'Astaga, bagaimana ini?'
Demi apapun, Zetta tidak menyadari apa yang telah dilakukannya. Sesaat setelah melihat Alva, dia tanpa sadar memeluknya. Tapi tidak berlangsung lama karena saat Zetta merasakan Alva memeluk balik dia malah bereaksi berlebihan. Saat merasakan sentuhan Alva, Zetta langsung mundur dan menamparnya meskipun setelah itu dia langsung memekik dan menggeleng nampak kaget sendiri dengan gerakan tangannya."Ampun Pak. Tidak sengaja. Reflek, Pak. Saya kaget. Bapak sih pegang-pegang saya."Zetta meringis saat melihat Alva yang ternganga kaget meskipun tamparannya tidak terlalu keras."Apa salahku,Zetta?!" Ujarnya.Zetta meringis,"Maaf,Pak."Setelah itu, Zetta malah sok canggung dan nampak tidak enak hati saat melihatnya. Merasa malu karena bukannya berterima kasih malah kembali menamparnya.Sorenya, saat Zetta duduk di bangku kayu pinggir pantai Vancouver, Alva mendekat dan memperhatikannya seksama. Sekarang dia sudah tidak bisa menghindar lagi."Kenapa sih,Pak?" Decak Zetta."Oh, aku pikir kau masih malu-malu kucing seperti tadi." Zetta memutar bola matanya. "Ternyata sudah garang lagi.""Siapa yang malu, aku hanya merasa bersalah saja," kilahnya.Alva duduk di samping Zetta dan nemperhatikannya seksama. "Kalau kau merasa bersalah, jawab pertanyaanku dengan jujur."Zetta mengeryit, memperhatikan Alva yang menunggu jawabannya."Tergantung pertanyaannya.""Harus di jawab!" paksanya, Zetta hanya bisa berdecak kesal. "Kau sudah baik-baik saja?'Zetta menoleh, dia pikir Alva akan mencercanya dengan pertanyaan yang menyudutkan."Berkat pak Alva, saya dalam keadaan baik-baik saja karena itu saya berhutang budi." Alva langsung menyunggingkan senyum membuat Zetta bergidik. "Tapi kalau balas budinya aneh-aneh, saya nggak mau!""Ck, belum juga diomingin."Zetta terkekeh, Alva menghela napas dan menatapnya serius, "Kenapa kau melanggar perintahku dengan pergi sendirian jauh dari hotel. Kau menemui siapa?"'Ah, akhirnya pertanyaan itu datang juga.'"Teman."Tidak ada penjelasan lain. Zetta tidak mau kalau Alva tahu bahwa Eliana juga ada di sini karena dia tahu lelaki ini sedang mencari sahabat gilanya itu yang seharusnya tidak pantas di sebut sahabat. Zetta tidak mau sampai mereka bertemu dan mengetahui kalau dia sangat mengenal baik Eliana."Hanya itu? teman?"Zetta bersandar dan melipat kedua lengannya di dada balas menatap Alva tanpa gentar. "Tidak ada. Hanya itu.""Aku tidak tahu apa yang sedang kau sembunyikan Arzetta, tapi kau hampir saja celaka tadi malam. Sebaiknya setelah ini kau mulai mencoba untuk menuruti apa perkataanku. Jangan sampai aku mengetahui apa yang sedang kau sembunyikan itu," desisnya.Zetta menegakkan punggungnya menggeser sedikit lebih dekat ke Alva dan menggenggam tangan lelaki itu yang sempat berjengit kaget karena tidak menyangka dengan kontak fisik yang di lakukan Zetta. Ini jarang terjadi. Alva membiarkannya saja ingin melihat apa yang akan di lakukan wanita itu dan terhanyut dalam lamunannya memandangi wajah Zetta lekat dari jarak dekat. Cantik."Iya,Pak. Pokoknya hal itu tidak akan terjadi lagi." Alva bergeming menatapnya dari mata turun ke bibirnya membuat Zetta mengeryit heran."Pak, kok bengong? Ngelihatin apa?" "Kalau