TIARA baru hentikan langkah ketika mereka telah menjauh sekira lima meter dari meja resepsionis. Dilepaskannya pegangan tangan dari pergelangan orang. Lalu melihat ke kiri-kanan sebentar.
Sementara wajah bingung si pelayan bertambah dengan ekspresi ketakutan. Dari tempatnya berada ia dapat menyaksikan meja tempatnya bertugas kosong melompong. Kalau saja supervisor atau bahkan manajernya datang mengecek ke sana....
"Mbak yang menyambut pasangan muda-mudi yang barusan datang tadi kan?" tanya Tiara tanpa tedeng aling-aling.
Si pelayan cepat mengangguk, meski raut wajahnya masih jelas menampakkan kebingungan.
"Bagus!" sahut Tiara dengan wajah cerah. "Begini, saya mau minta bantuan Mbak, mau kan?"
"Ma-maksud Ibu apa ya? Bantuan apa?" Si pelayan tambah melongo. Gerak-gerik Tiara yang menurutnya mencurigakan menimbulkan sedikit ketakutan.
"Begini, Mbak." Tanpa permisi Tiara gamit bahu si pelayan agar mendekat. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga
ABDI baru saja selesai menyuapi ibunya siang itu, ketika mendengar salam dari depan. Suara yang begitu ia kenali, juga sangat dikenali oleh sang ibu. Karenanya kedua ibu-anak tersebut jadi saling pandang. Ada rona kekhawatiran pada wajah masing-masing."Pak Haji kan ya?" tanya ibu Abdi, setengah berharap suara tersebut bukan milik Haji Sobirin, ayah Atisaya sekaligus calon besannya."Iya, Mak. Pak Haji itu," sahut Abdi dengan yakin. "Sebentar ya, Mak. Saya temui Pak Haji dulu. Barangkali ada urusan penting yang mau Pak Haji sampaikan.""Ya sudah sana," timpal ibunya. "Kalau Pak Haji tanya kabar Mak, bilang saja sudah baikan.""Iya, Mak," jawab Abdi cepat.Abdi keluar dari dalam kamar ibunya sambil membawa piring kotor yang barusan dipakai. Karenanya pemuda itu hanya menyahuti salam sembari melongokkan kepala dari ambang pintu yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah.Usai menjawab salam, cepat-cepat Abdi menuju ke belakang untuk meleta
BILA Atisaya memberi waktu sepekan pada Abdi untuk menentukan sikap, jawaban Haji Sobirin barusan tak bisa menunggu. Harus dijawab saat ini juga. Padahal, diam-diam Abdi mulai meragu dengan perjodohan antara dirinya dengan Atisaya.Pemuda itu merasa ada yang salah jika ia menikahi Atisaya sebagai bentuk pelunasan utang mendiang ayahnya. Menurutnya ini tidak adil bagi Atisaya, sekali pun gadis itu mencintainya setengah mati.Tambahan lagi, Abdi masih belum dapat mengenyahkan Tiara dari hatinya. Alih-alih mengusir jauh-jauh perasaannya pada sang direktur, apa yang mereka lakukan di hotel malam itu membuat Abdi justru semakin tenggelam dalam rasa cinta.Masalahnya, tidak mungkin rasanya semua itu disampaikan pada Haji Sobirin. Setidaknya jangan saat ini. Ia pun masih butuh waktu untuk menimbang-nimbang, sebelum pada akhirnya mengambil keputusan final."Saya belum terpikir sampai ke sana, Pak Haji. Tapi yang jelas ya nanti terserah Neng Ati saja bagaimana," s
IBU Abdi tak sabar mengetahui apa saja yang telah dibicarakan puteranya dengan Haji Sobirin. Begitu Abdi kembali ke dalam kamar, langsung disambutnya dengan serentetan pertanyaan."Pak Haji sama siapa tadi? Ati ikut juga nggak? Ngobrolin apa saja kalian?"Yang ditanyai tak langsung menjawab, melainkan duduk di kursi tak jauh dari kepala ranjang. Terdengar embusan napas panjang dari lubang hidung si pemuda. Wajahnya muram.Ibu Abdi pandangi pemuda itu lekat-lekat. Oleh dokter rumah sakit, wanita itu memang sudah dibilang sembuh. Namun ia perlu bantuan untuk melakukan ini-itu agar kondisinya tak kembali drop.Abdi yang kebetulan sedang cuti selepas keluar dari hutan, sementara kakak-kakaknya yang dua orang harus ngantor dari pagi sampai sore, membuat tugas menunggui sang ibu jatuh pada pemuda tersebut."Heh, ditanyain kok diam saja?" tegur ibu Abdi setelah sekian lama menunggu tak kunjung ada jawaban.Mendengar teguran itu Abdi nyengir kuda. D
ABDI memang menunaikan kewajibannya beribadah siang itu. Akan tetapi tak sampai lima menit sudah selesai. Itu sudah termasuk memanjatkan doa panjang yang diucapkannya dalam hati.Yang memakan waktu lebih lama dari itu malah melamun selepas salat. Usai mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan sebagai tanda berakhirnya panjatan doa, Abdi bergeming di atas sajadah. Lama sekali pemuda itu diam dengan pikiran melayang-layang.Mula-mula yang terbayang di kepalanya adalah Haji Sobirin, lalu Atisaya. Dan pada gilirannya mau tak mau merembet sampai ke soal pertunangan antara dirinya dan anak pak haji tersebut. Lebih tepatnya adalah tentang kemantapan dirinya melanjutkan ke jenjang pernikahan, atau justru menghentikan semua keterpaksaan ini dan mendekat pada Tiara.Jika melihat sikap dan ucapannya tadi, Abdi dapat membaca betapa sayangnya Haji Sobirin pada Atisaya. Maklum saja, gadis itu anak satu-satunya. Sudah piatu pula karena ditinggal mati ibunya sejak kecil.
