Setelah acara arisan yang terasa membosankan itu selesai, Dayana bergegas masuk ke dalam mobil lebih dulu meninggalkan Ruth yang terlihat masih bersalaman dengan teman-temannya.Bagi Dayana, acara arisan itu hanya sekedar ajang untuk pamer. Ada yang pamer mendapat menantu konglomerat, pekerjaan, dan menyombongkan diri seperti Maria yang tadi sempat mempermalukan Ruth dan dirinya.Dayana tidak habis pikir bagaimana bisa Ruth yang baik memiliki teman seperti mereka. Terlihat sekali jika mereka hanya bersikap baik di depan Ruth tapi di belakang menggunjing dengan yang lain."Maaf, Ma. Dayana tadi pergi duluan," ucap Dayana saat Ruth sudah masuk ke mobil dan duduk di sampingnya."Mama mengerti kamu sangat kesal, Day. Tapi lain kali tolong perhatikan ucapanmu, ya." "Iya, Ma. Maaf."Sedan hitam yang ditumpangi Ruth dan Dayana kemudian melaju meninggalkan pelataran rumah bercat putih itu.Selama beberapa menit tidak ada obrolan antara mertua dan menantu itu. Keduanya masih saling terdiam de
Dayana membereskan meja kerjanya lalu mematikan komputer karena sebentar lagi pulang. Setelah selesai dia meraih tas yang dia sampirkan di kursi lalu berjalan keluar dari ruangannya bersama Salsa. "Sudah lama aku tidak ke rumahmu, Sa. Aku kangen sekali sama oppa-oppa tampan yang ada di kamarmu." Dayana tersenyum jahil karena Salsa sangat menyukai boyband EXO. "Aku juga, Day. Dulu kita sering banget nonton film sama curhat bareng." Sebelum menikah dengan Sakhala, Dayana memang sering menginap di rumah Salsa. Namun, dia sekarang jarang, bahkan tidak pernah lagi datang ke rumah Salsa semenjak menjadi nyonya Sakhala."Bagaimana kalau hari Sabtu depan kita habiskan waktu bersama? Apa aku boleh ke rumahmu?""Ide bagus. Rumahku selalu terbuka untukmu Day." Mereka turun ke lobi bersama. Dayana tersenyum melihat Sakhala yang sudah menunggunya sambil bersandar di badan mobilnya. "Aku pergi dulu ya, Day," ucap Salsa sambil beranjak ke tempat parkir."Iya, hati-hati." Dayana berlari kecil me
Bu Tuti terdiam sejenak saat Sakhala mengungkapkan tujuannya datang ke panti. Wanita berambut sebahu itu kemudian menjawab dengan nada rendah, "Tentu saja bisa, Tuan." "Jadi, Tuan Sakhala dan Nyonya Dayana menginginkan seorang anak laki-laki atau perempuan?" lanjut Bu Tuti.Sakhala lantas menoleh ke arah Dayana bermaksud untuk menanyakan pertanyaan yang sama, tapi Dayana masih terlihat bingung dan tidak yakin.Sakhala yang paham dengan raut wajah istrinya kemudian meminta Bu Tuti untuk mengantarkan mereka keliling panti asuhan untuk melihat anak-anak. "Baik, Tuan Sakha. Mari ikut saya."Sakhala dan Dayana langsung mengikuti arahan dari pengelola panti asuhan itu sambil mendengarkan beberapa cerita yang dijelaskannya. Saat berkeliling di halaman belakang tempat anak-anak panti banyak bermain, pandangan Dayana tertuju pada seorang gadis cilik yang sedang duduk menyendiri di bangku taman. Gadis kecil itu terlihat melamun di antara teman-temannya yang lain yang sedang asyik bermain di
Dayana bangun lebih awal karena mulai saat ini dia tidak hanya mengurus Sakhala, tapi juga Anya. Apa lagi hari ini adalah hari pertama Anya pergi ke sekolah. Dia dan Sakhala sudah sepakat untuk menyekolahkan Anya karena anak itu sudah waktunya untuk sekolah.Dayana menyiapkan sarapan untuk Sakhala dan Anya di dapur. Setelah selesai dia beranjak ke kamar untuk membangunkan Anya lalu memandikan anak itu."Sayang!" Dayana mengecup pipi Anya dengan penuh sayang.Anya menggeliat pelan dan mengubah posisi tidurnya karena merasa terganggu. Dayana tersenyum gemas melihatnya dan kembali membangunkan Anya sambil mengusap pipi anak itu dengan lembut. "Sayang, ayo, bangun!"Anya mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya merasa kesulitan untuk membuka kedua mata. Anak itu pun kembali tidur lagi. "Anya hari ini kan, mau pergi ke sekolah. Ayo, bangun!"Anya sontak membuka mata mendengar Dayana menyebut kata sekolah karena dia sudah lama ingin pergi ke sekolah. Gad
Sakhala dan Dayana kini sudah menjadi orang tua baru untuk Anya. Meski gadis kecil itu tidak terlahir dari rahim Dayana, namun mereka sudah menganggap dan menyayangi Anya seperti darah daging mereka sendiri. Sepasang suami-istri itu kini lebih banyak tersenyum sejak kehadiran Anya di kehidupan mereka. Anya seolah-olah membawa kebahagiaan tersendiri untuk Sakhala dan Dayana yang sudah lama menantikan kehadiran seorang anak.Kehadiran Anya benar-benar mengisi relung hati Sakhala dan Dayana yang selama ini kosong."Apa kamu ingin mampir ke suatu tempat, Sayang?" tanya Sakhala pada istrinya.Dayana terlihat berpikir sejenak, sebenarnya dia sedang tidak membutuhkan sesuatu atau pun ingin pergi ke suatu tempat.Namun, jika mereka bertiga pulang ke rumah sekarang pasti itu akan membosankan. Lagi pula setelah menjemput Anya, mereka masih memiliki waktu yang cukup banyak. Dayana lalu menawari Anya untuk pergi jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Tetapi dia khawatir jika Anya lelah karen
"Mama?!" Dayana begitu terkejut karena Ruth tiba-tiba datang ke rumahnya. Dia pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar lalu mempersilahkan ibu mertuanya itu masuk ke rumahnya. "Kenapa Mama tidak memberi tahu Dayana kalau mau datang ke rumah?" Dayana mendudukkan diri di samping Ruth yang sudah lebih dulu duduk di ruang tamu. "Kebetulan mama tadi ada acara di dekat sini. Jadi mama mampir karena kangen sama cucu mama. Di mana Anya?" Ruth melihat ke sekeliling untuk mencari Anya. "Anya lagi tidur siang Ma." Dayana menatap Ruth tidak enak, tapi dia juga tidak mungkin membangunkan Anya. "Ya sudah nggak papa. Oh iya, Day, kalian kan, sudah lama mengadopsi Anya. Apa kamu sudah ada tanda-tanda hamil?" Ruth berbicara dengan enteng seolah-olah pertanyaannya tersebut tidak menyakiti hati Dayana. Mereka tidak pernah lagi memikirkan persoalan anak semenjak mengadopsi Anya dua tahun yang lalu. Kehidupan yang mereka jalani pun seperti keluarga harmonis pada umumnya. Namun, Dayana sekarang dihadapk
Sinar matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Tebalnya gorden berwarna abu-abu nyatanya tak bisa menghalangi sinar itu untuk masuk ke dalam ruangan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sakhala dan Dayana masih terlelap dalam tidurnya setelah melakukan pergulatan panas semalam. Kedua insan itu seolah-olah hanyut dalam mimpi mereka masing-masing. Dayana sendiri terlihat nyaman dengan posisi tidurnya yang menjadikan dada Sakhala sebagai bantalan kepalanya. "Erngh ...." Sakhala melenguh pelan lalu mengerjabkan kedua matanya perlahan.Tatapan kedua matanya seketika tertuju pada seorang wanita yang masih tertidur lelap di atas dada bidangnya. Sakhala masih ingat dengan jelas ketika Dayana membujuknya untuk melakukan hubungan suami istri padahal kondisi wanita itu saat itu sedang kalut.Sakhala mengusap puncak kepala Dayana dengan penuh sayang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dayana sekarang. Istrinya itu pasti merasa sangat kacau karena Ruth terus
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth