"Nek, ini uang hasil cucian Kamila. Nenek pegang sebagian, ya. Sebagian lagi akan Mila belanjakan ke warung Bu Ani. Mila akan membeli beras dan beberapa kebutuhan dapur." Kamila menyerahkan uang seratus lima puluh ribu pada neneknya. Sedangkan seratus lima puluh ribu, sisanya, akan dibawa kewarung untuk membeli kebutuhan dapur.
"Mila sayang, kamu pegang saja semua ya, Nduk. Nenek tidak perlu uang ini. Memangnya Mila gak kepengen beli kerudung atau pakaian baru?" Nek Sumi menyerahkan uang itu kembali ketangan Kamila.
Karna selama ini, Kamila tidak pernah membeli barang barang pribadi untuk dirinya. Baju dan kerudung yang dipakai oleh Kamila,kebanyakan diberi oleh tetangga mereka. Dan yang lebih sering, Bu Indri- Ibu Setya yang memberi banyak baju untuk Kamila. Tak jarang juga, gamis yang diberi oleh Bu Indri, adalah gamis yang masih baru. Begitupun juga dengan kerudung. Kamila kerap kali menolak dengan sopan pemberian Bu Indri. Karna Kamila merasa tidak enak sudah merepotkan Bu Indri. Namun, Bu Indri tetap saja memaksa.
Bu Indri sangat menyayangi Kamila. Meskipun tergolong dari keluarga kaya, Bu Indri sangat menginginkan Kamila menjadi menantu nya. Bu Indri sangat berharap, jika Kamila kelak akan menjadi Istri dari anak tunggalnya- Setya.
"Nek, Kamila sudah punya banyak sekali pakaian. Nenek kan tahu sendiri, Bu Indri sering sekali memberi gamis gamis cantik pada Kamila. Kamila sebetulnya merasa sangat tidak enak, Nek. Bagaimana, ya, jika Bu Indri memberikan pakaian lagi pada Mila. Kalau bekas, Mila masih bisa terima, Nek. Tapi Bu Indri, dengan sengaja membeli gamis, kerudung, serta kaos kaki baru pada Mila." Kamila sungguh sangat merasa tidak enak pada Bu Indri. Dia tak ingin, Bu Indri merasa dimanfaatkan olehnya.
" Mau bagaimana lagi, Nduk. Bu Indri itu orang yang baik. Tidak mungkin kita menyakiti hatinya dengan menolak pemberian nya. Yang Nenek lihat, Bu Indri sangat tulus memberikan semua itu kepada kamu. Dia tampak sangat menyayangimu." Kali ini, naluri seorang Nenek yang membesarkan Kamila lah, yang berbicara.
" Halaaahhh, kamu ini, memang tidak tahu diri. Sudah untung, ada yang mau memberi kamu baju bekas. Kalau tidak, bisa bisa jadi orang gila kamu gak pakai baju, tahu tidak? Jangan sok berlagak seperti orang kaya deh, kamu itu. Sudah susah, ya susah saja. Tidak usah sombong." Kakek Parmin tiba tiba sudah berada didepan pintu kamar Nek Sumi, dan langsung menyembur Kamila dengan caci maki yang biasa dia lontarkan.
"Kamu sudah punya uang? Sini, buatku saja. Kamu tidak usah pegang uang." Kakek Parmin yang melihat uang ditangan Kamila, langsung menyambar uang yang tadinya akan dikasi kepada Nek Sumi, sekarang sudah dirampas oleh Kek Parmin. Beruntung, setengah sisa uang, sudah disimpan Kamila. Jika tidak, pasti akan diambil semua oleh Kakeknya yang kejam itu." Kek, itu buat nenek." Bibir Kamila bergetar takut berbicara pada Kakeknya.
" Kamu ini, untuk apa juga dikasi dia. Orang gak bisa ngapa ngapain malah dikasi uang. Mending buat aku saja lah." Kakek Parmin menatap tajam pada Kamila.
" Ya sudah. Tidak apa apa. Tapi, Kek, jangan dipakai buat mabuk dan judi, ya!" Ucap Kamila pelan pada Kakeknya. Dia tak ingin, Kakeknya masuk terlalu dalam kedalam lubang dosa itu.
" Apa katamu? Kamu mau menceramahi ku? Kamu berusaha mengajariku? Ha? Berani beraninya kau ini, ya?" Kakek Parmin terlihat sangat marah atas ucapan yang dilontarkan oleh Kamila. Kehormatannya terasa terusik oleh cucunya yang sangat dibencinya itu.
Plaakk.
Telapak tangannya yang berukuran lebih besar daripada pipi Kamila, membuat tanda merah di pipi gadis itu.
" Astaghfirullah, Paakkk." Nek Sumi berteriak pada Suaminya.
Rasa panas tentu saja dirasakan Kamila. Sakit. Sudah pasti. Kamila tidak menyangka jika kalimat pendek yang dilontarkan nya, membuat lelaki tua itu murka.
"Maaf, Kek. Kamila tidak bermaksud membuat Kakek marah. Sekali lagi, Mila minta maaf, Kek." Mohon Kamila pada Kakeknya, sembari mengusap pipi kanan yang terkena tamparan keras Kakeknya itu.
" Makanya, jadi anak jangan durhaka sama orang tua. Jangan sok mau menceramahi aku. Tau kan kamu akibatnya." Kakek Parmin kemudian berlalu meninggalkan Kamila dan Nenek Sumi. Dia pulang, hanya ingin mengambil uang Kamila. Lalu kembali pergi ketempat perjudian di kampung itu. Menghabiskan uang. Dan jika sudah habis, dia kembali untuk meminta pada Kamila. Jika tak ada, maka dia tanpa rasa iba, menyiksa cucu kandungnya itu.
"Sing sabar, yo, Nduk. Nenek tak bisa berbuat apa apa." Nek Sumi mencium ubun ubun cucunya yang tengah menangis sesenggukan memeluk tubuh Neneknya yang hanya bisa berbaring itu.
Setelah meluapkan kesedihannya dipelukan sang Nenek, Kamila beranjak, karna terdengar suara Adzan dari Surau. Kamila mengambil Wudhu, lalu menunaikan kewajiban nya pada sang pencipta.
Selesai melaksanakan Sholat Dzuhur, dan memberi makan Nek Sumi, Kamila bersiap siap akan belanja kebutuhan dapur ke Warung Bu Itah, seperti yang sudah direncanakan nya tadi.
" Nek, Kamila ke Warung sebentar, ya. Nenek mau titip beli camilan apa? Mumpung ada rezeki." Kamila tersenyum tipis sembari menunjukkan uang nya tadi pada Neneknya.
" Tidak usah, Nduk. Beli yang pokok saja. Nenek tidak mau cemilan apapun. Lagipula, gigi juga sudah rontok. Tidak kuat ngemil ngemil." Nek Sumi menunjukkan gigi ompongnya pada Kamila. Yang membuat gadis itu tertawa.
Ya, begitulah Kamila. Luka yang belum kering dihatinya, karna perbuatan Kakek Parmin, tak membuat Kamila merasa sedih berlarut larut. Entah karna hati yang sudah ditempa sejak lama, atau pula karna Nek Sumi yang menjadi penyemangat nya.
"Kamila pergi, ya, Nek. Assalamualaikum." Kamila mencium kening Nek Sumi, lalu beranjak keluar rumah, dan menutup pintu.
Dengan mata yang masih sembab, karna menangis tadi, dan pipi yang masih terlihat bekas tamparan, Kamila berjalan ke warung Bu Itah yang berada di simpang jalan menuju keluar desa ini.
Desa Sukaramai, adalah nama desa Kamila. Penduduknya lumayan banyak. Namun, suasana nya masih sangat asri dan terawat. Sawah dan kebun sayuran milik warga, juga menghiasi pemandangan di pinggiran jalan desa ini. Ada juga beberapa rumah yang terbilang mewah disini. Termasuk, rumah orang tua Setya.
