KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 53"Tidak, ini pasti enak. Baunya saja enak." Suamiku masih saja membujukku tapi aku justru bertambah mual dengan aroma yang keluar dari makanan itu. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Makanlah, setidaknya untuk anak kita." Benar, aku tidak boleh egois ada nyawa lain di tubuhku sekarang. Aku mencoba untuk membuka mulutku dan berusaha keras menelan satu sendok makanan. Baru saja makanan itu sampai di perut kembali makanan itu aku muntahkan. Hueek!Justru aku memuntahkan semua isi yang ada di perutku. Rasanya sampai tenggorokanku pahit. Suamiku kemudian memberikan air putih untukku tapi lagi-lagi perutku menolaknya."Sudah Kanda, aku tidak bisa melanjutkannya lagi." Aku kemudian dibantunya untuk tidur kembali. Aku pejamkan mata ini dan tanganku memijit pelipis yang terasa pening. Entah sudah berapa lama aku tertidur, di ruangan ini kini hanya ada suamiku yang sedang berdiri menatap jendela dan seorang laki-laki yang sedang membersihkan ruangan. "Ka
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 54"Jangan banyak bergerak dulu," ucap suamiku sambil mengusap bahuku sementara tanganku melingkar pada perutnya. "Aku bosan tiduran terus, aku mau duduk di sofa sambil makan mangga."Akhirnya dengan dituntun suamiku aku berhasil untuk duduk di sofa dan menikmati mangga. Sebenarnya aku kuat berjalan sendiri, suamiku saja yang terlalu khawatir."Makan mangganya pelan-pelan, Sayang" "Kanda mau?" Aku menyodorkan sepotong mangga yang masih berwarna putih pada suamiku. "Buat Dinda saja, tapi jangan banyak-banyak makan mangganya nggak bagus buat pencernaan Dinda."Aku tak menghiraukan ucapan suamiku terus saja aku menikmati mangga muda yang bagiku lebih enak dari makanan apapun. ***Seminggu berselang, hari ini aku diperbolehkan untuk pulang. Senang sekali rasanya hatiku tak sabar ingin kembali ke rumah bertemu dengan keluargaku, tapi kali ini aku pulang dengan naik pesawat tentunya dengan persetujuan dokter.Dua jam penerbangan akhirnya aku sampai di bandara d
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 55"Mamih …."Kalian?Mbak Tania dan Mbak Lidiya langsung masuk menemuiku."Apa kabar, Mamih?" tanya Mbak Lidiya dengan gaya bicara yang dibuat-buat."Baik Mbak," jawabku. "Mbak Lidiya dan Mbak Tania apa kabar?""Baik donk, kita kan baru pulang dari Australia." Siapa yang tanya coba? Mau pulang dari Australia atau dari neraka juga nggak peduli. "Mih, rumahnya gede ya, Mamih pasti suka banget ya, dulu kan rumah Mamih kecil, terus jelek banget lagi!" Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya."Mbak Tania sama Mbak Lidiya mau ketemu sama Ayah ya?""Iya, ada di rumah nggak?" sahut Mbak Tania sambil celingukan."Ada, Mbak Nisa juga ada kalau mau ketemu.""Nisa?" "Mbak Tania, Mbak Lidiya … Kapan kalian datang?" Mbak Nisa yang baru datang bersama suamiku langsung menghampiri kami."Barusan kok Nis. Kamu kapan balik ke Indonesia, kok kami nggak tau?" Pantas saja tadi waktu aku bilang ada Mbak Nisa mereka seperti bingung, ternyata mereka nggak tau kalau Mbak Nisa sudah
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 56Mbak Nisa yang baru kembali dari mengantar kakak mereka malah membahas lagi persoalan tadi. "Kerjaan suami mereka itu nggak ada yang bener Yah, bisa hancur kalau diserahkan sama mereka.""Ayah tau, sudahlah, Ayah itu sudah mengatur semuanya. Satu minggu lagi kamu kembali ke Australia ya, ada tugas buat kamu." Mbak Nisa hanya tersenyum dan meng iyakan perintah ayahnya.***Hari ini rumah terasa lebih rame, Bapak, Ibu, Seno, bahkan Riska berkumpul di rumah. Itu semua memang permintaan dari Mbak Nisa yang ingin berkumpul dulu sebelum dia berangkat ke Australia."Mbak Nisa, memang kapan berangkat ke Australia?" tanya Seno."Besok, kenapa? Mau ikut?" "Memangnya boleh?" "Boleh, tapi kalau liburan, kalau nilai sekolah kamu bagus.""Beneran? Seno seneng deh punya kakak kayak Mbak Nisa.""Sejak kapan Seno jadi adiknya Mbak Nisa?" tanyaku heran melihat kedekatan Seno dan Mbak Nisa."Sejak Mbak Nisa nginep di rumah, Mbak Nisa yang masak, Mbak Nisa juga yang antar
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 57"Bi Ratih, bisa keluar dulu?" "Baik Nyonya" "Pengen itu?" tanya suamiku."Iya …" jawabku malu-malu.Suamiku kemudian membuka kancing jas yang sudah rapih dipakainya dan merentangkan tangan kanan tangannya."Dinda ini aneh, tiap hari kok penginnya nyiumin ketiak? Memangnya nggak ada yang lebih berkelas?" Aku saja bingung dengan keinginanku, semenjak hamil tiap pagi dan malam pengennya di bawah ketiak suami. Bagiku aroma khas tubuhnya jadi candu tersendiri buatku."Nggak usah protes, yang minta bukan aku loh," sanggahku. Maaf ya Nak, kamu dijadikan alasan.***"Va, ada paket buat kamu," ucap Bude Ratmi. Bude Ratmi membawa sebuah kotak besar untukku.Paket itu kemudian ditaruh di atas meja."Paket dari siapa Bude?""Nggak tau Va, tadi Bude cuma dikasih sama satpam. Bude ambil gunting ya buat buka." Aku kemudian membaca dari alamat yang tertera di paket, ternyata dari Mbak Nisa, tapi kok nggak bilang ya kalau mau kirim sesuatu. "Ini Va, guntingnya." Perlah
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 58Aku mendekat menuju sumber suara."Aduh! Kenapa ini lantainya licin sih?" "Makannya jangan kualat kamu jadinya jatuh. Mbak duluan yang masuk toilet!" Mbak Tania melangkahi Mbak Lidiya yang terbaring akibat jatuh. Namun, belum lagi langkahnya sampai, kaki yang satu justru terpleset sehingga tubuhnya menimpa tubuh Mbak Lidiya."Aduh Mbak, kenapa malah jatuh di atasku? Sakit tau!?" "Aku lebih sakit ini!" Mbak Tania tentu saja sakit kakinya sampai terbuka lebar bahkan dres pendek yang dikenakannya sampai sobek.Mereka justru saling menyalahkan satu sama lain. Aku yang iba melihatnya berniat untuk membantu mereka untuk berdiri, namun dicegah oleh Bude Ratmi."Hati-hati lantainya licin, ada minyak tumpah," lirih Bude Ratmi mengatakannya sambil tersenyum. "Biar Bude yang atasi, kamu hati-hati duduk saja" "Maaf Nyonya, tadi saya bawa minyak, tapi sepertinya bocor makannya lantainya licin, ini mau di bersihkan tapi malah Nyonya sudah kayak gini." Bude kemudian m
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 59"Oke, ini sudah terlihat ya janinnya. Bagus, ukurannya juga sesuai dan jenis kelaminnya adalah ….""Tunggu!" Suamiku tiba-tiba menghentikan hasil pemeriksaan USG yang sedang aku jalani."Ya, Pak Bambang, ada apa?" Dokter Nia kemudian menatap suamiku yang tengah berdiri menemaniku."Tidak usah diberi tahu tentang jenis kelaminnya. Biarlah nanti jadi kejutan." Suamiku terus menggenggam erat tanganku. "Tapi, ada hal yang harus Anda ketahui Pak Bambang.""Apa jenis kelamin wajib diberitahu?"Dokter Nia tersenyum dan kembali melakukan pemeriksaan padaku. "Bukan itu, Pak." Aku terus menatap layar yang ada di monitor di depanku. Layar yang menampilkan janin dalam perutku.Dokter Nia kemudian mengatur kursinya sehingga kini menghadapku dan suamiku."Janin dalam perut Bu Seva tidak hanya satu, tapi dua," ucap Dokter Nia. Aku dan suamiku saling bertatapan mencerna ucapan Dokter Nia."Apa itu artinya—?" Aku ingin memastikan apa yang dokter Nia katakan itu sesuai de
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 60"Kalian harus menjaga istri saya dengan baik, melayaninya, dan pastikan kalau istri saya tidak kelelahan ataupun kekurangan. Penuhi apapun yang istri saya inginkan. Pastikan istri saya jangan sampai terluka, kalau sampai saya temukan luka lecet pada istriku, saya tidak akan segan-segan memecat kalian! Apa kalian paham?!" "Paham Tuan!" jawab mereka serentak."Kalau kerja kalian bagus dan sampai nanti kedua anak saya lahir, gaji kalian akan naik jadi tiga kali lipat," lanjut suamiku."Ti—ga kali lipat Bos? Itu artinya?" Pak Agus mulai menghitung jarinya bersama yang lain. Mereka mulai berbisik dan tertawa."Tunggu … Pak Bambang tadi bilang dua anak lahir? Maksudnya apa ya Pak Bambang?" tanya Bude Ratmi. Mereka yang tadinya asyik menghitung kini terdiam dan mulai berpikir sama seperti Bude Ratmi."Apa Nyonya hamil anak kembar?" tanya Bi Ratih.Suamiku kemudian mengelus perutku. "Ya, istriku sedang hamil anak kembar." "Wuaaaaaaa!"Mereka menjerit dan melompa
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa