TIARA tak peduli apa-apa lagi. Kemarahannya sudah benar-benar membuncah. Wajahnya yang putih bersih, telah berubah memerah padam seluruhnya.
Meski demikian Tiara sadar betul dirinya tak mungkin melampiaskan kemarahan pada Pak Ali. Tidak pada siapa pun di kantor ini. Satu-satunya orang yang harus ia labrak adalah Ryan.
"Sialan! Dia benar-benar sudah memandang aku tidak ada lagi!" geram Tiara mendesis.
Dari berdiri bersandar pada tepian meja, gadis melangkah ke arah kaca lebar yang menjadi dinding ruangan kerjanya. Dari sana ia dapat melihat jalan tol nan ramai lancar di kejauhan. Tapi pandangannya bukan tertuju pada ruas jalan tersebut.
Dalam diamnya Tiara menelan ludah, sembari menekan kuat-kuat kemarahan yang hampir meledak. Tenggorokannya terasa sakit. Sama sakit dengan hatinya yang seolah kembali tergores dan luka.
Pak Ali hanya dapat menyaksikan tindak-tanduk atasannya dengan wajah kebingungan. Sekali waktu lelaki yang sudah berumur ini menoleh
SETELAH selesai membaca beberapa berkas yang harus ia pelajari, Tiara sambar kunci mobil di sudut meja kerjanya. Sambil bangkit berdiri gadis itu raih jas padanan blazer yang disampirkan di punggung kursi.Ketika melewati meja Sinta, sang direktur berpamitan dan meninggalkan beberapa pesan. Sekretarisnya itu menganggukkan kepala dengan patuh.Tiara langsung turun ke lantai bawah. Lalu berjalan gegas sembari membalas sapaan para karyawan. Tak sampai sepuluh menit berselang sedan Pak Wardoyo yang ia kendarai telah meninggalkan halaman parkir."Hati-hati di jalan, Bu," seru Pak Eko si satpam melepas kepergian bosnya.Tiara hanya membalas dengan lambaian tangan kurang bersemangat. Setelah basa-basi itu ditutupnya kaca pintu agar dinginnya AC terasa lebih maksimal. Jakarta sangat panas di siang hari begini.Gastronomy di Kemang yang jadi tujuannya berjarak 31-34 kilometer dari kantornya di kawasan Tanjung Priok. Dan sekarang menjelang jam makan siang. T
SAMBIL menunggu pesanan disiapkan, Theo membuka obrolan dengan Tiara. Namun pemuda itu menghindari topik seputar pingsannya si gadis kemarin. Theo merasa itu bukan pembicaraan yang menarik.Sejak pertama bertemu dengan Tiara di Indramayu, sebenarnya ada satu hal yang ingin Theo tahu. Apakah Tiara seorang lajang tanpa ikatan, atau sebetulnya sudah menjalin hubungan dengan seseorang? Atau setidak-tidaknya tengah didekati atau mendekati seseorang barangkali?Theo tahu, ini jenis pertanyaan yang sulit diungkapkan secara langsung. Terlebih di awal-awal berkenalan seperti dirinya dan Tiara. Jadi, ia harus pintar-pintar mencari cara untuk mengorek keterangan."Kamu ada rencana ke Indramayu lagi?" Pada akhirnya pertanyaan itu yang terlintas di kepala Theo.Tiara terjingkat kaget mendengarnya. Pertanyaan yang seketika membuatnya teringat pada Abdi. Juga pada Atisaya, tunangan pemuda yang telah mencuri hatinya tersebut.Tapi, tidak. Tiara tidak boleh memikir
TAK lama berselang hidangan utama disajikan. Sepasang mata Tiara terbelalak lebar sewaktu melihat Gohu Tuna dan Buntil Udang Daun Ubi pesanannya tergeletak di hadapan. Maklum saja, gadis itu baru keluar dari hutan. Meski selama di dalam hutan Abdi terus memberinya makan berlauk ikan, tapi tuna tentu saja jenis yang berbeda. Tiba-tiba saja Tiara jadi mendesah. Kenapa hanya dengan melihat sajian berbahan ikan bisa membuatnya teringat pada Abdi lagi? Cepat disingkirkannya bayangan itu dengan mengambil sendok dan garpu yang tergeletak di samping piring. "Terima kasih," ucapnya manis pada pelayan yang telah mengambilkan nasi. Dan Tiara harus memuji si pelayan. Sebab takaran nasi yang diletakkan ke dalam piringnya bisa sangat pas. Tidak terlalu banyak sehingga bakal tersisa, juga tidak terlalu sedikit. Sudah lama sekali Tiara tidak makan enak begini. Pun di tempat yang nyaman dan representatif seperti ini. Jadi, jangan heran jika gadis itu terlihat
BERES dengan urusan bayar-membayar, keduanya langsung keluar. Setibanya di tempat parkir, baru saja mereka hendak berpencar arah menuju mobil masing-masing, tahu-tahu saja Tiara menggamit lengan Theo.Yang digamit terang saja kaget bukan main. Dengan wajah heran Theo memandangi Tiara yang sudah bergerak cepat, menyelinap ke balik punggungnya."Kamu kenapa, Tiara?" tanya Theo, tak dapat menyembunyikan keheranan di benaknya."Ssst, please, jangan sebut nama aku keras-keras," sahut Tiara setengah berbisik.Kerutan di kening Theo bertambah dalam. Apa lagi ini maksudnya? Batin pemuda itu semakin tak mengerti.Bersamaan dengan itu sepasang muda-mudi melintas tak jauh dari hadapan Theo. Agaknya dua orang itu baru saja turun dari mobil. Sepanjang berjalan menuju ke dalam restoran keduanya terus saja berbicara dan tertawa-tawa.Tiara yang membungkuk di belakang Theo semakin menguncupkan tubuhnya. Ia tak mau terlihat oleh kedua pasangan yang baru saja
