Wanita Penghibur Part 1
Romansa duduk di depan komputer lipatnya, mungkin ini yang bisa dia lakukan untuk mengobati pikiran dan hatinya yang dihantam rasa bersalah luar biasa.
Romansa menuliskan segala hal yang bisa dia tulis, cerita yang bisa dia ceritakan mengenai seratus hari yang paling mengerikan di dalam hidupnya.
Jurnal Romansa.
Hari ketiga puluh di klinik jagal manusia, aku mendapat pasien bernama Ayu, dia datang dengan pakaian serba seksi, dress putih, panjangnya hanya satu jengkal di bawah organ kewanitaannya, sangat pendek sekali, mungkin ketika dia menekuk badannya, dari belakang tubuhnya akan banyak pria hidung belang yang berkumpul, ya untuk sekedar melihat pemandangan luar biasa itu, yang tidak mereka miliki.
"Aku sudah membuat janji dengan dokter Arya," teriak Ayu.
"Baiklah, saya akan memeriksa keadaan anda," ucapku
"Tidak perlu, itu hanya akan menyusahkan, ini surat rujukannya, lakukan saja sesuai prosedur, sekarang dan secepatnya," ucap Ayu dengan pandangan sinis.
Mendengar itu, aku hanya mengulaskan senyum, berusaha bersabar, dengan segala tingkah arogannya.
"Tidak bisa begitu, saya harus tahu mengenai pasien saya sebelum melakukan tindakan apapun," ucapku, masih dengan ketenangan yang aku pegang teguh.
Aku membuka surat rujukan, di sana tertulis blighted ovum atau hamil kosong, ada kantung terbentuk di dalam rahimnya, namun tidak ada janin di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan pasien harus melakukan proses terminasi kehamilan atau proses medis untuk mengakhiri masa kehamilan. Aku harus mengeluarkan kantong itu dengan cara kuretase, jika tidak, akan sangat berbahaya bagi ibu yang mengandung.
"Lakukan saja, secepat mungkin dan sebaik mungkin," ucap Ayu
"Tolong tunggu di sini sebentar, saya akan menemui rekan yang bertugas di ruang tindakan," ucapku.
Aku segera keluar dari ruang periksa dan menemui perawat Wiji, perawat yang menjadi asisten pribadiku dalam melakukan pemeriksaan dan tindakan.
"Wiji, apa kita bisa melakukan tindakan ini di sini?" tanyaku seraya menunjukkan surat rujukan itu. perawat Wiji terlihat membacanya dengan teliti dan seksama.
"Tentu saja bisa dok, saya akan membantu dokter, ini sudah biasa untuk saya," ucap perawat Wiji yang usianya satu tahun lebih muda di bawahku, dia terlihat mengulaskan senyum.
"Kau serius? apa dokter Arya membiarkanku bekerja sendiri di hari pertama?" tanyaku bingung.
"Tentu saja, ini adalah hal mudah, saya akan segera menyiapkan alat alat di ruang tindakan," ucap perawat Wiji yang terlihat bersiap pergi ke ruang tindakan.
"Tunggu, tunggu Wiji, apa di sini tidak tersedia ultrasonografi (USG) saya harus memastikannya sebelum melakukan tindakan," tanyaku.
"Dokter Arya sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh di tempat prakteknya, dokter harus mempercayainya, semuanya di bawah tanggung jawab dokter Arya, kita bisa menggunakan USG 2 dimensi selama proses tindakan, bukan untuk pemeriksaan," ucap perawat Wiji seraya tersenyum.
"USG 2 dimensi? yang benar saja, di zaman modern begini masih memakai seri lama? padahal dokter Arya terkenal sebagai dokter kaya yang memilik rumah sakit besar," gumamku dalam hati.
"Baiklah, siapkan semuanya," ucapku berusaha percaya bahwa perawat Wiji bisa menangani semuanya dengan baik.
Aku kembali ke dalam ruang periksa untuk menemui pasien yang bernama Ayu itu.
"Bagaimana? aku tidak ada waktu karna harus bekerja, segera selesaikan," ucap Ayu yang terdengar cukup tidak sopan untuk ukuran anak muda seperti dia.
"Saya mohon, jaga sikap ibu di klinik ini," ucapku.
"Baiklah, aku hanya tidak bisa menunggu lama. Kehamilan sialan ini membuatku tidak bisa bekerja dengan leluasa," ucap Ayu seraya memukul mukul perutnya.
"Apa yang kau katakan, kehamilan adalah sesuatu yang luar biasa, seharusnya kau senang dan juga bersedih karna dia tidak tumbuh dengan baik sebagaimana mestinya," ucapku sedikit emosi, namun aku berusaha untuk menahan kemarahan itu tidak keluar dari mulutku.
"Sudahlah, kau dan aku sama, aku yang membeli, kau yang menjual jasa," ucap Ayu.
Aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan dan aku tidak ingin mencari tahu, bahkan aku sudah tidak memiliki rasa hormat lagi. Namun sebagai dokter, aku tidak bisa seperti itu, aku harus sebisa mungkin menekan ego dan rasa sakit yang muncul di hati ini.
Aku masuk ke ruang tindakan, cukup terkejut karna perawat Wiji bisa menyiapkan semuanya dengan begitu baik, dia sendiri, tanpa bantuan orang lain, karna yang bekerja di klinik ini hanya aku sebagai dokter dan Wiji sebagai perawat yang membantu dokter bekerja.
"Saya akan menyiapkan pasiennya," ucap perawat Wiji.
"I-iya, terima kasih," ucapku. Aku mulai bersiap menjalankan prosedur yang aku sebut dengan operasi.
Mulai dari mencuci tangan, memakai alat pelindung diri lengkap dari atas kepala hingga kaki. Penutup kepala, masker, googgles, Apron, gaun, sepatu boot dan sarung tangan, menempel lengkap ke tubuhku.
Aku melakukannya sesuai dengan standar operasional, yang aku pelajari sejak masih duduk di bangku kuliah kedokteran.
Perawat Wiji dan Ayu masuk ke dalam ruang tindakan, mereka terlihat tersenyum, bahkan Ayu tertawa melihat penampilanku.
"Kau mau melakukan operasi?" tanya Ayu.
"Tentu, prosedur ini juga merupakan operasi, walaupun bukan operasi besar," ucapku yakin.
"Dokter, lain kali cukup memakai yang diperlukan saja," ucap perawat Wiji.
Mendengar itu aku mengerutkan dahi, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan, karna aku melakukan seuai standar yang berlaku dan ini sudah umum dilakukan.
"Kau tahu, bahkan dokter Arya tidak pernah memakai sarung tangan, dia hanya butuh waktu lima menit," ucap Ayu. Lagi lagi aku mengerutkan dahi, benar benar belum mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
Prosedur dilaksanakan, sebenarnya itu bukan pengalaman yang pertama, aku pernah beberapa kali melakukan prosedur itu sewaktu masih menjadi co-asisten. Tidak terlalu sulit, aku sudah mempelajarinya, aku juga harus menunjukkan bahwa aku mampu, pada orang yang sudah mempekerjakanku, memberi gaji besar, untuk dapat menjalankan klinik ini seorang diri.
Aku mulai melakukan proses kuretase, perawat wiji terlihat cukup trampil dan cekatan.
Mulai dari memposisikan pasien, memberikan obat injeksi dan menyiapkan pasien hingga aku siap melakukan tugasku, bahkan aku tidak perlu memerintahnya, dia sudah tahu tugasnya.
Setelahnya aku baru tahu dia sudah menemani dokter Arya melakukan semua itu sejak lulus SMA dan dokter Arya pula yang menyekolahkannya di akademi keperawatan.
Aku tertegun kaget, aku tidak mengeluarkan kantong kosong, melainkan ada janin kecil yang mulai hancur karna alat vakum. Teknik yang digunakan adalah vakum aspirasi / suction aspiration yang merupakan suatu teknik mengeluarkan isi rahim melalui leher rahim.
Janin kecil itu aku perkirakan sebesar kacang merah, dengan panjang sekitar 2,7 sentimeter. Aku bisa memperkirakan kehamilan itu sekitar tujuh atau delapan minggu.
Aku terdiam di tengah proses tindakan, perawat Wiji menegurku supaya aku segera menyeleseikan tindakanku.
Aku segera menyeleseikannya, hingga tidak ada bagian tersisa karna itu bisa menyebabkan perdarahan atau infeksi yang akan membahayakan pasien.
Aku terdiam, mengamati jaringan yang tertampung di bengkok. Iya, aku mulai menyadarinya, itu bukan kehamilan kosong, apa mungkin janin tidak berkembang? tapi sepertinya kehamilan itu adalah kehamilan sehat.
Aku terdiam, perawat Wiji dengan segera menyeleseikan tugasnya. Aku berdiri dari posisi dudukku, dengan wajah bingung dan juga pucat pasi.
Pasien sudah di bawa perawat Wiji ke ruang pemulihan, menyisakan diriku sendiri dalam kebingungan luar biasa.
"Dokter, lain kali jangan seperti itu. Berhenti di tengah jalan adalah hal yang berbahaya bagi pasien, bisa fatal akibatnya, dokter harus selalu fokus dengan apa yang dokter kerjakan," ucap perawat Wiji yang menghampiriku.
"Wiji, tolong jelaskan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi," teriakku pada perawat Wiji seolah tidak mempedulikan rasa hormat terhadap sesama, harusnya aku bisa mengontrol diri, namun kemarahan sudah terlanjur terbentuk di dalam diriku.
"Bukannya dokter sudah tahu, kita di sini bertugas menghentikan kehamilan, anggap saja kita melakukan terminasi kehamilan sebelum waktunya, istilahnya induksi haid, tidak masalah," ucap perawat Wiji yang kemudian meninggalkan ruang tindakan.
Wanita Penghibur Part 2 Aku mulai menyadari apa yang terjadi, oh Tuhan, seketika tangisku pecah. Aku telah membunuh janin yang tidak berdosa, janin yang seharusnya tumbuh dengan nyaman di dalam rahim ibunya, hingga berusia sembilan bulan, lalu dilahirkan, melihat dunia ini, merasakan hidup. Oh Tuhan. Tubuhku jatuh ke lantai, menangis sejadi jadinya, aku tidak menyangka akan terjebak ke dalam peristiwa yang mematahkan hati ini. Aku merasa diriku kotor, bermandikan darah yang seperti lumpur kering. Awan mendung seketika datang, menghujaniku dengan kepedihan, lalu hujan itu berubah menjadi badai, menghancurkanku, seketika, membuatku tidak mampu berlari, bahkan untuk menyelamatkan diri. Aku sudah tamat, dalam bencana yang mengerikan. Aku pingsan, tidak sadarkan diri, ini benar benar peristiwa traumatik yang begitu menyakitkan. Aku tidak sanggup, sangat menyesakkan dada, membuatku tidak mampu bernafas dengan benar, hanya menyisakan sesak yang menyiksa. *** Aku masih tidak sadarkan diri
Wanita Penghibur Part 3Perawat Wiji mendatangiku. "Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong. "Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir. "Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh. "Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi. "Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam. "Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu. "Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataann
Terjebak Seks Bebas Part 1 Romansa berteriak teriak, membekap kepalanya, di atas tempat tidur, lalu meringkuk. Dia merasakan tekanan yang begitu keras, dalam diri, hati, juga pikirannya. Perawat Erna segera berlari, mendekap tubuh Roamansa, mengelus tubuhnya, berusaha memberi kekuatan. “Tenanglah Romansa, tenang, ada saya di sini, saya akan menjagamu,” ucap perawat Erna. “Tidak bu, tidak, dia mengikutiku, saya takut, saya takut,” ucap Romansa dengan wajah ketakutan. “Tidak ada yang mengikutimu, tidak ada,” ucap perawat Erna seraya tetap memeluk Romansa, bahkan dekapan itu semakin erat. Beberapa saat, Romansa berusaha menenangkan diri, mengendalikan segala hal yang meluap luap dari dalam dirinya. “Saya ingin menulis lagi, hanya itu yang bisa membuat saya lebih tenang,” ucap Romansa. “Iya, saya akan menyiapkannya untukmu, tenangkan dirimu,” ucap perawat Erna. Perawat Erna terlihat menyiapkan laptop Romansa, di atas meja yang kemarin dia gunakan untuk mengetik cerita. Perawat Er
Terjebak Seks Bebas Part 2 "Apa kau pernah melihat calon bayimu? yang sedang kau kandung,” tanyaku pada gadis kecil itu. “Dok, tidak perlu menanyakan apapun padanya, dia tidak mengerti, dia sedang tidak baik baik saja, tertekan," ucap ibu itu. "Baiklah, saya anggap jawabannya adalah belum pernah. Mungkin memang kalian belum pernah melihat bayi kecil itu, padahal pemeriksaan USG (ultrasonografi) sudah dilakukan. Dengan senang hati saya akan memberikan gambaran yang sempurna pada kalian," ucapku berusaha dengan suara yang lembut, tenang dan penuh kesabaran. "Dua belas minggu, ukuran janin itu sudah sebesar buah rambutan dengan berat kira kira 18 gram dan panjang 7,5 sentimeter. Seluruh tubuhnya mulai memenuhi Rahim kecil itu. Dia bersama plasenta, yang juga sudah berkembang dengan baik untuk bisa menyalurkan gizi dan nutrisi. Pada usia ini, otaknya sudah mulai berkembang pesat. Kuku tangan dan kaki, pita suara, organnya, akan mulai berkembang,” ucapku. “Ibu yang mengandung sudah bis
Terjebak Seks Bebas Part 3 Aku melihat gadis kecil ini, anak kecil yang baru beranjak menjadi remaja, masih jauh waktu yang dibutuhkan untuk dia memikirkan hal hal yang berhubungan dengan rumah tangga. "Saya boleh tahu siapa nama panjangmu?" tanyaku membuka pembicaraan. "Elisa Maharani," ucap Elisa sedikit ragu ragu dan sangat lirih. Elisa terlihat mengarahkan pandangan matanya ke bawah, seolah enggan untuk memperlihatkan wajahnya. "Wah, itu nama yang sangat indah. Dokter hanya ingin membantumu, membantu yang sebenarnya," ucapku berusaha tetap mengulaskan senyum. "Apa Dokter boleh meminjam tanganmu," ucapku lembut. Dengan ragu ragu Elisa mulai mengangkat pandangannya, lalu mengulurkan kedua tangan kecilnya. Aku meraih tangan itu, menggenggamnya, juga mengelusnya lembut, berharap Elisa tahu, bahwa aku memiliki ketulusan untuknya, ketulusan kasih yang benar benar aku miliki, bukan sebagai seorang dokter, melainkan teman, atau mungkin kakak, atau bahkan ibu. "Elisa, Elisa tahu, say
Terjebak Seks Bebas Part 4 Elisa melihat ke arah perutnya, perut yang sedang aku pegang, perut kecil, yang bahkan tidak akan disangka bahwa di dalam perut itu bersemayam janin kecil yang tumbuh dengan sehat. "Tapi dia tidak mau bertanggung jawab, dia tidak mengakuinya," ucap Elisa. "Ya, itulah yang terjadi. Semua yang kau alami bukanlah bukti cinta. Melainkan perampasan sepihak, perampasan, perampokan. Kau tahu, keperawanan adalah simbol suci bagi seorang perempuan. Sekalinya hilang tidak akan bisa dipulihkan lagi. Jika itu hilang sebelum adanya pernikahan, maka simbol suci itu juga akan hilang, hanya menjadi angin tanpa bekas, tak berkesan,” ucapku. “Keperawanan tidak seperti rambut dan kuku, yang bisa tumbuh lagi ketika sudah dipangkas. Keperawanan juga merupakan simbol dari moral dan harga diri seorang perempuan," ucapku berusaha menggunakan bahasa yang aku harap bisa dia pahami. "Sebentar, saya perlihatkan sesuatu padamu," ucapku yang kemudian mengambil dua buah minuman dingin
Terjebak Seks Bebas Part Akhir Tindakan harus dilakukan, terpaksa, tidak mampu aku cegah, aku tidak memiliki daya dan upaya. Akupun menangis, tidak rela janin itu pergi, namun apa yang bisa aku lakukan. Setelah Tindakan dan pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi, aku menangis di ruang pemeriksaan, aku tidak bisa melupakan wajah polos Elisa, wajah yang tidak berdosa itu, Seorang gadis muda terjebak dalam ikatan cinta yang membuatnya tidak berdaya, lalu akhirnya terbelenggu dalam dosa, dosa yang sangat besar. Setelah hari itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang konsultan, penerang, yang masuk ke setiap pintu sekolah sekolah untuk memberikan pendidikan seks secara gratis juga lugas. Sebuah ilmu yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang tabu dan tidak penting. Aku ingin mereka semua tahu dan mengerti betapa penting dan berharganya diri mereka. Seharusnya mereka semua menuliskan kaya "don't touch me" sebesar mungkin di kepala, punggung, dada dan semua yang bisa dilihat.
Menjual Keperawanan Part 1 Bunga dandelion memiliki bentuk yang unik, teksturnya sangat rapuh, di mana setiap bibit di dalam bunga akan terbang bahkan hanya dalam sekali tiupan saja. Bunga yang mampu tumbuh di mana saja, tidak peduli tempat yang tandus atau bahkan lembab. Dia akan terus bertahan, mudah beradaptasi dan tidak takut untuk berada di manapun. Dia bahkan tidak pernah membenci siapapun yang singgah hanya untuk mengambil sekilas foto, atau meniupnya satu per satu, karna dia yakin, biji yang tebang mampu tumbuh di manapun dia jatuh dan hinggap. Romansa duduk di taman yang ada di rumah sakit, tidak jauh dari ruang perawatannya. Dia nampak melihat dandelion yang bergoyang tersapu angin. “Rey, lihat wanita itu,” ucap Simon. “Dia cantik sekali,” lanjut Simon. “Kau ini, jaga pandanganmu, kita sedang di rumah sakit,” ucap Rey. “Ya siapa tahu dia dokter yang kau maksudkan, dia cantik sekali,” ucap Simon. “Benarkah?” tanya Rey yang kemudian dia melihat ke arah taman di mana wa
Rahasia Terbesar Dokter GedeDokter Gede dan perawat Dante terlihat berbicara cukup serius di lorong ruang perawatan VVIP.“Apa kau sudah menghapus semua data mengenai Romansa?” Tanya dokter Gede.“Sudah dok,” jawab perawat Dante.“Ya, jangan sampai ada orang lain yang tahu, apapun status mengenai dia, harus tetap tersimpan di Neverland selamanya,” ucap dokter Gede.“Ba-baik dok,” ucap perawat Dante.Dokter Gede terlihat menarik pikirannya ke belakang, ke satu waktu, menjadi titik mula Romansa berada di rumah sakit jiwa itu.Tiga tahun lalu, dokter Gede menemui dokter Arya, yang ternyata memiliki cerita di masa muda mereka.“Bawa dokter itu ke tempatmu, jangan sampai dia bicara lebih jauh dengan polisi,” ucap dokter Arya.“Aku sudah memperingatkanmu, jangan meneruskan bisnis itu, hentikan, kau dokter yang hebat, tidak perlu mengikuti jejak ayah dan kakekmu,” ucap dokter Gede. Mereka terlihat berbincang di sebuah ruangan, ruangan tertutup yang ada di kantor polisi.“Ya, kau tahu sendiri
Down Syndrome Bukan Salah Mama Part 2“Skrining untuk down syndrome sudah dapat dilakukan sejak usia kehamilan 11 hingga 14 minggu melalu pemeriksaan USG dan tes darah di trimester pertama. Atau bisa juga dilakukan antara usia 15 minggu dan 20 minggu dengan tes darah yang disebut dengan tes skrining multiple marker serum,” jawabku.“Namun tidak 100% tes ini memberikan hasil yang akurat. Uji diagnostikpun bisa dilakukan, seperti memeriksa biopsi vili korionik (sampel plasenta), amniocentensis (cairan ketuban), chordocentesis (darah tali pusat) saat bayi masih berada di dalam kandungan, namun tidak semudah seperti yang dibayangkan, semua itu memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih besar, sehingga harus dipertimbangkan dengan matang untuk memilih melakukan pemeriksaan itu,” lanjutku.“Jika bukan karma, kenapa selalu ibu yang disalahkan ketika memiliki anak seperti itu,” ucapnya yang diiringi dengan derai air mata.Aku menggenggam tangannya semakin erat, berusaha memahami sesuatu yang b
Down Syndrome Bukan Salah MamaRomansa melihat semburat warna orens tergambar di sisi barat, matahari tenggelam yang begitu indah, terlihat sedikit samar. Dia memejamkan mata, membayangkan betapa indahnya matahari terbenam di pinggir pantai yang indah.“Aku sudah selesai dengan Savea, namun hatiku begitu bergetar, aku memikirkan Ibu Kayati, namun jariku sangat lelah dan sulit untuk digerakkan,” ucap Romansa di dalam hati seraya melihat ke arah jari jarinya yang begitu ingin sekali kembali mengetik.“Semoga kau dan anakmu selalu dalam kebahagiaan. Kau memutuskan untuk merawatnya sendiri, kau hebat, Tuhan akan mengasihimu,” ucap Romansa yang tanpa terasa butiran air mata menetes dengan begitu mudahnya.Tiba tiba dia mendengar suara pintu kamar diketuk, beberapa detik setelah itu terlihat perawat Nindi masuk.“Nona, ibu Erna berpesan untuk mengingatkan nona minum obat,” ucap perawat Nindi.“Iya perawat Nindi, terima kasih. Oh iya, apa bu Erna belum kembali? Apa dia cerita sedang ada keper
Aku Bukan SALOME Part 3Romansa terlihat menarik nafas panjang, dia tidak boleh menggantungkan sebuah cerita. Dia pernah berjuang hingga akhir untuk membantu seseorang menemukan keadilan. Romansa menguatkan hati untuk meneruskan tulisannya, karna saat itu dia juga berjuang sekuat tenaga demi mendapatkan keadilan untuk Savea.Cerita Savea selanjutnya.Aku memeluk Savea dengan pelukan yang penuh kasih. Aku mengasihaninya, gadis malang ini, yang direnggut kebahagiaannya dengan paksa, oleh orang orang dalam raga berpendidikan dan rupawan. Aku merasakan kesedihan juga perasaan itu.Kelaminnya dikoyak, namun dia tidak tahu, hanya rasa sakit dan perih yang dirasakannya. Kesakitan yang akhirnya menjadi perasaan trauma yang mendalam.“Tolong dok, tolong ambil bayi ini, bayi yang hidup di dalam tubuh saya,” ucapnya lirih. Aku semakin memeluknya erat, semakin erat, tidak semudah itu, bukan jalan yang terbaik.“Tolong, jangan begini, dokter janji, dokter akan menolongmu, sebisa mungkin,” ucapku pa
Aku Bukan SALOME Part 2Cukup lama aku dan perawat Wiji memberikan ruang untuk Savea, hingga akhirnya dia mulai tenang dan memutuskan untuk melanjutkan sesi konsultasi.“Apa tidak sebaiknya kau pulang dulu?” Tanyaku pada Savea.“Tidak dok, saya sudah lebih baik,” ucap Savea.“Kita bicara di sini? Tidak apa apa, tidak perlu di ruang pemeriksaan,” ucapku yang melihat Savea berusaha turun dari tempat tidur UGD.“Tidak apa apa?” Tanya Savea.“Ya, tentu saja,” ucapku yang kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelahnya.“Apa walimu tidak ikut?” Tanyaku pada Savea. Mendengar pertanyaan itu dia hanya menggeleng.“Saya dari pulau lain, di kota ini untuk kuliah,” ucapnya.“Oh begitu ya, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau selalu menyebutkan kata salome,” tanyaku.“Saya khawatir salah mengartikannya,” lanjutku.“Ya, sejak peristiwa itu, semua orang di kampus menyebut saya SALOME, sungguh sangat menyakitkan, saya bahkan berpikir untuk bunuh diri,” ucapnya.“Ada apa?” Tanyaku menelisik.Aku m
Aku Bukan SALOMEBeberapa menit sebelumnya.Simon terlihat begitu asik bersama perawat Nindi dan juga perawat Nika, mereka membahas mengenai kondisi salah satu pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa itu. Sebenarnya hanya kasus karangan Simon saja, tidak ada tugas mengenai itu, dia hanya membuat riset sendiri untuk membantu Rey mengelabui perawat di ruang perawatan VVIP.Tiba tiba dari jauh terdengar langkah kaki dari beberapa orang, Simon melirik ke arah lorong rumah sakit yang menuju ke arah ruang perawatan VVIP, dia melihat ada dokter Gede sedang berjalan bersama dengan perawat Dante.“Dok-dokter Gede,” gumam Simon dalam hati. Dia mulai gugup, tidak ingin ketahuan, dia segera mencari alasan supaya bisa secepatnya pergi.“Perawat Nindi, perawat Nika, saya ucapkan terima kasih. Saya ingin berlama lama dengan perawat perawat yang ramah juga baik seperti kalian, tapi sayangnya ada panggilan alam yang tidak bisa ditunda lagi,” ucap Simon seraya menunjukkan ekspresi seseorang yang sedang
Pandangan Pertama Yang MendebarkanSimon terlihat masuk ke dalam ruang perawatan VVIP. Dia mendekat ke ners station, di sana ada perawat Nindi dan perawat Nika.“Selamat sore, apa saya bisa bertemu bu Erna? wah saya sudah mencari bu Erna sejak tadi siang,” ucap Simon berusaha mencari alasan supaya bisa berlama lama di ruang VVIP.“Bu Erna sedang izin keluar, sejak tadi siang,” ucap perawat Nindi.“Oh begitu ya, pantas saja saya tidak menemukannya,” ucap Simon.“Ada perlu apa?” tanya perawat Nika.“Tidak, saya hanya ingin meminta bantuan bu Erna untuk melihat laporan saya mengenai salah satu pasien yang ada di ruang perawatan umum,” ucap Simon serta menunjukkan buku yang dibawanya.“Iya, bu Erna cukup berpengalaman untuk itu,” ucap perawat Nindi.“Datang saja lagi besok,” ucap perawat Nika.“Wah, malam ini saya harus segera mengirim email tugas ini pada dosen terkait,” ucap Simon yang menyiratkan isyarat kekecewaan.“Hmmm, coba saya lihat, mungkin saya bisa membantu,” ucap perawat Nind
Rencana Rey Menemukan RomansaRomansa mengigau, di dalam tidur. Dia melihat ada tangan mungil, kecil, terjepit di atas kanul yang dicucinya. Romansa berkeringat begitu banyak, mengigau tidak karuan.“Tidak, tidak, tidak, maafkan aku, maafkan aku, tidak,” bisiknya lirih. Keringatnya semakin bercucuran. Ketakutan itu sungguh memiliki ruang di dalam pikirannya, di mana akan hadir di saat tidak terduga, juga tidak dapat diprediksi. Ketakutan itu menangkapnya dalam mimpi, seolah mencekik, menghentikan nafasnya, sangat menyakitkan.Romansa membuka mata, lalu mencoba bernafas dan bangkit. Romansa mengambil nafas cepat, sungguh dia seperti terbebas dari hal yang mengerikan. Romansa mengusap keringat yang membanjir di wajahnya. Dia berusaha mengendalikan diri, menepiskan perasaan sesak yang menyerangnya habis habisan.“Ada apa Romansa?” tanya perawat Erna yang berlari ke arah Romansa.“Ibu dengar kamu berteriak,” lanjut bu Erna seraya memeluk Romansa.“Mim-mimpi itu datang lagi,” gumam Romans
HIV AIDSRomansa mengingat sebuah kisah mengenai karma yang muncul setelah sekian tahun berlalu. Pagi itu, Romansa melihat perawat Wiji mengomel tidak karuan,“Tidak tahu malu, aku baru saja memberinya uang yang cukup, kenapa harus membuatku merasa kesulitan seperti ini, harusnya dia tahu diri,” gerutu perawat Wij ketika masuk ke dalam ruang obat, dia terlihat meletakkan sekotak kasa yang baru saja diterimanya dari penyedia bahan.“Ada apa?” tanya Romansa.“Di depan klinik ada seorang tunawisma wanita, dia sudah tiga hari disana, duduk di pojok klinik. Mungkin karna saya memberikannya makanan. Apa dokter tahu, setelah selesai makan, dia justru memaki makiku karna memberinya makan dengan ikan goreng, seharusnya dia bersyukur,” ucap perawat Wiji.“Mungkin dia memang sangat lapar, sudah, berikan saja lagi dan minta dia untuk pergi,” ucap Romansa.“Tidak semudah itu dok, saya sudah berusaha mengusirnya, saya juga minta satpam yang bekerja di koperasi sebelah klinik untuk mengusirnya, namun