Olivia menaikan sarung tangan karet begitu memasuki dapur kafetaria. Gadis itu memimpin
pergerakan dua temannya setelah Percy berhasil mencongkel pintu.
Pria itu memilih di belakang untuk berjaga-jaga. Orang terkuatlah yang harus memastikan tidak ada
‘anjing’ yang tiba-tiba menggigit bokong mereka.
Sekilas tidak ada yang aneh dari tempat itu. Sebuah dapur biasa yang berantakan. Bahan baku dapur
berjatuhan ke lantai, piring-piring dan alat dapur lainnya tergeletak di mana saja. Cukup masuk akal,
mengingat tempat ini juga ikut di investigasi mendadak.
Carla menutup hidungnya. Dapur ini juga benar-benar bau karena ada masakan yang ditinggalkan
begitu saja.
“Mereka membuat makanan-makanan ini terbuang,” gerutu Carla.
Percy dan Olivia berpencar ke dua sisi yang saling berseberangan. Menelisik segala sisi ruangan
dengan
Sebenarnya, apa kesalahan yang telah dilakukan anak manusia ini? Apa yang dunia dambakan terhadap kelahirannya? Dia tidak meminta untuk dilahirkan untuk menampung semua derita. Keharmonisan keluarga. Waktu yang menyenangkan. Impian yang dekat. Semua itu seperti sebuah dongeng belaka. Benar, semua orang menerima kadar penderitaannya masing-masing. Namun, adilkah baginya untuk menerima porsi sederas ini? Dalam satu waktu—dengan kedua tangan mungil—dia harus merengkuh banyak tanggung jawab. Merin ingin melakukan yang terbaik untuk sidangnya, untuk Eldric, dan orangtua angkat yang telah membesarkannya. Meski tahu dia hanya menjadi alat, tidak bisa dipungkiri bahwa dia tetap menyayangi mereka. Itulah kenapa Merin mati-matian untuk mendapatkan pengakuan mereka. Dia ingin menjadi anak yang membanggakan dengan caranya sendiri. Dia ingin mereka tidak pernah menyesal telah memungutnya. Berharap mereka bisa sadar dan lebih menyayanginya. Eldric masuk ke kamar. Secangkir cokelat panas
Berselimut lampu yang meremang, perkelahian masih berlangsung sengit. Omelan dan pekikanbergumul nyaring baik dari Carla maupun Daffa. Dari awal, mulut mereka juga ikut aktif. Bahkan duelantara Percy dengan si anak buah suaranya jadi teredam.“Laki-laki lembek, segitu saja kemampuanmu?” ledek Carla. Berhelai-helai rambut sudah keluar darikuncirannya, entah kenapa kunciran itu ada yang di atas dan ada yang di bawah.Daffa menyeka darah yang keluar dari hidungnya, lalu tersenyum remeh.“Benar dugaanku. Gadis badut sepertimu lebih berbahaya daripada laki-laki dewasa!”“Apa katamu? Gadis badut?” teriak Carla.“Tentu saja! Cerewet, jelek, acak-acakkan! Dan, kuku jarimu—kamu tidak pernah memotongnyaapa?”“Ha! Gaya bicaramu seperti nenekku.”Daffa berdecih. “Sudah cukup main-main untuk hari ini, aku tidak punya waktu!” Seringai Daffakembali. Satu tangannya bersembunyi di belakang. Secepat kilat, dia merogoh saku dan mengeluarkansebuah belati. Pria itu berlari, mengacungkan senjatanya d
Eldric mengacingkan lengan jasnya di depan Nyonya Carol dan berkata, “Anda tak ingin adapertumpahan darah di sini, kan?”“Apa yang coba Anda lakukan, Profesor Eldric?” geram Nyonya Carol, giginya bergesekkan satusama lain.“Aku? Melakukan hal semestinya sebagai—”“Sebagai?”Eldric menghela napas. “Pemimpin PYRAMID.”“Apa?” pekik Nyonya Carol, nada suaranya amat melengking.“Kenapa Anda kaget begitu? Profesor Takeda telah menunjuk saya di surat warisannya,” terangEldric.“Lalu, kamu pikir PYRAMID tidak bisa bubar?” tanya Nyonya Carol.“Tentu saja. Tidak ada alasan kuat bagi Anda untuk membubarkan kami. Tersangka Anda telahmeninggal, dan tidak ada hubungannya lagi dengan PYRAMID. Oh
Bata merah berada di puncak kepala Merin. Begitu benda itu dibenturkan, tengkorak gadis itu akan pecah. Namun, Daffa menginginkan hal lebih sebab dendam dan dengki telah merasuki jiwanya. Hancurkan, hingga berkeping-keping. “Sama seperti mereka yang tidak memberikanku kesempatan kedua, aku tidak akan memberimu kesempatan untuk mengucapkan kata-kata terakhir.” Air mata Merin menitik, dia tertunduk pasrah. Menangis tanpa suara. Sementara hatinya berkecamuk rasa pilu. Aku akan menikahimu, Merin Noella Amyra.Padahal begitu Eldric berkata seperti itu, imajinasi liar sudah langsung terbayang olehnya. Berjalan di altar. Berdiri di depan pangeran berjas putih yang gagah. Saling menorehkan senyum dan mengucap janji suci. Kemudian disempurnakan dengan kecupan dan pelukan hangat. Sekarang, kalimat indah itu terdengar m
Amplop cokelat diletakkan di tengah-tengah meja. Ayah Merin tetap bersedekap, enggan membukabenda itu. Sementara ibunya terus memalingkan wajah dengan ketus.“Ini surat pemutusan hubungan adopsi,” terang Merin. Dia meletakkan lagi sebuah undanganberbingkai emas. “Dan ini, undangan pernikahanku. Meski ayah tidak mengantarku menuju altar,kuharap ayah dan ibu bisa datang.”Ayah Merin berdecih. “Apa yang bisa kauharapkan dari kami? Kami juga tidak akan mengharapkanapa pun lagi darimu.”Tahan, cantik, kamu tak perlu membuang energi. Bisikan Eldric yang memantau dari jauh membuathelaan napas kasar gadis itu tertahan. Dia berusaha mengeluarkannya selembut mungkin, sepertimeluruhnya segala emosi.Merin menelan ludah. “Aku tidak pernah mengatakan ini, tapi terima kasih karena telah merawatkuhingga sebesa
Sepeninggal Daffa menyisakan rasa bersalah. Terlalu tiba-tiba. Terlalu tragis. Eldric tampak muram meski dia telah berhasil memusnahkan rasa penasaran publik. Dengan, berbohong. Tidak ada caralain. Ia berbohong bahwa yang meninggal hanyalah hologram, dan Eldric membenci kebohongan itu. Sisi baiknya adalah publik senang atas pembatalan hukuman si psikopat. Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Carla tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Eldric yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, Merin memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena Merin dan Eldric sama-sama menyukai hewan. Sebuah usaha untuk membuat suaminya merasa lebih baik.
Di lorong rumah sakit, Olivia berjalan menuju kamar Merin. Gadis itu langsung berangkat begitu mendapat kabar kecelakaan. Namun, dia berhenti saat satu langkah melewati liftyang hampir tertutup.Dia yakin melihat Merin di dalam lift. Pingsan di kursi roda, bersama orang asing. Buru-buru, Olivia langsung menelepon Eldric.[Seseorang menculik Merin! Aku akan menahannya di parkiran!]Eldric menutup teleponnya dengan rahang mengeras. Dalam kecepatan penuh, ia berlari secepat kilat. Pria itu bertekad akan sampai hanya dalam waktu lima menit meski harus melukai tubuhnya yang tanpa henti menabrak apa pun di depannya.Merin tidak bisa bergantung pada apa pun dan siapa pun. Dia hanya akan mengandalkan kedua kakinya untuk meraih Merin kembali.Persetan dengan semua. Tunggu aku, Merin.***Dengan napas
Langit tak secerah biasanya, sesuai dengan suasana hati Merin. Gadis itu menghanyutkan diri pada udara lembab. Menatap sedu rintik-rintik hujan yang menghujami layaknya jarum tajam.Penghangat ruangan tampak bekerja lebih keras karenanya. Meski suaranya cukup mengganggu—dan Merin sudah membayangkan benda itu dibanting olehnya, dia tidak melakukannya. Energinya sudah terkuras habis menggulung kebencian pada Daffa. Bahkan setelah kematiannya, pria itu masih saja mengganggu hidup Merin.Eldric selesai dengan urusan kamar mandinya. Dia segera menghampiri istrinya. Duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Merin. Berusaha menahan Merin agar tidak terlalu hanyut dalam lamunan dan beralih padanya seorang.“Sayang, kamu lagi mikirin apa?”Berpaling dari langit, kelopak mata Merin masih sedu saat menatap Eldric. Kemudian perlahan naik pada rambut basah dan handuk putih melingkar di ten