BUNGA Lestari, nama gadis itu, bukan Bunga Citra Lestari atau BCL yang menjadi artis. Tetapi, wajahnya memang mirip sekali dengan BCL.
Wajahnya lonjong, hidungnya panjang, dan rambutnya lurus dengan ujung bergelombang. Tetapi yang membuatnya mirip banget dengan BCL adalah tatapan mata dan bentuk bibirnya yang sangat sensual. Mirip banget dengan BCL, apalagi jika bibir itu sedikit terbuka.
Heru yang memandangnya tidak bisa menahan untuk tidak menelan ludah. Bibir itu seksi banget, seakan mengandung madu yang manis dan segar sehingga kalau dikecup bisa melepaskan dahaga seorang perindu!
Tatap matanya agak-agak sayu, membuat orang yang memandangnya akan merasa iba, merasa sayang, dan tidak ingin membiarkannya menderita. Mata itu dihiasi oleh bulu mata yang lentik, dan alis tipis yang melengkung indah.
“Bunga, kamu cantik sekali…” desis Heru sambil memandang gadis itu tanpa berkedip.
Bunga mengangkat matanya menatap Heru, namun tetap diam dan kembali menyedot minumannya.
Gadis itu kayaknya suka angin-anginan juga. Sebentar dia riang dan ceria, sebentar kemudian dia bisa diam seakan tanpa emosi.
Heru penasaran. Dia mencoba meraih tangan Bunga di atas meja, namun Bunga mengelak. “Bunga, boleh aku ke rumahmu?” akhirnya hanya kata itu yang bisa diucapkan Heru.
Bunga kembali menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Mau ngapain?” tanyanya.
“Hmm… ngapelin kamu, tentunya,” sahut Heru to the point.
Bunga menggeleng, seperti anak kecil yang manja.
“Please…” rayu Heru dengan suara memelas.
“Tidak! Papa mamaku galak,” kata Bunga.
‘Wah, sulit ini,’ Heru membathin. Tetapi dia tidak ingin menyerah, dia ingin memacari Bunga.
“Oke, kalau gitu kita ke tempatku saja.”
“Mau ngapain?” Lagi-lagi Bunga bertanya seakan-akan dia tidak mengerti tujuan Heru. Sekarang giliran Heru yang bingung menjawabnya. Masak perlu dijelaskan?
Heru mengganti siasat. “Bunga, mau nggak menjadi pacar aku?”
Gila, to the point banget, kan?
Tetapi Bunga yang mendengar itu bersikap biasa saja, bahkan masih sibuk menyedot minumannya. “Yang ke berapa?” tanyanya kemudian.
‘Ya Tuhan,’ seru Heru dalam hati. Anak ini sudah dewasa belum sih? Atau, terlalu polos? Atau, dia ingin mempermainkannya?
“Tentu yang terakhir,” sahut Heru mencoba memberi keyakinan.
“Sekarang ada berapa?” tanya Bunga acuh tak acuh.
“Hmm… tidak ada!”
“Bohong!”
“Sumpah…”
“Tidak mungkin!”
“Bunga, ngapain aku meminta kamu kalau memang ada…”
Bunga memotong alasan Heru. “Mas Heru… mas Heru! Tampangmu itu kelihatan banget kalau kamu itu buaya, hahaha!”
Muka Heru rasanya seperti menjadi beku, kaku, dan tidak bisa digerakkan. Ada rasa malu, kesal, kecewa. Baru kali ini dia bertemu gadis yang menanggapi rayuannya dengan penuh kontrol dan percaya diri. Padahal anak itu masih muda, mungkin baru masuk kuliah atau paling tinggi tingkat dua!
Lama keduanya berdiam diri. Bunga sibuk dengan minumannya sambil melihat-lihat ponsel, sedangkan Heru merasa lemas karena rayuannya tidak berhasil. Dia ingin mencoba lagi, namun bagaimana caranya? Bunga tampaknya tidak berminat, dan mungkin menganggapnya teman atau kenalan biasa saja.
Pada saat itulah tiba-tiba dua orang pemuda berdiri dekat meja mereka. Salah seorang berkata dengan nada kasar kepada Bunga. “Jadi ini pacar baru lu?”
Bunga terkesiap, memandang kepada pemuda itu dengan kaget. “Apa maksud lu Hendra! Ngapain kamu ngurusin gue?”
