ARINIKenyataan Brandon sudah melakukan hal terlarang benar-benar bikin gue terpukul. Kalian bayangkan sahabat yang nggak pernah pacaran, tiba-tiba mengaku telah kehilangan perjaka hanya karena seorang wanita seperti Inez. Apa karena kecantikannya Bran sampai nggak bisa nolak?“Lo udah jadian sama Inez, Bran?” tanya gue membuat mata Bran yang tadi merem kini terbuka lagi.Apa-apaan dia pakai merem segala?Bran mengangguk pelan. “Dua hari yang lalu. Maaf gue belum bilang sama lo.”Kenapa sakit banget seakan hal itu terjadi kepada gue ya? Rasanya sesak di sini, di dalam hati.“Kemarin lo bilang belum. Gimana sih? Bohong ya?” tuduh gue di sela pandangan yang masih mengabur karena genangan air mata.Dia menundukkan kepala sekarang, nggak berani memandangi wajah ini.“Maafin gue, In,” ucapnya pelan nggak lama kemudian. “Maaf karena udah bikin lo kecewa.”Kepalanya terangkat, lantas melihat gue dengan mata berkaca-kaca. “Jangan tinggalin gue karena ini ya? Gue pengin lo tetap berada di samp
BRANDONRasanya lega ketika Iin mau memaafkan dan menerimaku. Dia juga berjanji akan selalu berada di sisi dan tidak akan meninggalkan, jika suatu saat diri ini mengulangi kesalahan yang sama. Entah kenapa aku sangat takut kehilangan Arini.Di saat bersamaan, rasa bersalah juga bercokol di hati karena telah membohongi Iin dengan berkata sudah jadian dengan Inez dua hari yang lalu. Aku terpaksa berbohong, agar dia tidak berpikiran aneh-aneh tentangku. Arini pasti berpikiran yang tidak-tidak jika tahu kami melakukannya tanpa hubungan yang jelas.Setelah kejadian kemarin, belum ada statement apa-apa yang mengukuhkan hubunganku dan Inez ke arah yang lebih serius. Bahkan, sampai sore ini juga dia tidak mengirimkan pesan apapun padaku. Hingga aku melihatnya sedang berjalan dengan Rafly bergandengan tangan di pinggir pantai sekarang.Awalnya kupikir salah lihat, tapi ketika mendengar Iin menyebut nama Rafly di saat bersamaan, saat itulah aku yakin apa yang dilihat tadi nyata. Inez dan Rafly
ARINIGue masih nggak percaya kalau ternyata Kak Rafly menjalin hubungan khusus dengan Inez. Sejak kapan mereka dekat? Apa keduanya kenal setelah double date waktu itu? Ah, kenapa jadi mikirin ini sih?Jadi kasihan deh sama Brandon, baru juga jadian sudah dikhianati sama pacarnya. Apalagi dia sampai kehilangan harga diri gara-gara Inez. Gue nggak akan tinggal diam, cewek itu harus diberi pelajaran. Enak aja selingkuhi Bran.Sesaat diri ini terdiam, apa jangan-jangan Kak Rafly dan Inez juga sampai begituan.Aduh mikir apaan sih, Ri? Bukan urusan lo juga mereka mau ngapain. Toh udah putus ‘kan sama Rafly? berontak batin gue.Meski cara Kak Rafly memutuskan gue nggak bisa diterima, tapi rasanya lega sih bisa terlepas dari yang namanya pacaran. Benar-benar nggak berfaedah tuh. Mending temenan aja kayak sama Brandon sekarang. Lebih nyaman dan bikin bahagia.Gue bergegas memasangkan kaus kaki dan sepatu. Sebentar lagi Bran pasti datang. Dia harus dihibur sekarang, kasihan lagi patah hati.“
BRANDONAwalnya aku mencoba untuk membiarkan masalah ini tanpa harus berbicara dengan Rafly dan Inez. Tapi setelah dipikir-pikir apa yang telah dilakukan wanita itu kepadaku adalah suatu kejahatan. Dia harus diberi ganjaran yang setimpal. Ah, memang apa yang bisa dilakukan terhadapnya? Menjebloskan ke penjara? Itu sama saja dengan bunuh diri. Aku bisa menjadi berita di media cetak dan membuat nama keluarga tercoreng.“Ngomong aja sama mereka, Bran. Kalau mau maki-maki silakan, tapi setelah itu ikhlaskan dan maafkan.” Begitu nasihat Iin saat kami berbicara di atas atap pagi tadi.Bersyukur Arini akhirnya mau diajak bertemu dengan kedua pengkhianat itu. Paling tidak, dia bisa menguatkanku menjalani ujian ini. Bersama dengan Iin, semua seakan mudah dilewati.Iin menggenggam erat tangan ketika memasuki gedung KFC Petojo. Dia seakan menyalurkan energi positif yang dimiliki, agar aku bisa mengontrol amarah yang sebenarnya meluap sek
ARINIDua tahun kemudianHari ini pengumuman kelulusan. Deg-degan sumpah. Walau bisa mengerjakan soal-soal ketika Ujian Nasional, tetap saja ketar-ketir menunggu pengumuman kelulusan dan nilai evaluasi murni keluar.Gue dan Brandon satu kelas lagi ketika kelas tiga. Syukur saja nilainya masih bagus hingga semester kemarin, jadi bisa masuk kelas unggul 3 IPS-1. Ya, kami sama-sama mengambil jurusan IPS di kelas tiga.Awalnya gue pengin masuk IPA, tapi Bran merengek agar memilih IPS seperti dirinya. Dia nggak mau masuk IPA karena ada Matematika, Fisika dan Kimia. Setelah melewati perdebatan panjang menjelang kenaikan kelas, akhirnya gue mengalah dan memutuskan ambil jurusan IPS. Bersyukur Bokap Nyokap nggak mempermasalahkan jurusan apapun yang diambil.Di sinilah gue dan Brandon berada sekarang sambil menunggu pengumuman keluar satu jam lagi. Di mana lagi kalau bukan di atap? Tempat nongkrong paling enak tiga tahun belakangan. Nggak terasa ya persahabatan gue dan Bran memasuki usia tahun
BRANDONSungguh luar biasa senang hati ini lulus dari SMA. Nilai juga memuaskan tidak ada lagi C yang pernah singgah sebentar di rapor. Nilai evaluasi murni juga bagus. Papa benar-benar puas dengan apa yang telah kuraih.Hari ini Papa akan mengajakku ke dealer mobil. Beliau ingin menunaikan janji membeli mobil sport. Tentu saja kami tidak pergi berdua, ada Mama dan Iin yang ikut dengan kami nanti. Setelah dibujuk akhirnya sahabatku itu mau menemani ke dealer, agar bisa memilihkan mobil untukku. Aku juga ingin dia orang pertama yang akan dibawa berkeliling Jakarta dengan kendaraan baru.Bagaimanapun juga, apa yang telah diraih sekarang, tidak lepas dari campur tangan Arini. Sesuai dengan namanya, Maheswari, dia menjelma menjadi bidadari yang telah menolongku hingga berada di posisi sekarang. Aku beruntung memilikinya sebagai sahabat, ‘kan?“Arini ke sini sendiri atau kita yang jemput, Bran?” tanya Papa sembari memasangkan kancing lengan kemeja.“Kita aja yang jemput, Pa. Kasihan kalau
ARINISatu tahun kemudianGue memandangi pantulan diri di cermin. Ternyata sekarang sudah mulai dewasa. Sebentar lagi memasuki usia 19 tahun. Waktu rasanya cepat banget berlalu, tapi nggak ada yang berubah dari penampilan ini. Masih sama kayak dulu, rambut dikuncir ke atas dengan poni menutupi kening. Lesung pipi juga masih dua. Begitu juga dengan pakaian, celana jeans dan kaus oblong betah membungkus tubuh.Apakah kalian tahu di mana kami kuliah sekarang? Gue dan Bran kuliah di salah satu universitas swasta terbaik di Jakarta. Kami berdua mengambil jurusan Manajemen Bisnis.Tebakan kalian benar. Gue pada akhirnya ngalah lagi melepas impian kuliah di salah satu universitas negeri terbaik yang dimiliki Indonesia. Nggak percaya juga bisa lulus, padahal saat ujian asal-asalan menjawab pertanyaan. Bodoh banget ya sampai segitunya demi sahabat?!Beruntung ada beasiswa dari perusahaan yang sampai sekarang dirahasiakan identitasnya. Pihak kampus hanya mengatakan gue dapat beasiswa dari sebua
BRANDONMalam ini terasa begitu berbeda dari sebelumnya. Seorang perempuan cantik muncul di hadapanku. Dia benar-benar tipe wanita idaman secara fisik.Aku menyambut uluran tangannya yang begitu halus dan lembut. Pandangan tak lepas dari kulit putih mulus yang terekspos jelas, karena mengenakan pakaian mini.“Brandon,” sambutku memperkenalkan diri.“Pacar kamu ya?” tebaknya melirik Iin.Aku menggeleng cepat, tidak ingin dia salah paham. “Sahabatku. Perkenalkan namanya Arini.”Iin menatap Moza dengan ekspresi datar. Tidak biasanya dia memperlihatkan ekspresi seperti ini.“Oh, aku pikir pacar kamu.”“Kita cuma sahabatan sejak SMA. Jangan salah paham.”Mata hitam milik Moza melebar membuat wajah cantiknya semakin menarik di mataku, meski mengenakan make up. Berbeda dengan Iin yang masih cantik tanpa sentuhan make up. Kenapa jadi membandingkannya dengan sahabatku?“Kamu sering manggung di sini?”“Ya, tapi nggak tiap hari juga. Harus kuliah.”Bibir tipis Moza membulat. “Kuliah di mana?”“D
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku