Amplop cokelat diletakkan di tengah-tengah meja. Ayah Merin tetap bersedekap, enggan membuka
benda itu. Sementara ibunya terus memalingkan wajah dengan ketus.
“Ini surat pemutusan hubungan adopsi,” terang Merin. Dia meletakkan lagi sebuah undangan
berbingkai emas. “Dan ini, undangan pernikahanku. Meski ayah tidak mengantarku menuju altar,
kuharap ayah dan ibu bisa datang.”
Ayah Merin berdecih. “Apa yang bisa kauharapkan dari kami? Kami juga tidak akan mengharapkan
apa pun lagi darimu.”
Tahan, cantik, kamu tak perlu membuang energi. Bisikan Eldric yang memantau dari jauh membuat
helaan napas kasar gadis itu tertahan. Dia berusaha mengeluarkannya selembut mungkin, seperti
meluruhnya segala emosi.
Merin menelan ludah. “Aku tidak pernah mengatakan ini, tapi terima kasih karena telah merawatku
hingga sebesa
Sepeninggal Daffa menyisakan rasa bersalah. Terlalu tiba-tiba. Terlalu tragis. Eldric tampak muram meski dia telah berhasil memusnahkan rasa penasaran publik. Dengan, berbohong. Tidak ada caralain. Ia berbohong bahwa yang meninggal hanyalah hologram, dan Eldric membenci kebohongan itu. Sisi baiknya adalah publik senang atas pembatalan hukuman si psikopat. Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Carla tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Eldric yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, Merin memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena Merin dan Eldric sama-sama menyukai hewan. Sebuah usaha untuk membuat suaminya merasa lebih baik.
Di lorong rumah sakit, Olivia berjalan menuju kamar Merin. Gadis itu langsung berangkat begitu mendapat kabar kecelakaan. Namun, dia berhenti saat satu langkah melewati liftyang hampir tertutup.Dia yakin melihat Merin di dalam lift. Pingsan di kursi roda, bersama orang asing. Buru-buru, Olivia langsung menelepon Eldric.[Seseorang menculik Merin! Aku akan menahannya di parkiran!]Eldric menutup teleponnya dengan rahang mengeras. Dalam kecepatan penuh, ia berlari secepat kilat. Pria itu bertekad akan sampai hanya dalam waktu lima menit meski harus melukai tubuhnya yang tanpa henti menabrak apa pun di depannya.Merin tidak bisa bergantung pada apa pun dan siapa pun. Dia hanya akan mengandalkan kedua kakinya untuk meraih Merin kembali.Persetan dengan semua. Tunggu aku, Merin.***Dengan napas
Langit tak secerah biasanya, sesuai dengan suasana hati Merin. Gadis itu menghanyutkan diri pada udara lembab. Menatap sedu rintik-rintik hujan yang menghujami layaknya jarum tajam.Penghangat ruangan tampak bekerja lebih keras karenanya. Meski suaranya cukup mengganggu—dan Merin sudah membayangkan benda itu dibanting olehnya, dia tidak melakukannya. Energinya sudah terkuras habis menggulung kebencian pada Daffa. Bahkan setelah kematiannya, pria itu masih saja mengganggu hidup Merin.Eldric selesai dengan urusan kamar mandinya. Dia segera menghampiri istrinya. Duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Merin. Berusaha menahan Merin agar tidak terlalu hanyut dalam lamunan dan beralih padanya seorang.“Sayang, kamu lagi mikirin apa?”Berpaling dari langit, kelopak mata Merin masih sedu saat menatap Eldric. Kemudian perlahan naik pada rambut basah dan handuk putih melingkar di ten
Seorang pria botak berjaket bomber memasuki salah satu kafe terkenal di Washington D.C. Dia berjalan agak gelisah, tapi berusaha terlihat tak terguncang. Mendekati meja paling pojok dekat jendela. Di mana di sana, satu pria lainnya sedang duduk santai.Pria tua—dengan berewok tipis dan kupluk hitam bergambar kartun Mickey Mouse—memainkan sebatang rokok tak berasap. Walau terlihat jelas kerutan di dahi dan ujung mata, gaya pria itu tampak trendydengan balutan celana jeansdan kaos anak muda serba hitam. Kemudian dibalut dengan jaket kulit berantai yang warnanya hitam pula. Tubuhnya masih tegap dan dia menyemir ubannya dengan warna cokelat.Pelupuk mata pria itu menangkap kedatangan si pria botak. Datar, tanpa antusiasme sedikit pun.“Jo Casper melapor,” kata si pria botak sambil membungkukkan badan. Setelah menerima afirmasi dari Black berupa sekali anggukan, p
10 TAHUN YANG LALUBadai salju tahunan melanda ibukota Amerika Serikat. Salju sebesar biji jagung bagai terlempar dahsyat bersamaan dengan angin kencang. Saking cepatnya ia turun ke bumi, hampir satu jam salju-salju itu menggunung di jalanan dan tempat-tempat lainnya.Banyak mobil-mobil terjebak di tengah jalan. Tidak bisa bergerak karena gundukan salju yang menyebalkan malam itu. Pria dengan kupluk hitam bergambar karakter Mickey Mouse duduk di kursi kemudi. Bajunya tampak lusuh. Dia juga merasa pegal, mual, dan nyeri di beberapa bagian.Ruas-ruas jari yang besar dan berurat memutar volume radio menjadi lebih nyaring. Supaya berita tentang badai ini terdengar jelas di kuping majikannya.Sekaligus menenggelamkan suara wanita di jok belakang—penuh riasan glamour— yang tak henti-hentinya mengomel. Namun, tetap saja. Sebagai seorang rendahan, dia tak boleh melewatkan satu omelan itu dan wajib senantiasa menjawab. Meladeni majikan dengan kata-kata menenangkan akan berakhir sia-sia.“Ada b
Hari terakhir Eldric bekerja sebelum cuti. Semangat pria itu membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri.“Kamu tahu? Aku seperti meladeni anak TK di hari pertama masuk sekolah,” ledek Merin.Gerakan mengoles selai cokelat pada roti dibuat sehalus mungkin. Merin menyetarakannya dengan melodi dari lagu klasik yang diputar pagi itu. Kadang, gadis itu kesulitan menahan tawanya karena suasana hati Eldric yang tidak setenang melodinya, melainkan lebih menggebu-gebu. Dan, pria itu sama sekali tidak terpengaruh.“Apa kerjaanmu banyak hari ini?” Merin selesai dengan oles-mengoles, lalu menempatkan roti itu ke piring Eldric. “Kamu juga harus coba roti selainya,” timpal Merin.“Tidak, banyak. Cuma menangani tiga kriminal istimewa yang hampir sampai pada tahap akhir,” beber Eldric.Kilat penasaran tercermin dari mata Merin. Dia menyidekapkan tangan di meja. “Oh, ya? Siapa yang terburuk?”“N
Lengkingan listrik meyayat otak remaja yang tampak pucat dan lesu. Banyak garis membelah kulit bibirnya. Namun, penampilan Daniel Harrison bisa dibilang lebih baik dari sewaktu Eldric melihatnya di layar besar.Kaos dalam lusuh telah berganti dengan kemeja dan celana yang layak pakai. Begitu pula dengan rambut ikal yang ditata rapi. Hanya saja, dia merasa angin kencang terus menyerbu ke arahnya.Lengkingan itu terhenti dan tersisa desauan angin. Daniel segera menurunkan tangan dari telinga. Kelopak mata berbulu lentik dibuka selebar-selebarnya. Dia pun mendapati situasi berbeda.Euphoria di sirkuit.Menganga, Daniel berputar. Menggosok-gosokkan mata biru yang ditanamkan di syarafnya. Dia tidak sendirian di tempat ini. Amat sangat banyak orang di sini memenuhi kursi penonton. Aneh sekali sebab mereka semua tidak berfokus pada seorang anak yang berada di tengah sirkuitKebingungan Daniel bertambah saat sorak sorai mereka semakin nyaring. Ke suatu titik yang pasti. Mata Daniel lantas men
Bolak-balik Eldric memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Merin menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau Fantasia Island berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Eldric dan Merin, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Eldric mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Eldric, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja.Merin menggeser gorden raksasa dalam dua arah. Kelap-kelip bintang-bintang terlihat menaungi Sydney di malam hari. Gemerla