"HALO, Bu!" seru Abdi begitu gawai di tangannya sudah menempel di telinga. "Eh, maksud saya, Neng Tiara." Ia cepat meralat. Terdengar gelak tawa di ujung telepon, dengan deru mesin mobil dan ramainya lalu lintas sebagai latar belakang. "Apa-apaan sih malah manggil Neng segala. Memangnya Atisaya apa?" sahut si penelepon berlagak ketus. Yang menelepon memang Tiara. Saat itu sang direktur muda tengah memacu mobilnya kembali ke kantor setelah makan siang bersama Theo tadi. Usai memergoki sepasang lelaki-perempuan yang membuat hatinya gondok tapi juga senang, tiba-tiba saja di kepala Tiara terlintas satu pemikiran. Sebuah rencana terbentang, dan gadis itu jadi teringat pada Abdi. Abdi hanya bisa tertawa sendiri sebagai tanggapan. "Lagi di mana memangnya? Sepertinya sedang dalam perjalanan ya?" "Iya, baru saja meeting dengan seseorang di Kemang, sekalian makan siang. Ini lagi dalam perjalanan balik ke kantor," sahut Tiara dengan nada riang.
SUNGGUH tak terkira kekagetan Abdi mendengar ucapan Tiara barusan. Atasannya itu memintanya secepat mungkin ke Jakarta! Abdi yakin sekali dirinya tak salah dengar. Telinganya juga sedang baik-baik saja.Padahal baru beberapa menit sebelumnya mulut yang sama mengatakan Abdi tidak perlu risau mengenai rencana ke Jakarta. Tiara berkata Abdi bebas mau kembali kapan saja ke Jakarta. Tentu saja itu kaitannya dengan status Abdi sebagai karyawan PT Tirya Parkindo."Mmm, maksud Ibu bagaimana ya? Apakah saya memang harus bertatap muka secara langsung dengan Pak Wardoyo dan Bu Wardoyo?" tanya Abdi, tak dapat menyembunyikan kebingungan."Kamu pasti berpikir kenapa tidak lewat panggilan telepon atau video call saja, begitu kan?" Tiara malah balik bertanya. Terdengar derai tawa di ujung ucapannya."I-iya, kan tidak harus bertemu langsung kalau cuma memberi kesaksian mengenai kejadian tadi?" imbuh Abdi.Bukan apa-apa. Pemuda itu hanya ingin kembali ke Jakarta jik
TIARA langsung mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji ketika memasuki ruang kerja. Dari Sinta, gadis itu diberitahu jika Seno sudah menunggu di dalam ruangan. Ia telat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya sendiri."Selamat siang, Pak Seno. Mohon maaf sekali Bapak harus menunggu saya yang datang terlambat," ujar Sinta begitu melihat punggung seorang lelaki paruh empat puluhan tahun.Seno memutar kursi, lalu bangkit berdiri sembari pentangkan senyum lebar. Kepalanya dianggukkan sedikit sebagai bentuk penghormatan pada Tiara."Selamat siang, Ibu Tiara," ucap Seno. Pandangan matanya mengikuti langkah Tiara yang tergesa menuju ke balik meja. Begitu atasannya itu duduk, Seno ikut kembali duduk pula."Jalanan macet, Bu?" tanya Seno membuka obrolan.Hari-hari belakangan lalu lintas Jakarta memang sering macet di siang hari. Pekerjaan proyek fly over di beberapa titik menyebabkan arus kendaraan tersendat. Bahkan di jalan tol sekali pun. Namu
TIARA langsung membuka laptop. Foto-foto dan video yang barusan diterimanya ia pindahkan ke layanan komputasi awan. Selain agar lebih aman, juga supaya sewaktu-waktu dapat diakses melalui berbagai perangkat.Setelah memastikan tak ada lagi yang harus ia kerjakan hari itu, serta menanyakan pada Sinta apa saja agendanya besok, Tiara pamit pulang. Ia bahkan mempersilakan Sinta ikut pulang, tapi gadis itu mengatakan masih ada beberapa hal yang harus dibereskan.Lantunan She Will Be Loved milik Maroon 5 mengiringi perjalanan Tiara meninggalkan kantor. Lalu menyusul suara Barbra Streisand menembangkan Woman in Love. Selera musik gadis itu benar-benar acak.Rumah tampak sepi ketika Tiara memasukkan mobil ke dalam garasi. Mang Udin tergopoh-gopoh membukakan pagar untuknya."Kok sepi sekali, Mang?" tanya Tiara sembari melongokkan kepalanya setelah menurunkan kaca pintu."Bapak masihbelum pulang dari kantor, Mbak. Kalau Nyonya seperti