“Daddy tadi Tante Cla menunggangi Gypsy. Tidak apa ‘kan, Dad?” Ken meletakkan ponselnya bersandar di punggung ranjang, sementara ia sedang tengkurap dengan menopang kedua tangan di dagu.
Clara melirik pada Ken. Penasaran apa kiranya aduan bocah kecil ini pada ayahnya. Ia juga memerhatikan wajah Byanca yang terlihat sendu sebelum masuk ke kamar mandi. Pasti ia merindukan Bian.
“Tante Cla?”
Ken dengan cepat mengangguk. Ia menatap Tante Cla—meminta persetujuan agar kamera ponselnya mengarah pada Clara. Tapi, Clara menolak. Yang benar saja, ia ingin melihat wajah Bian. Memikirkannya saja Clara jadi kesal.
“Oh, tidak apa dong,” segera Bian berkata karena melihat wajah putranya sendu. “Pasti seru banget main kudanya. Gypsy atau Lorenzo tidak ada yang nakal kan?”
Ken menggeleng lemah. “Tidak, Dad. Hanya saja…” ia teringat kejadian tadi ketika Lorenzo berlari kencang, ia dan Byanca hilang keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika Byanca tidak segera mengontrolnya.
“Apa?” Bian dengan paksa menajamkan matanya pada Ken agar ia berkata jujur.
“Tidak jadi.” Senyumnya ketika melihat Byanca keluar kamar mandi. “Mami…”
Baik Bian maupun Byanca tercenung sesaat. Sama-sama bingung dengan kondisi ponsel yang beralih pada mereka berdua. Hanya bisa saling tatap dan tak bisa mengeluarkan segala keresahan karena masih ada bayi besar mereka.
Ken duduk di atas pangkuan Byanca. Ia menatap Byanca dengan raut bingung, “Kenapa Mami tidak bicara pada Daddy?” Kemudian ia melirik Bian yang juga sama terdiam. “Biasanya setiap kali Daddy telepon pasti tanya Mami dimana. Kenapa hari ini tidak?”
Byanca pura-pura sakit perut. Ia memberikan ponsel itu kepada Ken. Segera, ia masuk ke kamar mandi. Mengurung diri dan menangisi takdir. Ada rindu yang tak terungkap, ada sesal yang tak bisa disuarakan, ada marah yang ragu dilontarkan serta masih banyak tanya yang tak terjawab. Semua itu bagai angin yang tak bisa ditangkap. Ia hanya bisa menatap Bian namun tak bisa menetap.
“Ya, Daddy… pergilah bekerja dan cepat pulang. Bawakan Ken mainan yang banyak serta permen gula-gula.”
Byanca menekan sesak seiring mendengar kalimat Ken. Ken masih menganggap bahwa kepergian Bian hanya untuk urusan kerja bukan urusan meninggalkannya. Entah bagaimana rasanya jika Ken suatu saat nanti mengetahuinya. Byanca yakin cepat atau lambat, darinya ataupun dari orang lain, Ken akan segera mengetahuinya.
Tuhan jika itu terjadi, setidaknya beri aku kekuatan untuk melindunginya. Melindungi dari rasa sakit.
“Mi….” Ken berteriak seiring dengan ketukan pintu.
Byanca membasuh wajahnya sebelum keluar. “Iya, Sayang.” Ia melirik ponsel Ken yang sudah berada di atas nakas. “Sudah selesai bicara sama Daddy?”
Ken mengangguk dan menarik tangan Byanca ke tempat tidur. “Mami jangan sedih, sebentar lagi Daddy pasti pulang kok,” hiburnya dengan mencium kedua pipi Byanca bergantian.
Ken masih terlalu dini untuk memahami apa yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Mungkin ia tak curiga dengan interaksi keduanya yang terlihat canggung dan tak biasa. Ken masih mengira itu hal biasa, tentu saja.
“Ayo kita tidur, Jagoan.”
Ken meringsuk ke pelukan Byanca, mencari posisi nyaman hingga tak lama matanya terpejam ringan. Mungkin Ken sudah sangat lelah seharian. Lelah berkuda dan main bersama Rayya.
***
Byanca terjaga tepat pukul dua dini hari, seakan ada yang mengetuk matanya untuk terbuka. Ia memindahkan Ken dengan hati-hati kemudian melihat Clara tak ada di ranjang. Byanca mengikat rambutnya dengan asal dan mencari keberadaan Clara.
“Kenapa belum tidur?”
Byanca melihat sosok Clara di dapur. Ia duduk dengan segelas minuman di tangannya. Terlihat banyak pikiran yang entah apa—Byanca belum mengetahuinya.
“Kebangun.” Clara mempersilakan Byanca duduk di sebelahnya.
Byanca menarik kursi setelah mengambil segelas air bening. Ia menatap Clara dengan raut tak terbaca.
“Nggak asik jadi gue, ya,” kekehnya. Clara meneguk minumannya hingga tandas. “Di saat teman gue lagi sedih, gue ngga bisa ngapa-ngapain. Cuma bisa liat doang.” Clara mengulum senyum, matanya beralih pada Byanca yang terlihat melamun.
“Gue bukannya ngga mau cerita.” Ada seribu kepahitan membekas di lisan Byanca. “Tapi gue nggak bisa, Cla…” Byanca benci ketika air matanya menetes tak tahu malu. Salah satu alasannya tak mau berbagi cerita karena ia belum kuat. Jujur, Byanca akan terus menangis setiap kali menyangkut tentang rumah tangganya.
Clara mendekap tubuh Byanca. Melihat Byanca hancur, juga kehancuran baginya. Ia tidak bisa menutup mata dengan keterpurukan sahabatnya. Sahabat yang dikenal sejak kecil. Clara adalah saksi hidup bagaimana seorang Byanca tumbuh besar menjadi seorang wanita seperti sekarang.
Lima belas tahun silam, Byanca pernah kehilangan harapan untuk hidup. Tepat pada hari ditemukannya Kak Bema—Kakak kandung Byanca tewas karena tabrakan, di situ pulalah Papa Byanca—Om Dewo mengakui bahwa ia sudah menikah lagi. Byanca tak sanggup menanggung derita, ia berlari ke tengah jalan dan bermaksud ingin menabrakan diri. Tak ada gunanya hidup namun tak memiliki siapa-siapa lagi. Ia berlari tanpa menghiraukan suara teriakan orang-orang yang melarangnya. Papi memilih wanita lain, artinya Papi sama sekali tak mencintai Mami. Lantas bagaimana Papi bisa mencintainya, sementara ia terlahir dari wanita itu. Tak ada lagi Papi yang menemaninya bermain sepeda, menemaninya mengerjakan tugas atau sekedar mengantarkannya sekolah.
Tuhan mengambil semuanya dari Byanca, yang tersisa hanya Mami. Namun pada saat itu, Mami juga sama hancurnya dengan Byanca, bahkan ia tak memperdulikan Byanca selama beberapa hari. Ia terselimuti kesedihan mendalam. Byanca tak tahan dan memilih menyusul Kak Bema, agar mereka bisa bermain di surga dan Kak Bema bisa selalu menjaganya.
Di bawah tetes hujan, Byanca berlari kencang ke tengah jalanan. Ia memekakkan telinga ketika seseorang meneriakinya. Byanca hanya ingin mati. Tak ada gunanya lagi hidup dengan seribu luka. Ia masih kecil tapi luka ini terlalu menganga. Byanca tak sanggup menahannya. Ia pernah menonton film bahwa ada seseorang yang patah hati dan merasa hidupnya tidak berguna lagi, maka ia berusaha menabrakkan diri. Byanca mau seperti itu jua. Itu gunanya ia berdiri di hadapan ribuan pengendara. Anehnya mereka semua berhenti dan diam, padahal Byanca sudah siap terguling-guling. Byanca sudah siap menahan sakit pada tubuhnya, ia pikir itu hanya sementara. Ya, ia yakin itu.
Byanca memejamkan mata, menutup telinga seiring suara klakson menggema. Ia sempat berdoa sebentar sebelum air matanya menetes. Bayangan tentang keluarganya yang harmonis; ia, Kak Bema, Papi beserta Mami sedang liburan dan bercanda di atas kapal pesiar. Hah.. semuanya tinggal kenangan. Kenangan yang menyakitkan. Terlalu larut dalam bayangan itu, Byanca tak menyadari seseorang menghamprinya. Ia masih memejamkan mata, namun ketika seseorang itu menggendongnya, barulah ia membuka mata dan terkejut melihat Clara beserta kedua orang tuanya.
“Byanca jangan lakukan ini….” Clara menangis di depan Byanca. Ia merengkuh tubuh Byanca. “Aku akan menjadi temanmu seumur hidup.” Ia menepuk pundak Byanca dan semakin mengeratkan tubuh mereka. “Jangan mati. Aku masih mau bermain.”
Hari itu, Byanca tak jadi mati karena kedua orang tua Clara dan Clara sendiri yang menyelamatkan Byanca. Mereka menawarkan untuk mengantar Byanca pulang ke rumah Mami tapi Byanca menolak hingga akhirnya ia dibiarkan tinggal bersama Clara selama beberapa hari. Tante Dyaz—Mama Clara memperlakukan Byanca sama seperti Clara. Tak ada perbedaan sedikit pun, begitu pula dengan Om Reno—Papa Clara. Dari rumah ini lah Byanca bisa merasakan indahnya sebuah krluarga, yang dulu juga ia dapatkan sebelum badai ini terjadi.
“By…tepungnya yang mana?” Clara mengangkat dua buah stoples berisi tepung. Dari warnanya yang putih, Clara sangat susah membedakan antara tepung tapioka dan tepung terigu.Sejak subuh tadi, keduanya memutuskan berkolaborasi di dapur. Membuat sesuatu yang baru untuk menu sarapan. Setelah percakapan pada pukul dua dini hari, Byanca memutuskan untuk bercerita semuanya kepada Clara. Ia merincikan setiap kejadian antara dia dan Bian. Byanca juga mengaku bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa sedih, kesal dan amarah yang tak tersalurkan, namun harus Byanca biarkan mengendap dalam hati saja. Kini, tak ada lagi rahasia, Byanca yakin jika Clara mampu menjaga ceritanya. Alhasil, mereka tak tidur lagi dan berakhir dengan aksi memasak.Clara bukanlah seorang wanita yang akrab dengan segala tetek bengek penghuni dapur, hanya saja ketika bersama Byanca entah mengapa ia sangat antusias memasak. Ia sangat suka melihat tan
Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang
‘Abian, anak pasangan musisi David Backson dan Rentina Sarasti mengaku sudah bercerai dengan istrinya, Byanca’‘Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja Bian mengumumkan sudah bercerai dengan istrinya dan akan segera melangsungkan pernikahan dengan Indira Baskoro’Tepat pada pukul sepuluh pagi, Bian menghadiri sebuah konferensi pers. Dimana ia mengakui bahwa sedang berkencan dengan Indira dan juga mengakui telah resmi menyandang status duda. Sekitar tiga bulan mendatang, mereka akan menggelar sebuah resepsi pernikahan.Tak ada raut sendu di wajah Bian, justru ia terlihat santai dan tenang. Seakan yang diaktakannya adalah sebuah kenyataan. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Ia dan Byanca belum resmi bercerai. Bian hanya melayangkan talak lewat telepon. Byanca ingin memaki di depan Bian, setengah mati ia menahan rasa yang seenaknya dihancurkan begitu saja tanpa sisa. Bian jahat, Bian bukan Bian
Basri menghela napas berat, kemudian ia menatap Byanca. “Tidak ada. Beliau hanya berpesan bahwa rumah ini beserta isinya, villa yang ada di Bali, Appartement lama, Alphard dan Range Rover semua akan ditangguhkan atas nama anda dan Ken. Ah, iya saya lupa ia juga memberikan saham 10% atas perusahaannya untuk Ken dewasa kelak, Bu.”“Saya tidak butuh harta.” Dada Byanca naik turun menahan emosi. Apa Bian berpikir bahwa selama ini Byanca bersamanya hanya karena harta? Apa Bian tak merasakan ketulusan di hati Byanca. Keterlaluan sekali. Bian sama sekali menjijikkan dan tak punya hati. Mengapa Byanca bisa mencintai pria seperti itu.“Sampaikan pada Bian. Aku tak menginginkan harta. Yang aku inginkan adalah ia datang menemui ku dan Ken. Setidaknya ia menyampaikan maksudnya dengan baik. Aku tidak akan menahannya untuk pergi atau menghancurkan mimpi indahnya untuk menikah lagi. Tidak sama sekali. Yang aku inginkan hanya s
Yang membencimu akan semakin membenci ketika kamu dalam kerterpurukan. Tak peduli seberapa baik usahamu menyenangkannya. Karena itu semua hanya kamuflase.“Pak Bian tidak ada. Anda dilarang masuk!” Resepsionis itu — Amel mengusir Byanca dengan nada ketus. Ia bahkan berkacak pinggang seakan lupa bahwa dulu ia sangat menghormati wanita ini.“Amel jangan kurang ajar kamu. Saya mau ketemu Bian,” tekan Byanca. Ia sebenarnya bukan tipe orang yang selalu mempermalukan diri di hadapan publik. Namun, Amel terus saja menghalangi langkahnya.“Kamu yang kurang ajar. Saya sudah bilang kalau kamu tidak boleh masuk.” Amel mencengkeram tangan Byanca kemudian mendorongnya keluar.“Pak… Usir wanita ini! Dia mengganggu saja.”Seorang sekuriti berlari menghampiri Byanca dan segera menarik pergelangan tangan Byanca. Ia tak mengenal siapa se
“Kalau ada apa-apa telepon Tante, ya?” Clara mengelus rambut tebal Ken. Sebenarnya dia enggan berpisah dengan Byanca dan Ken. Ia ingin tetap bersama keduanya. Baginya, Byanca tidak hanya sahabat namun sudah seperti kerabat. Namun, dia juga setuju pada Tante Rina. Jika Byanca berlama-lama di sini yang ada ia akan semakin terluka, lebih baik ia ke Korea bersama Tante Rina, untung-untung Byanca dapat Oppa yang lebih tampan dari Bian. Biar Bian menyesal.“Nirina, aku percaya pada kamu. Tolong urus perusahaan. Sekitar dua atau tiga hari lagi seorang direktur baru akan datang. Mami mengutus keponakannya mengelola perusahaan untukku.” Byanca menyerahkan segala dokumen kepada Nirina.“Aku ingin semua aset dan sahamku ditangguhkan atas nama Ken. Tolong ya.” Byanca memiliki perasaan tak enak atas nasib perusahaannya mendatang, oleh karenanya ia sudah memberikan beberapa persiapan untuk Nirina. Setidaknya ia bisa men
“Cucu Oma sudah besar sekali.” Rina menggendong Ken kemudian membawanya memutar.“Mi, Ken sudah gede lo. Nanti Mami sakit pinggang,” ucap Byanca tak enak hati. Ia tak ingin maminya nanti mengeluh sakit pinggang dan berujung dengan Byanca yang memijatnya.“Mami kamu ini bagaimana sih, Ken? Orang Oma sehat begini, malah dibilang sakit pinggang,” ujar Rina dengan mencebikan bibirnya, sementara Ken hanya tertawa lepas. Baginya, pemandangan Oma Rina dan Mami Byanca sedang berselisih paham sangat lucu.Yang tidak diketahui oleh Byanca bahwa Rina sangat rajin berolah raga akhir-akhir ini. Jadi, dia terlihat lebih sehat dan muda. Banyak teman-temannya yang menyarankan agar Rina merawat diri agar tak termakan oleh usia.“Eh… Maksud Byanca nggak gitu, Mi.” Byanca meraih pundak Rina dan menciumi wajahnya. “Byanca kan juga kangen Mami. Masak cuma Ken a
Pancaran bahagia dari raut wajah Ken tak bisa dimanipulasi. Bayi empat tahun itu tak hentinya tertawa dan mengoceh ria. Ia menceritakan semua kisah sekolahnya pada Rina. Tentu saja, ia menyelipkan cerita Rayya di sana. Sesekali ia menutupi mulutnya yang suka keceplosan. Rina terbahak-bahak menyaksikan tingkah konyol Ken. Pemandangan itu menohok Byanca. Selama ini ia hanya sibuk bekerja dan menyampingkan keinginan Ken. Maunya sederhana rupanya hanya liburan kecil dan menemani bermain. Itu saja tidak mudah dikabulkan oleh Byanca. Ingin mengutuk diri sendiri karena belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Ken. Mulai sekarang, Byanca berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan meluangkan waktu lebih kepada Ken dari pada pekerjaan yang tak berujung itu. Ken adalah nafasnya. Sumber kebahagiaannya. Maka, segala cara ia korbankan demi putra semata wayangnya ini. Ya, Byanca akan berjanji itu. Bian telah meninggalkan Ken bersama impian yang lenyap dimakan pengkhian
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t