BRANDONSatu minggu kemudianSesuai dengan janji yang telah disepakati, hari ini aku dan Iin akan mengadakan double date. Bersyukur si Inez mau diajak bertemu di Grand Indonesia, sehingga sahabatku bisa mewujudkan keinginan berkencan di tempat umum, bukan sekolah.Rencananya kami akan makan dulu di restoran, kemudian menonton film. Ya, kami tidak jadi ke TMII sekarang. Aku dan Iin telah memilih film yang akan ditonton, berharap yang lainnya suka dengan selera kami berdua. Kalian tahu film apa yang akan kami tonton nanti? Dead Silence karya James Wan, sutradara yang terkenal dengan film-film horor. Siapa yang tidak tahu dengan karyanya berjudul Saw dan Saw III yang terkenal sadis?Selera filmku benar-benar sama dengan Iin. Kami menyukai semua genre mau romance, thriller, horror, science fiction dan lain-lain. Intinya menonton film yang bagus dan patut untuk ditonton.Sekarang, aku bersiap menjemput Iin. Langkah berhenti ketika pikiran kembali pada malam pertama kami berada di puncak. D
ARINIMata ini nggak berkedip saat melihat cewek yang diajak Bran double date hari ini. Cantik banget. Tubuhnya tinggi, pinggangnya ramping dengan pinggul berisi. Mungkin karena sudah memasuki usia dewasa sehingga tampak berbeda dengan body gue yang rata dari atas sampai bawah.“Akhirnya gue temukan cewek yang bakal dipacari, In,” cetus Bran beberapa saat kemudian.Pandangan ini beralih ke arah Bran yang tampak semringah. Kayaknya cewek bernama Inez masuk ke dalam kriteria yang akan dipacari. Siapa yang nggak suka lihat orang cantik kayak gitu? Fisiknya oke banget, gue kalah jauh.“Serius? Lebih tua dari lo, Bran,” tanggap gue berbisik pelan.Brandon menggeleng kembali melihat Inez. “Nggak masalah, In.”Dia melambaikan tangan memberi kode kepada cewek yang katanya mahasiswi tingkat dua itu.“Brandon ya?” tebak Inez tersenyum manis banget. Suaranya juga lembut dan enak didengar.Bran berdiri sambil mengulurkan tangan. “Bener banget, Kak.”Inez menyambut uluran tangannya. Ya ampun, itu
BRANDONSatu bulan kemudianLiburan panjang berakhir sudah. Hari ini adalah hari pertama sekolah. Selama satu bulan belakangan tidak terlalu banyak hal berarti yang terjadi. Hubunganku dengan Inez masih jalan di tempat, tanpa status. Meski begitu, aku lebih sering jalan dengannya.Bagaimana dengan Iin? Tidak ada perkembangan yang berarti juga antara dia dan Rafly. Pria itu sepertinya tidak suka dengan kehadiranku dalam hubungan mereka.“In,” panggilku ketika dalam perjalanan menuju sekolah.Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menjemput Iin dan sore mengantarkannya pulang ke rumah.“Apa?” sahutnya mengeraskan sedikit suara.“Nggak jadi, entar aja deh.”“Apaan sih lo?! Nggak jelas banget.”Iin mencubit pinggang ini. Meski sakit, namun ditahan demi menjaga keseimbangan sepeda motor. Kebiasaan buruk Arini yang satu ini, sepertinya tidak akan berubah sampai nanti. Aku hanya bisa pasrah menerima cubitannya.Lima menit kemudian, kami tiba di parkiran sekolah. Setelahnya, aku dan Iin berjal
ARINIMata masih berat banget waktu mau dibuka. Ah, masih pagi juga ‘kan ini? Pagi? Bukannya gue lagi tidur di kamar Bran ya? Kelopak mata langsung terbuka lebar waktu ingat numpang tidur di kamar Brandon, saking ngantuknya habis main PS3. Pandangan langsung beredar ke seluluh ruangan.Tuh ‘kan benar. Gue lagi tidur di kamar orang loh ini. Tapi, tumben bisa mimpi indah walau tidur satu jam.Wait! Mimpi indah? Rasanya sih gitu, gue mimpi ketemu sama seseorang. Kayaknya sih kenal sama orang itu. Anehnya, dia malah cium bibir ini. Meski nggak nyata, tapi nggak rela banget ciuman pertama diambil sama orang yang nggak dikenal.Baru akan merengek menyesali mimpi yang ternyata nggak indah-indah banget, gue melihat Bran tertidur dengan kepala rebah di pinggir kasur. Itu kepala sama punggung nggak pegel ya? Kasihan deh, tapi kalau dibenerin posisi tidurnya nanti malah bangun.Gue beringsut sedikit mendekati Bran. Senyuman terukit saat melihatnya tidur pulas. Nggak ada tampang tengil yang selam
BRANDONSatu bulan berlalu sangat cepat. Hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti dengan hubunganku dan Inez, meski masih sering bertemu. Walau demikian, aku belum pernah membawanya ke rumah dan memperkenalkan kepada Bokap Nyokap karena status yang masih belum jelas. Sore ini Inez mengajakku jalan-jalan ke mall, tapi sebelumnya harus dijemput dulu ke kosan.“Lagi mikirin apa sih?” tanya Iin menyentakkan lamunan.Seperti biasa kami berdua sedang duduk di atas atap.“Habis latihan basket sore ini langsung ke kosan Inez, In,” jawabku terus terang.“Trus?” selidik Iin.Aku menggelengkan kepala.“Nggak usah pusing mikirin gue. Gue bisa pulang sendiri kok.” Iin tersenyum lebar.Bukan itu yang kupikirkan. Ada sesuatu yang tidak bisa diutarakan kepadanya.“Gue bisa anterin lo pulang duluan, setelah itu langsung cabut ke kosan Inez buat jemput dia.”“Nanti kecapean, Bran. Gue bisa pulang sendiri kok.”“Pulang naik angkot?” Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa! Tetap gue yang anterin.”
