Bu Tuti terdiam sejenak saat Sakhala mengungkapkan tujuannya datang ke panti. Wanita berambut sebahu itu kemudian menjawab dengan nada rendah, "Tentu saja bisa, Tuan." "Jadi, Tuan Sakhala dan Nyonya Dayana menginginkan seorang anak laki-laki atau perempuan?" lanjut Bu Tuti.Sakhala lantas menoleh ke arah Dayana bermaksud untuk menanyakan pertanyaan yang sama, tapi Dayana masih terlihat bingung dan tidak yakin.Sakhala yang paham dengan raut wajah istrinya kemudian meminta Bu Tuti untuk mengantarkan mereka keliling panti asuhan untuk melihat anak-anak. "Baik, Tuan Sakha. Mari ikut saya."Sakhala dan Dayana langsung mengikuti arahan dari pengelola panti asuhan itu sambil mendengarkan beberapa cerita yang dijelaskannya. Saat berkeliling di halaman belakang tempat anak-anak panti banyak bermain, pandangan Dayana tertuju pada seorang gadis cilik yang sedang duduk menyendiri di bangku taman. Gadis kecil itu terlihat melamun di antara teman-temannya yang lain yang sedang asyik bermain di
Dayana bangun lebih awal karena mulai saat ini dia tidak hanya mengurus Sakhala, tapi juga Anya. Apa lagi hari ini adalah hari pertama Anya pergi ke sekolah. Dia dan Sakhala sudah sepakat untuk menyekolahkan Anya karena anak itu sudah waktunya untuk sekolah.Dayana menyiapkan sarapan untuk Sakhala dan Anya di dapur. Setelah selesai dia beranjak ke kamar untuk membangunkan Anya lalu memandikan anak itu."Sayang!" Dayana mengecup pipi Anya dengan penuh sayang.Anya menggeliat pelan dan mengubah posisi tidurnya karena merasa terganggu. Dayana tersenyum gemas melihatnya dan kembali membangunkan Anya sambil mengusap pipi anak itu dengan lembut. "Sayang, ayo, bangun!"Anya mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya merasa kesulitan untuk membuka kedua mata. Anak itu pun kembali tidur lagi. "Anya hari ini kan, mau pergi ke sekolah. Ayo, bangun!"Anya sontak membuka mata mendengar Dayana menyebut kata sekolah karena dia sudah lama ingin pergi ke sekolah. Gad
Sakhala dan Dayana kini sudah menjadi orang tua baru untuk Anya. Meski gadis kecil itu tidak terlahir dari rahim Dayana, namun mereka sudah menganggap dan menyayangi Anya seperti darah daging mereka sendiri. Sepasang suami-istri itu kini lebih banyak tersenyum sejak kehadiran Anya di kehidupan mereka. Anya seolah-olah membawa kebahagiaan tersendiri untuk Sakhala dan Dayana yang sudah lama menantikan kehadiran seorang anak.Kehadiran Anya benar-benar mengisi relung hati Sakhala dan Dayana yang selama ini kosong."Apa kamu ingin mampir ke suatu tempat, Sayang?" tanya Sakhala pada istrinya.Dayana terlihat berpikir sejenak, sebenarnya dia sedang tidak membutuhkan sesuatu atau pun ingin pergi ke suatu tempat.Namun, jika mereka bertiga pulang ke rumah sekarang pasti itu akan membosankan. Lagi pula setelah menjemput Anya, mereka masih memiliki waktu yang cukup banyak. Dayana lalu menawari Anya untuk pergi jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Tetapi dia khawatir jika Anya lelah karen
"Mama?!" Dayana begitu terkejut karena Ruth tiba-tiba datang ke rumahnya. Dia pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar lalu mempersilahkan ibu mertuanya itu masuk ke rumahnya. "Kenapa Mama tidak memberi tahu Dayana kalau mau datang ke rumah?" Dayana mendudukkan diri di samping Ruth yang sudah lebih dulu duduk di ruang tamu. "Kebetulan mama tadi ada acara di dekat sini. Jadi mama mampir karena kangen sama cucu mama. Di mana Anya?" Ruth melihat ke sekeliling untuk mencari Anya. "Anya lagi tidur siang Ma." Dayana menatap Ruth tidak enak, tapi dia juga tidak mungkin membangunkan Anya. "Ya sudah nggak papa. Oh iya, Day, kalian kan, sudah lama mengadopsi Anya. Apa kamu sudah ada tanda-tanda hamil?" Ruth berbicara dengan enteng seolah-olah pertanyaannya tersebut tidak menyakiti hati Dayana. Mereka tidak pernah lagi memikirkan persoalan anak semenjak mengadopsi Anya dua tahun yang lalu. Kehidupan yang mereka jalani pun seperti keluarga harmonis pada umumnya. Namun, Dayana sekarang dihadapk
Sinar matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Tebalnya gorden berwarna abu-abu nyatanya tak bisa menghalangi sinar itu untuk masuk ke dalam ruangan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sakhala dan Dayana masih terlelap dalam tidurnya setelah melakukan pergulatan panas semalam. Kedua insan itu seolah-olah hanyut dalam mimpi mereka masing-masing. Dayana sendiri terlihat nyaman dengan posisi tidurnya yang menjadikan dada Sakhala sebagai bantalan kepalanya. "Erngh ...." Sakhala melenguh pelan lalu mengerjabkan kedua matanya perlahan.Tatapan kedua matanya seketika tertuju pada seorang wanita yang masih tertidur lelap di atas dada bidangnya. Sakhala masih ingat dengan jelas ketika Dayana membujuknya untuk melakukan hubungan suami istri padahal kondisi wanita itu saat itu sedang kalut.Sakhala mengusap puncak kepala Dayana dengan penuh sayang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dayana sekarang. Istrinya itu pasti merasa sangat kacau karena Ruth terus
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Sayang!" Sakhala terus mengetuk pintu kamar mandi yang ada di hadapannya karena Dayana tidak kunjung keluar.Apa mungkin Dayana pingsan?"Kamu baik-baik saja, kan? Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tidak juga keluar!" ucap Sakhala cemas. Dia terus mondar-mandir di depan pintu kamar mandi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam.Apa Dayana baik-baik saja? Sakhala melirik jam tangannya sekilas. Sudah lima menit dia menunggu tapi Dayana belum juga keluar. Sepertinya dia harus mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Dayana dari dalam."Tunggu, Sakha. Sebentar lagi aku keluar." Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya keluar dari kamar mandi. "Demi Tuhan, Sayang. Aku sudah berdiri di sini selama dua puluh menit. Apa kamu ingin membuatku khawatir?" Dayana malah terkekeh alih-alih merasa bersalah pada Sakhala. "Maaf Sakha. Aku tadi berendam air hangat sambil dengerin musik. Jadi nggak dengar kalau kamu mengetuk pintu.