TIARA baru hentikan langkah ketika mereka telah menjauh sekira lima meter dari meja resepsionis. Dilepaskannya pegangan tangan dari pergelangan orang. Lalu melihat ke kiri-kanan sebentar.Sementara wajah bingung si pelayan bertambah dengan ekspresi ketakutan. Dari tempatnya berada ia dapat menyaksikan meja tempatnya bertugas kosong melompong. Kalau saja supervisor atau bahkan manajernya datang mengecek ke sana...."Mbak yang menyambut pasangan muda-mudi yang barusan datang tadi kan?" tanya Tiara tanpa tedeng aling-aling.Si pelayan cepat mengangguk, meski raut wajahnya masih jelas menampakkan kebingungan."Bagus!" sahut Tiara dengan wajah cerah. "Begini, saya mau minta bantuan Mbak, mau kan?""Ma-maksud Ibu apa ya? Bantuan apa?" Si pelayan tambah melongo. Gerak-gerik Tiara yang menurutnya mencurigakan menimbulkan sedikit ketakutan."Begini, Mbak." Tanpa permisi Tiara gamit bahu si pelayan agar mendekat. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga
ABDI baru saja selesai menyuapi ibunya siang itu, ketika mendengar salam dari depan. Suara yang begitu ia kenali, juga sangat dikenali oleh sang ibu. Karenanya kedua ibu-anak tersebut jadi saling pandang. Ada rona kekhawatiran pada wajah masing-masing."Pak Haji kan ya?" tanya ibu Abdi, setengah berharap suara tersebut bukan milik Haji Sobirin, ayah Atisaya sekaligus calon besannya."Iya, Mak. Pak Haji itu," sahut Abdi dengan yakin. "Sebentar ya, Mak. Saya temui Pak Haji dulu. Barangkali ada urusan penting yang mau Pak Haji sampaikan.""Ya sudah sana," timpal ibunya. "Kalau Pak Haji tanya kabar Mak, bilang saja sudah baikan.""Iya, Mak," jawab Abdi cepat.Abdi keluar dari dalam kamar ibunya sambil membawa piring kotor yang barusan dipakai. Karenanya pemuda itu hanya menyahuti salam sembari melongokkan kepala dari ambang pintu yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah.Usai menjawab salam, cepat-cepat Abdi menuju ke belakang untuk meleta
BILA Atisaya memberi waktu sepekan pada Abdi untuk menentukan sikap, jawaban Haji Sobirin barusan tak bisa menunggu. Harus dijawab saat ini juga. Padahal, diam-diam Abdi mulai meragu dengan perjodohan antara dirinya dengan Atisaya.Pemuda itu merasa ada yang salah jika ia menikahi Atisaya sebagai bentuk pelunasan utang mendiang ayahnya. Menurutnya ini tidak adil bagi Atisaya, sekali pun gadis itu mencintainya setengah mati.Tambahan lagi, Abdi masih belum dapat mengenyahkan Tiara dari hatinya. Alih-alih mengusir jauh-jauh perasaannya pada sang direktur, apa yang mereka lakukan di hotel malam itu membuat Abdi justru semakin tenggelam dalam rasa cinta.Masalahnya, tidak mungkin rasanya semua itu disampaikan pada Haji Sobirin. Setidaknya jangan saat ini. Ia pun masih butuh waktu untuk menimbang-nimbang, sebelum pada akhirnya mengambil keputusan final."Saya belum terpikir sampai ke sana, Pak Haji. Tapi yang jelas ya nanti terserah Neng Ati saja bagaimana," s
IBU Abdi tak sabar mengetahui apa saja yang telah dibicarakan puteranya dengan Haji Sobirin. Begitu Abdi kembali ke dalam kamar, langsung disambutnya dengan serentetan pertanyaan."Pak Haji sama siapa tadi? Ati ikut juga nggak? Ngobrolin apa saja kalian?"Yang ditanyai tak langsung menjawab, melainkan duduk di kursi tak jauh dari kepala ranjang. Terdengar embusan napas panjang dari lubang hidung si pemuda. Wajahnya muram.Ibu Abdi pandangi pemuda itu lekat-lekat. Oleh dokter rumah sakit, wanita itu memang sudah dibilang sembuh. Namun ia perlu bantuan untuk melakukan ini-itu agar kondisinya tak kembali drop.Abdi yang kebetulan sedang cuti selepas keluar dari hutan, sementara kakak-kakaknya yang dua orang harus ngantor dari pagi sampai sore, membuat tugas menunggui sang ibu jatuh pada pemuda tersebut."Heh, ditanyain kok diam saja?" tegur ibu Abdi setelah sekian lama menunggu tak kunjung ada jawaban.Mendengar teguran itu Abdi nyengir kuda. D