ARINIPagi hari rumah rasanya ramai banget. Kayaknya si Bontot kembali berulah. Aduh, itu anak kapan dewasanya sih? Sekarang sudah SMA loh, bukan SMP lagi.“Kalau kamu masih belum disiplin juga, nanti Mama pindahkan ke sekolah negeri,” ancam Mama dengan nada meninggi.Donny pasti bangun kesiangan lagi. Ck!“Jangan, Ma. Donny janji nggak akan telat tidur lagi,” rengek Donny.Gue melangkah keluar dari kamar dan melihat Mama berdiri sambil berkacak pinggang.“Tuh lihat Kakak kamu sudah bersiap berangkat sekolah. Kamu pikir sekolah di sana murah? Kalau tinggal kelas bagaimana?” omel Mama dengan raut kesal.Papa hanya bisa duduk sambil berpangku tangan di meja makan tak jauh dari ruang tamu. Orang tua gue selalu begitu, jika salah satu marah maka satunya lagi memilih diam tanpa mau ikut campur bahkan membela.Uda David baru saja turun dari kamarnya di lantai dua. Keningnya berkerut memberi kode seakan menanyakan apa yang terjadi? Gue hanya mengedipkan mata pelan.“Sekali lagi kamu datang t
BRANDON“Gue udah bilang jaga diri baik-baik, masih aja bandel,” omel Iin sambil memukul dada ini.Dia menangis sejadi-jadinya seakan dialah yang kehilangan sesuatu berharga di dalam diri. Kenapa Iin yang jadi sedih begini?Aku menangkap kedua tangannya, lantas menarik tubuh Iin ke dalam pelukan. Dia masih terisak pilu seakan kecewa dengan apa yang telah kulakukan kemarin.Lima belas menit kemudian Arini mulai tenang.“Kenapa sih nggak bisa nahan diri, Bran?” bisik Iin lantas mendongakkan kepala, “apa dia cantik banget sampai lo bisa tergoda?”Netra cokelatnya memancarkan kesedihan yang luar biasa sekarang. Aku mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi tirus Iin.“Gue khilaf, In.”“Khilaf gimana? Kalau khilaf harusnya lo nggak bahagia gini.” Iin menepuk pelan pipiku.Dia kembali menegakkan tubuh masih terisak sesekali.“Kemarin gue tunggu dia di depan kosan. Trus disuruh masuk, katanya belum kelar dandan.” Aku menarik napas panjang, bayangan kejadian kemarin kembali menari di pik
ARINIKenyataan Brandon sudah melakukan hal terlarang benar-benar bikin gue terpukul. Kalian bayangkan sahabat yang nggak pernah pacaran, tiba-tiba mengaku telah kehilangan perjaka hanya karena seorang wanita seperti Inez. Apa karena kecantikannya Bran sampai nggak bisa nolak?“Lo udah jadian sama Inez, Bran?” tanya gue membuat mata Bran yang tadi merem kini terbuka lagi.Apa-apaan dia pakai merem segala?Bran mengangguk pelan. “Dua hari yang lalu. Maaf gue belum bilang sama lo.”Kenapa sakit banget seakan hal itu terjadi kepada gue ya? Rasanya sesak di sini, di dalam hati.“Kemarin lo bilang belum. Gimana sih? Bohong ya?” tuduh gue di sela pandangan yang masih mengabur karena genangan air mata.Dia menundukkan kepala sekarang, nggak berani memandangi wajah ini.“Maafin gue, In,” ucapnya pelan nggak lama kemudian. “Maaf karena udah bikin lo kecewa.”Kepalanya terangkat, lantas melihat gue dengan mata berkaca-kaca. “Jangan tinggalin gue karena ini ya? Gue pengin lo tetap berada di samp
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku