyakitkannya neraka dunia.***Pesawat Singapore Airlines baru saja landing di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah melakukan dua kali transit dan menempuh dua puluh dua jam perjalanan dari New York, akhirnya Amira menginjakkan kaki kembali di negara kelahirannya.Terdapat persamaan dan perbedaan yang mencolok antara keberangkatan dan kepulangannya. Perbedaannya adalah saat berangkat dipenuhi ketakutan, tapi ketika kembali ia begitu percaya diri. Sedangkan persamaannya ada dalam ekspresi wajah Amira yang sama-sama penuh duka saat datang dan pulang.Suara boot berwarna hitam mengkilap itu terdengar nyaring mengiringi langkah perempuan dengan pakaian kasual tersebut. Tangan kanannya mendorong koper berukuran sedang, sementara tangan kirinya menuntun bocah tampan berumur delapan tahun yang terlihat antusias menatap sekeliling, saat sang ibu mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan keluarga yang hanya pernah ia dengar dari mulut ibunya."Mom, apa perjalanan kita masih jauh dari sini?" tanya bocah tersebut saat Amira menuntunnya untuk masuk ke dalam taksi.Perempuan berkulit putih itu tersenyum, lalu mengusap kepala putranya."Sebentar lagi, Ziel. Rumah kakek buyut lurus saja dari sini, kok," terangnya sembari mendaratkan bokong di samping bocah bernama Azriel tersebut."Siapa saja yang akan kita temui di sana, Mom? Tante, om, kakek, sepupu-sepupu?" celotehnya antusias. Sudah sejak lama Azriel mendamba sebuah keluarga utuh, karena selama ini ia hanya tinggal dengan sang Mommy dan seorang asisten rumah tangga paruh baya yang sudah menjaganya sejak lahir bernama--Nicholle.Amira terdiam sejenak. Dalam hati ia meringis lirih. Hanya tinggal menghitung menit sampai binar di mata bulat itu perlahan sirna, saat mengetahui keluarga utuh yang begitu ia damba tersebut, ternyata tak pernah menginginkannya.Meskipun tahu hal buruk akan segera terjadi, Amira tetap mengukir seulas senyum di bibir agar putranya tak kecewa terlalu diri."Ya, semua ada, Sayang," ucapnya."Wah. Pasti ramai sekali. Apakah Daddy juga akan ada di sana?"Deg!Amira membantu.Sejenak ia seolah kehilangan kata-kata, tapi detik berikutnya berhasil mengendalikan diri.Dengan ragu ia mengangguk."Ya. Mudah-mudahan. Sudah, ya, Nak. Nanti Mommy ceritakan di rumah saja. Sekarang pakai dulu headphone-nya. Saat sampai nanti tolong jangan dulu dilepas sebelum Mommy minta!"Bocah itu pun mengangguk tanpa banyak bertanya.Amira hanya ingin berjaga-jaga agar Azriel tak perlu mendengarkan kata-kata kejam yang bisa saja keluar dari mulut keluarganya setiba mereka nanti.***Terletak di salah satu kawasan perumahan paling elite di pusat Kota Metropolitan. Bangunan setinggi tiga tingkat dengan luas keseluruhan lebih dari 4000 meter persegi bergaya khas Eropa-- kediamanan utama keluarga konglomerat Adijaya berada.Mobil taksi yang dikendarai Amira dan Azriel pun tiba di depan gerbang menuju pelataran seluas landasan pesawat tersebut. Setelah membayar argo sesuai yang tertera, ia mendorong barang bawaan dan menuntun Azriel menuju pos penjaga di depan agar membukakan gerbang untuknya.Saat melihat Amira berhenti di depan gerbang. Tiga orang penjaga berseragam itu langsung menghadang jalannya."Mohon maaf, Nyonya. Bisa tunjukkan kartu pengenal dan salah satu anggota keluarga yang hendak Anda tuju?" Salah satu dari mereka mulai menginterogasi Amira.Namun, dengan tenang perempuan dengan tinggi semampai itu menghela napas sejenak dan mulai menjelaskan."Amira Hasna Adijaya. Saya ingin bertemu dengan Tuan Harun Adijaya."Ketiganya langsung tersentak. Mereka berpandangan, lalu membuka jalan untuk Amira dan Azriel."Si-silakan, Nona."Amira pun beranjak masuk. Namun, beberapa langkah ke depan. Ia sudah mendengar ketiga penjaga itu mengobrol di belakangnya."Bukannya dia putri yang terbuang itu?""Ya, kudengar dia diusir karena hamil.""Eh, katanya ibunya juga meninggal di sel tahanan dengan tuduhan membunuh, kan?""Jangan-jangan bocah itu anaknya?""Kasihan, padahal parasnya begitu menawan."Setelah memejamkan mata sejenak, Amira mampu menguatkan diri dan melangkah menuju pintu masuk."Ini belum seberapa," gumamnya.Pintu terbuka di hadapan dengan dua orang pelayan yang menyambutnya setelah mengenalkan diri."Keluarga Anda sedang makan besar di ruang makan, Nona," ucap salah satu pelayan.Dahi Amira mengernyit."Makan besar? Di saat kakek sekarat? Apa mereka sudah tak waras!" Kedua pelayan berseragam hitam itu hanya bisa tertunduk.Dengan langkah lebar dia berjalan menuju ruang makan setelah menitipkan Azriel pada salah satu pelayan.Sesampainya di ruangan luas dengan meja makan berbentuk persegi panjang yang muat menampung dua puluh orang, Amira tertegun. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana manusia-manusia dengan kekuasaan itu masih sempat bersenda gurau di saat tetuanya sedang berjuang antara hidup dan mati.Menyadari kehadiran Amira, seketika semua hening. Mereka mulai berbisik dan saling sikut."Siapa yang menghubungi kotoran itu?""Untuk apa sampah itu datang ke mari?""Pasti kau yang menghubunginya, kan?""Apakah dia datang dengan anak haramnya?"Amira mengedarkan pandangan, tajam mata bening itu menatap orang-orang yang masih terikat kekerabatan dengannya. Bahkan dalam kondisi genting seperti ini mereka masih sempat saling tuduh dan mempertanyakan tentang kehadirannya di sini setelah sembilan tahun berlalu. Ia tatap bergantian wajah-wajah yang seolah tanpa dosa itu.Ayah yang bahkan menganggapnya tak pernah ada, terlihat duduk di kursi utama. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana lelaki paruh baya itu memilih bungkam saat ibunya difitnah dengan kejam, bahkan saat Amira dipaksa pergi ke Amerika.Sementara di sebelah kanan, ada ibu tirinya. Wanita biadab yang seolah hilang rasa simpati dan menempatkannya dalam posisi ini. Karena dia pula Amira pernah merasakan bagaimana menyakitkannya hampir kehabisan napas di dalam lubang kloset.Lalu yang duduk berhadapan dengan ibu tirinya ada kakak tertua Amira yang bersebelahan dengan seorang wanita yang ia yakini sebagai istrinya. Karena dia, Amira pernah merasakannya bagaimana perihnya tamparan sampai sudut bibirnya robek.Sedangkan lelaki dengan ekspresi datar yang duduk di sebelah ibu tirinya adalah kakak kedua Amira. Meskipun tak banyak bicara. Tapi diamnya adalah racun.Satu lagi ada pamannya, adik sang ayah. Lelaki berusia awal dua puluhan yang pernah melecehkan ibunya di hadapannya.Dari ke empat orang itu ada yang telah menancapkan duri paling tajam yang langsung tertusuk tepat ke ulu hatinya.Yaitu salah satu di antara mereka yang memilih bungkam saat ia dihakimi karena kehamilan yang disebabkan salah satu dari tiga pria yang masih duduk tenang dengan kepala mendongak angkuh.Seolah masih lekat dalam ingatannya bagaimana perih tak terperi yang ia rasakan sembari meminta pengampunan agar tangan kasar itu tak menjamah tubuhnya kecilnya yang saat itu belum genap berusia enam belas tahun.Amira memejamkan mata rapat-rapat untuk beberapa saat. Setelah itu mengepalkan tangan dan berujar lantang."Sebutkan di mana kakek dirawat, sebelum kuobrak-abrik meja makan ini!" ***Di samping brankar dalam ruang ICU VVIP itu Amira berdiri. Menatap tubuh renta yang tak berdaya tengah menatapnya sayu dengan infusan dan hela napas yang terdengar lemah.Amira duduk di sisinya. Erat ia genggam tangan keriput sang kakek. Luluh air matanya saat mengingat hanya tinggal kakeklah yang menyayanginya di dunia ini."Sekarang sudah waktunya, Mira. Ungkap kejahatan mereka, Kakek berikan semua kedudukan ini padamu. Sekarang kamu sudah cukup dewasa dan mampu untuk menghadapi kejamnya keluarga ini. Jangan menyerah, Nak. Kamu tak sendiri di dunia ini."Di hadapannya Amira melihat sang kakek akhirnya meregang nyawa. Tangisnya tak terbendung lagi. Dengan tangan yang mengepal erat, ia berbalik. Menatap para manusia laknat di balik pintu ruang ICU itu yang bersembunyi di balik tangis buaya, padahal ia yakin semuanya tertawa bahagia atas kematian tetua mereka.Harta yang selama ini mereka perjuangan sebagai penjilat, hanya tinggal selangkah lagi jatuh dalam pelukan mereka. Namun, pada kenyataannya sang kakek telah mengatur semuanya sedemikian rupa, hingga hanya Amira yang mempunyai kendali atas semuanya."Tunggu sebentar lagi, Bu. Mira janji kita akan mendapatkan keadilan yang selama ini susah payah diperjuangkan."...Bersambung.Jakarta, 14 Januari 2009Gadis berusia enam belas tahun itu berdiri mematung saat ambulans mengantar jasad ibu yang sangat dicintainya ke rumah duka. Kehilangan yang teramat dalam itu kembali dia rasakan setelah tahun sebelumnya Hendra, paman tersayangnya juga telah tiada. Dua kematian tak wajar pada ibu dan pamannya itu membuat perasaannya benar-benar porak-poranda. Seketika masa depan cerah yang dia yakini adanya, tak lagi dia damba. Sumber kebahagiaannya telah sirna. Dia merasa neraka akan segera datang dan melengkapi penderitaannya, saat dia melihat ibu tiri dan kakak sulungnya tertawa kecil di sudut ruang, menatap jasad ibunya yang malang.“Kamu kuat, Sayang. Masih ada kakek!” Amira menoleh saat merasakan pelukan hangat itu melingkupi tubuh gigilnya. Tangis yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah juga dalam dekapan satu-satunya orang yang bisa dia jadikan penopang.“Mira takut, Kek,” lirih suara itu terlontar di sela tangis yang semakin hebatnya. “Tidak, Sayang. Tak ada yang
Rendy Darma Adijaya, adalah putra pertama Hanung Adijaya dan Dona Kirani. Sejak remaja lelaki ini aktif dalam banyak bidang kemasyarakatan. Selain salah satu pewaris utama PT. AJ beberapa waktu belakangan dia juga baru saja bergabung dengan salah satu partai besar di tanah air, dan memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Menurut berita yang santer terdengar, Rendy adalah salah satu anggota keluarga Adijaya yang paling ambisius lagi serakah. Akhir-akhir ini dia bahkan sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan stop LGBT bagi seluruh jaringan masyarakat dalam ruang lingkupnya. Namun, siapa yang menyangka. Bahwa tindakan tersebut ternyata adalah salah satu upaya untuk menutupi penyimpangan orientasi seksualnya yang sudah bertahun-tahun diderita.Tiga tahun lalu saat ia memutuskan untuk menikahi Andini--salah satu putri seorang pendiri partai yang saat ini tengah memimpin sebagai pejabat daerah tersebut sebenarnya juga untuk menutupi aibnya dari keluarga maupun orang-orang di luar sana. T
Memang tak mudah bagi korban pemerkosaan untuk hidup tenang setelah trauma mendalam. Sembilan tahun Amira berusaha bertahan dalam ketidakberdayaan di lingkungan asing sendirian. Tubuh rapuh yang masih sering kali gemetaran kala melihat kejadian pemaksaan membuatnya sempat kesulitan beradaptasi di negara orang sampai beberapa kali berniat bunuh diri. Namun, keadaan telah memaksanya untuk bangkit dari keterpurukan. Iman yang kuat juga menjadi salah satu pondasi dirinya. Perlahan Amira mulai berani berbaur dengan dunia luar, membesarkan Azriel dengan penuh cinta, walaupun kenyataan bocah itu tercipta dari perbuatan hina seorang lelaki pada dirinya. Azriel adalah salah satu kekuatan Amira. Senyum bocah itu bak air deras menyirami hatinya yang gersang. Meskipun kerap kali mereka beradu pandang, selalu ada luka terbuka yang mengingatnya pada kejadian sembilan tahun silam.Namun, kini Amira sudah lebih kuat. Dia banyak belajar dari semua rasa sakit itu hingga bisa menatap para penjahat de
Bugh!Bugh!Bugh!Satu per satu bogem mentah itu mendarat pada samsak tinju yang sudah berayun ke sana ke mari akibat hantaman keras. Keringat bercucuran dari pelipis perempuan dengan kepala yang tertutup ciput ninja. Kulit wajahnya yang putih mulus terlihat memerah, sebab suhu tubuh dan amarah yang bergejolak dalam dirinya meningkat drastis. Bruk!Amira merobohkan diri, terlentang pada sebuah matras berwarna gelap yang melapisi ruang gym pribadi dalam kediaman mewah tersebut. Dengan handuk kecil yang tersampir di pundak, ia seka kasar keringatnya, sembari menatap langit-langit."Aarrgghh ...." Teriakannya lantang terdengar begitu memilukan. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan alih-alih menangis meraung seperti wanita menyedihkan. Setelah sekian lama kejadian paling traumatis dalam hidupnya kembali terbayang. Berputar-putar di kepala bagai kaset rusak hingga membuat Amira nyaris frustrasi. Ramadika Adijaya, anak kedua dari Dona dan Hanung, pewaris kedua kerajaan bisn
"Jangan menyentuhku!" Amira mengulurkan tangan di hadapan Rama yang hendak memeriksa keadaannya dan Azriel. "Kau pikir dengan membantu kami, sudah cukup untuk menebus semua perlakuan bejatmu di masa lalu, hah?" Dada ibu satu anak itu terlihat naik turun menahan ledakan emosi juga rasa frustrasi akibat kisah masa lalunya yang begitu kelam."Minggir! Jangan pernah tampakkan wajah menjijikkan itu di hadapanku." Finalnya Amira mendorongnya dada Rama hingga terlonjak keluar. Kemudian menutup pintu, lalu tancap gas.Meninggalkan Rama yang berdiri mematung di tempat dengan tatapan yang sulit digambarkan. "M-Mom ...." Azriel menarik pelan ujung hoodie yang Amira kenakan saat melihat kecepatan mobil yang ditumpanginya sudah mencapai lebih dari 100 KM/Jam membelah jalan Tol Cipularang."Tutup saja kupingmu dan pejamkan mata, Azriel. Hanya begini caranya supaya kita cepat sampai." Dengan mata yang sudah memerah Amira mengatakannya.Bocah itu pun menurut dan memasang headphone-nya, lalu memejamk
"Hati-hati di jalan, ya, Neng. Lain kali kenalkan suamimu sama Enin."Pesan dari Nek Imas, sontak membuat Amira tersentak untuk beberapa saat. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk meski tak yakin. Satu kali kebohongan telah ia lontarkan pada sang nenek, tak lama mungkin akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang lain.Hal itu ia lakukan agar Azriel tak menjadi gunjingan warga di sini. Biarlah Nek Imas tahu kalau dirinya sudah menikah, dan suami Amira sibuk di luar negeri. Daripada ia harus menambah beban di tubuh renta tersebut dengan memberi tahu yang sebenarnya. Terlepas dari berbagai alasan di atas, Amira juga tak mau dipandang sebagai wanita menyedihkan seperti yang selalu dikatakan Dona. "InsyaAllah, Nin." Senyum Amira terkulum lembut, diusapnya jemari ringkih yang sejak tadi menggenggam erat tangannya. Kemudian beralih pada Azriel yang berada dalam pelukan Nicholle.Sekitar dua hari lalu perempuan paruh baya berambut blonde ini tiba ke Indonesia. Amira lan
Mobil yang dikendari Amira dan Zara berhenti di depan sebuah gedung olahraga yang ada di daerah Bekasi Selatan. Tepatnya depan gerobak penjual pecel dan ketoprak yang ramai dikerubungi warga yang didominasi anak muda. "Kamu yakin, Zar?" Amira bertanya dengan kernyitan di dahinya. Zara mengangguk mantap. "Kamu liat aja sendiri nanti." Gadis bertubuh tinggi di atas rata-rata itu menarik tangan Amira menerobos antrian. "Permisi, air panas, air panas!" "Dih, mentang-mentang pake seragam seenak dengkul nyerobot antrian," celetuk salah seorang pembeli yang tak terima karena Zara menyerobot tempatnya, sementara Amira yang mengekor di belakang dengan sungkan hanya bisa meminta maaf tanpa suara. "Duduk sini, Mir!" Zara menunjuk salah satu bangku untuk Amira duduki. Sementara dia maju ke depan dan menggulung lengan seragamnya. Dia beralih menepuk bahu lebar lelaki yang baru sempat Amira lihat dari belakang. Tubuhnya memang tinggi tegap dengan potongan rambut yang rapi. Seperti yang sudah Z
Besoknya. Seperti biasa meja makan dalam kediaman Adijaya itu diisi lima orang keluarga inti. Pagi ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan tenang, hingga hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar beradu dengan piring. "Wah ... ini adalah sarapan ternikmat semenjak dua pekan kepergian anak sial itu. Walaupun sempat kesal karena dia membawa pergi semua makanan catering pesananku. Tapi, tak apa. Sepertinya semua itu untuk bekal mereka berkemah di hutan selama dua pekan." Dona memulai percakapan dengan komentarnya tentang kepergian Amira dan Azriel selama dua pekan tanpa pamit. "Jangan terlalu percaya diri, Dona. Kau lihat saja nanti. Besok atau lusa Amira akan kembali," timpal Heru setelah meneguk air putih di gelas."Kenapa kau begitu yakin, Heru?""Entahlah, hanya feeling.""Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Tak boleh telat untuk menjemput kekuasaan," cetus Hanung sembari bangkit lebih dulu. "Ah, kau benar, Sayang. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui susunan organis
Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d
"Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me
Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas
Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m
"Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai
"Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga
"Jadi, di sini tempatnya?" Zara bertanya pada Al yang memarkirkan mobilnya beberapa meter dari lokasi gudang yang diberi tahu Amira sebelum keberangkatannya.Perempuan itu berpesan bahwa mereka boleh datang bila Amira tak jua kembali setelah larut malam. Entah kenapa sejak awal Amira sudah punya keyakinan meski diberi uang, Rama tak akan pernah membiarkannya pulang dalam kondisi hidup, karena dendam mendalam."Ya." Al menjawab singkat pertanyaan Zara. "Jadi, rencananya gimana, Bang?" tanya Dede yang bersedia mengorbankan dirinya sekali lagi untuk keselamatan orang sebaik Amira. Dia juga bersedia melakukan hal itu untuk membalas perbuatan Rama, setelah tahu bahwa dia adalah dalang di balik kecelakaan Ilham dan Jojo hingga menyebabkan keduanya jatuh koma. "Zara, Dede, dan yang lain alihkan perhatian para penjaga di depan. Hati-hati, mereka membawa senjata laras panjang. Sementara aku dan Dustin akan masuk ke dalam menggunakan pintu belakang." Beberapa orang yang Al maksud adalah para
"Anda yakin, Nona?" Sekali lagi Rafael berusaha meyakinkan Amira. Terlihat Mobil Jeep sudah terparkir di pelataran untuk dikendarai Amira menuju lokasi tujuan dengan dua tas travel besar yang penuh terisi uang berjumlah miliaran rupiah.Tak lama setelah telepon dari Rama ditutupnya, Amira langsung meminta bantuan Rafael untuk mencairkannya. Setelah hampir 1 x 24 jam diproses bank, uang pun sudah siap di tangan meski sebagian hanya berupa cek yang sudah ditanda tangan, karena tak memungkinkan membawa uang triliunan dalam sekali jalan. Senja mulai berpendar, garis jingga yang berbaur dengan awan putih menambah indah suasana sore di langit Jakarta. Dengan jaket parasut yang melapisi pakaian serba gelap di dalamnya, Amira sudah bersiap berangkat ke lokasi di mana Rama menyekap Azriel dan Nicholle. Ketakutan telah ditelan rasa kekhawatiran, hingga yang kentara di wajahnya hanya ambisi untuk segera menyelesaikan semuanya dan menghajar Rama selagi bisa. "Nyawa anak dan sahabatku lebih be
"ARGHHH.... "Brak!Prang!Bruk!Pecahan barang serta teriakan frustrasi terdengar di kamar utama kediaman Adijaya. Sudah tiga jam berlalu sejak Rama hilang dalam pengawasan polisi dan Azriel serta Nicholle tak bisa dihubungi. Semua tampak jelas dan berkaitan kini. Amira benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang mengerikan seperti ini akhirnya terjadi. Zara terlihat maju mundur saat berusaha menenangkan Amira karena melihat barang-barang terlempar tepat di hadapannya. "Kamu sudah memastikan semua pelayan yang berkaitan dengan Rama diberhentikan, kan?" sentak Amira yang membuat Zara sedikit terlonjak dari tempatnya. "Su-sudah, Mir. Aku yakin tak ada satu pun yang tersisa."Amira mengusap wajah sejenak. "Siapa saja yang pergi bersama Azriel dan Nicholle pagi tadi?""Cuma Yoga dan dua pelayan wanita.""Sebentar." Mata Amira tiba-tiba membulat saat dia berhasil mengingat sesuatu. "Ya?""Di mana Yoga saat Jojo dan Ilham kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?""Ng, dia izin pulang,