begitu, apa aku bisa meminta balas budinya sekarang?"Zetta menaikkan alisnya dengan dahi yang berkerut samar. "Ternyata Pak Alva pamrih juga ya? Tapi baiklah tapi jangan yang aneh-aneh ya. Apa itu?"Zetta sebenarnya takut dengan apapun yang akan Alva minta karena dia tahu dengan pasti akal-akalan lelaki itu. Seharusnya dia tadi mengucapkan ungkapan rasa terimakasih saat sedang tidak berduaan seperti ini. Lihat saja, Alva langsung mengambil kesempatan pertama untuk meminta sesuatu darinya. Ketahuan banget mental playboynya."Izinkan aku menyentuh wajahmu." Zetta terbelalak, Alva nyengir, "Dengan catatan tanpa di gampar.""Minta yang lain aja ya, Pak. Saya bisa masak loh?"Zetta menatap Alva dengan raut wajah frustasi dan akhirnya ketika bibirnya membuka mengucapkan apa yang diinginkannya, "OK." Hanya itu jawabannya.Zetta mengigit pelan bibirnya. Alva menggeser duduknya mendekat dan mulai melarikan kedua tangannya menangkup wajah Zetta lembut seperti porselen yang beresiko pecah jika dia terlalu kuat memegangnya. Zetta bergidik. Terlanjur basah masuk dalam akal-akalan Alva kali ini dan bersiap menggampar laki-laki itu jika melebih batas.Zetta gemetaran saat jemari Alva menyentuh kulitnya. Reflek di tutupnya matanya dan mencoba menahan rasa takutnya sampai selesai. Terdiam selama beberapa saat karena Alva tidak juga bergerak. Zetta mencoba mengintip dan bertemu pandang dengan mata Alva yang melirik ke bawah ke bibir Alva yang sedikit lagi menyentuh bibirnya.PLAKK!!!!"Ukhh," erang Alva. "Arzetta!"Gamparan itu menyakitkan. Sungguh. Alva sampai terdorong ke belakang setelah di gampar oleh Zetta tepat di pipinya. "Maaf,Pak. Ciuman tidak ada dalam balas budi. Permisi."Zetta langsung berdiri dan berbalik lari ke rumah Oma meninggalkan Alva di belakangnya yang terdengar tertawa terbahak karena gagal menciumnya."Lihat saja Zetta. Nanti aku akan berhasil menciummu!" Teriaknya. Zetta menutup telinganya dan berlalu pergi."Dasar bos gila!" Umpatnya.***"Arzetta?"Zetta langsung berikap profesional meskipun panggilan itu melalui ponselnya. Zetta berdiri di salah satu sudut restoran ternama di Vancouver dengan pakaian kerjanya yang elegan."Iya Pak Gabriell. Ada yang bisa saya bantu?"Gabriell terkekeh di sebrang sana, "Jangan formal begitu. Santai saja. Aku belum jadi presiden Amerika jadi jangan tegang begitu."Zetta mencoba untuk rileks, "Tapi tetap saja Bapak kan Pemilik Alexander Corp meskipun bukan Presiden.""Bagaiman Alva?""Pak Alva sekarang sedang bertemu dengan pimpinan Raxter Company sesuai dengan jadwal.""Bagus. Dia bekerja profesional kan?""Iya Pak.""Dia tidak menyusahkanmu kan Zetta?"Zetta memijit pelipisnya mengingat gamparannya kemarin ke Alva. Setelah itu sikap lelaki itu seperti merajuk. Zetta sendiri sudah tidak berani melirik. "Tidak Pak. Selama di sini Pak Alva bersikap manis. Tidak pergi ke club, tidak tidur dengan wanita, tidak membuat keributan. Pokoknya manis kok." Gabriel tertawa di sebrang sana, "Manis? Seperti anak kucing. Hmm, aneh ya. Walaupun begitu bagus lah. Aku mau minta tolong,boleh?""Katakan saja Pak.""Aku sudah membuat janji dengan seorang wanita yang kebetulan sedang berada di sana. Namanya Cherry Rosmarch. Bisa kau aturkan pertemuan Alva dengan Cherry setelah selesai dengan Pak Devan Raxter di tempat yang sama. Pesankan ruangan privat dan jangan lupa jamuannya ya."Dahi Zetta berkerut heran, "Tentu saja Pak akan saya lakukan tapi kalau boleh tahu Cherry itu siapa Pak?""Dia--""Aku yang akan menjadi calon istrinya Alva Alexander." Seruan itu berada dekat di belakangnya. Zetta reflek menoleh dan menemukan seorang wanita cantik berdiri anggun dan nampak angkuh di sana memandangi Zetta. Semua yang dikenakannya sangat berkelas."Nah itu dia ya sudah datang. Aku akan menjodohkan Alva dengan Cherry. Dia anak dari teman bisnisku. Aku minta tolong ya Arzetta seperti permintaanku tadi."Tanpa mengalihkan tatapannya dari wanita di hadapannya, Zetta menjawab, "Baik Pak akan saya laksanakan.""Terima kasih."Zetta menutup sambungannya dengan Pak Gabriell dan tersenyum sopan untuk Cherry.
"Pak Alva sedang bertemu dengan relasi. Tolong ikuti saya dan mohon menunggu sebentar."
"Apa masih lama?"Bibir wanita itu merah merona. Pakaiannya elegan tapi terkesan sangat seksi. Rambut bob sebahunya membuat auranya semakin segar dan nampak awet muda."Tidak. Mungkin sekitar setengah jam lagi."Wanita itu mengangguk lalu mengikuti langkah kaki Zetta menuju ke resepsionis restoran untuk mereservasi satu ruangan privat dengan menu jamuan eklusive. Setelah mendapatkannya, Zetta meninggalkan wanita itu menunggu di dalam dan beralih ke ruangan di mana Alva berada.Lima belas menit kemudian, lebih cepat dari yang seharusnya Alva keluar dengan Pak Devan sambil saling melemparkan lelucon hangat dan tawa. Mereka lalu berpisah setelah Zetta menyapa sopan Pak Devan."Apa sudah selesai?" tanya Alva dengan nada ketus. Masih merajuk rupanya."Seharusnya sudah Pak hanya saja aku baru saja membuatkan janji temu dadakan dengan seseorang instruksi langsung dari Pak Gabriell.""Papa? Janji temu dengan siapa?""Ada seorang wanita yang sudah menunggu di salah satu ruangan yang ada di sini."Alva mengikuti langkah Zetta dengan tampang heran, "Siapa?"Zetta berhenti tepat di depan pintu dan memegang daun pintunya dan tersenyum ke Alva."Namanya Cherry Rosmarch. Calon istrimu."Alva terbelalak kaget. Lalu pintu terbuka pelan menampilkan seorang wanita cantik nan anggun yang tersenyum dan menatap keseluruhan penampilan Alva seakan-akan menelanjangi setiap incinya lalu tersenyum lebar."Dia--" tunjuk Alva, "Calon istriku?""Seperti yang dikatakan Pak Gabriell. Iya. Selamat ya Pak."Alva mengerjapkan matanya masih nampak kaget lalu masuk ke dalam menghampiri sang wanita yang langsung berdiri dan memeluk Alva. Zetta perlahan menutup pintunya tapi dia bisa melihat dengan jelas saat wanita itu mencium frontal Alva di bibirnya yang langsung di balas lelaki itu.'Brengsek memang Alva Alexander'Zetta memilih untuk menjauh dan duduk di bangku taman kota yang berada tidak jauh dari restoran. Merasakan semilir angin kota Vancouver menyegarkan isi kepalanya yang mencoba untuk melupakan apa yang tadi sempat di lihatnya. Tiba-tiba dia rindu dengan Jason. Bagaimana kabarnya ya?Zetta mengambil ponselnya dan menelepon Jason. Pada deringan ketiga panggilannya di angkat tapi bukan suara Jason yang menyapanya tapi Austin.
"Hai Arzetta.""Hai Austin. Di mana Jason?""Dia sedang tidur. Kami semalaman bergadang mabuk-mabukan. Jason memintaku menemaninya di apartemen selama kamu pergi dinas. Apa ada yang penting biar aku bangunkan dia?""Ah tidak. Biarkan saja. Kalau begitu baiklah. Sampaikan saja salamku untuknya ya.""Oke Zetta.""Selamat bersenang-senang.""Kamu juga."Panggilan terputus. Zetta menutup wajahnya dengan tangan. Rasanya dia ingin menangis saja.***
Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.Zetta l
Hal pertama yang Zetta lihat setelah berhasil membuka kedua matanya dan menyesuaikan retinanya dengan cahaya di sekitar adalah langit-langit tinggi berwarna putih bersih lalu aroma rumah sakit yang khas tercium indra penciumannya. Badannya rasanya pegal, wajahnya nyeri, telapak tangannya kaku.Tangan. Kaku.Zetta menoleh dan menemukan kepala seseorang dengan rambut hitamnya bersandar pada ranjang nampak tertidur sambil memeluk tangannya dan menggengam jemarinya.Alva.Zetta melarikan jemari tangan satunya dan menyeruakkannya disela-sela rambut halus itu dengan lembut sampai dirasakan lelaki itu menggeliat pelan dan perlahan mengangkat kepalanya membuat Zetta bisa menatap iris mata hijau itu yang masih nampak sayu.Ah ya, Jason.Bagaimana bisa tadi dia mengira kalau itu Alva Alexander."Zetta."Jason langsung menegakkan punggungnya dan berdiri mengusap wajah Zetta dengan kedua tangan nampak khawatir. Mata hijau itu terlihat gusar dan takut.Zetta menggengam telapak tangan Jason di waja
Ternyata malam itu Alva Alexander memang langsung pulang ke New York menggunakan pesawat pribadinya. Setelah sehat dan tidak mengalami luka serius, Zetta di perbolehkan pulang hari itu juga. Sempat berdebat dengan Jason yang bersikeras untuk menginap di Vancouver semalam lagi. Zetta beralasan kalau dia harus segera kembali bekerja. Sebelum bertolak ke bandara, Zetta menyempatkan pamit dengan Oma dan Opa untuk mengucapkan terima kasih. Kata Oma, malam itu Alva memang langsung mengemasi barangnya dan pulang ke New York.Zetta dihinggapi rasa kecewa."Alva tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengemasi barangnya dan milikmu lalu menyuruh seseorang untuk mengantarkannya." Oma nampak sedih menatapnya saat itu seakan-akan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran beliau. "Aku bersyukur bahwa kau tidak terluka Zetta. Beberapa hari di Vancouver, kau sudah mengalami hal yang tidak enak."Saat itu Zetta meyakinkan Oma untuk tidak mengkhawatirkannya. Saat Oma menatap sosok Jason yang sedang berbi
"Selamat pagi,Pak Alva."Zetta berdiri di dekat meja kerjanya saat Alva Alexander masuk bersama Cherry, tunangannya, yang nampak menggelayut manja di lengannya. Alva nampak acuh tapi membiarkan saja tingkah Cherry. "Pagi. Kau sudah sehat?""Iya,Pak.""Baguslah. Ikuti aku.""Baik." Zetta mengambil iPadnya, mencoba mengabaikan lirikan Cherry dan mengikuti keduanya masuk ke dalam ruangannya."Sayang, kau akan menemaniku membeli tas kan sebelum pergi nanti?"Alva berhenti berjalan di depan meja kerjanya, menatap tunangannya yag tersenyum manja."Oke, tapi selama aku bekerja sebaiknya kau diam saja di sana." Alva menunjuk ke sofa. "Jangan bersuara supaya aku tidak terganggu."Cherry mengerucutkan bibir tapi tidak membantah, duduk di sofa dengan santai.Alva berjalan dan duduk di balik meja kerjanya. "Nanti sore aku harus pergi ke Seattle untuk rapat dan kau siapkan semua berkas yang harus aku bawa.""Baik.""Cherry akan sering berada di sini jadi semua yang dia inginkan harus kamu penuhi
Zetta bergegas turun dari taksi yang berhenti di depan kantor dan buru-buru masuk ke lobbi di mana ada Jason duduk di sofa sembari sibuk dengan ponselnya.Zetta menghela napas dan berjalan menghampiri Jason.“Jason,” panggilnya.Jason mengangkat pandangan lalu berdiri sembari tersenyum,”Hai." Sedikit melihatnya bingung karena dia berjalan dari arah depan bukannya lewat lift sembadi membawa tasnya dan baju yang sedikit basah. "Kau dari mana,Zetta?""Tadi keluar sebentar karena ada yang harus di urus.""Oh. Kenapa kau tidak bilang biar aku yang jemput?""Tidak. Aku sedang dalam perjalanan ke sini tadi."Mungkin kalau bukan karena panggilan Jason, dia akan tidur di apartemen Alva sampai besok pagi.“Padahal Kau tidak perlu repot-repot menjemputku saat sedang hujan begini.”Jason tersenyum, menangkup wajahnya dan menatapnya intens,”Tidak ada yang bisa menghentikanku menjemput kekasihku sendiri bahkan hujan badai sekalipun.”Zetta memutar bola matanya,”Kau memang tidak bisa dihentikan.”Ja
"Sebenarnya apa yang terjadi,Arzetta?" Om Jeremy menghentikan mobilnya di halaman mansion Alexander yang megah. Zetta kaget saat Om Jeremy datang ke kantor untuk menjemputnya atas perintah Pak Gabriell. Dilihat dari beliau yang ingin segera membicarakan hal penting itu membuat Zetta gugup. Bagaimana kalau foto itu menimbulkan masalah yang lebih besar. Mungkin saja dia akan di pecat karena Pak Gabriell marah besar. "Tidak apa-apa kok,Om."Om Jeremy nampak tidak percaya. "Apa semua foto-foto itu benar?"Zetta mengatupkan bibir, tidak menjawab, merasa malu dengan Omnya yang mengamati keterdiamannya yang berujung menghela napas."Tentu saja aku tidak berpikir foto-foto itu direkayasa. Hanya saja aku berharap kalau yang di foto itu bukan kau.""Maaf,Om. Itu memang Zetta sengaja melakukannya," selanya. "Tapi Zetta punya alasan sendiri."Jeremy bergeming,mungkin bingung mau mengatakan apa."Kau yang sengaja melakukannya? Bukan karena Alva menggodamu dengan keras hingga kau luluh.""Tidak.
"Apa pak Alva sedang menghindar dari tunangannya yang cantik dan seksi itu sampai harus makan siang sejauh ini?" Tanya Zetta, menekan salad sayurnya dengan garpu sementara Alva sibuk memotong steaknya.Sejak masuk ke dalam restoran, Alva tidak mengatakan apapun bahkan saat Zetta mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Duh, Pak. Tolong jangan libatkan saya dalam perseteruan cinta kalian dong. Kalau mau menghindar ya jangan ajak-ajak. Saya kan takut di salahpahami--hmmp.""Bawel banget,” decak Alva setelah menyumpal mulut Zetta dengan steak dalam ukuran cukup besar membuatnya diam dengan mata melotot."Dinikmati saja makanannya, jangan kebanyakan bicara!"Zetta menghela napas, mengunyah dagingnya dan menelannya lalu bertopang dagu. Ada sedikit yang berbeda dari bosnya yang nampak lebih tenang dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Zetta berdecak, memilih fokus dengan makanannya membiarkan Alva dengan pikirannya sendiri.“Apa yang terjadi antara kau dan Jason se
Zetta baru bisa pulang agak malam gara-gara bosnya yang banyak tingkah. Alva pasti sengaja membuatnya seperti itu agar perselisihannya dengan Jason semakin membuatnya kepikiran. Senang sekali menggoda Zetta yang rasanga ingin mencakar wajahnya yang tampan itu berkali-kali. Selama perjalanan pulang, Zetta berharap jika Jason bisa diajak berbicara baik-baik dan mau mendengarkannya. Dia tidak mau Jason semakin salah paham. Zetta buru-buru masuk ke dalam apartemen yang langsung di sambut oleh Eliana yang mencekal lengannya nampak khawatir. “Apa kalian bertengkar?” tanyanya dengan kening berkerut. “Jason nampak sangat marah sejak pulang tadi sore.” “Yeah, secara tidak langsung ini juga ada sangkut pautnya denganmu,” decak Zetta. Eliana nampak bingung, Zetta menepis tangannya, berjalan mengarah ke kamar Jason dan membukanya. Yang pertama harus ditenangkan itu ialah Jason. “Kita harus bicara,” ucapnya pada Jason yang sedang tidur dengan lengan menutupi wajah. Jason menurunkan tangannya
London, Enam tahun kemudian,Arzetta duduk memandangi megahnya London Eye yang bercahaya biru indah di kejauhan dengan senyuman mengembang di wajah. Terpaan angin malam musim semi menerbangkan helaian rambut panjangnya yang kemudian dia rapikan dengan tangan. Diedarkannya pandangan ke sekelilingnya yang ramai seraya menunggu.Semenjak menikah dan memiliki seorang putri, Arzetta tidak habis-habisnya merasa bersyukur karena bisa merasakan perasaan bahagia tidak terkira dengan berkah yang diberikan padanya. Mengingat perjuangan panjang mereka yang tidak mudah di lalui untuk bisa bersama sampai akhirnya menikah.Masa lalu sebentuk kenangan yang akan tetap terpatri di dalam ingatannya sampai kapanpun. Kadang di saat malam ketika dia terbangun dan mendapati Alva sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya yang tidur di antara mereka membuatnya meneteskan air mata bahagia. Tidak ada hal lain yang diinginkan Zetta selain kebahagiaan suami dan putrinya.Alva Alexander sendiri sudah ber
"Di mana mereka?" desis Alva dengan tangan terkepal saat menemukan Gevan, Zafier dan Jeremy di lobby hotel."Wuih cepet banget kamu—""DI MANA MEREKA?" bentak Alva seraya menarik kerah kemeja Zafier dengan amarah."Oke. Tenangkan dirimu, Bung," sela Gevan."Bagaimana aku bisa tenang kalau ada lelaki lain yang mengganggu Istriku?" ucapnya seraya melepaskan cekalannya dan mengacak rambutnya sendiri.Gevan berdecak, "Mungkin dia client-nya Zetta.""Ah, bodoh amat! Aku harus naik ke atas dan mencari tahu.""Kita temani," ucap Jeremy yang langsung menekan tombol lift, "Supaya kamu nggak ngamuk seperti singa.""Ahh brengsek! Makin runyam aja. Ini tuh gara-gara kalian!" Alva memukul perut Zaf, melepak kepala Gevan dan menendang kaki Jeremy dengan kesal di dalam lift yang membawa mereka ke lantai atas."Shit!" umpat Gevan sementara Jeremy mengertakkan giginya."Orang sabar di sayang Tuhan, Bung," gumam Zafier seraya memegangi perutnya yang langsung mendapat kepalan tangan Alva.Hari sudah ha
"Hmm, Sayang—" Alva mengacak rambutnya dan duduk di sofa ruang tamu rumahnya dengan penampilan yang berantakan juga bau minuman keras yang menyengat. Semalaman ketiga lelaki brengsek itu sudah memprovokasi untuk menumpahkan kekesalan karena lelaki yang mengobrol dengan Zetta itu ke minuman keras yang akhirnya membuatnya mabuk dan tidak sadarkan diri di salah satu kamar hotel sampai pagi sendirian dan harus kalang kabut pulang ke rumah dan mendapati Arzetta menunggunya di ruang tamu dengan wajah yang menyeramkan."Aku—" Alva bingung ingin menjelaskan dengan cara seperti apa supaya Zetta tidak marah."Kemarin sudah jelas aku bilang kalau kamu harus pulang satu jam lebih awal dari yang seharusnya karena kita rencananya mau ke rumah Mama. Aku sudah berusaha menghubungi kamu tapi nyatanya ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku tidak tidur semalaman menunggu kamu pulang di sofa itu tapi ternyata kamu pulang pagi dan dalam keadaan kacau setelah mabuk seperti ini—" Zetta melipat lengannya di dad
Satu tahun kemudian, di Alexander Corp. New York "Eh setan!" Gevan refleks kaget."Eh, bokong!" ucap Zafier membuat Gevan langsung menendang kakinya."Kalian berdua sinting!" Jeremy mengatai mereka dalam bahasa Indonesia yang sekarang sukses dikuasainya."APA-APAAN INI?" sembur Alva Alexander yang tadi membuka pintu ruang kerjanya dengan kasar saat mengetahui ada tiga lelaki yang sedang asyik menikmati koleksi red wine di dalam kantornya tanpa di undang.Dia baru saja memimpin rapat direksi dan kedatangan ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu tanpa pemberitahuan jelas membuatnya terus bertanya-tanya. Alva mendekati mereka seraya menggelengkan kepala, "Kalian nggak punya kerjaan?""Oh aku jelas orang penting yang selalu sibuk—""Sibuk bercinta maksudmu?" sela Alva menanggapi Zafier yang meminum wine dengan kaki disilangkan."Itu salah satunya," balasnya dengan santai. Alva memutar bola matanya."Kenapa sih kamu itu masuk ke kantor sendiri pakai aksi gebrak pintu model begitu sepe
"Apa?""Apanya?" Alva balik bertanya."Kenapa sejak tadi kamu memandangiku seperti itu?"Alva menaikkan alisnya, "Memandangi bagaimana?"Zetta sedikit memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua lengannya di atas meja, "Kamu menatapku seakan-akan ingin menelanjangiku saat ini.""Ohh—" Alva terkekeh, ikut memajukan tubuhnya dan bertopang dagu di depan Zetta, "Aku memang ingin sekali merobek gaun pengantinmu ini sekarang juga bahkan sebelum kita menginjakkan kaki di Maldives, Nyonya Alva Alexander," Tatapan gairah itu tergambar jelas di mata Alva.Zetta mendengus, "Aku harus terbiasa dengan panggilan itu.""Tentu saja, aku ini Suamimu sekarang," Alva menyisir rambutnya ke belakang dengan senyuman menawan."Lalu—" Zetta meneguk Red Wine dalam sekali teguk tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Suaminya. Lalu mengambil strawberry di tumpukan paling atas buah-buahan yang ada di samping botol Red Wine dan memakannya dengan gerakan erotis. Ia mengecup dan memakan buah itu dengan sensual tepat di d
"Katakan? Apa yang sebenarnya terjadi Zetta?" Alva menatap Zetta yang dia geret keluar dari gereja setelah menyuruh semua yang hadir di sana untuk tidak bergerak dari tempatnya sementara dia meminta penjelasan ke Zetta yang tiba-tiba muncul di siang bolong dengan busana pengantin dan tersenyum menatapnya."Kenapa kamu tiba-tiba bisa ada di sini sementara enam bulan yang lalu kamu jelas-jelas menolak kembali bersamaku bahkan menyuruhku pulang dan tidak usah mencarimu lagi?" Zetta hanya diam melihat kebingungan Alva. "Aku bahkan berpikir kalau kamu sudah menikah dengan lelaki Jepang itu!!!" "Nakamiya?" Zetta menggeleng. "Tidak. Dia guru merangkai bungaku." Alva mengerjapkan matanya, "Jadi kamu memang kursus di sana sambil menghukumku dengan membuatku terlunta-lunta di Jepang mencarimu selama lebih dari setahun?"Zetta tersenyum tanpa dosa, "Begitulah. Aku berniat membuka toko bunga di sini." Alva ternganga. "Aku pikir kamu tinggal menyuruh anak buahmu untuk mencariku. Aku sedikit ter
Alva terdiam di depan gereja katedral yang dulu menjadi tempat pilihannya saat berniat menikahi wanita yang dicintainya secara mendadak tapi tidak pernah terlaksana. Tangga gereja sudah dipercantik dengan hiasan bunga. Lebih mewah dari yang dulu di lakukannya. Pintu di depan sana tertutup. Alva tertegun sesaat.Setelah beberapa bulan ini, dia mencoba untuk merelakan meski sangat tidak rela dan belajar untuk pelan-pelan melupakan tapi tidak sanggup, saat ini semua kenangan yang dia milikki tentang Zetta menyeruak. Dadanya begitu sakit seperti di hantam ribuan godam kasat mata. Hatinya dan hidupnya sudah dia tinggalkan di Jepang. Jadi saat Mamanya menatapnya dengan tatapan frustasi dan mengatakan akan dinikahkan dengan wanita pilihannya, Alva hanya mengangguk mengiyakan. Terserah saja. Alva sama sekali tidak peduli. Tubuhnya bebas untuk dimiliki tapi tidak hatinya."Semuanya sudah menunggu Pak." Edwin membuyarkan lamunannya. "Ayo masuk."Alva berjalan dengan langkah pelan menaiki anak t
Alva masuk ke dalam gereja yang terlihat sepi itu seraya mengedarkan pandangan. Setelah bertanya sana sini akhirnya dia bisa menemukannya. Bangunannya tua tapi masih terawat dengan baik. Tiba-tiba dia terpaku memandangi satu sosok yang duduk sendirian di bagian depan terlihat sedang asyik berdoa. Alva melangkah dengan pelan dan duduk di sampingnya. Zetta menoleh dan tersentak kaget. Alva menatap ke arah depan dan mulai berdoa di sana mengabaikan Zetta yang diam memandanginya."568 hari atau 13.632 jam aku berkelana di Jepang untuk mencarimu Zetta," desah Alva. "Tolong dengarkan dulu perkataanku kali ini." Alva menoleh dan melihat mata abu-abu itu memandanginya dalam diam lalu Zetta menghela napasnya dan duduk bersandar di sana memilih menghadap ke depan."Aku memberimu satu kesempatan untuk berbicara. Setelah itu kamu harus kembali ke New York dan jangan mencariku lagi."Alva diam. Zetta menunggu. "Apa kamu bahagia di sini?" Alva yang juga melihat ke depan berkata lirih membuat Zetta
Kyoto, Jepang.2 Minggu kemudian,Alva menggenggam erat secarik kertas di tangannya saat memandangi toko bunga di hadapannya. Jantungnya berdetak kencang membayangkan bagaimana reaksi Zetta saat dia akhirnya menemukannya setelah melalui waktu yang tidak sebentar untuk mencarinya. Tidak peduli meski tangan kirinya di perban karena patah tulang setelah bertabrakan dengan pengendara sepeda waktu itu dan harus dirawat di rumah sakit.Akhirnya dia menemukan toko bunga itu yang siang ini terlihat ramai pengunjung. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Zetta lakukan di sana? Kursus merangkai bunga?Alva menarik napasnya lalu menghembuskannya dan bergerak masuk ke dalam toko yang langsung di sambut seorang wanita muda berwajah oriental yang mengikat satu rambutnya ke atas membentuk kuncir kuda."Ada yang bisa dibantu?" bahasa inggrisnya lancar tanpa cela. Alva tidak menjawab karena sibuk memandangi area dalam toko memperhatikan semua yang ada di sana."Permisi tuan? Ada yang bisa di bant