Setya duduk termenung diteras kontrakan tempatnya tinggal. Dia tengah menunggu kedatangan sahabatnya, untuk menelurusi lebih lanjut, tentang pak Jupri, yang mereka temui kemarin sore.
Setya masih belum bisa memecahkan teka-teki, siapa sebenarnya pak Jupri, dan apa hubungannya dengan bu Ratih, serta bangunan bekas kebakaran itu.
Kriiing.
Bunyi ponsel, membuyarkan lamunan Setya. Bunda Indri yang menelpon.
"Assalamualaikum, Nak." Suara Bu Indri langsung terdengar dari sebrang sana.
"Waalaikumsalam, Bunda." Setya menjawab salam sang Ibu.
"Setya, ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan, Nak. Ini mengenai Kamila." Bu Indri sepertinya ingin segera menceritakan apa yang terjadi pada Kamila, pada Setya.
"Ya, ada apa dengan Kamila, Bunda?" Mendengar suara sang Bunda, yang jelas terdengar sedang khawatir itu, membuat Setya menjadi tak tenang.
"Tapi, Bunda mohon, kamu jangan tersulut emosi, Nak. Dan Bunda mohon, setelah
"Tahan sebentar, ya, Kamila. Bunda oleskan cairan antiseptik dulu pada lukamu," ujar Bu Indri yang membantu Kamila mengoleskan cairan antiseptik yang diberikan oleh pak Wiguna. "Pelan pelan saja, Bun. Itu pasti perih sekali. Memang keterlaluan anak itu. Tega-teganya menyerang Kamila sampai terluka." Pak Wiguna yang segera bergegas datang dari puskesmas, setelah ditelpon oleh bu Indri, tampak merasa geram pada Utari, yang telah melukai calon menantunya itu. "Iya, Nak Wiguna. Ibu juga merasa sangat terkejut dengan kedatangan Utari. Ibu menyangka, bahwa Kakeknya lah yang datang, dan menggedor pintu dengan keras. Tapi ternyata bukan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu sangat cemas mendengar keributan yang terjadi di luar rumah. Untung saja, Nak Indri menyelamatkan Kamila. Kalau Nak Indri tak kebetulan akan mampir kemari, entah apa lagi yang anak itu lakukan pada Kamila, cucuku." Nek Sumi menyambut perkataan pak Wiguna. Hatinya sangat terluka melihat cucu yang sangat
Setya masih merasa marah, atas apa yang telah terjadi kepada Kamila. Dia tak berhenti mengkhawatirkan Kamila. Hingga, suara dari sepeda motor Rizki membuyarkan perhatiannya. "Wah, itu muka kusut banget. Ada masalah apa?" Rizki yang baru saja sampai, dan belum turun dari motor, lantas mencecar Setya dengan pertanyaan. "Turun dulu, dan duduk disini. Melepas helm aja belum, udah langsung nyari topik." Setya belum menjawab pertanyaan Rizki yang masih nangkring diatas motor, diiringi tawa kecil Rizki yang menyadari kebenaran dari perkataan Setya tadi. "Ya, iya. Nih, udah turun. Tapi itu muka, gak usah ditekuk juga, kali," ujar Rizki dengan muka tengilnya, menggoda Setya yang sedang kelihatan sedang tak ingin bercanda itu. "Kamila, Ki. Dia terluka. Wajahnya dicakar Utari." Setya mulai membuka pembicaraan pada Rizki, yang kini sudah duduk disampingnya. "Ha, Utari? Siapa lagi itu?" tanya Rizki yang memang tidak mengenal gadis berambut pirang itu
"Ayo, masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak pak Jupri pada Setya dan Rizki, yang masih berdiri di ambang pintu. Merekapun masuk ke dalam rumah pak Jupri, dan duduk di kursi bambu yang terletak di ruang tamu rumahnya. "Nak Setya, dan Nak Rizki, mau minum apa? Biar Bapak bikinin." Pak Jupri menawarkan. "Tidak usah, Pak. Kami baru saja minum tadi. Iya kan, Setya," tolak Rizki halus, seraya melihat ke arah Setya, agar juga menolak tawaran minum dari pak Jupri. Karna sejujurnya, Rizki masih menaruh curiga pada pak Jupri. Dia takut, pak Jupri akan mencelakai dirinya dan juga Setya. "Eh, iya, Pak. Tidak usah minum. Bapak duduk di sini saja. Banyak yang ingin kami tanyakan pada bapak." Setya yang langsung mengerti dengan kode yang diberikan oleh Rizki, lantas mencegah pak Jupri untuk menyuguhkan minuman pada mereka. "Oh, ya sudah. Bapak mengerti." Pak Jupri mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan tau tentang Rizki yang menaruh curiga padanya. "Ba
Triing.. Bunyi pesan yang masuk ke ponsel Jupri. [Jupri, temui aku di taman kota. Aku ingin bicara, penting!] isi pesan dari Ratih itu, lantas membuat Jupri tidak tenang. Dan sesuai yang diminta oleh sahabatnya, Jupri langsung bergegas menuju taman kota dengan motornya. Tak lama, Jupri pun sampai di sana. Karna jarak taman kota dengan rumah Jupri tidak terlalu jauh. Dia menyisir sekeliling taman, mencari keberadaan Ratih. Dan akhirnya, dia menemukan Ratih sedang duduk di bangku taman yang agak jauh dari keramaian. Melihatnya, Jupri pun langsung menghampiri sahabatnya itu. "Hei, Ratih. Ada apa?" Jupri menepuk pundak Ratih, dan membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Namun, tanpa berbicara sepatah katapun, Ratih langsung memeluk Jupri. Jupri yang sejak mendapat pesan dari Ratih tadi bertanya-tanya, semakin heran dengan sikap Ratih saat ini. Ratih yang terlihat gusar, membuat Jupri membiarkannya menangis di pelukan Jupri. Jupri menenangkan Ratih se
Jupri sangat mengkhawatirkan tentang keadaan Ratih. Meskipun selama ini, mereka hanya sebatas bersahabat, namun tak dapat dipungkiri, bahwa hati Jupri sangat mencintai Ratih. Sudah sering dia mengutarakan isi hatinya pada Ratih. Dan gadis itu, selalu menolak Jupri. Ratih merasa tak pantas, jika dicintai oleh lelaki baik seperti Jupri. Karna Ratih, merasa bahwa dirinya bukanlah perempuan baik baik. Ratih datang kekota besar, untuk mencari pekerjaan,agar dapat membantu ekonomi keluarganya yang tinggal didesa. Namun entah bagaimana, Ratih terjerat didalam pekerjaan kotor itu. Ratih bekerja disebuah "Rumah Mucikari", sebagai wanita malam. Ratih merupakan gadis yang paling cantik disana. Tak jarang, para pejabat dan pengusaha menyewa Ratih untuk waktu yang lama. Mereka hanya ingin, Ratih yang "menemani" malam mereka. Dan pada saat ini, pengusaha muda, tampan dan kaya raya, yaitu Hans Hermawan lah yang menyewa Ratih. Dan Hans Hermawan pula, yang sudah membuat Ratih sampai hamil se
"Ini, uang senilai lima puluh juta. Serahkan Ratih padaku. Bebaskan dia!" Selang sehari setelah menghabiskan malam bersama Ratih, Hans datang kepada Maya-Bos mucikari tempat Ratih selama ini menjajakan diri. Dia meletakkan tas berisi uang senilai lima puluh juta dihadapan Maya, untuk membawa Ratih pergi dari tempat itu. "Wow, benarkah? Apa uang ini untukku, Tuan?" Maya yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, membelalakkan kedua matanya. Tentu saja, karna uang senilai lima puluh juta, sudah sangat besar nilainya pada masa itu. "Ya, benar. Aku ingin Ratih. Setelah aku membawanya dari sini, kamu dan anak buahmu, tidak boleh mencari dan menggangu Ratih! Dan, satu lagi, kamu harus tutup mulut tentang hal ini. Jangan pernah katakan pada siapapun, bahwa aku membawa seorang gadis dari tempat ini. Kalau tidak, kamu akan tau sendiri akibatnya!" Hans menunjuk kearah wajah Maya. Dengan sedikit ancaman, Hans mengingatkan Maya agar tidak berkata apapun pada orang oran
Siang itu juga, Ratih dan Hans melaksanakan pernikahan. Acara dilangsungkan dengan amat sangat sederhana dirumah baru yang dibelikan Hans untuk Ratih, sebagai mas kawin. Tidak ada satupun keluarga Hans hadir, karna pernikahan ini sangat dirahasiakan. Dan Ratih, hanya didampingi oleh Jupri-sahabatnya. Ratih sempat menghubungi Jupri, sesaat sebelum pernikahan dimulai. Dan Jupri yang saat itu sedang cuti bekerja, langsung datang kepada Ratih. Dia juga menjadi saksi pernikahan sahabatnya itu. Karna rencana pernikahan yang sangat terburu buru, Ratih tak sempat memberi tahu keluarganya didesa tentang hal ini. Dan terpaksa, Ratih dinikahkan bukan oleh Ayah kandungnya sendiri, melainkan oleh penghulu yang dibayar Hans. Karna pernikahan mereka berstatus siri, maka itu tak menjadi halangan bagi mereka. "Jaga diri kamu, Ratih. Kalau suatu waktu kamu membutuhkanku, kamu bisa menghubungiku." Ujar Jupri pada Ratih setelah ijab kabul selesai. Disatu sisi, Jupri merasa sedih, karna
"Sayang, aku harus pergi sekarang. Kamu disini, bersama asisten rumah tangga kita, ya." Hans yang baru saja selesai menerima telpon dari istri pertamanya itu, tampak terburu buru, dan akan pergi meninggalkan Ratih, yang baru beberapa jam dinikahinya. "Ya, pergilah." Ratih yang sadar akan posisinya saat itu, tak mencegah Hans sama sekali. "Aku akan segera kembali, sayang. Jaga diri kamu, dan juga calon anak kita. Semua keperluan kamu, sudah aku siapkan disini. Dan, ini, kalau kamu bosan, dan mau pergi jalan jalan, pakailah kartu ini. Ada uang didalamnya. Kamu bisa pakai semau kamu." Ujar Hans, sembari menyerahkan sebuah kartu debit ketangan Ratih, yang disertai anggukan kecil dari wanita itu. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan segera kembali. Aku mencintaimu." Hans mencium kening Ratih, dan bergegas pergi meninggalkannya. Ratih yang saat itu tak ingin berniat pergi kemanapun, hanya merebahkan dirinya dirumah baru miliknya itu. Kehamilannya juga me
"T--appi ... kenapa, Paman?" tanya Kamila. Mengapa ia harus begitu waspada, pikirnya. "Nak, ayah Kamila ... bukanlah orang biasa. Beliau dulunya ialah pengusaha besar." Jupri mulai menjelaskan. Kamila mendengarkan dengan seksama. Ia tak ingin terlalu banyak bertanya. Dirinya membiarkan paman Jupri menjelaskan. "Kamila harus mengetahui lebih dulu, jika ayah Kamila, diyakini orang-orang telah meninggal dunia. Namun, yang paman tau ialah, kematian beliau sengaja dipalsukan," lanjut Jupri."Dipalsukan? Jadi maksudnya, suami Ratih itu masih hidup, namun sengaja dibuat seakan-akan sudah meninggal dunia? Begitukah nak Jupri?" Kakek Parmin berusaha meresapi ucapan Jupri. "Betul sekali, Pak. Itu ialah dampak, karna oknum-oknum tersebut tak ingin harta dari ayah Kamila, jatuh ke tangan Ratih masa itu." Jupri menceritakan sebenar-benarnya. Meskipun ia sudah bercerita akan hal ini pada Setua dan Rizki saat itu, namun rasanya akan lebih lega lagi, jika ia juga menceritakan perihal ini pada Ka
"Hussshhhh ... hentikan mengatakan hal itu. Kamila tak bersalah akan masa lalu dari orang tua Kamila. Kamila anak yang baik. Buktinya, meskipun telah mengetahui semuanya, Setya serta keluarganya tetap mau menerima Kamila. Benar, kan?" Nenek Sumi semakin meyakinkan Kamila agar tak gegabah membatalkan pernikahannya dan juga Setya begitu saja.Kamila menatap lekat wajah sang nenek. Bagaimana mungkin, ia mengecewakan wanita pengganti sosok ibu baginya itu dengan membatalkan pernikahan. Sedangkan sang neneklah yang paling bahagia saat Kamila mengabarkan jika Setya akan melamarnya."Kamila mengerti, Nek. Kamila akan memikirkannya lagi. Nenek istrirahatlah, ya. Kamila ingin berbicara dengan paman Jupri dan juga kakek," ucap Kamila, lalu ke luar dari kamar. Di ruang tamu, Kamila melihat paman Jupri dan jiga kakeknya sedang mengobrol. Kamila yakin, yang mereka bicarakan tak lain dan tak bukan ialah perihal orang tuanya. "Mil ... sini duduk, Nak." Kakek Parmin meminta Kamila yang berdiri di a
"Tidak usah terlalu dipaksakan, Pak. Kami tau, Kamila pasti sangat terkejut. Biarkan dirinya bertenang dulu." Pak Wiguna meminta kakek Parmin agar tak terlalu mendesak Kamila perihal pernikahan ini."Sekali lagi, Kamila mohon maaf, Ayah, Bunda ... emmm ... Setya." Kamila kembali meminta maaf pada tiga orang yang sangat menyayanginya itu. Mata indahnya menatap ke arah Setya. Tak dipungkiri, hati kecilnya sangat tak ingin mengecewakan Setya dan juga keluarganya.Setya tersenyum tulus ke arah Kamila. Membalas tatap mata kekasih yang sangat dipujanya, "Tidak apa, Kamila. Jangan jadikan beban. Kita jalani saja semua prosesnya. Aku akan bersabar, menunggu apapun keputusanmu," ucapnya kemudian.Meskipun di hati kecilnya sangat mengharapkan persetujuan dari Kamila untuk menikah, namun Setya tak ingin memaksa Kamila. Dia sangat tau, gadisnya itu butuh waktu untuk menerima kenyataan tersebut."Paman, tinggallah di sini. Kamila masih ingin mengobrol dengan paman. Apa paman berkenan?" Dengan nada
Pak Jupri meyakinkan diri Kamila, hingga tangis gadis itu perlahan mereda. Entah mengapa, hatinya sangat teriris melihat Kamila menangis. Membuatnya terbayang lagi akan sosok sahabatnya--Ratih. Sahabat yang sangat ia rindukan, kini seperti sedang berada di hadapannya, dengan penampilan yang berbeda. Tak dapat lagi dipungkiri, raut wajah Kamila, sama persis dengan sang ibu. Hidung bangir, kulit putih merona, alis dan bulu mata yang tebal, juga sangat mirip dengan yang dimiliki oleh Ratih. Yang berbeda hanyalah, cara berpakaiannya saja. Jika dulu, Ratih kerap berpenampilan dengan dress selutut, menunjukkan kaki jenjangnya, kini putrinya, menutup seluruh bagian tubuhnya dengan gamis, serta tudung labuh. "Kamila, sayang, jangan terlalu difikirkan, Nak. Semua sudah jelas sekarang. Ayah, Bunda, juga Setya tak pernah mempermasalahkan segalanya. Tenanglah, Nak," ucap bu Indri lagi-lagi. Dirinya tak ingin, Kamila merasa rendah diri. Sebab baginya, Kamila ialah gadis sempurna yang dipilih unt
Bertujuan, agar suasana tak begitu canggung. Juga agar, dirinya bisa mengatakan kenyataan bahwa Kamila ialah putri yang dikandung ibunya, sebelum sah menikah dengan sang ayah biologis. Berat rasanya mengatakan hal tersebut pada gadis yang berhati baik seperti Kamila."Berarti, teman ibu yang sangat baik itu, adalah Paman? Maafkan Kamila, yang tak mengenali paman." Kamila perlahan mengingat sosok Jupri, yang kini duduk di hadapannya. Sosok yang sangat menyayanginya semasa kecil. Sosok yang pernah dianggapnya sebagai sang ayah. Namun sayang, mereka harus terpisah karna rasa tak enak hati dari ibu Kamila sendiri."Iya, Nak. Tak apa. Wajar saja. Sudah belasan tahun berlalu. Wajar, jika Kamila tak lagi mengenali paman." Pak Jupri tersenyum pada Kamila. Memaklumi gadis itu. "Tentang pernikahan, paman datang kemari, untuk meminta persetujuan dari Kamila dan juga dari kakek serta nenek Kamila." Pak Jupri lalu kembali membahas perihal pernikahan Kamila dan juga Setya."Persetujuan apa itu, Na
"Uang ini Setya berikan kembali pada nek Sumi. Setya ikhlas. Untuk membantu kebutuhan nenek dan juga kakek." Setya lantas memberikan uang itu pada nek Sumi."Nak Setya ..." ucap nek Sumi."Tidak, Nek. Jangan menolaknya lagi. Setya mohon." Bagai tau apa yang akan dikatakan nek Sumi, Setya mencegah lebih dulu untuk nek Sumi menolak pemberiannya."Benar, Bu Sumi. Sudah, simpanlah. Setya memberi dengan sepenuh hatinya. Lagipula, uang itu adalah hasil kerja Setya sendiri," ucap bu Indri kemudian.Mendengarnya, nek Sumi yang masih tak enak hati, menerima pemberian Setya, dan tak memberikan penolakan lagi."Sudah, ya. Semua sudah selesai. Semua sudah saling memaafkan. Kalau begitu, kita kembali ke tujuan awal berkumpul di sini. Benar begitu, Pak Parmin?" Pak Wiguna lalu membuka topik utama yang akan dibicarakan mereka malam ini."Benar sekali, Nak Wiguna." Kakek Parmin mengiyakan.Semua orang mendengarkan dengan seksama. Termasuk Pak Jupri, juga Rizki yang sedari tadi hanya menyimak pembicar
"Hahahahaha. Tidak, tidak. Aku tidak marah, Kamila. Aku hanya bercanda." Setya kemudian tertawa melihat wajah kebingungan Kamila. Dia sengaja, menggoda Kamila seperti itu.Tingkah Setya, membuat semua orang tertawa. Namun tidak dengan Kamila. Gadis cantik itu merasa malu, hingga membuat semburat merah muda timbul di pipinya. Sebelumnya, dia sangat takut, karna Setya berbicara dengan wajah yang begitu serius, seakan sedang mengintrogasinya."Setya. Hush. Kamu ini, senang sekali menjahili Kamila." Bu Indri mencubit pelan lengan Setya, yang duduk di sebelahnya."Hehe, maaf, Bun. Maaf ya, Kamila," ujar Setya pada Kamila dan juga bundanya. Masih dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya."Jangan takut, ya, Mil. Setya hanya bercanda. Ayah sama Bunda sudah menjelaskan kok, mengapa Utari bisa bebas. Setya sudah memakluminya." Pak Wiguna mengimbuhi.Kamila hanya mengangguk-angguk mengiyakan perkataan Setya dan pak Wiguna. Hatinya sedikit lega, karna Setya tak lagi mempersoalkan pasal Utari.
"Tapi, Ki. Ini tak adil untuk Kamila." Setya yang merasa masih ada yang mengganjal di hatinya, melihat gadis itu bebas berkeliaran, dengan apa yang sudah diperbuat pada Kamila, mencoba membantah perkataan Rizki."Sshhtt ... sudah, Nak. Sudah, ayo kita bergegas. Kamila pasti sudah menunggu." Bu Indri lagi-lagi berusaha menenangkan hati Setya."Hhfffft ... baiklah, Bunda." Tak lagi membantah, Setya menurut apa yang dikatakan oleh bundanya. Karna dia sadar, bahwa tujuan awalnya kembali ke desa ini adalah, untuk rencana pernikahannya dengan Kamila.Setya berusaha menata suasana hatinya, agar kembali tenang, sembari melanjutkan perjalanan ke rumah Kamila, yang sudah tak lagi jauh. "Itu muka, diberesin dulu, kaliiii. Kusut banget, kek belum disetrika. Nanti, bukannya Kamila jatuh cinta, malah jadi takut melihatmu seperti itu." Rizki mencandai Setya, agar suasana hati sahabatnya itu, kembali baik."Ck. Kamu ini, ada-ada saja. Mana mungkin, Kami
"Wanita kejam ini, yang telah mencelakai Kamila!" ujar Setya dengan amarah di wajahnya.Bu Indri, pak Wiguna, serta pak Jupri yang berjalan lebih dulu di depan Setya dan Rizki, menghentikan langkah kaki mereka, karna mendengar sentakan Setya yang cukup keras.Melihat suasana yang sudah tak kondusif, dan amarah Setya yang mulai tak terkendali, para orang tua itu 'pun menghampirinya. Pak Wiguna dan pak Jupri, sampai berlari² kecil ke arah Setya, untuk menghentikannya."Setya, hentikan, Nak! Ayah akan menjelaskan semuanya. Tenanglah dulu," pujuk pak Wiguna pada Setya."Tenang bagaimana, Ayah? Wanita ini, yang sudah memberikan cacat pada wajah Kamila, tiba-tiba bisa bebas seperti ini." Setya yang sejak tadi mencekal pergelangan tangan wanita yang ternyata adalah Utari itu, makin merasa geram.Utari meringis kesakitan, karna cengkraman Setya yang cukup kuat di pergelangan tangannya."Aw. Setya, lepaskan aku. Kenapa kau menyakitiku seperti ini." Utari memohon agar Setya melepaskan cengkrama