MEMANG sih Rudi anak orang kaya, bos perusahaan properti yang memiliki perumahan dan apartemen di mana-mana. Tetapi mana bisa dia menyerahkan mobil seperti itu begitu saja? Kawan sih kawan, tetapi apa keuntungan bagi Rudi sehingga begitu baiknya kepada Heru?
Tiba-tiba ponsel Rudi berdering. “Ya, hallo?”
Sejenak Rudi mendengarkan berita via telepon itu, lalu katanya, “Catcha!!”
“Dapat?” tanya Heru.
“Yoi! Dia lagi pesta di daerah Tebet, sama kawan-kawannya.”
Mobil mereka pun meluncur ke daerah Tebet, masih di area Jakarta Selatan. Oleh karena sudah malam, sudah jam sebelas malam, jalanan sudah mulai sepi sehingga tidak lama mereka sudah sampai di TKP.
Seorang lelaki tinggi besar dan beberapa orang lainnya menghampiri mobil mereka. Lelaki tinggi besar itu layaknya si BA di dalam film jadul “The A Team”. Pantas saja namanya Samson!
Tetapi ketika berbicara, si Samson ini berlogat seperti orang Batak (sebuah suku di Sumatera Utara, Indonesia). Pantas saja Rudi memanggilnya dengan “Lae” (panggilan saudara untuk orang Batak). “Mau diapain dia, bos?” tanya Samson kepada Rudi.
“Bawa dia ke sini!” perintah Rudi.
Samson dan kawan-kawannya masuk ke dalam sebuah kafe. Tidak berapa lama Samson sudah menarik keluar seorang anak muda, yang tidak lain adalah Hendra. Kawan-kawan Samson juga menggiring beberapa anak muda lain yang menjadi kawan Hendra.
“Jongkok!” perintah Samson kepada Hendra sambil menekan pundaknya. Mau tidak mau Hendra berjongkok karena beratnya tindihan yang diterimanya. Teman-teman Hendra pun ikut berjongkok. Dalam ketakutan, mereka memandang kepada seorang pemuda yang berdiri santai sambil menyender pada sebuah mobil mewah yang berkilau.
“Kamu Hendra?” tanya Rudi.
Hendra diam membisu. Dalam hati dia menjadi marah dan dendam pada anak muda yang berdiri di depannya itu.
Rudi melihat ke arah Samson yang berdiri di samping Hendra. “Kasih dia dikit!” katanya memberi perintah.
Seketika Hendra merasakan tamparan yang sangat keras di kepalanya, membuat dia langsung limbung dan terguling!
Sambil meringis kesakitan, Hendra bangkit duduk jongkok lagi. Kali ini nyalinya sudah ambyar. “Ampun… ampun, mas,” rengeknya tanpa malu.
“Kalau orang bertanya baik-baik, jawab!” bentak Rudi.
“Iya, mas… maaf…”
Rudi memberi isyarat agar Heru keluar dari mobil. Begitu melihat Heru, Hendra menjadi bertambah ciut. Kini dia sadar apa yang terjadi. Dia telah lancang mengeroyok orang yang ternyata mempunyai bekingan hebat.
“Her, enaknya diapakan anak curut ini?” tanya Rudi santai.
Heru tentu tidak bisa menjawab. Urusan yang begini tidak biasa baginya. Tetapi tampaknya Rudi sudah terbiasa sehingga bisa santai seperti itu.
Jadi, Rudi lalu bertanya kepada Hendra, “kira-kira hukuman apa yang pantas untuk kamu setelah mengeroyok teman saya?”
“A… ampun, mas. Saya tidak akan berani lagi…” rengek Hendra.
“Hmm… apakah kamu akan melapor ke ayahmu?”
Dengan cepat Hendra menjawab, “Tidak, mas. Saya tidak akan melapor!”
“Atau, kamu akan melapor kepada polisi?”
“Oh, tidak, mas. Saya tidak akan melapor!”
“Oke, baik kalau begitu. Kamu lapor juga tidak apa-apa, nanti aku akan mencari kamu lagi. Tentunya, aku akan membunuh kamu!”
Rudi sengaja mengeraskan suara di ujung kalimatnya sebagai penekanan, agar Hendra paham bahwa dia serius. Mendengar itu, Hendra serta merta membuat janji:
“Iya… mas, saya tidak akan melapor kepada siapa-siapa!”
“Teman-temanmu?” tanya Rudi melihat ke arah teman-teman Hendra.
“Mereka juga tidak akan melapor, mas. Saya yang jamin itu!” tegas Hendra. Di ingin cepat-cepat selesai dari intimidasi yang sangat berat dirasakannya itu.
Hendra menoleh ke kawan-kawannya, dan kawan-kawan Hendra segera manggut-manggut meyakinkan. “Iya… iya, kami tidak akan berani melapor!”
“Hahaha…” Rudi tertawa.
Mendengar suara tawa itu, Heru sampai tercengang. Belum pernah dia mendengar Rudi tertawa seperti itu. Suara ketawa itu… terdengar… mengerikan!
“Samson! Patahkan tangan kanannya!” perintah Rudi. Sebenarnya suara Rudi tidak terlalu keras, tetapi bagi Hendra, suara itu seperti halilintar yang sangat dahsyat!
“A… ampun, mas. Ampun…” Hendra menangis menguguk-guguk.
Tetapi perintah itu sudah dikeluarkan! Samson dengan tangkas menarik tangan kanan Hendra dan memelintirnya sehingga terdengar suara “Krekk!”. Suara tulang patah, yang langsung disusul oleh lolongan Hendra karena sakit yang teramat sangat!
Tiga orang kawan Hendra pun menjadi ngeri melihat peristiwa itu. Mereka hanya anak-anak muda yang ikut-ikutan karena sering ditraktir oleh Hendra. Tetapi mereka pun harus merasakan hal yang sama dengan bos mereka.
Satu anggukan Rudi ke arah kawan-kawan Samson cukup menjadi perintah bagi mereka. Masing-masing mereka memelintir tangan anak-anak muda itu sehingga patah. Suara raungan dan teriakan kesakitan memecah keheningan malam, tetapi tidak ada seorang pun yang terlihat keluar untuk melihat. Semua bersembunyi dari kengerian malam yang akhirnya menjadi senyap!
RUDI mengantar Heru kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Heru hanya diam, tidak tahu harus ngomong apa. Peristiwa tadi benar-benar mencekam bathinnya. Walaupun dia yang menjadi korban pengeroyokan dan mengalami sakitnya, namun dia tidak akan memberikan hukuman sekeras itu. “Sudahlah, Her. Nanti kamu akan terbiasa juga,” kata Rudi memecahkan kekakuan di antara mereka. “Aku tidak tahu kamu bisa sekejam itu,” sahut Heru dengan suara yang tercekat. Rudi menyeringai. “Aku terlalu kejam, ya?” Heru tidak menjawab, jadi Rudi melanjutkan ucapannya, “bukan aku yang melakukannya, kan?” “Tapi atas perintahmu,” tukas Heru. “Her, dunia ini lebih kejam lagi. Samson dan anak buahnya itu hanya mencari makan dengan cara itu, mereka tidak bisa yang lain. Mereka mau kerja kantoran tidak bisa. Lalu siapa yang memberi makan mereka? Aku hanya memanfaatkan jasa mereka, memberi mereka pekerjaan. Aku juga mendidik anak-anak kurang ajar macam Hendra itu agar ti
“MAS, ada apa?” tanya Mila melihat Heru yang berubah jadi murung.Heru menghela nafas, lalu mencoba tersenyum kepada Mila. Kasihan gadis itu, dia pasti sudah jatuh cinta kepadanya.Bagi Heru, Mila cukup manis, dan mempunyai daya tarik atau sex appeal yang sangat tinggi terhadap Heru. Melihatnya saja sudah membuat Heru birahi, apalagi berdekatan, mencium bau harum di rambut dan badannya, menyentuhnya!Heru merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mengecup bibir Mila, mengejar-ngejar lidahnya yang menari-nari di rongga mulutnya! Heru merasakan kasih sayang yang luar biasa ketika memeluk Mila, mendekapnya seerat-eratnya, menindihnya. Walaupun sampai saat ini mereka belum sampai bersenggama, hampir-hampir saja karena mereka sudah mabok birahi, namun ada saja yang menghalangi hal itu terjadi.Tetapi, dibandingkan dengan Bunga, Heru lebih memilih Bunga!Bunga termasuk gadis impiannya. Gadis itu tampak lebih putih dan ranum, lebih sumringah.
KETIKA keluar dari kamar mandi, Heru tidak melihat Mila lagi. Gadis itu sudah pergi meninggalkan apartemennya. Heru buru-buru menelepon Mila, tetapi teleponnya di-reject! Beberapa kali Heru mencoba, kuatir ada masalah sambungan telepon, tetapi tetap saja, teleponnya memang di-reject oleh Mila. Heru akhirnya mengirim pesan WA saja. “Mil, kok pergi?” Muncul jawaban dari Mila. “Sudahlah, mas. Jika sudah ada orang lain, lupakan aku!” Astaga! Heru terkulai, duduk di tempat tidurnya walaupun masih bersarung handuk. Dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur. … Mila tentu saja mendengar Heru berbicara di telepon dalam kamar mandi. Apartemen Heru hanya sebuah studio kecil, mirip kamar hotel saja. Walaupun dia tidak bisa mendengarkan pembicaraan itu dengan jelas, namun hati kecilnya sudah merasakan bahwa ada seorang wanita lain yang sedang menghubungi Heru. Pantas saja Heru mematikan telepon itu tadi. Pantas saj
SETELAH sampai di mobil, Heru menelepon Bunga. Tidak lama, telepon itu diangkat. “Ya?” terdengar suara Bunga namun ketus.Heru mengatur nada suaranya. “Hallo sayang…”Diam. Bunga tidak menyahutnya.“Bunga sayang, aku sudah di mobil. Siap meluncur ke tempat kamu.”Sesaat Bunga diam saja, tetapi kemudian menyahut, “emang tahu rumahku di mana?”Heru tersenyum. Sebuah lampu sudah menyala, tinggal menyalakan lampu-lampu yang lainnya.“Justru karena itu aku telepon, sayang…”“Sayang… sayang… gombal!”Heru tertawa geli, tetapi menutup mic di ponselnya agar tidak terdengar Bunga.“Bunga sayang, kasih tahu alamatmu biar aku segera jalan nih,” rayu Heru. Tetapi, Bunga malah menutup telepon!Heru kaget lalu melihat ponselnya. Apakah terputus?Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk, dari Bunga. Isinya adalah s
“BY THE WAY, kok kamu marah sih di telepon tadi pagi?” tanya Heru ingin membuka simpul kesalahpahaman mereka. Tetapi Heru lupa kalau Bunga itu orangnnya cerdas dan teliti. Pertanyaan itu seperti menggali kuburnya sendiri! Sejenak Bunga menatap Heru. Pandang mata Bunga begitu teduh, menenggelamkan, namun indah karena dihias oleh bulu mata yang lentik. Tetapi, pandangan itu mampu menyelami hati hingga yang paling dalam. “Kamu tadi sama siapa?” akhirnya dia bertanya, sambil tangannya menopang dagu. Pertanyaan itu tentu saja mengejutkan Heru, betapa stright to the point-nya, menembak dengan sangat jitu! Heru tidak bisa menjawabnya. Jika dia bohong, Bunga akan tahu! Tetapi jika dia jujur, sedang bersama Mila sahabat Bunga sendiri, maka kiamat akan segera tiba! Terpaksa Heru berlagak bego! “Waktu kamu telepon, aku lagi di kamar mandi,” jawab Heru, jauh dari konteks pertanyaan. Memang seperti itulah cara lelaki menghadapi todongan se
“BUNGA, sorry ya…” kata Heru dengan perasaan bersalah. Bunga tersenyum. Senyum yang manis sekali, tiada duanya di mata Heru, membuat pemuda itu yakin bahwa Bunga tidak marah. “Aku ambilin minum dulu, ya. Sorry, sampai lupa…” kata Bunga sambil bangkit dan berjalan ke dalam. Heru memandangi gadis itu hingga hilang di balik gorden. ‘Ya Tuhan, aku cinta padanya! Aku cinta pada Bunga…’ Sekilas tiba-tiba terlintas Mila dalam pikirannya. ‘Maaf Mila, aku mengecewakanmu…’ Heru tahu kalau Mila sudah mulai jatuh cinta kepadanya, bahkan rela berkorban apa saja yang diinginkan Heru. Tetapi Heru masih tidak tergerak hatinya untuk menyatakan itu cinta atau sayang. Heru hanya merasakan desakan birahi yang sangat kuat jika berdekatan dengan Mila, dan Mila pun merasakan yang sama. Jadi, hubungan mereka memang karena perasaan birahi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi apakah seorang perempuan bisa beranggapan seperti itu? Pada dasarnya, perempuan tida
“UDAH, ah, interogasinya. Aku jadi lapar!” celetuk Heru sambil bergeser mendekati Bunga. Bunga kembali tersenyum. Sekarang dia harus waspada terhadap Heru, karena pemuda itu mempunyai penyakit birahi, bisa tiba-tiba saja menangkapnya. “Kita pesan saja ya?” tanya Bunga sambil meraih ponselnya. “Kita keluar,” sahut Heru cepat. Sejenak Bunga kelihatan berpikir. “Tapi nggak usah jauh-jauh ya, aku malas ganti baju.” “Oke, kamu nggak pakai baju juga cantik kok…” goda Heru. “Apa?” Bunga melotot, pura-pura tersinggung. Tetapi Heru sudah menemukan kembali jati dirinya. Dia bangkit lalu menarik Bunga berdiri. Sebelum Bunga sadar, sebuah ciuman telah mendarat di pipinya! “Ih, dasar! Main nyosor saja!” protes Bunga. “Maaf say, diriku tak tahan…” jawab Heru seenaknya. Bunga menatap Heru. “Kamu sering cium Mila, kan?” Ah, pertanyaan itu lagi! Tetapi, masa bodoh lah. Bunga tidak akan melepaskan sesuatu pun yang membuat
RUDI meminta pelayan rumah makan menggabungkan meja untuk mereka. Setelah mereka duduk, Rudi berkata kepada Heru. “Her, kamu sama Bunga ya, sekarang?” matanya menatap Heru tajam. Aduh, Rudi! Kok pertanyaannya seperti itu? Muka Heru menjadi pucat, begitu juga dengan Bunga. “Rudi,” tegur Astrid. “Pertanyaannya kok gitu sih? Emang kenapa kalau mereka bersama?” Menyadari kesalahannya, Rudi jadi sibuk menjelaskan. “Sorry… sorry… maksudku… kalian…” Dia mengacukan dua telunjuknya, kiri dan kanan, lalu didempetkan. Dia mengangguk-angguk ke arah Heru dengan mimik nakal menggoda. Heru dan Astrid mungkin sudah mengenal sifat Rudi yang ceplas-ceplos semaunya, tidak memikirkan orang lain mengerti atau tidak. Tetapi Bunga, bisa saja dia akan mengira kalau Heru itu suka ganti-ganti pacar! Akhirnya Heru mengambil inisiatif. “Bunga, jangan kamu dengarkan bos Wiro ini!” katanya. Ketiga temannya itu menjadi bingung. “Kok Wiro?” tanya Bunga.
Demikianlah kisah KALIMAYA (Mencari Cinta Sejati), harus diakhiri sampai di sini. Cinta Heru yang terombang-ambing di antara sekian wanita mendapatkan muara pada seseorang melalui perjodohan. Namun cinta yang tumbuh bisa jadi adalah cinta yang sejati, bukan karena harta dan tahta. Mungkin pembaca menyadari bahwa salah satu bab, yaitu bab 37, tidak ada di buku ini. Bab itu terpaksa dicopot agar pembaca merangkai sendiri adegan demi adegan yang ada dalam bab itu. Bisa, kan? Hehe… Tentu masih banyak pertanyaan yang harus dijawab. Bagaimana nasib pak Kusuma? Bagaimana nasib Bunga? Bagaimana nasib Rara? Dan bagaimana kehidupan Heru dan Laksmi selanjutnya? Mudah-mudahan kisah KALIMAYA 2 (Cinta Yang Hilang) bisa segera hadir, karena akan disela oleh kisah yang lainnya, seperti BELLANOVA. Ditunggu saja, sampai jumpa…
LAKSMI menatap Heru yang baru datang. Matanya sudah sembab karena menangis. “Sorry, sayang… tadi aku segera ke sini, cuma jalanan benar-benar padat,” bujuk Heru sambil meraih dan memeluk Laksmi. “Gimana, mas… papi ditangkap polisi…” Laksmi kembali menangis di pelukan Heru. “Kamu tenang dulu, ya, nanti kita mengurusnya. Ini mungkin hanya kesalahan saja…” Heru lalu menelepon Rudi. Dalam situasi seperti ini, tidak ada orang yang mampu mengatasinya selain sahabatnya itu. “Rud, pak Kusuma ditangkap polisi,” lapor Heru. “Iya, aku tahu,” jawab Rudi di ujung sana. “Kenapa, Rud?” “Tindak pidana, Her. Sebaiknya kita ketemu untuk membicarakan ini, kurang baik kalau bicara di telepon.” “Oke, aku akan ke tempatmu.” … Heru tampak tegang sekali ketika menemui Rudi. “Kamu harus menolongnya, Rud,” pinta Heru. Tetapi Rudi langsung menepisnya. “Sorry, kali ini tidak bisa, Her. Pak Kusuma telah mengg
HERU bukan tidak tahu Bunga sangat merindukannya, begitu pun dia, sangat merindukan Bunga. Gadis centil itu telah merampas hatinya, membuatnya selalu terkenang, membuatnya menatap matahari yang bersinar di antara bunga-bunga di taman indah. Tetapi jika dia terus berhubungan dengan Bunga sementara dia akan menikah dengan Laksmi, pasti akan lebih menyakitkan lagi. Dia telah membuat keputusan, orang tuanya pun sudah datang melamar Laksmi secara resmi, pernikahan sudah disiapkan. Tidak ada jalan mundur lagi. ‘Cinta… Apakah itu cinta…Bertanya… tanpa sengaja…’ Kembali alunan lagu itu mengiang di telinganya. Apakah benar dia telah jatuh cinta kepada Bunga? Apakah Bunga yang menjadi cintanya? Ah, sulitnya meramalkan jodoh, siapa yang dicinta dan siapa yang dinikahi… ‘Tetapi, berikanlah Bunga sedikit kesempatan untuk bertemu,’ teriak hati Heru sendiri. ‘Jangan biarkan dia, kasihan, jangan didiamkan. Apa salahnya? Kamu harus bertan
SEBENARNYA, Heru dan Laksmi tidak ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran. Bahkan mereka ingin menikah di luar negeri saja, tanpa pesta. Tetapi pak Kusuma mempunyai keluarga besar yang ningrat dari Yogyakarta, tidak mungkin anak tunggalnya menikah begitu saja tanpa perayaan yang melibatkan keluarga besar. Sementara dari keluarga Heru yang di Malang, tidak terlalu mempersoalkan pesta pernikahan. Heru sudah merantau sejak tamat SMA ke Jakarta, dan jarang pulang. Heru sudah seperti ‘anak hilang’. Dalam rangka pernikahan ini, orang tua Heru hanya sekali datang ke Jakarta untuk melakukan prosesi lamaran. Sesuai janjinya, pak Kusuma mengatur semua pesta pernikahan di sebuah hotel mewah di Jakarta, termasuk seluruh biayanya. Bagi pak Kusuma, pesta pernikahan putri tunggalnya ini adalah show atas keberhasilannya di ibukota. Seluruh keluarga besarnya tidak boleh memandang rendah kepadanya! Laksmi menjadi repot sekali dengan urusan w
BERITA tentang rencana pernikahan Heru dengan Laksmi ternyata disampaikan oleh pak Kusuma kepada Rudi. “Jadi, kamu memutuskan untuk nikah dengan Laksmi,” kata Rudi ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Heru tidak segera menjawabnya, dia ingin tahu dulu bagaimana sikap Rudi. Hal ini terkait dengan banyak hal, termasuk ‘misi’nya menjadi direktur di perusahaan Rudi, serta --dugaan Heru-- hubungannya dengan Bunga yang menjadi sahabat Astrid! Tetapi karena Rudi sendiri memilih diam tidak berkomentar lagi, Heru akhirnya bertanya, “apakah kamu keberatan?” Rudi menatap Heru dan tersenyum. Entah kenapa, senyum Rudi kali ini terasa misterius bagi Heru. “Memangnya kenapa aku keberatan, brother!” kata Rudi. Tetapi Heru yakin, kata-kata Rudi itu hanyalah lip service belaka. Ada hal lain yang seharusnya dia katakan, sehingga dia meminta Heru untuk bertemu. “Katakan, Rud! Apa menurutmu?” desak Heru. Rudi menyeruput kopinya, b
MINGGU pagi, sudah cukup siang, Heru iseng mengunjungi lapak bu Ratna. “Selamat pagi mas, butuh Bunga lagi?” sapa bu Ratna ceria. Heru tersenyum. “Tidak bu, saya butuh secangkir cairan hangat,” jawab Heru berteka-teki. Bu Ratna mengerenyit, mencoba berpikir apa yang dimaksud Heru. “Secangkir kopi?” “Tidak bu Ratna cantik…” sahut Heru nakal menggoda, membuat wajah bu Ratna merona merah. Efek pujian gombal itu ternyata masih mengena pada bu Ratna. Memang bu Ratna belum terlalu tua, dan masih selalu berdandan. “Saya mau bu Ratna membuatkan saya secangkir coklat panas, mau kan bu?” Coklat panas tidak ada dalam menu yang dijual bu Ratna, tetapi siapa tahu bu Ratna mau berbaik hati mebuatkannya? Heru hanya mencari sesuatu yang tidak biasa saja. “Oh, tentu saja!” ternyata bu Ratna menyanggupinya. Ketika Heru sedang menikmati coklat panas spesial itu, tiba-tiba Laksmi muncul dan mendatangi. Laksmi berpakaian olah raga, terlihat
“BAIKLAH Heru, kamu menang,” berkata pak Kusuma akhirnya. Heru bimbang, karena tidak paham maksud pak Kusuma itu. “Apa maksud bapak?” tanyanya. “Aku tidak akan mencampuri hubungan kalian, hubunganmu dengan Laksmi. Tapi aku mohon, sebagai bapaknya, jangan permainkan anakku! Dia anak kami satu-satunya, kami besarkan dia dengan sepenuh hati, kami sekolahkan dia di luar negeri, dan kini kami support dia dalam bisnisnya. Dia anak yang sangat baik, penurut kepada orang tua. Dan juga… sudah waktunya kami mempunyai cucu! Maka kalian… segeralah kalian menikah!” Walaupun sudah berusaha menyimak kata-kata pak Kusuma, Heru masih belum paham juga maksud di balik kata-kata itu. Kata-kata itu terlihat sederhana. Lebih merupakan kata-kata seorang bapak biasa. Tetapi, ini yang mengucapkannya adalah seorang direktur utama perusahaan besar, seorang direktur senior. Tidak mungkin sesederhana kedengarannya! Tetapi apa yang bisa dia lakukan sekarang? Membatalkan perjodohan
HARI sudah siang ketika ponsel Heru berteriak, ada telepon dari kantor! “Pak, maaf. Apakah bapak masuk kerja hari ini?” tanya Lia, sekretarisnya. Heru mengucek-ucek matanya agar penglihatannya menjadi terang. Sudah lewat jam sebelas siang! Dia bangun kesiangan, gara-gara tidak bisa tidur semalaman. “Masuk, mbak Lia,” jawab Heru meyakinkan. “Tadi pak dirut ke ruang bapak…” “Oh ya, nanti saya akan menemuinya,” sahut Heru. Telepon ditutup. ‘Ada apa lagi dia mau menemuiku? Laksmi pasti sudah melapor ke papinya!’ gerutu Heru dalam hati. Masih terasa berat otaknya untuk bekerja. Dia masih lelah karena mimpinya, di tengah suasana pernikahannya, seorang wanita datang menuntutnya untuk membatalkan pernikahan itu, dia bilang lebih berhak untuk dinikahi karena telah memiliki anak darinya! Keluarga wanita itu mengejarnya, ingin menangkapnya untuk dinikahkan dengan wanita itu… Pas jam 13, Heru masuk ruangan pak Kusuma. “Selamat siang, pak,”
KETIKA kembali ke apartemennya, Heru tidak bisa tidur. Hari ini terasa paling berat dari seluruh hari yang pernah dilaluinya. Dilabrak sama calon mertua, masih bisa dia atasi dengan mudah. Tetapi menghadapi seriusnya hubungan dengan anaknya, barulah dunia ini terasa sangat berat. Dia sekarang dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam perjalanan hidupnya, dia harus KAWIN! Dia harus memilih dengan siapa dia akan kawin, dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan perempuan itu saja. Jika dia bersama perempuan lain, maka itu perbuatan selingkuh, perbuatan tidak setia dengan pasangan, dan akan mengancam keharmonisan keluarga, bukan hanya rumah tangga. Kapan dia akan kawin? Selama ini dia belum punya rencana, bahkan belum memikirkan akan kawin. Hubungannya dengan perempuan-perempuan masih sebatas ketertarikan biologis, kekaguman terhadap kecantikan, dan kadang-kadang (atau lebih sering?) karena keberuntungan melibatkan dia dengan perempuan-perempuan yang tidak mampu