UNTUK beberapa saat, pembalak yang biasa dipanggil Wid itu berdiri diam di ambang pintu ruangan. Tangannya yang memegang korek gas diangkat tinggi-tinggi. Seolah-olah dengan cara begitu cahaya api pada ujung korek berubah menjadi lebih terang.
Api pada korek gas tersebut hanya dapat menerangi sekitaran tubuh si pembalak. Kira-kira dalam radius satu langkah dari tempat pembalak itu berdiri. Sedangkan sudut di mana Tiara berada masih terlindung oleh kegelapan.
Tiara memanfaatkan keadaan tersebut untuk beringsut, mencari sudut yang lebih tertutup. Sehingga andai kata si pembalak mengelilingi ruangan, tubuh mungil si gadis masih tak terlihat.
Setelah mengamati kanan-kiri, Tiara memutuskan untuk pindah ke balik lemari besar di sebelahnya. Lemari tersebut sangat tinggi, serta berada di sudut ruangan. Andai pun si pembalak mendekat, tubuh Tiara dapat terlindungi.
Tepat setelah Tiara berpindah tempat, pembalak yang biasa dipanggil Wid oleh rekan-rekannya mulai me
ABDI merasa sudah berjalan selama berjam-jam, namun base camp pembalak liar yang dituju masih belum kelihatan juga. Hati pemuda tersebut menjadi gelisah. Ia semakin khawatir hal buruk sedang menimpa Tiara saat itu.Diam-diam Abdi mengingat-ingat lagi. Gadis atasannya tersebut dibawa lari pada tengah hari. Artinya, setidaknya sudah enam jam Tiara bersama para pembalak. Banyak hal bisa terjadi dalam rentang waktu selama itu.Geraham Abdi bergemeletuk memikirkan hal tersebut. Ia benar-benar tak akan memaafkan dirinya jika sampai Tiara mengalami kejadian tak mengenakkan."Maaf, Pak Ramlan. Apakah tempatnya masih jauh?" tanya Abdi setengah berteriak, sebab yang ditanyai berada beberapa langkah di depannya.Rombongan tim gabungan tersebut sedang berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang tadi dilewati Pak Ramlan. Oknum polisi kehutanan tersebut diminta berjalan di bagian depan, tepat di belakang ketiga pucuk pimpinan tim.Di belakang Pak Ramlan, te
PUKULAN Tiara mendarat tepat pada sasaran. Begitu batang kayu menghantam tengkuknya, pembalak yang biasa dipanggil Wid oleh teman-temannya keluarkan keluhan tertahan. Lalu tubuhnya melosoh jatuh ke depan. Tiara juga jadi memekik tertahan melihat lelaki yang ia pukul langsung roboh. Agaknya pukulan tadi sangat keras. Mengakibatkan aliran darah dan juga aliran saraf di sekitar tengkuk berhenti untuk beberapa saat. Sehingga membuat si pembalak pingsan seketika, tergeletak diam di lantai. Sambil terus menutupi mulut dengan sebelah tangan, Tiara berjingkat melangkahi tubuh orang. Sejenak gadis itu berjongkok. Mengambil korek gas yang masih menyala dalam genggaman tangan si pembalak. "Aduh, maafkan aku ya. Semoga kamu cuma pingsan," gumam Tiara merasa bersalah. Bagaimana pun ia tidak ingin lelaki tersebut mendapat celaka akibat pukulannya barusan. Setelah menggenggam korek gas, Tiara menghidupkan benda tersebut. Ia mencari-cari senter, sebab dalam kegelapan
DALAM gelapnya malam, hanya berbekal sorot senter, Tiara menembus kerapatan semak belukar. Entah ke mana arah tujuan yang ia tempuh, gadis itu tak ambil peduli. Ia sekedar mengikuti jalan setapak yang tampak di hadapannya sembari berharap terus menjauh dari para pembalak.Entah sudah berapa lama berjalan setengah berlari, Tiara tak tahu. Yang jelas gadis itu tahu-tahu saja merasa capai sekali. Lututnya goyah, tak mau lagi diajak melangkah. Napasnya terengah-engah. Tenggorokannya pun terasa haus.Sialnya, Tiara sama sekali tidak membekal minuman. Boro-boro berpikir membawa minuman, mana sempat! Akhirnya Tiara duduk melosoh di sebatang tunggak pohon yang telah kering."Di mana aku sekarang?" desis Tiara sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Senter di tangannya disorotkan ke sembarang arah.Berkali-kali Tiara menyorotkan senternya ke sekeliling, tetap saja gadis itu tak mengenali tengah berada di mana. Yang terlihat hanya batang-batang pohon tinggi da
DI tempat lain, sepeda motor yang dikendarai Abdi bersama Pak Ramlan dan Serka Agus tiba-tiba saja mogok. Mesinnnya tahu-tahu saja mati sendiri. Abdi pun buru-buru menekan pedal rem agar kendaraan tersebut berhenti, tidak menabrak apa saja yang tak terlihat di depan sana. Dalam kegelapan Abdi saling pandang dengan dengan Serka Agus dan Pak Ramlan di belakangnya. Ketiganya sama-sama menunjukkan wajah penuh keheranan. "Kenapa tiba-tiba mogok?" tanya Abdi dengan nada cemas. Sedari tadi yang ada di kepalanya hanya Tiara. "Coba periksa bensinnya," ujar Pak Ramlan kemudian. Lelaki paruh baya itu ingat, ia terakhir kali mengisi bensin pagi hari sebelum berangkat bekerja. Itu pun hanya dua liter. Serka Agus langsung tanggap, membawa Pak Ramlan turun dari atas jok sepeda motor. Abdi menyusul turun, memasang standar ganda agar kendaraan tersebut tetap berdiri pada tempatnya. Menggunakan senter kecil yang diulurkan Serka Agus, Abdi membuka tangki bensin
SI Bud yang baru saja mengulurkan sebelah tangan hendak menjamah buah dada Tiara yang membusung tersentak kaget. Suara dobrakan pada pintu pondok begitu keras.Dengan wajah menunjukkan ekspresi kekesalan si Bud berpaling ke arah pintu pondok. Sekali lagi daun pintu bergetar, pertanda ada yang berusaha mendobrak dengan keras dari luar."Sialan! Siapa itu?" geram si Bud, masih dengan menindih Tiara di bawahnya.Si Yud yang memegangi kedua kaki Tiara ikut berpaling ke daun pintu. Wajahnya tak kalah kesal. Tanpa berkata-kata lelaki itu lantas lepaskan pegangan tanganya pada kaki Tiara dan berdiri."Biar aku yang urus pengacau itu," ujar si Yud perlahan seraya melangkah ke arah pintu."Pintunya jangan dibuka!" seru di Bud dari tempatnya.Si Yud tak menjawab. Tapi pembalak satu itu sudah sampai di dekat pintu. Sekali lagi daun pintu bergetar karena didobrak dari luar. Benar kata si Bud, kalau tidak dibuka pintu itu tak akan dapat terbuka dari luar
TENDANGAN keras Abdi mendarat telak di dada si Yud. Lelaki pembalak itu mengeluh tertahan merasakan sesak yang mendera paru-paru. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Baru berhenti setelah menghantam daun pintu dengan keras.Begitu menghantam daun pintu pondok, tubuh si Yud melosoh jatuh ke bawah. Kemudian diam tak bergerak-gerak lagi, entah pingsan atau mati.Abdi mendekati lelaki pembalak tersebut. Diperiksanya denyut nadi pada pergelangan tangan, agaknya hanya pingsan. Menandakan tendangan kaki Abdi tadi begitu keras, serta telak menghantam dada lelaki tersebut."Abdi, syukurlah kamu datang!" seru Tiara begitu melihat si Yud roboh.Tanpa memedulikan keadaan dadanya yang compang-camping tak tertutup, Tiara setengah melompat mendekati Abdi. Dipeluknya pemuda tersebut erat-erat. Lalu tangisnya pecah, merasa lega bukan main karena terhindar dari kenistaan yang hampir saja menimpa.Abdi balas memeluk si gadis. Dipeluknya begitu erat. Tanp
SETELAH berjalan menembus gelapnya hutan selama sekitar satu jam, Tiara dan Abdi tiba juga di lokasi perkemahan tim patroli gabungan. Kedatangan mereka disambut dengan heboh oleh para aparat keamanan yang ada di sana. Rupanya, berbarengan dengan saat Abdi menyelamatkan Tiara di pondok kayu, tim penyergap yang dipimpin AKP Margono juga berhasil membekuk semua pembalak yang ada di base camp. Bertepatan saat Tiara dan Abdi tiba di sana, para petugas sedang mengikat gerombolan pembalak liar. Para penjahat itu ditempatkan di kemah tersendiri, di bawah penjagaan ketat para petugas. "Kok kurang dua orang lagi, di mana mereka?" tanya AKP Margono kepada anak buahnya. Para petugas di sana agaknya kurang paham berapa persisnya jumlah pembalak liar yang ada. Yang mereka tangkap tiga orang, empat bersama Pak Ramlan. Mereka tidak tahu kalau ada dua orang lagi. "Tadi kan si bosnya ini bilang kalau anak buahnya ada empat. Yang kita tangkap cuma dua ini," kata
MALAM semakin larut. Hawa dingin kian mencucuk tulang. Abdi yang bertelanjang dada hanya dapat menyedekapkan kedua belah tangannya untuk menghalau dinginnya angin. Pemuda itu duduk di muka tenda yang ditempati Tiara. Sedari tadi Tiara sibuk menyuruhnya masuk, namun Abdi berkeras menolak. Ia memilih duduk mencangkung di dekat pintu masuk tenda tersebut. Tiara yang capek sendiri akhirnya memilih membaringkan tubuh di atas alas tenda, beristirahat sembari menunggu mobil jemputan. Entah siapa yang ditelepon Tiara tadi, Abdi tidak tahu. Namun tepat saat pergantian hari, sebuah minibus mewah muncul di perkemahan tersebut. Lampunya yang terang menyilaukan mata. Sekaligus menampakkan logo huruf T dalam lingkaran yang ada di bagian bemper kendaraan tersebut. "Eh, mobil siapa ini?" seru beberapa petugas yang tengah berjaga-jaga. "Berhenti, berhenti! Jangan masuk ke sini!" seru yang lain pula. Suasana berubah ramai. Para petugas jaga bergegas mendekati m
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra