Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.
Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.Zetta lalu teringat semua perkataan Gevan Angkasa dan Opa. Sosok seperti apa sebenarnya Alva. Semua kelakuannya ini hanyalah akibat dari kisah tragis cinta masa lalu. Pada sosok Amira yang masih memiliki hatinya bahkan sampai saat ini. Alva belum bisa menjauh bahkan dari bayangan wanita itu.Setelah hari ini Zetta tidak akan pernah memandang Alva dengan cara yang sama lagi seperti sebelumnya."Om Alva, gendong Raline dong."
Seorang gadis cilik cantik yang keseluruhan rambutnya telah rontok akibat kanker ganas yang di deritanya yang sejak tadi berada di pangkuannya merengek manja ke Alva yang berada di depannya. Alva tersenyum lebar seraya berjalan mendekat, mencium puncak kepala gadis itu dan menggendongnya dengan tangkas di sebelah lengannya yang kekar."Raline belum dapat boneka ya. Om bawa Teddy Bear besar. Mau?"Raline mengangguk bersemangat. Zetta berdiri dan mengambilkan satu boneka besar yang sebelumnya Alva beli dan menyerahkannya. Alva menerimanya dengan senyuman lebar, "Terima kasih Tante cantik."Kali ini Zetta tertawa dan mengelus pipi Raline yang pucat saat mendapatkan beruang besar itu dari Alva.Disekeliling mereka terdapat lebih dari 20 anak penderita kanker dengan tingkatan penyakit yang berbeda di salah satu pusat yayasan penderita kanker anak di Vancouver. Ternyata selama ini Alva Alexander tercatat sebagai penyumbang dana tetap yayasan kanker ini meskipun dulu dia menetap di Indonesia.Ada yang bisa berjalan seperti anak normal lainnya tapi banyak juga yang hanya berbaring di tempat tidurnya memperhatikan Alva dan tertawa jika lelaki itu menggoda mereka. Interaksinya dengan anak-anak tanpa cela.Alva Alexander penyuka anak-anak. Bukankah seorang lelaki yang mampu berinteraksi baik dengan anak-anak adalah pribadi yang lembut Arzetta.Itu adalah perkataan Gevan Angkasa saat mereka pernah bertemu. Saat itu Zetta sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana Alva jika berhadapan dengan anak kecil. Dan hari ini dia bisa melihatnya dengan matanya sendiri."Oke semuanya, sudah dapat mainannya kan?"Alva berdiri di tengah ruangan bangsal anak dan menatap mereka berkeliling dengan senyuman lebar. Mereka serempak meneriakkan kata sudah bersama-sama. Zetta duduk di ranjang Raline juga ikut memperhatikan. Banyak perawat wanita yang tidak menyiakan kesempatan ini untuk memandangi Alva."Maaf kalau Om sudah jarang ke sini lagi." Dipandanginya anak-anak itu dengan sorot mata sedih, "Setiap kunjunganku selalu saja ada yang berbeda. Ada yang tetap tinggal, ada yang sudah pergi dan ada yang datang. Selalu seperti itu. Om Alva selalu berdoa, kalian akan mendapatkan kesempatan kedua untuk menjalani hidup. Jadilah pribadi yang ceria meskipun sakit ini menyiksa. Kalian harus sembuh."Zetta mengangkat wajahnya ke atas mencoba untuk menahan air matanya yang ingin mengalir keluar. Di peluknya Raline dengan sayang dan mensyukuri segala hal yang dimilikinya saat ini. Hidup normal tanpa penyakit yang meronggoti tubuh perlahan dan menghitung jarak umur dan waktu untuk mencapai ke sana. Mereka hidup seperti itu, dibayangi kematian."Jangan sedih ya sayang. Om yakin kalian bisa melewati semuanya. Jadi, Om di sini akan menyanyikan sebuan lagu untuk kalian. Ada yang mau dengar?"Semuanya bersorak begitu juga dengan Zetta dan Raline. Zetta pernah dengar kalau Alva dulu saat tinggal di Indonesia adalah seorang vokalis band. Dia penasaran. Seorang perawat membawakan kursi dan sebuah gitar akustik. Alva duduk di sana menjadi pusat dari semua orang."Kalian di cintai jadi berjuanglah untuk tetap hidup. Kalian harus percaya."Alva terlihat menatap wajah-wajah malaikat itu satu persatu dengan tatapan sedih. Saat mata mereka bertemu, Zetta tersenyum tulus untuknya dan memberikan acungan jempol. Perlahan tapi pasti Alva memetik gitarnya. Zetta menahan napasnya. Mengalunlah lagu sendu penuh makna milik Lacrae ft Tory Kelly - I'll find you.Just fight a little longer, my friend, It's all worth it in the end, But when you got nobody to turn toJust hold on, and I'll find you, I'll find you, I'll find youSuara Alva merdu tanpa cela. Zetta terpesona menatap Alva lekat. Semuanya terkesima.Make you feel like you can't fight this on your own, You know I, I'll be there for you no matter where you go, You'll never be alone, noZetta menangis saat Alva menyanyikan bait lirik lagu terakhir dengan sempurna. Lelaki itu menjadi sosok yang berbeda. Tatapannya membuat Zetta terhenyak. Ada banyak cinta di sana.Lalu tepuk tangan menggema diiringi dengan banyaknya air mata di sana. Alva tersenyum lebar dan menggemakan kalimat, "Aku menyayangi kalian semua. Berjuanglah untuk sembuh."***"Ini tidak ada obat tidurnya kan?" Bisik Zetta yang menerima sodoran minum dari Alva yang mendengkus."Buat apa aku lakuin itu. Memangnya aku mau gotong-gotong kau saat kita pulang nanti!"Zetta mencibir, menegak minumannya yang ternyata tanpa alkohol. Saat ini mereka memang sedang berada di salah satu club malam yang terkenal di Vancouver. Sheila dan suaminya Romeo yang merupakan sepupu Alva mengajak mereka bersantai sebelum kembali ke New York besok. Meskipun Zetta agak jengah dipandangin Sheila seakan-akan dia dan Alva memiliki hubungan."Hei pasangan, kalian tidak berdansa?" Zetta dan Alva yang duduk bersisian di sofa menoleh, melihat Romei yang baru kembali setelah menjawab telepon duduk dan merangkul istrinya. "Siapa yang kau panggil pasangan?" Tanya Alva sebelum meneguk minumannya sendiri. Romeo menaikkan alisnya dan menunjuknya, "Tentu saja kau dan dia. Tatapanmu tadi seperti ingin menerkam Zetta."Zetta mendelik dan menggeser duduknya menjauh sedikit dari Alva. Gerakan itu disadari oleh Alva yang disikapi dengan tenang, "Aku potong gajimu jadi setengah kalau kau bergeser lebih menjauh lagi, Arzetta."Zetta mendengkus sebal diam di tempatnya. Romeo dan Sheila tertawa."Ah, aku tahu. Jadi, Alva Alexander tidak mampu menggoda sekretarinya? Apanya yang playboy kalau begitu?"Alva menoleh kesal, "Kau mau melihat bagaimana sangarnya sekretarisku?"Zetta memutar bola mata, mengalihkan pandangan ke lantai dansa yang ramai saat tiba-tiba Alva menggeser duduknya lalu melingkarkan lengannya di bahu. Sontak saja Zetta menoleh kaget dan menyikutkan lengannya ke perut Alva keras."Ah, Sial!" Desis Alva. Romeo dan Sheila tertawa terbahak. Zetta mendengkus sebal, "Jangan curi-curi kesempatan ya,Pak. Cari saja wanita yang bisa kau peluk-peluk."Alva yang nampak jengkel menghabiskan minumannya dalam sekali teguk. Sejak tadi Zetta padahal menyadari tatapan beberapa wanita-wanita seksi dan bahenol yang tersebar di seluruh penjuru club terarah ke Alva yang secara megejutkan diacuhkan oleh laki-laki itu. Padahal sebelum ini, dia pasti senang jika wanita-wanita itu mencuri perhatiannya."Kami ke dance floor dulu ya. Kalian bersenang-senanglah," kekeh Sheila mengejek sambil menarik suaminya.Zetta sibuk dengan ponselnya pura-puta tidak tahu Alva yang mengacak rambutnya kesal. Para pengunjung club semakin ramai dan suasana semakin memanas. Zetta mengalihkan tatapannya ke samping sembari menahan senyuman melihat tingkah Alva saat dia melihat pasangan di kejauhan yang baru saja datang dan membaur dengan ramainya orang-orang di lantai dansa."Sial!" Umpat Zetta saat melihat keduanya naik ke atas mengarah ke tempat di mana mereka berada. Tanpa pikir panjang, Zetta langsung naik ke atas pangkuan Alva saling berhadapan membuat Alva jelas kaget dan shock melihat kelakuannya. Eliana tidak boleh melihatnya bersama Alva di sini."Apa-apan kau,Zetta?!" Tanya Alva bingung."Maaf Pak. Anggap saja saya lagi mabuk sekarang.""Mak--"Belum sempat dia menyelesaikan bicaranya, Zetta menangkup kedua pipinya dan menciumnya. Tubuhnya bergetar meski bibirnya hanya menempel saja. Zetta merasa Alva terkejut setengah mati karena tidak menduga dia akan melakukan hal ini lebih dulu.Zetta kaget saat Alva mencoba melepaskan ciumannya, nampak menyeringai seperti pemangsa yang mendapatkan buruannya dan menarik tubuh Zetta menempel pada tubuhnya membuat Zetta sempat memekik dan Alva menarik tengkuknya lalu menciumnya. Ini yang namanya tidak mensia-siakan kesempatan.Ciuman yang panas dan menggelora.Zetta yang sempat kaget langsung terhanyut dalam ciuman itu dan memeluk leher Alva menyembunyikan wajahnya dan Alva dari tatapan di sekitarnya. Alva menurunkan tangannya dari tengkuk Zetta ke punggung wanita itu dengan sensual. Erangan Zetta terdengar di sela ciuman mereka.Alva bahkan tidak memberi kesempatan untuknya bernapas.Mereka baru berhenti berciuman setelah kehabisan napas dan terengah bersama saling bertatapan. Alva tersenyum dan mengelus pipi Zetta lembut lalu mengusap bibir Zetta yang sedikit bengkak dengan ibu jarinya akibat dari ciumannya tadi yang begitu menggebu-gebu."Zetta." Panggilnya lembut itu mengalahkan suara dentuman musik di sekitarnya. Tatapan mereka saling beradu."Please, be mine."***
Hal pertama yang Zetta lihat setelah berhasil membuka kedua matanya dan menyesuaikan retinanya dengan cahaya di sekitar adalah langit-langit tinggi berwarna putih bersih lalu aroma rumah sakit yang khas tercium indra penciumannya. Badannya rasanya pegal, wajahnya nyeri, telapak tangannya kaku.Tangan. Kaku.Zetta menoleh dan menemukan kepala seseorang dengan rambut hitamnya bersandar pada ranjang nampak tertidur sambil memeluk tangannya dan menggengam jemarinya.Alva.Zetta melarikan jemari tangan satunya dan menyeruakkannya disela-sela rambut halus itu dengan lembut sampai dirasakan lelaki itu menggeliat pelan dan perlahan mengangkat kepalanya membuat Zetta bisa menatap iris mata hijau itu yang masih nampak sayu.Ah ya, Jason.Bagaimana bisa tadi dia mengira kalau itu Alva Alexander."Zetta."Jason langsung menegakkan punggungnya dan berdiri mengusap wajah Zetta dengan kedua tangan nampak khawatir. Mata hijau itu terlihat gusar dan takut.Zetta menggengam telapak tangan Jason di waja
Ternyata malam itu Alva Alexander memang langsung pulang ke New York menggunakan pesawat pribadinya. Setelah sehat dan tidak mengalami luka serius, Zetta di perbolehkan pulang hari itu juga. Sempat berdebat dengan Jason yang bersikeras untuk menginap di Vancouver semalam lagi. Zetta beralasan kalau dia harus segera kembali bekerja. Sebelum bertolak ke bandara, Zetta menyempatkan pamit dengan Oma dan Opa untuk mengucapkan terima kasih. Kata Oma, malam itu Alva memang langsung mengemasi barangnya dan pulang ke New York.Zetta dihinggapi rasa kecewa."Alva tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengemasi barangnya dan milikmu lalu menyuruh seseorang untuk mengantarkannya." Oma nampak sedih menatapnya saat itu seakan-akan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran beliau. "Aku bersyukur bahwa kau tidak terluka Zetta. Beberapa hari di Vancouver, kau sudah mengalami hal yang tidak enak."Saat itu Zetta meyakinkan Oma untuk tidak mengkhawatirkannya. Saat Oma menatap sosok Jason yang sedang berbi
"Selamat pagi,Pak Alva."Zetta berdiri di dekat meja kerjanya saat Alva Alexander masuk bersama Cherry, tunangannya, yang nampak menggelayut manja di lengannya. Alva nampak acuh tapi membiarkan saja tingkah Cherry. "Pagi. Kau sudah sehat?""Iya,Pak.""Baguslah. Ikuti aku.""Baik." Zetta mengambil iPadnya, mencoba mengabaikan lirikan Cherry dan mengikuti keduanya masuk ke dalam ruangannya."Sayang, kau akan menemaniku membeli tas kan sebelum pergi nanti?"Alva berhenti berjalan di depan meja kerjanya, menatap tunangannya yag tersenyum manja."Oke, tapi selama aku bekerja sebaiknya kau diam saja di sana." Alva menunjuk ke sofa. "Jangan bersuara supaya aku tidak terganggu."Cherry mengerucutkan bibir tapi tidak membantah, duduk di sofa dengan santai.Alva berjalan dan duduk di balik meja kerjanya. "Nanti sore aku harus pergi ke Seattle untuk rapat dan kau siapkan semua berkas yang harus aku bawa.""Baik.""Cherry akan sering berada di sini jadi semua yang dia inginkan harus kamu penuhi
Zetta bergegas turun dari taksi yang berhenti di depan kantor dan buru-buru masuk ke lobbi di mana ada Jason duduk di sofa sembari sibuk dengan ponselnya.Zetta menghela napas dan berjalan menghampiri Jason.“Jason,” panggilnya.Jason mengangkat pandangan lalu berdiri sembari tersenyum,”Hai." Sedikit melihatnya bingung karena dia berjalan dari arah depan bukannya lewat lift sembadi membawa tasnya dan baju yang sedikit basah. "Kau dari mana,Zetta?""Tadi keluar sebentar karena ada yang harus di urus.""Oh. Kenapa kau tidak bilang biar aku yang jemput?""Tidak. Aku sedang dalam perjalanan ke sini tadi."Mungkin kalau bukan karena panggilan Jason, dia akan tidur di apartemen Alva sampai besok pagi.“Padahal Kau tidak perlu repot-repot menjemputku saat sedang hujan begini.”Jason tersenyum, menangkup wajahnya dan menatapnya intens,”Tidak ada yang bisa menghentikanku menjemput kekasihku sendiri bahkan hujan badai sekalipun.”Zetta memutar bola matanya,”Kau memang tidak bisa dihentikan.”Ja
"Sebenarnya apa yang terjadi,Arzetta?" Om Jeremy menghentikan mobilnya di halaman mansion Alexander yang megah. Zetta kaget saat Om Jeremy datang ke kantor untuk menjemputnya atas perintah Pak Gabriell. Dilihat dari beliau yang ingin segera membicarakan hal penting itu membuat Zetta gugup. Bagaimana kalau foto itu menimbulkan masalah yang lebih besar. Mungkin saja dia akan di pecat karena Pak Gabriell marah besar. "Tidak apa-apa kok,Om."Om Jeremy nampak tidak percaya. "Apa semua foto-foto itu benar?"Zetta mengatupkan bibir, tidak menjawab, merasa malu dengan Omnya yang mengamati keterdiamannya yang berujung menghela napas."Tentu saja aku tidak berpikir foto-foto itu direkayasa. Hanya saja aku berharap kalau yang di foto itu bukan kau.""Maaf,Om. Itu memang Zetta sengaja melakukannya," selanya. "Tapi Zetta punya alasan sendiri."Jeremy bergeming,mungkin bingung mau mengatakan apa."Kau yang sengaja melakukannya? Bukan karena Alva menggodamu dengan keras hingga kau luluh.""Tidak.
"Apa pak Alva sedang menghindar dari tunangannya yang cantik dan seksi itu sampai harus makan siang sejauh ini?" Tanya Zetta, menekan salad sayurnya dengan garpu sementara Alva sibuk memotong steaknya.Sejak masuk ke dalam restoran, Alva tidak mengatakan apapun bahkan saat Zetta mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Duh, Pak. Tolong jangan libatkan saya dalam perseteruan cinta kalian dong. Kalau mau menghindar ya jangan ajak-ajak. Saya kan takut di salahpahami--hmmp.""Bawel banget,” decak Alva setelah menyumpal mulut Zetta dengan steak dalam ukuran cukup besar membuatnya diam dengan mata melotot."Dinikmati saja makanannya, jangan kebanyakan bicara!"Zetta menghela napas, mengunyah dagingnya dan menelannya lalu bertopang dagu. Ada sedikit yang berbeda dari bosnya yang nampak lebih tenang dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Zetta berdecak, memilih fokus dengan makanannya membiarkan Alva dengan pikirannya sendiri.“Apa yang terjadi antara kau dan Jason se
Zetta baru bisa pulang agak malam gara-gara bosnya yang banyak tingkah. Alva pasti sengaja membuatnya seperti itu agar perselisihannya dengan Jason semakin membuatnya kepikiran. Senang sekali menggoda Zetta yang rasanga ingin mencakar wajahnya yang tampan itu berkali-kali. Selama perjalanan pulang, Zetta berharap jika Jason bisa diajak berbicara baik-baik dan mau mendengarkannya. Dia tidak mau Jason semakin salah paham. Zetta buru-buru masuk ke dalam apartemen yang langsung di sambut oleh Eliana yang mencekal lengannya nampak khawatir. “Apa kalian bertengkar?” tanyanya dengan kening berkerut. “Jason nampak sangat marah sejak pulang tadi sore.” “Yeah, secara tidak langsung ini juga ada sangkut pautnya denganmu,” decak Zetta. Eliana nampak bingung, Zetta menepis tangannya, berjalan mengarah ke kamar Jason dan membukanya. Yang pertama harus ditenangkan itu ialah Jason. “Kita harus bicara,” ucapnya pada Jason yang sedang tidur dengan lengan menutupi wajah. Jason menurunkan tangannya
Flashback On"ARZETTA!!!" pekikan itu menggema bersamaan dengan ambruknya tubuh Zetta ke jalan yang langsung sigap Alva tangkap dan memeluknya sebelum tubuh Zetta membentur aspal jalan tidak memperdulikan luka gesekan di sepanjang lengannya.Alva mencoba bangkit dan duduk dengan Zetta dalam pelukannya nampak panik merapikan rambut Zetta yang terjuntai menutupi wajahnya dan melihat luka lebam akibat dari pukulan Jason yang kuat itu. Alva berdesis menatap Jason yang berdiri terpaku melihat Zetta."BRENGSEK! Kalau sampai Zetta cidera serius. Aku akan menghajarmu sampai mampus!!!" Teriak Alva.Jason tersadar dan langsung merunduk di depan Alva, "Berikan Zetta padaku."Alva mendorong Jason menjauh, "Tidak akan!!! Aku yang akan membawanya ke rumah sakit. Lebih baik kamu pergi dari sini."Jason menggertakkan giginya tidak terima dan berbicara penuh penuh penekanan, "Aku kekasihnya dan kau bukan siapa-siapa jadi berikan Arzetta padaku, Alva Alexander."Alva berdecih dan menatap remeh Jason, "
London, Enam tahun kemudian,Arzetta duduk memandangi megahnya London Eye yang bercahaya biru indah di kejauhan dengan senyuman mengembang di wajah. Terpaan angin malam musim semi menerbangkan helaian rambut panjangnya yang kemudian dia rapikan dengan tangan. Diedarkannya pandangan ke sekelilingnya yang ramai seraya menunggu.Semenjak menikah dan memiliki seorang putri, Arzetta tidak habis-habisnya merasa bersyukur karena bisa merasakan perasaan bahagia tidak terkira dengan berkah yang diberikan padanya. Mengingat perjuangan panjang mereka yang tidak mudah di lalui untuk bisa bersama sampai akhirnya menikah.Masa lalu sebentuk kenangan yang akan tetap terpatri di dalam ingatannya sampai kapanpun. Kadang di saat malam ketika dia terbangun dan mendapati Alva sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya yang tidur di antara mereka membuatnya meneteskan air mata bahagia. Tidak ada hal lain yang diinginkan Zetta selain kebahagiaan suami dan putrinya.Alva Alexander sendiri sudah ber
"Di mana mereka?" desis Alva dengan tangan terkepal saat menemukan Gevan, Zafier dan Jeremy di lobby hotel."Wuih cepet banget kamu—""DI MANA MEREKA?" bentak Alva seraya menarik kerah kemeja Zafier dengan amarah."Oke. Tenangkan dirimu, Bung," sela Gevan."Bagaimana aku bisa tenang kalau ada lelaki lain yang mengganggu Istriku?" ucapnya seraya melepaskan cekalannya dan mengacak rambutnya sendiri.Gevan berdecak, "Mungkin dia client-nya Zetta.""Ah, bodoh amat! Aku harus naik ke atas dan mencari tahu.""Kita temani," ucap Jeremy yang langsung menekan tombol lift, "Supaya kamu nggak ngamuk seperti singa.""Ahh brengsek! Makin runyam aja. Ini tuh gara-gara kalian!" Alva memukul perut Zaf, melepak kepala Gevan dan menendang kaki Jeremy dengan kesal di dalam lift yang membawa mereka ke lantai atas."Shit!" umpat Gevan sementara Jeremy mengertakkan giginya."Orang sabar di sayang Tuhan, Bung," gumam Zafier seraya memegangi perutnya yang langsung mendapat kepalan tangan Alva.Hari sudah ha
"Hmm, Sayang—" Alva mengacak rambutnya dan duduk di sofa ruang tamu rumahnya dengan penampilan yang berantakan juga bau minuman keras yang menyengat. Semalaman ketiga lelaki brengsek itu sudah memprovokasi untuk menumpahkan kekesalan karena lelaki yang mengobrol dengan Zetta itu ke minuman keras yang akhirnya membuatnya mabuk dan tidak sadarkan diri di salah satu kamar hotel sampai pagi sendirian dan harus kalang kabut pulang ke rumah dan mendapati Arzetta menunggunya di ruang tamu dengan wajah yang menyeramkan."Aku—" Alva bingung ingin menjelaskan dengan cara seperti apa supaya Zetta tidak marah."Kemarin sudah jelas aku bilang kalau kamu harus pulang satu jam lebih awal dari yang seharusnya karena kita rencananya mau ke rumah Mama. Aku sudah berusaha menghubungi kamu tapi nyatanya ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku tidak tidur semalaman menunggu kamu pulang di sofa itu tapi ternyata kamu pulang pagi dan dalam keadaan kacau setelah mabuk seperti ini—" Zetta melipat lengannya di dad
Satu tahun kemudian, di Alexander Corp. New York "Eh setan!" Gevan refleks kaget."Eh, bokong!" ucap Zafier membuat Gevan langsung menendang kakinya."Kalian berdua sinting!" Jeremy mengatai mereka dalam bahasa Indonesia yang sekarang sukses dikuasainya."APA-APAAN INI?" sembur Alva Alexander yang tadi membuka pintu ruang kerjanya dengan kasar saat mengetahui ada tiga lelaki yang sedang asyik menikmati koleksi red wine di dalam kantornya tanpa di undang.Dia baru saja memimpin rapat direksi dan kedatangan ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu tanpa pemberitahuan jelas membuatnya terus bertanya-tanya. Alva mendekati mereka seraya menggelengkan kepala, "Kalian nggak punya kerjaan?""Oh aku jelas orang penting yang selalu sibuk—""Sibuk bercinta maksudmu?" sela Alva menanggapi Zafier yang meminum wine dengan kaki disilangkan."Itu salah satunya," balasnya dengan santai. Alva memutar bola matanya."Kenapa sih kamu itu masuk ke kantor sendiri pakai aksi gebrak pintu model begitu sepe
"Apa?""Apanya?" Alva balik bertanya."Kenapa sejak tadi kamu memandangiku seperti itu?"Alva menaikkan alisnya, "Memandangi bagaimana?"Zetta sedikit memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua lengannya di atas meja, "Kamu menatapku seakan-akan ingin menelanjangiku saat ini.""Ohh—" Alva terkekeh, ikut memajukan tubuhnya dan bertopang dagu di depan Zetta, "Aku memang ingin sekali merobek gaun pengantinmu ini sekarang juga bahkan sebelum kita menginjakkan kaki di Maldives, Nyonya Alva Alexander," Tatapan gairah itu tergambar jelas di mata Alva.Zetta mendengus, "Aku harus terbiasa dengan panggilan itu.""Tentu saja, aku ini Suamimu sekarang," Alva menyisir rambutnya ke belakang dengan senyuman menawan."Lalu—" Zetta meneguk Red Wine dalam sekali teguk tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Suaminya. Lalu mengambil strawberry di tumpukan paling atas buah-buahan yang ada di samping botol Red Wine dan memakannya dengan gerakan erotis. Ia mengecup dan memakan buah itu dengan sensual tepat di d
"Katakan? Apa yang sebenarnya terjadi Zetta?" Alva menatap Zetta yang dia geret keluar dari gereja setelah menyuruh semua yang hadir di sana untuk tidak bergerak dari tempatnya sementara dia meminta penjelasan ke Zetta yang tiba-tiba muncul di siang bolong dengan busana pengantin dan tersenyum menatapnya."Kenapa kamu tiba-tiba bisa ada di sini sementara enam bulan yang lalu kamu jelas-jelas menolak kembali bersamaku bahkan menyuruhku pulang dan tidak usah mencarimu lagi?" Zetta hanya diam melihat kebingungan Alva. "Aku bahkan berpikir kalau kamu sudah menikah dengan lelaki Jepang itu!!!" "Nakamiya?" Zetta menggeleng. "Tidak. Dia guru merangkai bungaku." Alva mengerjapkan matanya, "Jadi kamu memang kursus di sana sambil menghukumku dengan membuatku terlunta-lunta di Jepang mencarimu selama lebih dari setahun?"Zetta tersenyum tanpa dosa, "Begitulah. Aku berniat membuka toko bunga di sini." Alva ternganga. "Aku pikir kamu tinggal menyuruh anak buahmu untuk mencariku. Aku sedikit ter
Alva terdiam di depan gereja katedral yang dulu menjadi tempat pilihannya saat berniat menikahi wanita yang dicintainya secara mendadak tapi tidak pernah terlaksana. Tangga gereja sudah dipercantik dengan hiasan bunga. Lebih mewah dari yang dulu di lakukannya. Pintu di depan sana tertutup. Alva tertegun sesaat.Setelah beberapa bulan ini, dia mencoba untuk merelakan meski sangat tidak rela dan belajar untuk pelan-pelan melupakan tapi tidak sanggup, saat ini semua kenangan yang dia milikki tentang Zetta menyeruak. Dadanya begitu sakit seperti di hantam ribuan godam kasat mata. Hatinya dan hidupnya sudah dia tinggalkan di Jepang. Jadi saat Mamanya menatapnya dengan tatapan frustasi dan mengatakan akan dinikahkan dengan wanita pilihannya, Alva hanya mengangguk mengiyakan. Terserah saja. Alva sama sekali tidak peduli. Tubuhnya bebas untuk dimiliki tapi tidak hatinya."Semuanya sudah menunggu Pak." Edwin membuyarkan lamunannya. "Ayo masuk."Alva berjalan dengan langkah pelan menaiki anak t
Alva masuk ke dalam gereja yang terlihat sepi itu seraya mengedarkan pandangan. Setelah bertanya sana sini akhirnya dia bisa menemukannya. Bangunannya tua tapi masih terawat dengan baik. Tiba-tiba dia terpaku memandangi satu sosok yang duduk sendirian di bagian depan terlihat sedang asyik berdoa. Alva melangkah dengan pelan dan duduk di sampingnya. Zetta menoleh dan tersentak kaget. Alva menatap ke arah depan dan mulai berdoa di sana mengabaikan Zetta yang diam memandanginya."568 hari atau 13.632 jam aku berkelana di Jepang untuk mencarimu Zetta," desah Alva. "Tolong dengarkan dulu perkataanku kali ini." Alva menoleh dan melihat mata abu-abu itu memandanginya dalam diam lalu Zetta menghela napasnya dan duduk bersandar di sana memilih menghadap ke depan."Aku memberimu satu kesempatan untuk berbicara. Setelah itu kamu harus kembali ke New York dan jangan mencariku lagi."Alva diam. Zetta menunggu. "Apa kamu bahagia di sini?" Alva yang juga melihat ke depan berkata lirih membuat Zetta
Kyoto, Jepang.2 Minggu kemudian,Alva menggenggam erat secarik kertas di tangannya saat memandangi toko bunga di hadapannya. Jantungnya berdetak kencang membayangkan bagaimana reaksi Zetta saat dia akhirnya menemukannya setelah melalui waktu yang tidak sebentar untuk mencarinya. Tidak peduli meski tangan kirinya di perban karena patah tulang setelah bertabrakan dengan pengendara sepeda waktu itu dan harus dirawat di rumah sakit.Akhirnya dia menemukan toko bunga itu yang siang ini terlihat ramai pengunjung. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Zetta lakukan di sana? Kursus merangkai bunga?Alva menarik napasnya lalu menghembuskannya dan bergerak masuk ke dalam toko yang langsung di sambut seorang wanita muda berwajah oriental yang mengikat satu rambutnya ke atas membentuk kuncir kuda."Ada yang bisa dibantu?" bahasa inggrisnya lancar tanpa cela. Alva tidak menjawab karena sibuk memandangi area dalam toko memperhatikan semua yang ada di sana."Permisi tuan? Ada yang bisa di bant