“MILA…” panggil Heru cepat-cepat menarik gadis itu kembali. “Kamu jangan selalu begitu dong, apa-apa langsung pergi.”
Mila menghempaskan diri kembali ke sofa. Wajahnya cemberut, tidak kuasa menahan rasa cemburu.
“Mila, ingat baik-baik. Kamu ke sini waktu aku pulang dari rumah sakit, lalu kita…”
Mila terlihat kaget. “Kamu… dari rumah sakit?”
Sekarang Heru jadi berutang penjelasan kepada Mila. “Iya, aku diculik orang, disiksa, lalu di buang di daerah Puncak. Untung Rudi, Astrid, dan Bunga menemukan aku dan membawa ke rumah sakit.”
“Kok aku tidak dikasih tahu?” tanya Mila penasaran.
“Aku nggak tahu. Ponsel aku hilang!”
“Tapi aku nggak pernah ke sini, mas…”
Heru menatap Mila tidak mengerti. “Waktu aku pulang dari rumah sakit, kamu ke sini… kita melakukan itu di sini…”
“Tidak, mas. Itu bukan aku! Aku tidak pernah ke sini!”
Tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh dan pecah. Sontak Heru dan Mila melihat, kaca ce
SETELAH mengantar Mila, Heru lalu turun ke lobby. Dia ingin mengorek keterangan dari satpam yang dikenalnya, mudah-mudahan ada cerita tentang apartemennya. Tetapi si satpam tidak ada, sehingga dia menuju ke Tower A. Mungkin pak Sriyono, satpam Tower A, juga mempunyai cerita-cerita seputar apartemen Kalimaya. Hari sudah sore dan acara music show di Tower A sudah usai. Heru melihat orang-orang yang sibuk memberesi barang-barang di seputar pentas, dan dalam hati dia berharap-harap bisa melihat Asti. Ternyata harapan Heru tidak sia-sia, Asti tiba-tiba muncul dari ruang artis dan berjalan ke arahnya! “Hai…” sapa Heru mengagetkan Asti. “Eh… Heru! Mana Mila?” “Mila sudah kembali ke apartemennya,” jawab Heru. Dia senang bisa berjumpa Asti lagi, dan mencoba menahan gadis itu. “Kamu… nggak terburu-buru, kan?” Asti memandang Heru, dan dia juga masih ingin berbicara dengan pemuda itu. “Hmm… nggak sih, sudah mau pulang saja,” jawabnya. Sepe
TERDENGAR suara Mila, terasa sinis banget. “Hebat kamu, mas!” lalu telepon itu ditutup. Heru masygul, tidak tahu harus ngomong apa atau bersikap bagaimana. Dikembalikannya ponsel Asti tanpa berkata apa-apa. Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Asti bisa menguasai dirinya kembali. “Mila marah lagi, ya? Dia pencemburu banget,” cetus Asti. Heru mencoba mengatasi situasi tidak enak itu dengan tersenyum. Dia tidak bisa berkata apa-apa, jadi hanya menyeruput minumannya saja. “Oke, Her. Sebaiknya aku pulang dulu,” kata Asti seraya bangkit. Heru tidak bisa menahannya lagi. “Ok, aku antar…” “Tidak usah, ntar Mila tambah marah,” kata Asti. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan asmara sahabatnya itu. Tetapi Heru bersikeras. Perasaan terpojok dan malu yang dideritanya membuat dia menjadi keras kepala. “No, biarkan aku memenuhi janjiku untuk mengantarmu. Ayo,” kata Heru sambil bangkit lalu menggandeng Asti menuju meja kasir
HARI Selasa, sudah sore, Heru berniat keluar kantor untuk melihat shooting iklan yang dibintangi Rara. Rasanya, Heru kangen dengan kehangatan dan keibuan Rara. ‘Sudahlah, daripada berpolemik terus dengan Mila, aku pilih Rara saja.’ Kayaknya Rara paling pengertian kepadanya, lebih maklum kepadanya sebagai laki-laki. Toh, Rara juga sudah menyerahkan diri seutuhnya kepadanya! Tetapi baru saja dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Rara, telepon dari Rudi malah masuk. “Bro, lu di kantor? Aku mampir ya, udah dekat nih…” Heru terpaksa membatalkan niatnya mau keluar. Tidak lama Rudi sudah muncul di kantor Heru. Sudah beberapa kali Rudi datang ke situ sehingga sudah terbiasa, bahkan rekan-rekan Heru sudah pada kenal dengan Rudi. Rudi memang ceria dan mudah bergaul. “Hallo Cynthia, kamu makin cantik aja,” sapa Rudi kepada sekretaris kantor Heru. Gadis yang disapa langsung tersenyum dan merona merah mukanya. Heru mengajak Rudi ngobrol di ruan
“TUNGGU, Rud! Bagaimana dengan pekerjaanku yang sekarang?” tanya Heru bingung. Rudi tidak ingin melecehkan sahabatnya itu. Tentu saja pekerjaan yang dia tawarkan jauh lebih baik atau lebih besar dari pekerjaan Heru sekarang, namun dia tetap harus menunjukkan respeknya. “Apa boleh buat, Her, kamu perlu membicarakannya dengan kawan-kawanmu. Aku yakin mereka akan mengerti…” “Iya, tentu mereka akan mengerti. Cuman aku jadi nggak enak juga, karena usaha ini kami rintis bersama-sama.” “Atau…” Rudi memikirkan sesuatu, namun ragu-ragu, takut menyinggung Heru. “Atau apa?” tanya Heru penasaran. “Hmm… ini hanya pikiran aku selintas saja. Tapi tidak usahlah, nanti teman-teman kamu tersinggung…” Sebenarnya Rudi ingin mengambil jalan simpel juga, yaitu membeli perusahaan Heru itu dan melikuidasinya. Walaupun Heru dan kawan-kawannya akan mendapat uang cukup banyak dari penjualan perusahaan, namun mungkin mereka akan tersinggung karena cara se
HARI Jum'at pagi, terpaksa Heru hadir dalam rapat departemen pemasaran, departemen yang dia pimpin. Keperluannya agar dia mengenal siapa saja manager di departemen itu. Untung juga dia hadir dalam rapat, karenanya dia menjadi tahu proyek apa saja yang sekarang aktif, event apa yang sedang mereka adakan atau ikuti, serta kendala apa yang mereka hadapi. Kepada para manager dia berterus terang masih belum tahu bisa berkontribusi apa. Hanya saja pesannya, kalau ada sesuatu yang urgent, jangan segan langsung menghubungi dia, atau melalui mbak Lia. Sebuah hal baru yang dia usulkan adalah agar segera diadakan program outbound untuk seluruh team pemasaran. Dia minta agar Lia mengaturnya dengan departemen HRD. Seusai rapat, Lia memberitahu bahwa direktur utama, pak Kusuma Ardhana, ingin bertemu dengannya. “Baik, aku akan ke ruangannya,” kata Heru. Ruang direktur utama berada di lantai 11. Di lantai itu terdapat juga ruang direktur HRD serta hampir semu
KUSUMA Ardhana mempersilahkan Heru duduk di sofa dalam ruang kerjanya, dan dia pun duduk di dekat Heru. Mbak Retno, sekretarisnya, segera menyediakan Cold Drip Coffee yang dicampur dengan sedikit susu. Minuman ini selalu disiapkan untuk pak dirut, dan hampir selalu dihidangkan jika ada tamu tanpa perlu menanyakannya lagi. “Pak Heru, maafkan kejadian tadi,” kata pak Kusuma mengawali obrolan mereka. Bagi Heru sih kejadian itu bisa dimaklumi dan tidak perlu dibahas lagi. “Tidak apa-apa, pak,” sahut Heru. “Oh, ya, panggil saya Heru saja,” sambungnya merasa risih dengan panggilan ‘pak’. Orang di hadapannya itu sudah sangat senior, mungkin umurnya sudah lebih dari 50 tahun, atau bahkan sudah 60? Penampilannya perlente, memakai jas dan dasi, pantas sebagai seorang direktur utama perusahaan besar. Sementara dirinya, tetap berpakaian ‘biasa’, kemeja polos warna khaki dengan celana ankle warna hitam, sesuai dengan jiwanya yang masih muda. Untung saja dia term
HARI Sabtu sudah menjelang siang ketika Heru selesai mandi dan berpakaian. Seperti biasa, hari Sabtu adalah hari molor sekompleks, dan baru mulai terihat ada kesibukan setelah jam 10. Dia akan keluar untuk mencari makan --sarapan sekaligus makan siang-- lalu akan mengunjungi teman atau melakukan kegiatan lain, tergantung pada apa yang dipikirkannya sambil makan. Saat itulah dia menerima telepon dari pak Kusuma. “Mas Heru, saya ada di Kalimaya, restoran Le Palais, Tower B. Ke sini ya…” Le Palais? Bukankah itu restoran milik Laksmi? Ngapain pula pak dirut itu memanggilnya ke situ? Menginterogasinya lagi seperti kemarin? Tetapi dia tidak mempunyai pilihan jawaban, selain “Iya, pak.” Dengan perasaan malas, atau lebih tepatnya bete (bad mood), dia melangkah menuju Le Palais di Tower B. Bete sebenarnya singkatan, yaitu BT alias Bored Totally atau Boring Total, tetapi bagi Heru bete itu ‘males’, nggak mood! Di Le Palais, Heru sudah
KEMBALI dari Tower B setelah bertemu pak Kusuma dan Laksmi, Heru berniat keluar, jadi dia ke Tower C untuk turun ke parkiran mengambil mobilnya. Di lobby, dia berpapasan dengan Mila! Seperti sebelumnya, Mila ingin menghindar, namun Heru tidak mau menunjukkan sikap yang sama --layaknya perempuan-- berpura-pura tidak melihat. “Mila!” panggil Heru. Mila berdiri menunggu kedatangannya. Kali ini tampak lebih tegar dibandingkan dulu. “Kamu dari Tower B, kan?” sambutnya. Heru menyeringai ditembak seperti itu. “Habis bertemu Laksmi?” Mila masih belum puas jika belum menegaskan maksudnya. Heru tidak bisa berkata lain, apalagi akan berbohong. “Iya, tapi tidak seperti yang kamu pikirkan…” Mila tersenyum sinis. “Oh, ya? Memang seperti apa yang aku pikirkan?” Bagi Heru, pertanyaan-pertanyaan Mila itu adalah isyarat untuk mengajak berantem, jadi dia tidak ingin meladeninya. “Mila, aku ingin ke luar. Ikut, yuk…” Mila menjebika
Demikianlah kisah KALIMAYA (Mencari Cinta Sejati), harus diakhiri sampai di sini. Cinta Heru yang terombang-ambing di antara sekian wanita mendapatkan muara pada seseorang melalui perjodohan. Namun cinta yang tumbuh bisa jadi adalah cinta yang sejati, bukan karena harta dan tahta. Mungkin pembaca menyadari bahwa salah satu bab, yaitu bab 37, tidak ada di buku ini. Bab itu terpaksa dicopot agar pembaca merangkai sendiri adegan demi adegan yang ada dalam bab itu. Bisa, kan? Hehe… Tentu masih banyak pertanyaan yang harus dijawab. Bagaimana nasib pak Kusuma? Bagaimana nasib Bunga? Bagaimana nasib Rara? Dan bagaimana kehidupan Heru dan Laksmi selanjutnya? Mudah-mudahan kisah KALIMAYA 2 (Cinta Yang Hilang) bisa segera hadir, karena akan disela oleh kisah yang lainnya, seperti BELLANOVA. Ditunggu saja, sampai jumpa…
LAKSMI menatap Heru yang baru datang. Matanya sudah sembab karena menangis. “Sorry, sayang… tadi aku segera ke sini, cuma jalanan benar-benar padat,” bujuk Heru sambil meraih dan memeluk Laksmi. “Gimana, mas… papi ditangkap polisi…” Laksmi kembali menangis di pelukan Heru. “Kamu tenang dulu, ya, nanti kita mengurusnya. Ini mungkin hanya kesalahan saja…” Heru lalu menelepon Rudi. Dalam situasi seperti ini, tidak ada orang yang mampu mengatasinya selain sahabatnya itu. “Rud, pak Kusuma ditangkap polisi,” lapor Heru. “Iya, aku tahu,” jawab Rudi di ujung sana. “Kenapa, Rud?” “Tindak pidana, Her. Sebaiknya kita ketemu untuk membicarakan ini, kurang baik kalau bicara di telepon.” “Oke, aku akan ke tempatmu.” … Heru tampak tegang sekali ketika menemui Rudi. “Kamu harus menolongnya, Rud,” pinta Heru. Tetapi Rudi langsung menepisnya. “Sorry, kali ini tidak bisa, Her. Pak Kusuma telah mengg
HERU bukan tidak tahu Bunga sangat merindukannya, begitu pun dia, sangat merindukan Bunga. Gadis centil itu telah merampas hatinya, membuatnya selalu terkenang, membuatnya menatap matahari yang bersinar di antara bunga-bunga di taman indah. Tetapi jika dia terus berhubungan dengan Bunga sementara dia akan menikah dengan Laksmi, pasti akan lebih menyakitkan lagi. Dia telah membuat keputusan, orang tuanya pun sudah datang melamar Laksmi secara resmi, pernikahan sudah disiapkan. Tidak ada jalan mundur lagi. ‘Cinta… Apakah itu cinta…Bertanya… tanpa sengaja…’ Kembali alunan lagu itu mengiang di telinganya. Apakah benar dia telah jatuh cinta kepada Bunga? Apakah Bunga yang menjadi cintanya? Ah, sulitnya meramalkan jodoh, siapa yang dicinta dan siapa yang dinikahi… ‘Tetapi, berikanlah Bunga sedikit kesempatan untuk bertemu,’ teriak hati Heru sendiri. ‘Jangan biarkan dia, kasihan, jangan didiamkan. Apa salahnya? Kamu harus bertan
SEBENARNYA, Heru dan Laksmi tidak ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran. Bahkan mereka ingin menikah di luar negeri saja, tanpa pesta. Tetapi pak Kusuma mempunyai keluarga besar yang ningrat dari Yogyakarta, tidak mungkin anak tunggalnya menikah begitu saja tanpa perayaan yang melibatkan keluarga besar. Sementara dari keluarga Heru yang di Malang, tidak terlalu mempersoalkan pesta pernikahan. Heru sudah merantau sejak tamat SMA ke Jakarta, dan jarang pulang. Heru sudah seperti ‘anak hilang’. Dalam rangka pernikahan ini, orang tua Heru hanya sekali datang ke Jakarta untuk melakukan prosesi lamaran. Sesuai janjinya, pak Kusuma mengatur semua pesta pernikahan di sebuah hotel mewah di Jakarta, termasuk seluruh biayanya. Bagi pak Kusuma, pesta pernikahan putri tunggalnya ini adalah show atas keberhasilannya di ibukota. Seluruh keluarga besarnya tidak boleh memandang rendah kepadanya! Laksmi menjadi repot sekali dengan urusan w
BERITA tentang rencana pernikahan Heru dengan Laksmi ternyata disampaikan oleh pak Kusuma kepada Rudi. “Jadi, kamu memutuskan untuk nikah dengan Laksmi,” kata Rudi ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Heru tidak segera menjawabnya, dia ingin tahu dulu bagaimana sikap Rudi. Hal ini terkait dengan banyak hal, termasuk ‘misi’nya menjadi direktur di perusahaan Rudi, serta --dugaan Heru-- hubungannya dengan Bunga yang menjadi sahabat Astrid! Tetapi karena Rudi sendiri memilih diam tidak berkomentar lagi, Heru akhirnya bertanya, “apakah kamu keberatan?” Rudi menatap Heru dan tersenyum. Entah kenapa, senyum Rudi kali ini terasa misterius bagi Heru. “Memangnya kenapa aku keberatan, brother!” kata Rudi. Tetapi Heru yakin, kata-kata Rudi itu hanyalah lip service belaka. Ada hal lain yang seharusnya dia katakan, sehingga dia meminta Heru untuk bertemu. “Katakan, Rud! Apa menurutmu?” desak Heru. Rudi menyeruput kopinya, b
MINGGU pagi, sudah cukup siang, Heru iseng mengunjungi lapak bu Ratna. “Selamat pagi mas, butuh Bunga lagi?” sapa bu Ratna ceria. Heru tersenyum. “Tidak bu, saya butuh secangkir cairan hangat,” jawab Heru berteka-teki. Bu Ratna mengerenyit, mencoba berpikir apa yang dimaksud Heru. “Secangkir kopi?” “Tidak bu Ratna cantik…” sahut Heru nakal menggoda, membuat wajah bu Ratna merona merah. Efek pujian gombal itu ternyata masih mengena pada bu Ratna. Memang bu Ratna belum terlalu tua, dan masih selalu berdandan. “Saya mau bu Ratna membuatkan saya secangkir coklat panas, mau kan bu?” Coklat panas tidak ada dalam menu yang dijual bu Ratna, tetapi siapa tahu bu Ratna mau berbaik hati mebuatkannya? Heru hanya mencari sesuatu yang tidak biasa saja. “Oh, tentu saja!” ternyata bu Ratna menyanggupinya. Ketika Heru sedang menikmati coklat panas spesial itu, tiba-tiba Laksmi muncul dan mendatangi. Laksmi berpakaian olah raga, terlihat
“BAIKLAH Heru, kamu menang,” berkata pak Kusuma akhirnya. Heru bimbang, karena tidak paham maksud pak Kusuma itu. “Apa maksud bapak?” tanyanya. “Aku tidak akan mencampuri hubungan kalian, hubunganmu dengan Laksmi. Tapi aku mohon, sebagai bapaknya, jangan permainkan anakku! Dia anak kami satu-satunya, kami besarkan dia dengan sepenuh hati, kami sekolahkan dia di luar negeri, dan kini kami support dia dalam bisnisnya. Dia anak yang sangat baik, penurut kepada orang tua. Dan juga… sudah waktunya kami mempunyai cucu! Maka kalian… segeralah kalian menikah!” Walaupun sudah berusaha menyimak kata-kata pak Kusuma, Heru masih belum paham juga maksud di balik kata-kata itu. Kata-kata itu terlihat sederhana. Lebih merupakan kata-kata seorang bapak biasa. Tetapi, ini yang mengucapkannya adalah seorang direktur utama perusahaan besar, seorang direktur senior. Tidak mungkin sesederhana kedengarannya! Tetapi apa yang bisa dia lakukan sekarang? Membatalkan perjodohan
HARI sudah siang ketika ponsel Heru berteriak, ada telepon dari kantor! “Pak, maaf. Apakah bapak masuk kerja hari ini?” tanya Lia, sekretarisnya. Heru mengucek-ucek matanya agar penglihatannya menjadi terang. Sudah lewat jam sebelas siang! Dia bangun kesiangan, gara-gara tidak bisa tidur semalaman. “Masuk, mbak Lia,” jawab Heru meyakinkan. “Tadi pak dirut ke ruang bapak…” “Oh ya, nanti saya akan menemuinya,” sahut Heru. Telepon ditutup. ‘Ada apa lagi dia mau menemuiku? Laksmi pasti sudah melapor ke papinya!’ gerutu Heru dalam hati. Masih terasa berat otaknya untuk bekerja. Dia masih lelah karena mimpinya, di tengah suasana pernikahannya, seorang wanita datang menuntutnya untuk membatalkan pernikahan itu, dia bilang lebih berhak untuk dinikahi karena telah memiliki anak darinya! Keluarga wanita itu mengejarnya, ingin menangkapnya untuk dinikahkan dengan wanita itu… Pas jam 13, Heru masuk ruangan pak Kusuma. “Selamat siang, pak,”
KETIKA kembali ke apartemennya, Heru tidak bisa tidur. Hari ini terasa paling berat dari seluruh hari yang pernah dilaluinya. Dilabrak sama calon mertua, masih bisa dia atasi dengan mudah. Tetapi menghadapi seriusnya hubungan dengan anaknya, barulah dunia ini terasa sangat berat. Dia sekarang dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam perjalanan hidupnya, dia harus KAWIN! Dia harus memilih dengan siapa dia akan kawin, dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan perempuan itu saja. Jika dia bersama perempuan lain, maka itu perbuatan selingkuh, perbuatan tidak setia dengan pasangan, dan akan mengancam keharmonisan keluarga, bukan hanya rumah tangga. Kapan dia akan kawin? Selama ini dia belum punya rencana, bahkan belum memikirkan akan kawin. Hubungannya dengan perempuan-perempuan masih sebatas ketertarikan biologis, kekaguman terhadap kecantikan, dan kadang-kadang (atau lebih sering?) karena keberuntungan melibatkan dia dengan perempuan-perempuan yang tidak mampu