Masih AriniSenyum sinis tergambar di paras Moza setelah berhasil melewati tempat duduk Arini. Suasana terasa tegang untuk beberapa saat ketika mereka berbagi tatapan dingin. Jangan berharap itu bisa membuat Arini takut. Tidak! Dia bertekad melawan Moza, jika sampai melakukan hal-hal buruk kepadanya di kantor.“Kakak kenal sama Bu Moza?” bisik agent yang duduk di samping Arini.Hanya gelengan kepala yang diberikan wanita itu sebagai jawaban. Floor bisa gempar jika orang-orang tahu, Moza adalah mantan terindah Brandon. Arini tahu persis kalau Bran tidak akan menyukai berita panas itu tersebar.Arini kembali fokus dengan pekerjaan. Dia tidak boleh melakukan kesalahan, apalagi yang bisa menyebabkan financial loss di hari-hari terakhir berada di perusahaan ini. Sebisa mungkin, ia harus membuat atasannya bangga dengan usaha maksimal yang diberikan, setelah mengajukan surat pengunduran diri. Dia tidak ingin seperti karyawan lain, berleha-leha ketika menunggu hari terakhir bekerja.Di tengah
AriniArini merapatkan geraham ketika melihat Moza duduk tepat di depannya dengan menyunggingkan senyum di sudut bibir kanan. Baru lima menit yang lalu Keysa mengutarakan keinginan duduk di meja yang sama dengan Arini. Namun, rasanya seperti berjam-jam.Selera makan Arini surut drastis di tengah ketidaknyamanan yang terasa. Mustahil ia menolak Keysa dan meminta mereka duduk di meja lain. Dia akan dicap sebagai karyawan yang tidak memiliki etika.“Sayang banget ya kamu cuma sebentar di sini.” Keysa membuka percakapan setelah makan siang tandas.“Iya, belum setahun, Mbak.” Fahmi menjawab mewakili Arini.Pandangan Arini beralih dari Fahmi ke Moza yang duduk bersebelahan di balik bulu matanya. Dia bisa melihat raut bingung di paras mantan terindah sang suami itu.“Emangnya Arini mau ke mana, Mbak?” Terdengar nada khawatir dari suara Moza.Cemas ya nggak bisa intimidasi gue? batin Arini senang.Arini mengangkat wajah dengan malas ketika ingin menjawab pertanyaan Moza dan mengatakan akan be
Seorang wanita berjalan pelan dengan tangan terulur ke depan. Kening berkerut di wajah tirusnya ketika kaki melangkah maju perlahan. Mata yang ditutup kain berwarna hitam sudah jelas tidak bisa melihat apa yang akan ditempuh. Berkat pegangan dari pria yang berada di belakang, ia berhasil memasuki ruang tamu vila yang berukuran besar.“Apaan sih, Bran? Mata gue kok pakai ditutup segala?” desisnya di tengah kebingungan.“Lihat aja nanti. Lo pasti senang bukan main begitu lihat kejutan yang ada di dalam,” bisik Brandon memegang bahu wanita itu.Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil berwarna kemerahan milik Arini. Dia terpaksa harus menahan diri, agar tahu kejutan apa yang disediakan oleh Brandon, laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak sebelas tahun belakangan.Dua tahun berpisah dari sahabat tersayang membuat hari yang dilewati Arini menjadi kelabu. Tidak ada lagi canda dan tawa yang menemani keseharian seperti sebelumnya. Kegagalan pernikahan membuat wanita cantik itu menja
Kelopak lebar Arini berkedip pelan mendengar perkataan Brandon barusan. Manik cokelatnya masih beradu tatap dengan netra hitam sayu milik lelaki itu. Perlahan tawa aneh keluar dari sela bibir berwarna ranum tersebut.“Ha … ha … emang ada hubungan di-upgrade? Ada-ada aja lo.” Arini langsung berdiri karena suasana mendadak canggung. “Gue naik dulu ke atas ya. Pegel nih badan. Mau berbaring dulu.”Saat hendak maju satu langkah, Brandon berhasil menangkap tangannya. Dalam satu kali tarikan, Arini duduk lagi di sofa.“Emang lo nggak mau kalau kita upgrade hubungan?”Arini menjepit bibir ketika mengalihkan pandangan ke tempat lain. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.“In?”“Apa?” sahut wanita itu cuek.Brandon mengembuskan napas pelan ketika menggelengkan kepala. Tatapannya masih mengitari paras Arini yang tampak letih.“Istirahat dulu gih. Nanti malam aja kita bahas,” suruhnya segera berdiri, lalu mengulurkan tangan.“Bareng ke atas yuk! Gue juga mau istirahat.” Brandon melirik ke
AriniSenyum indah merekah di paras tirus seorang wanita yang sedang berdiri di depan gedung berwarna biru. Kepala menengadah ke atas ketika tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung mancungnya. Sepasang lubang tampak menghiasi kedua belah pipi.Hari ini ia kembali bekerja seperti biasa, setelah libur dua hari. Menghabiskan liburan bersama dengan Lisa dan Brandon mampu mengangkat beban di pundaknya. Sekarang, kaki yang dihiasi sepatu kets adidas KW itu bisa melangkah ringan.Ponsel yang bergetar di saku celana jeans menyentakkan lamunan. Tangan ramping berwarna kuning langsat itu merogoh saku, lalu mengeluarkan gadget pipih dari sana. Lagi-lagi kedua lesung pipi muncul ketika bibir mungil Arini tertarik ke samping.Brandon: Hari ini masuk jam 10 ‘kan, In? Tolong take tempat buat gue di sebelah lo sebelum sif 12. :*Arini tergelak singkat melihat emoticon cium yang ada di pesan Brandon barusan. Decakan pelan keluar dari sela bibir saat kepala bergerak ke kiri dan kanan, sehingga
BrandonAlih-alih menanyakan tentang kedekatan Arini dan Fahmi, Brandon memilih diam. Dia yakin sahabatnya pasti akan bercerita jika memang ada sesuatu di antara mereka.Begitu mulai bekerja, Brandon memutuskan fokus menangani keluhan pelanggan terlebih dahulu. Dia tidak berbincang dengan Arini, karena khawatir jika nanti melakukan kesalahan dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan.Bekerja di bidang contact center benar-benar membutuhkan fokus maksimal. Harus mampu menganalisa kendala yang alami pelanggan, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat. Salah sedikit saja, kerugian bisa terjadi. Alhasil gaji yang diterima per bulan harus dipotong untuk mengganti kerugian materi yang disebabkan kelalaian.Apalagi Brandon dan Arini bekerja di channel chat. Dalam satu kali waktu harus menangani lima pelanggan dengan lima keluhan berbeda juga. Terkadang sering lupa dengan kendala yang ditanyakan. Mereka musti membaca ulang lagi chat sebelumnya, agar ingat masalah yang dih
Arini“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggant
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m