Si pemuda malah naik pitam. “Ah dasar kamu tukang selingkuh!”
Hendra menghadap ke arah Heru, lalu berkata sambil menuding dirinya, “Heh! Gue pacarnya Bunga!”
Heru diam saja, tidak tahu harus bersikap apa. Tetapi Bunga yang beraksi, marah!
“Heh, Hendra! Jaga mulut lu! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kamu kembali saja ke papimu yang sok kaya itu!”
“Tutup mulut lu, Bunga! Kamu hanya mencari alasan saja, karena kamu punya pacar baru!”
Bunga yang merasa tidak ingin meladeni Hendra, bangkit dari kursinya dan menarik tangan Heru. “Ayo mas, kita pergi!”
Tetapi Hendra mencegat Heru. “Eh, enak saja kamu. Sudah merebut pacar orang malah hendak kabur!”
Heru menepis tangan Hendra. “Sorry, aku tidak mengerti masalah kalian…”
Merasa tidak ditanggapi dan hendak ditinggal, Hendra tambah sakit hati. Dia harus melampiaskan kekesalannya pada seseorang, dan tentu sasaran paling tepat adalah laki-laki yang telah merebut Bunga darinya.
“Bangsat kamu!” bentak Hendra sambil memukul ke arah muka Heru. Untung Heru sempat mundur sehingga tidak terkena pukulan, tetapi dia menabrak meja yang lain sehingga hidangan di atas meja itu berantakan dan jatuh.
Keributan itu serta-merta membuat heboh pengunjung kafe. Beberapa orang karyawan kafe tampak meringkus Hendra, namun pemuda itu berontak dan masih ingin menyerang Heru.
Bunga menarik tangan Heru segera keluar dari kafe. Untunglah kafe itu sistim bayar duluan sehingga mereka tidak repot lagi melakukan pembayaran saat keributan terjadi.
BUNGA dan Heru berjalan tergesa-gesa keluar dari mall dan Tower A, menghindari pandangan orang-orang yang melihat keributan yang terjadi di kafe tadi. Langkah keduanya seakan tidak ragu mengarah ke Tower C, tempat apartemen Heru berada. “Sialan si Hendra itu,” sungut Bunga. Bagaimana pun, dia dibuat malu di tempat umum, dan merasa tidak enak dengan Heru yang baru dikenalnya. ‘Tukang selingkuh? Hendra bilang aku tukang selingkuh? Sialan bener!’ Menyadari langkahnya yang menuju ke Tower C, Bunga tiba-tiba berhenti. “Ngapain kita ke sini?” tanyanya bingung. “Tidak apa-apa,” sahut Heru. “Kita ke tempatku saja.” “Tempatmu? Kamu tinggal di sini?” “Iya, ayo kita naik.” “Ah!” Bunga tampak ragu-ragu. Melihat itu, Heru segera menarik tangannya dan menggandengnya menuju ke lift. Teteapi Bunga tetap ragu. “Aku tidak mau, aku mau pulang saja!” Heru tidak ingin memaksanya, nanti malah menimbulkan salah pengertian. “Oke, apaka
RUDI langsung datang ke apartemen Heru setelah mendapat khabar dari temannya itu bahwa dia dikeroyok orang dekat mall. Heru menceritakan kronologi kejadian itu. “Kamu punya nomor telepon Bunga?” tanya Rudi. Heru memberikan nomor telepon Bunga. “Tetapi jangan kasih tahu Bunga kalau aku dikeroyok!” pinta Heru. “Hmm, gimana aku bisa cari tahu siapa si Hendra kalau nggak tanya sama Bunga?” tanya Rudi bingung. Tetapi dia kemudian mendapat akal. “Aku akan minta bantuan Astrid, kebetulan aku punya nomor teleponnya.” Heru ingat, Astrid adalah teman Bunga yang mirip artis Luna Maya. ‘Wah, rupanya Rudi sudah menjalin kontak dengan si Luna Maya itu…’ pikir Heru. Heru mengubungi Astrid. “Hallo sayang…” ‘Gila, udah sayang-sayangan saja!’ bathin Heru hampir tidak dapat menahan ketawanya. Dia kenal sifat Rudi, orangnya memang tidak panjang sungkan, mudah akrab dengan orang, dan tidak banyak tedeng aling-aling. Cukup lama juga
MEMANG sih Rudi anak orang kaya, bos perusahaan properti yang memiliki perumahan dan apartemen di mana-mana. Tetapi mana bisa dia menyerahkan mobil seperti itu begitu saja? Kawan sih kawan, tetapi apa keuntungan bagi Rudi sehingga begitu baiknya kepada Heru? Tiba-tiba ponsel Rudi berdering. “Ya, hallo?” Sejenak Rudi mendengarkan berita via telepon itu, lalu katanya, “Catcha!!” “Dapat?” tanya Heru. “Yoi! Dia lagi pesta di daerah Tebet, sama kawan-kawannya.” Mobil mereka pun meluncur ke daerah Tebet, masih di area Jakarta Selatan. Oleh karena sudah malam, sudah jam sebelas malam, jalanan sudah mulai sepi sehingga tidak lama mereka sudah sampai di TKP. Seorang lelaki tinggi besar dan beberapa orang lainnya menghampiri mobil mereka. Lelaki tinggi besar itu layaknya si BA di dalam film jadul “The A Team”. Pantas saja namanya Samson! Tetapi ketika berbicara, si Samson ini berlogat seperti orang Batak (sebuah suku di Sumatera Utara, I
RUDI mengantar Heru kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Heru hanya diam, tidak tahu harus ngomong apa. Peristiwa tadi benar-benar mencekam bathinnya. Walaupun dia yang menjadi korban pengeroyokan dan mengalami sakitnya, namun dia tidak akan memberikan hukuman sekeras itu. “Sudahlah, Her. Nanti kamu akan terbiasa juga,” kata Rudi memecahkan kekakuan di antara mereka. “Aku tidak tahu kamu bisa sekejam itu,” sahut Heru dengan suara yang tercekat. Rudi menyeringai. “Aku terlalu kejam, ya?” Heru tidak menjawab, jadi Rudi melanjutkan ucapannya, “bukan aku yang melakukannya, kan?” “Tapi atas perintahmu,” tukas Heru. “Her, dunia ini lebih kejam lagi. Samson dan anak buahnya itu hanya mencari makan dengan cara itu, mereka tidak bisa yang lain. Mereka mau kerja kantoran tidak bisa. Lalu siapa yang memberi makan mereka? Aku hanya memanfaatkan jasa mereka, memberi mereka pekerjaan. Aku juga mendidik anak-anak kurang ajar macam Hendra itu agar ti
“MAS, ada apa?” tanya Mila melihat Heru yang berubah jadi murung.Heru menghela nafas, lalu mencoba tersenyum kepada Mila. Kasihan gadis itu, dia pasti sudah jatuh cinta kepadanya.Bagi Heru, Mila cukup manis, dan mempunyai daya tarik atau sex appeal yang sangat tinggi terhadap Heru. Melihatnya saja sudah membuat Heru birahi, apalagi berdekatan, mencium bau harum di rambut dan badannya, menyentuhnya!Heru merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mengecup bibir Mila, mengejar-ngejar lidahnya yang menari-nari di rongga mulutnya! Heru merasakan kasih sayang yang luar biasa ketika memeluk Mila, mendekapnya seerat-eratnya, menindihnya. Walaupun sampai saat ini mereka belum sampai bersenggama, hampir-hampir saja karena mereka sudah mabok birahi, namun ada saja yang menghalangi hal itu terjadi.Tetapi, dibandingkan dengan Bunga, Heru lebih memilih Bunga!Bunga termasuk gadis impiannya. Gadis itu tampak lebih putih dan ranum, lebih sumringah.
KETIKA keluar dari kamar mandi, Heru tidak melihat Mila lagi. Gadis itu sudah pergi meninggalkan apartemennya. Heru buru-buru menelepon Mila, tetapi teleponnya di-reject! Beberapa kali Heru mencoba, kuatir ada masalah sambungan telepon, tetapi tetap saja, teleponnya memang di-reject oleh Mila. Heru akhirnya mengirim pesan WA saja. “Mil, kok pergi?” Muncul jawaban dari Mila. “Sudahlah, mas. Jika sudah ada orang lain, lupakan aku!” Astaga! Heru terkulai, duduk di tempat tidurnya walaupun masih bersarung handuk. Dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur. … Mila tentu saja mendengar Heru berbicara di telepon dalam kamar mandi. Apartemen Heru hanya sebuah studio kecil, mirip kamar hotel saja. Walaupun dia tidak bisa mendengarkan pembicaraan itu dengan jelas, namun hati kecilnya sudah merasakan bahwa ada seorang wanita lain yang sedang menghubungi Heru. Pantas saja Heru mematikan telepon itu tadi. Pantas saj
SETELAH sampai di mobil, Heru menelepon Bunga. Tidak lama, telepon itu diangkat. “Ya?” terdengar suara Bunga namun ketus.Heru mengatur nada suaranya. “Hallo sayang…”Diam. Bunga tidak menyahutnya.“Bunga sayang, aku sudah di mobil. Siap meluncur ke tempat kamu.”Sesaat Bunga diam saja, tetapi kemudian menyahut, “emang tahu rumahku di mana?”Heru tersenyum. Sebuah lampu sudah menyala, tinggal menyalakan lampu-lampu yang lainnya.“Justru karena itu aku telepon, sayang…”“Sayang… sayang… gombal!”Heru tertawa geli, tetapi menutup mic di ponselnya agar tidak terdengar Bunga.“Bunga sayang, kasih tahu alamatmu biar aku segera jalan nih,” rayu Heru. Tetapi, Bunga malah menutup telepon!Heru kaget lalu melihat ponselnya. Apakah terputus?Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk, dari Bunga. Isinya adalah s
“BY THE WAY, kok kamu marah sih di telepon tadi pagi?” tanya Heru ingin membuka simpul kesalahpahaman mereka. Tetapi Heru lupa kalau Bunga itu orangnnya cerdas dan teliti. Pertanyaan itu seperti menggali kuburnya sendiri! Sejenak Bunga menatap Heru. Pandang mata Bunga begitu teduh, menenggelamkan, namun indah karena dihias oleh bulu mata yang lentik. Tetapi, pandangan itu mampu menyelami hati hingga yang paling dalam. “Kamu tadi sama siapa?” akhirnya dia bertanya, sambil tangannya menopang dagu. Pertanyaan itu tentu saja mengejutkan Heru, betapa stright to the point-nya, menembak dengan sangat jitu! Heru tidak bisa menjawabnya. Jika dia bohong, Bunga akan tahu! Tetapi jika dia jujur, sedang bersama Mila sahabat Bunga sendiri, maka kiamat akan segera tiba! Terpaksa Heru berlagak bego! “Waktu kamu telepon, aku lagi di kamar mandi,” jawab Heru, jauh dari konteks pertanyaan. Memang seperti itulah cara lelaki menghadapi todongan se
Demikianlah kisah KALIMAYA (Mencari Cinta Sejati), harus diakhiri sampai di sini. Cinta Heru yang terombang-ambing di antara sekian wanita mendapatkan muara pada seseorang melalui perjodohan. Namun cinta yang tumbuh bisa jadi adalah cinta yang sejati, bukan karena harta dan tahta. Mungkin pembaca menyadari bahwa salah satu bab, yaitu bab 37, tidak ada di buku ini. Bab itu terpaksa dicopot agar pembaca merangkai sendiri adegan demi adegan yang ada dalam bab itu. Bisa, kan? Hehe… Tentu masih banyak pertanyaan yang harus dijawab. Bagaimana nasib pak Kusuma? Bagaimana nasib Bunga? Bagaimana nasib Rara? Dan bagaimana kehidupan Heru dan Laksmi selanjutnya? Mudah-mudahan kisah KALIMAYA 2 (Cinta Yang Hilang) bisa segera hadir, karena akan disela oleh kisah yang lainnya, seperti BELLANOVA. Ditunggu saja, sampai jumpa…
LAKSMI menatap Heru yang baru datang. Matanya sudah sembab karena menangis. “Sorry, sayang… tadi aku segera ke sini, cuma jalanan benar-benar padat,” bujuk Heru sambil meraih dan memeluk Laksmi. “Gimana, mas… papi ditangkap polisi…” Laksmi kembali menangis di pelukan Heru. “Kamu tenang dulu, ya, nanti kita mengurusnya. Ini mungkin hanya kesalahan saja…” Heru lalu menelepon Rudi. Dalam situasi seperti ini, tidak ada orang yang mampu mengatasinya selain sahabatnya itu. “Rud, pak Kusuma ditangkap polisi,” lapor Heru. “Iya, aku tahu,” jawab Rudi di ujung sana. “Kenapa, Rud?” “Tindak pidana, Her. Sebaiknya kita ketemu untuk membicarakan ini, kurang baik kalau bicara di telepon.” “Oke, aku akan ke tempatmu.” … Heru tampak tegang sekali ketika menemui Rudi. “Kamu harus menolongnya, Rud,” pinta Heru. Tetapi Rudi langsung menepisnya. “Sorry, kali ini tidak bisa, Her. Pak Kusuma telah mengg
HERU bukan tidak tahu Bunga sangat merindukannya, begitu pun dia, sangat merindukan Bunga. Gadis centil itu telah merampas hatinya, membuatnya selalu terkenang, membuatnya menatap matahari yang bersinar di antara bunga-bunga di taman indah. Tetapi jika dia terus berhubungan dengan Bunga sementara dia akan menikah dengan Laksmi, pasti akan lebih menyakitkan lagi. Dia telah membuat keputusan, orang tuanya pun sudah datang melamar Laksmi secara resmi, pernikahan sudah disiapkan. Tidak ada jalan mundur lagi. ‘Cinta… Apakah itu cinta…Bertanya… tanpa sengaja…’ Kembali alunan lagu itu mengiang di telinganya. Apakah benar dia telah jatuh cinta kepada Bunga? Apakah Bunga yang menjadi cintanya? Ah, sulitnya meramalkan jodoh, siapa yang dicinta dan siapa yang dinikahi… ‘Tetapi, berikanlah Bunga sedikit kesempatan untuk bertemu,’ teriak hati Heru sendiri. ‘Jangan biarkan dia, kasihan, jangan didiamkan. Apa salahnya? Kamu harus bertan
SEBENARNYA, Heru dan Laksmi tidak ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran. Bahkan mereka ingin menikah di luar negeri saja, tanpa pesta. Tetapi pak Kusuma mempunyai keluarga besar yang ningrat dari Yogyakarta, tidak mungkin anak tunggalnya menikah begitu saja tanpa perayaan yang melibatkan keluarga besar. Sementara dari keluarga Heru yang di Malang, tidak terlalu mempersoalkan pesta pernikahan. Heru sudah merantau sejak tamat SMA ke Jakarta, dan jarang pulang. Heru sudah seperti ‘anak hilang’. Dalam rangka pernikahan ini, orang tua Heru hanya sekali datang ke Jakarta untuk melakukan prosesi lamaran. Sesuai janjinya, pak Kusuma mengatur semua pesta pernikahan di sebuah hotel mewah di Jakarta, termasuk seluruh biayanya. Bagi pak Kusuma, pesta pernikahan putri tunggalnya ini adalah show atas keberhasilannya di ibukota. Seluruh keluarga besarnya tidak boleh memandang rendah kepadanya! Laksmi menjadi repot sekali dengan urusan w
BERITA tentang rencana pernikahan Heru dengan Laksmi ternyata disampaikan oleh pak Kusuma kepada Rudi. “Jadi, kamu memutuskan untuk nikah dengan Laksmi,” kata Rudi ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Heru tidak segera menjawabnya, dia ingin tahu dulu bagaimana sikap Rudi. Hal ini terkait dengan banyak hal, termasuk ‘misi’nya menjadi direktur di perusahaan Rudi, serta --dugaan Heru-- hubungannya dengan Bunga yang menjadi sahabat Astrid! Tetapi karena Rudi sendiri memilih diam tidak berkomentar lagi, Heru akhirnya bertanya, “apakah kamu keberatan?” Rudi menatap Heru dan tersenyum. Entah kenapa, senyum Rudi kali ini terasa misterius bagi Heru. “Memangnya kenapa aku keberatan, brother!” kata Rudi. Tetapi Heru yakin, kata-kata Rudi itu hanyalah lip service belaka. Ada hal lain yang seharusnya dia katakan, sehingga dia meminta Heru untuk bertemu. “Katakan, Rud! Apa menurutmu?” desak Heru. Rudi menyeruput kopinya, b
MINGGU pagi, sudah cukup siang, Heru iseng mengunjungi lapak bu Ratna. “Selamat pagi mas, butuh Bunga lagi?” sapa bu Ratna ceria. Heru tersenyum. “Tidak bu, saya butuh secangkir cairan hangat,” jawab Heru berteka-teki. Bu Ratna mengerenyit, mencoba berpikir apa yang dimaksud Heru. “Secangkir kopi?” “Tidak bu Ratna cantik…” sahut Heru nakal menggoda, membuat wajah bu Ratna merona merah. Efek pujian gombal itu ternyata masih mengena pada bu Ratna. Memang bu Ratna belum terlalu tua, dan masih selalu berdandan. “Saya mau bu Ratna membuatkan saya secangkir coklat panas, mau kan bu?” Coklat panas tidak ada dalam menu yang dijual bu Ratna, tetapi siapa tahu bu Ratna mau berbaik hati mebuatkannya? Heru hanya mencari sesuatu yang tidak biasa saja. “Oh, tentu saja!” ternyata bu Ratna menyanggupinya. Ketika Heru sedang menikmati coklat panas spesial itu, tiba-tiba Laksmi muncul dan mendatangi. Laksmi berpakaian olah raga, terlihat
“BAIKLAH Heru, kamu menang,” berkata pak Kusuma akhirnya. Heru bimbang, karena tidak paham maksud pak Kusuma itu. “Apa maksud bapak?” tanyanya. “Aku tidak akan mencampuri hubungan kalian, hubunganmu dengan Laksmi. Tapi aku mohon, sebagai bapaknya, jangan permainkan anakku! Dia anak kami satu-satunya, kami besarkan dia dengan sepenuh hati, kami sekolahkan dia di luar negeri, dan kini kami support dia dalam bisnisnya. Dia anak yang sangat baik, penurut kepada orang tua. Dan juga… sudah waktunya kami mempunyai cucu! Maka kalian… segeralah kalian menikah!” Walaupun sudah berusaha menyimak kata-kata pak Kusuma, Heru masih belum paham juga maksud di balik kata-kata itu. Kata-kata itu terlihat sederhana. Lebih merupakan kata-kata seorang bapak biasa. Tetapi, ini yang mengucapkannya adalah seorang direktur utama perusahaan besar, seorang direktur senior. Tidak mungkin sesederhana kedengarannya! Tetapi apa yang bisa dia lakukan sekarang? Membatalkan perjodohan
HARI sudah siang ketika ponsel Heru berteriak, ada telepon dari kantor! “Pak, maaf. Apakah bapak masuk kerja hari ini?” tanya Lia, sekretarisnya. Heru mengucek-ucek matanya agar penglihatannya menjadi terang. Sudah lewat jam sebelas siang! Dia bangun kesiangan, gara-gara tidak bisa tidur semalaman. “Masuk, mbak Lia,” jawab Heru meyakinkan. “Tadi pak dirut ke ruang bapak…” “Oh ya, nanti saya akan menemuinya,” sahut Heru. Telepon ditutup. ‘Ada apa lagi dia mau menemuiku? Laksmi pasti sudah melapor ke papinya!’ gerutu Heru dalam hati. Masih terasa berat otaknya untuk bekerja. Dia masih lelah karena mimpinya, di tengah suasana pernikahannya, seorang wanita datang menuntutnya untuk membatalkan pernikahan itu, dia bilang lebih berhak untuk dinikahi karena telah memiliki anak darinya! Keluarga wanita itu mengejarnya, ingin menangkapnya untuk dinikahkan dengan wanita itu… Pas jam 13, Heru masuk ruangan pak Kusuma. “Selamat siang, pak,”
KETIKA kembali ke apartemennya, Heru tidak bisa tidur. Hari ini terasa paling berat dari seluruh hari yang pernah dilaluinya. Dilabrak sama calon mertua, masih bisa dia atasi dengan mudah. Tetapi menghadapi seriusnya hubungan dengan anaknya, barulah dunia ini terasa sangat berat. Dia sekarang dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam perjalanan hidupnya, dia harus KAWIN! Dia harus memilih dengan siapa dia akan kawin, dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan perempuan itu saja. Jika dia bersama perempuan lain, maka itu perbuatan selingkuh, perbuatan tidak setia dengan pasangan, dan akan mengancam keharmonisan keluarga, bukan hanya rumah tangga. Kapan dia akan kawin? Selama ini dia belum punya rencana, bahkan belum memikirkan akan kawin. Hubungannya dengan perempuan-perempuan masih sebatas ketertarikan biologis, kekaguman terhadap kecantikan, dan kadang-kadang (atau lebih sering?) karena keberuntungan melibatkan dia dengan perempuan-perempuan yang tidak mampu