Kamila berjalan menyusuri desa menuju simpang jalan. Dan lagi, Kamila bertemu dengan Setya saat melewati balai desa tempat mereka duduk pagi tadi. Terlihat Setya sedang mengobrol dengan para teman sebayanya. Lelaki itu tampak masih menggunakan baju koko, dan peci dikepalanya. Sepertinya, dia baru saja pulang dari surau.Balai itu, memang sering dijadikan tempat kumpul warga desa ini. Anak anak muda di desa ini, juga kerap berkumpul di balai itu, untuk sekedar ngobrol, atau bermain catur.
Kamila sengaja mengacuhkan Setya dengan pura pura tidak melihatnya. Tapi, tentu saja Setya menyadari bahwa Kamila berada disekitarnya.
"Kamila. Kamila. Tunggu." Benar saja, Setya langsung memanggil Kamila, dan mengejar Kamila yang sudah berjalan lumayan jauh dari balai.
Kamila berhenti mendengar teriakan Setya. Mau tidak mau, dia harus menoleh kearah Setya.
"Padahal sudah diam diam lewat, tetap saja dia sadar. Tadi juga sepertinya dia sedang asyik ngobrol." Batin Kamila sembari menolehkan kepalanya ke arah Setya.
"Kamu ini, lewat bukannya negur aku. Malah kayak kilat main lewat saja. Dasar ya, nakal." Setya mencubit hidung Kamila sampai merah. Dan ketika melihat wajah Kamila, Setya menyadari sesuatu.
"Mil, itu pipi kamu, kenapa? Mata kamu juga bengkak. Kamu habis nangis?" Setya mulai mengintrogasi Kamila.
"Enggak, kok. Tadi aku kelilipan." Kamila berusaha menyembunyikan semuanya dari Setya, dan tak ingin Setya mengetahui penderitaan nya.
"Jangan bohong, Mila. Lihat aku. Itu pipi kamu merah seperti bekas tamparan. Ya Allah Mil." Setya mengangkat wajah Kamila dengan kedua tangannya yang diletakkan di kedua pipi Kamila. Hingga terlihat jelas dimatanya, bekas merah di pipi Kamila.
"Kakekmu yang kejam itu pasti yang sudah melakukan ini, kan, Kamila. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi, padamu." Rahang Setya mengeras ketika melihat apa yang terjadi pada wanita yang dicintainya itu. Terlebih lagi, Setya tahu, bahwa Kakek Parmin lah orang yang kerap menyiksa Kamila.
"Aku tidak apa apa Setya. Ini sudah tidak terasa sakit. Bekasnya juga sebentar lagi akan hilang." Kamila berupaya meredam amarah Setya yang sudah terlihat sangat geram pada Kakek Kamila itu.
Air mata Kamila luruh seketika melihat kepedulian dan ketulusan hati Setya. Selain Nek Sumi, Setya lah orang yang selalu membela Kamila dari amukan Kakeknya. Sebenarnya dia tak ingin menunjukkan kesedihannya pada Setya. Namun, air mata jatuh berderai begitu saja.
Melihat tangisan Kamila, Setya makin merasa geram. Dia tak tahan melihat wanita yang sangat dia cintai, setelah Ibunya itu, merasakan penderitaan ini. Dia ingin membawa Kamila pergi dari Kakeknya yang keji itu.
"Kamila, menikahlah denganku." Mata Kamila membelalak kala mendengar pernyataan Setya.
"Aku tau, kita masih sama sama muda. Tapi, aku sudah cukup dewasa untuk bisa menjadi imam mu, Kamila. Aku juga bekerja paruh waktu di kota. Insya Allah, aku bisa menghidupimu, Kamila. Kita akan tinggal dikota. Meskipun tidak mewah, setidaknya kamu terbebas dari Kakekmu yang kejam itu. Ayah Ibu juga pasti akan setuju jika aku memberi tahu alasan ku menikahimu di usia ini." Setya berusaha meyakinkan Kamila. Dan memberi tahu, bahwa saat ini, dia memang sudah bekerja paruh waktu di kantor notaris milik sepupu Ayahnya.
"Tapi, Setya. Nenek." Kamila pasrah dengan apa yang dikatakan Setya. Karna gadis itu juga sudah berada di titik letih menerima siksaan kakeknya. Namun di sisi lain, Kamila memikirkan nasib Nenek nya.
"Setelah menikah, kita bawa Nenek ke kota, tinggal bersama kita." Tegas Setya mengusap air mata Kamila, diikuti anggukan setuju gadis itu.
Setya lalu mengantar Kamila ke warung Bu Itah untuk berbelanja. Dia khawatir, jika Kamila bertemu dengan Kakeknya dijalan, Kamila akan disiksa lagi oleh lelaki tua itu. Setelah usai berbelanja, Setya juga mengantar Kamila kepekarangan rumah Kamila, dan bergegas pulang. Setya sudah tak sabar ingin memberitahu niat nya untuk menikahi Kamila, pada Ibu dan Ayahnya.Setelah Ayah Setya, pulang dari puskesmas, tempatnya bertugas, Setya akan mengutarakan niatnya pada Ayah dan Ibunya, nanti seusai melaksanakan sholat maghrib.Ba'da maghrib, Ayah dan Ibu Setya nampak sedang duduk bersantai diruang keluarga, sambil menonton televisi. Keluarga mereka tampak begitu hangat. Tak satupun yang terlihat memegang gawai, saat sedang berkumpul bersama.Setya terlihat sedikit tegang, ketika akan berbicara pada Ibu dan Ayahnya. Meski tekad nya sudah bulat, dan pasti Ibu dan Ayahnya akan setuju jika ia menikah dengan Kamila, tapi Setya tak begitu yakin jika Ibu dan Ayahnya akan mengizinkannya menikah dalam waktu yang terbilang singkat. Dibarengi, dengan pendidikannya, yang sebentar lagi juga akan berakhir. Ibu dan Ayahnya, pasti menyarankan agar Setya menikah usai wisuda. Dan dia, tak akan sabar lagi menunggu waktu itu. Dia sudah banyak melihat penderitaan Kamila, meski gadis itu selalu menyembunyikannya."Bunda, Ayah, asik banget nonto
"Assalamualaikum." Pak Wiguna mengucap salam dan mengetuk pintu rumah nek Sumi. Mereka sudah memutuskan, akan segera menikahkan Kamila dan Setya. Karna Setya, sudah merasa yakin dengan itu. Bu Indri dan pak Wiguna juga tidak bisa menghalangi niat baik putra mereka. "Waalaikumsalam." Kamila menjawab dari dalam rumah, sembari membukakan pintu. Gadis berhijab itu tertegun melihat pak Wiguna, bu Indri, dan Setya berada di ambang pintu. Kamila lantas menjunjung tangan bu Indri dan pak Wiguna ke dahinya. Bu Indri tampak mengenakan gamis set sederhana, namun tampak mewah berada di tubuhnya. Bu Indri juga tampat membawa bingkisan berupa buah-buahan yang terbungkus rapi, di tangannya. Sementara pak Wiguna dan Setya, mengenakan celana bahan, dan kemeja lengan panjang bercorak batik. Setya terlihat semakin tampan memakai pakaian formal seperti itu. Setya juga memakai tas selempang kecil di pundaknya, yang entah apa isinya. Mereka datang hanya berjalan
Menunggu kedatangan kakek Parmin, bu Indri dan nek Sumi tampak berbincang hangat. Pak Wiguna juga terlihat ikut mengobrol bersama mereka. Sementara, Setya, melirik-lirik ke arah Kamila. Yang jika Kamila menoleh ke arahnya, dia mengedipkan sebelah matanya pada Kamila. "Bu Sumi, kakinya sudah mulai bisa digerakkan, ya?" Bu Indri menanyakan perihal kesehatan nek Sumi. "Iya, Nak Indri. Sudah tidak terlalu kaku. Nak Wiguna merawat saya dengan baik," ucap Nek Sumi tersenyum sembari menyebut nama Pak Wiguna, yang mengurus penyembuhan kakinya itu. Pak Wiguna rutin datang kerumah nek Sumi setiap dua hari sekali, untuk melakukan cek pada kaki nek Sumi yang terkena kanker tulang itu. Pak Wiguna juga memberikan pengobatan dengan sukarela pada nek Sumi, dengan arti, nek Sumi tidak perlu membayar pengobatannya pada pak Wiguna. Meskipun, obat nek Sumi relatif mahal, dan jarang sekali ada stok obat dari Puskesmas desa, pak Wiguna selalu menggunakan uang pribadiny
Kakek Parmin sudah diatasi. Sekarang, satu masalah lagi datang. Jika ingin menikah, Kamila harus mencari tahu siapa ayah kandungnya untuk menjadi wali pernikahan. Karna seperti yang diketahui, kakek Parmin adalah kakek dari pihak ibu. Tentu saja, kakek Parmin tidak punya andil untuk menjadi wali di pernikahan Kamila. "Semua yang dikatakan Kakek itu, benar adanya, Setya. Bagaimana mungkin kita bisa menikah, jika Ayah kandungku, tak pernah ada yang mengetahui sosoknya, kecuali Ibu." Kamila membuka suara, dengan sisa tangisan yang baru saja mereda. Dengan suaranya yang lembut, Kamila mengiyakan perkataan kakek Parmin barusan. "Sementara Ibu, sudah puluhan tahun tidak pulang. Bahkan, dua tahun belakangan ini, Ibu tak pernah memberi kabar," imbuhnya dengan nada sedih mengingat sang Ibu yang tak kunjung terdengar kabar beritanya. "Tenang lah, Kamila. Aku akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini. Aku berjanji padamu." Setya menenangkan Kamila. Tekad lela
Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian. Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon. Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja. Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila. Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr
Rintik hujan menghiasi pemandangan di luar jendela kamar Setya. Usai mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh om Ilham, Setya tak kunjung merasa lelah dan mengantuk. Sementara, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Seharian, Setya tak menerima kabar dari Kamila. Dan dia pun, tak berusaha untuk menghubungi Kamila. Bukan karna dia enggan, namun, kesibukannya dari pagi hingga sore, membuatnya tak punya luang untuk menghubungi Kamila. Setya menatap layar ponsel pintarnya, lalu memandangi poto Kamila, yang dijepret secara diam-diam olehnya, dengan kamera ponsel miliknya. Potret Kamila yang tengah membaca buku itu, terpajang manis menghiasi layar depan ponsel pemuda itu. Rasa rindu, lantas menyeruak dalam hatinya. Jika tak mengingat jam yang sudah sangat larut, Setya ingin sekali menghubungi Kamila. "Kamila. Bersabarlah, sayang. Aku pasti akan mencari keberadaan ibu," lirihnya sembari menatap gambar diri Kamila. Malam itu, Setya benar-benar tak
Setya duduk termenung diteras kontrakan tempatnya tinggal. Dia tengah menunggu kedatangan sahabatnya, untuk menelurusi lebih lanjut, tentang pak Jupri, yang mereka temui kemarin sore. Setya masih belum bisa memecahkan teka-teki, siapa sebenarnya pak Jupri, dan apa hubungannya dengan bu Ratih, serta bangunan bekas kebakaran itu. Kriiing. Bunyi ponsel, membuyarkan lamunan Setya. Bunda Indri yang menelpon. "Assalamualaikum, Nak." Suara Bu Indri langsung terdengar dari sebrang sana. "Waalaikumsalam, Bunda." Setya menjawab salam sang Ibu. "Setya, ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan, Nak. Ini mengenai Kamila." Bu Indri sepertinya ingin segera menceritakan apa yang terjadi pada Kamila, pada Setya. "Ya, ada apa dengan Kamila, Bunda?" Mendengar suara sang Bunda, yang jelas terdengar sedang khawatir itu, membuat Setya menjadi tak tenang. "Tapi, Bunda mohon, kamu jangan tersulut emosi, Nak. Dan Bunda mohon, setelah
"T--appi ... kenapa, Paman?" tanya Kamila. Mengapa ia harus begitu waspada, pikirnya. "Nak, ayah Kamila ... bukanlah orang biasa. Beliau dulunya ialah pengusaha besar." Jupri mulai menjelaskan. Kamila mendengarkan dengan seksama. Ia tak ingin terlalu banyak bertanya. Dirinya membiarkan paman Jupri menjelaskan. "Kamila harus mengetahui lebih dulu, jika ayah Kamila, diyakini orang-orang telah meninggal dunia. Namun, yang paman tau ialah, kematian beliau sengaja dipalsukan," lanjut Jupri."Dipalsukan? Jadi maksudnya, suami Ratih itu masih hidup, namun sengaja dibuat seakan-akan sudah meninggal dunia? Begitukah nak Jupri?" Kakek Parmin berusaha meresapi ucapan Jupri. "Betul sekali, Pak. Itu ialah dampak, karna oknum-oknum tersebut tak ingin harta dari ayah Kamila, jatuh ke tangan Ratih masa itu." Jupri menceritakan sebenar-benarnya. Meskipun ia sudah bercerita akan hal ini pada Setua dan Rizki saat itu, namun rasanya akan lebih lega lagi, jika ia juga menceritakan perihal ini pada Ka
"Hussshhhh ... hentikan mengatakan hal itu. Kamila tak bersalah akan masa lalu dari orang tua Kamila. Kamila anak yang baik. Buktinya, meskipun telah mengetahui semuanya, Setya serta keluarganya tetap mau menerima Kamila. Benar, kan?" Nenek Sumi semakin meyakinkan Kamila agar tak gegabah membatalkan pernikahannya dan juga Setya begitu saja.Kamila menatap lekat wajah sang nenek. Bagaimana mungkin, ia mengecewakan wanita pengganti sosok ibu baginya itu dengan membatalkan pernikahan. Sedangkan sang neneklah yang paling bahagia saat Kamila mengabarkan jika Setya akan melamarnya."Kamila mengerti, Nek. Kamila akan memikirkannya lagi. Nenek istrirahatlah, ya. Kamila ingin berbicara dengan paman Jupri dan juga kakek," ucap Kamila, lalu ke luar dari kamar. Di ruang tamu, Kamila melihat paman Jupri dan jiga kakeknya sedang mengobrol. Kamila yakin, yang mereka bicarakan tak lain dan tak bukan ialah perihal orang tuanya. "Mil ... sini duduk, Nak." Kakek Parmin meminta Kamila yang berdiri di a
"Tidak usah terlalu dipaksakan, Pak. Kami tau, Kamila pasti sangat terkejut. Biarkan dirinya bertenang dulu." Pak Wiguna meminta kakek Parmin agar tak terlalu mendesak Kamila perihal pernikahan ini."Sekali lagi, Kamila mohon maaf, Ayah, Bunda ... emmm ... Setya." Kamila kembali meminta maaf pada tiga orang yang sangat menyayanginya itu. Mata indahnya menatap ke arah Setya. Tak dipungkiri, hati kecilnya sangat tak ingin mengecewakan Setya dan juga keluarganya.Setya tersenyum tulus ke arah Kamila. Membalas tatap mata kekasih yang sangat dipujanya, "Tidak apa, Kamila. Jangan jadikan beban. Kita jalani saja semua prosesnya. Aku akan bersabar, menunggu apapun keputusanmu," ucapnya kemudian.Meskipun di hati kecilnya sangat mengharapkan persetujuan dari Kamila untuk menikah, namun Setya tak ingin memaksa Kamila. Dia sangat tau, gadisnya itu butuh waktu untuk menerima kenyataan tersebut."Paman, tinggallah di sini. Kamila masih ingin mengobrol dengan paman. Apa paman berkenan?" Dengan nada
Pak Jupri meyakinkan diri Kamila, hingga tangis gadis itu perlahan mereda. Entah mengapa, hatinya sangat teriris melihat Kamila menangis. Membuatnya terbayang lagi akan sosok sahabatnya--Ratih. Sahabat yang sangat ia rindukan, kini seperti sedang berada di hadapannya, dengan penampilan yang berbeda. Tak dapat lagi dipungkiri, raut wajah Kamila, sama persis dengan sang ibu. Hidung bangir, kulit putih merona, alis dan bulu mata yang tebal, juga sangat mirip dengan yang dimiliki oleh Ratih. Yang berbeda hanyalah, cara berpakaiannya saja. Jika dulu, Ratih kerap berpenampilan dengan dress selutut, menunjukkan kaki jenjangnya, kini putrinya, menutup seluruh bagian tubuhnya dengan gamis, serta tudung labuh. "Kamila, sayang, jangan terlalu difikirkan, Nak. Semua sudah jelas sekarang. Ayah, Bunda, juga Setya tak pernah mempermasalahkan segalanya. Tenanglah, Nak," ucap bu Indri lagi-lagi. Dirinya tak ingin, Kamila merasa rendah diri. Sebab baginya, Kamila ialah gadis sempurna yang dipilih unt
Bertujuan, agar suasana tak begitu canggung. Juga agar, dirinya bisa mengatakan kenyataan bahwa Kamila ialah putri yang dikandung ibunya, sebelum sah menikah dengan sang ayah biologis. Berat rasanya mengatakan hal tersebut pada gadis yang berhati baik seperti Kamila."Berarti, teman ibu yang sangat baik itu, adalah Paman? Maafkan Kamila, yang tak mengenali paman." Kamila perlahan mengingat sosok Jupri, yang kini duduk di hadapannya. Sosok yang sangat menyayanginya semasa kecil. Sosok yang pernah dianggapnya sebagai sang ayah. Namun sayang, mereka harus terpisah karna rasa tak enak hati dari ibu Kamila sendiri."Iya, Nak. Tak apa. Wajar saja. Sudah belasan tahun berlalu. Wajar, jika Kamila tak lagi mengenali paman." Pak Jupri tersenyum pada Kamila. Memaklumi gadis itu. "Tentang pernikahan, paman datang kemari, untuk meminta persetujuan dari Kamila dan juga dari kakek serta nenek Kamila." Pak Jupri lalu kembali membahas perihal pernikahan Kamila dan juga Setya."Persetujuan apa itu, Na
"Uang ini Setya berikan kembali pada nek Sumi. Setya ikhlas. Untuk membantu kebutuhan nenek dan juga kakek." Setya lantas memberikan uang itu pada nek Sumi."Nak Setya ..." ucap nek Sumi."Tidak, Nek. Jangan menolaknya lagi. Setya mohon." Bagai tau apa yang akan dikatakan nek Sumi, Setya mencegah lebih dulu untuk nek Sumi menolak pemberiannya."Benar, Bu Sumi. Sudah, simpanlah. Setya memberi dengan sepenuh hatinya. Lagipula, uang itu adalah hasil kerja Setya sendiri," ucap bu Indri kemudian.Mendengarnya, nek Sumi yang masih tak enak hati, menerima pemberian Setya, dan tak memberikan penolakan lagi."Sudah, ya. Semua sudah selesai. Semua sudah saling memaafkan. Kalau begitu, kita kembali ke tujuan awal berkumpul di sini. Benar begitu, Pak Parmin?" Pak Wiguna lalu membuka topik utama yang akan dibicarakan mereka malam ini."Benar sekali, Nak Wiguna." Kakek Parmin mengiyakan.Semua orang mendengarkan dengan seksama. Termasuk Pak Jupri, juga Rizki yang sedari tadi hanya menyimak pembicar
"Hahahahaha. Tidak, tidak. Aku tidak marah, Kamila. Aku hanya bercanda." Setya kemudian tertawa melihat wajah kebingungan Kamila. Dia sengaja, menggoda Kamila seperti itu.Tingkah Setya, membuat semua orang tertawa. Namun tidak dengan Kamila. Gadis cantik itu merasa malu, hingga membuat semburat merah muda timbul di pipinya. Sebelumnya, dia sangat takut, karna Setya berbicara dengan wajah yang begitu serius, seakan sedang mengintrogasinya."Setya. Hush. Kamu ini, senang sekali menjahili Kamila." Bu Indri mencubit pelan lengan Setya, yang duduk di sebelahnya."Hehe, maaf, Bun. Maaf ya, Kamila," ujar Setya pada Kamila dan juga bundanya. Masih dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya."Jangan takut, ya, Mil. Setya hanya bercanda. Ayah sama Bunda sudah menjelaskan kok, mengapa Utari bisa bebas. Setya sudah memakluminya." Pak Wiguna mengimbuhi.Kamila hanya mengangguk-angguk mengiyakan perkataan Setya dan pak Wiguna. Hatinya sedikit lega, karna Setya tak lagi mempersoalkan pasal Utari.
"Tapi, Ki. Ini tak adil untuk Kamila." Setya yang merasa masih ada yang mengganjal di hatinya, melihat gadis itu bebas berkeliaran, dengan apa yang sudah diperbuat pada Kamila, mencoba membantah perkataan Rizki."Sshhtt ... sudah, Nak. Sudah, ayo kita bergegas. Kamila pasti sudah menunggu." Bu Indri lagi-lagi berusaha menenangkan hati Setya."Hhfffft ... baiklah, Bunda." Tak lagi membantah, Setya menurut apa yang dikatakan oleh bundanya. Karna dia sadar, bahwa tujuan awalnya kembali ke desa ini adalah, untuk rencana pernikahannya dengan Kamila.Setya berusaha menata suasana hatinya, agar kembali tenang, sembari melanjutkan perjalanan ke rumah Kamila, yang sudah tak lagi jauh. "Itu muka, diberesin dulu, kaliiii. Kusut banget, kek belum disetrika. Nanti, bukannya Kamila jatuh cinta, malah jadi takut melihatmu seperti itu." Rizki mencandai Setya, agar suasana hati sahabatnya itu, kembali baik."Ck. Kamu ini, ada-ada saja. Mana mungkin, Kami
"Wanita kejam ini, yang telah mencelakai Kamila!" ujar Setya dengan amarah di wajahnya.Bu Indri, pak Wiguna, serta pak Jupri yang berjalan lebih dulu di depan Setya dan Rizki, menghentikan langkah kaki mereka, karna mendengar sentakan Setya yang cukup keras.Melihat suasana yang sudah tak kondusif, dan amarah Setya yang mulai tak terkendali, para orang tua itu 'pun menghampirinya. Pak Wiguna dan pak Jupri, sampai berlari² kecil ke arah Setya, untuk menghentikannya."Setya, hentikan, Nak! Ayah akan menjelaskan semuanya. Tenanglah dulu," pujuk pak Wiguna pada Setya."Tenang bagaimana, Ayah? Wanita ini, yang sudah memberikan cacat pada wajah Kamila, tiba-tiba bisa bebas seperti ini." Setya yang sejak tadi mencekal pergelangan tangan wanita yang ternyata adalah Utari itu, makin merasa geram.Utari meringis kesakitan, karna cengkraman Setya yang cukup kuat di pergelangan tangannya."Aw. Setya, lepaskan aku. Kenapa kau menyakitiku seperti ini." Utari memohon agar Setya melepaskan cengkrama