Dayana membereskan meja kerjanya lalu mematikan komputer karena sebentar lagi pulang. Setelah selesai dia meraih tas yang dia sampirkan di kursi lalu berjalan keluar dari ruangannya bersama Salsa. "Sudah lama aku tidak ke rumahmu, Sa. Aku kangen sekali sama oppa-oppa tampan yang ada di kamarmu." Dayana tersenyum jahil karena Salsa sangat menyukai boyband EXO. "Aku juga, Day. Dulu kita sering banget nonton film sama curhat bareng." Sebelum menikah dengan Sakhala, Dayana memang sering menginap di rumah Salsa. Namun, dia sekarang jarang, bahkan tidak pernah lagi datang ke rumah Salsa semenjak menjadi nyonya Sakhala."Bagaimana kalau hari Sabtu depan kita habiskan waktu bersama? Apa aku boleh ke rumahmu?""Ide bagus. Rumahku selalu terbuka untukmu Day." Mereka turun ke lobi bersama. Dayana tersenyum melihat Sakhala yang sudah menunggunya sambil bersandar di badan mobilnya. "Aku pergi dulu ya, Day," ucap Salsa sambil beranjak ke tempat parkir."Iya, hati-hati." Dayana berlari kecil me
Bu Tuti terdiam sejenak saat Sakhala mengungkapkan tujuannya datang ke panti. Wanita berambut sebahu itu kemudian menjawab dengan nada rendah, "Tentu saja bisa, Tuan." "Jadi, Tuan Sakhala dan Nyonya Dayana menginginkan seorang anak laki-laki atau perempuan?" lanjut Bu Tuti.Sakhala lantas menoleh ke arah Dayana bermaksud untuk menanyakan pertanyaan yang sama, tapi Dayana masih terlihat bingung dan tidak yakin.Sakhala yang paham dengan raut wajah istrinya kemudian meminta Bu Tuti untuk mengantarkan mereka keliling panti asuhan untuk melihat anak-anak. "Baik, Tuan Sakha. Mari ikut saya."Sakhala dan Dayana langsung mengikuti arahan dari pengelola panti asuhan itu sambil mendengarkan beberapa cerita yang dijelaskannya. Saat berkeliling di halaman belakang tempat anak-anak panti banyak bermain, pandangan Dayana tertuju pada seorang gadis cilik yang sedang duduk menyendiri di bangku taman. Gadis kecil itu terlihat melamun di antara teman-temannya yang lain yang sedang asyik bermain di
Dayana bangun lebih awal karena mulai saat ini dia tidak hanya mengurus Sakhala, tapi juga Anya. Apa lagi hari ini adalah hari pertama Anya pergi ke sekolah. Dia dan Sakhala sudah sepakat untuk menyekolahkan Anya karena anak itu sudah waktunya untuk sekolah.Dayana menyiapkan sarapan untuk Sakhala dan Anya di dapur. Setelah selesai dia beranjak ke kamar untuk membangunkan Anya lalu memandikan anak itu."Sayang!" Dayana mengecup pipi Anya dengan penuh sayang.Anya menggeliat pelan dan mengubah posisi tidurnya karena merasa terganggu. Dayana tersenyum gemas melihatnya dan kembali membangunkan Anya sambil mengusap pipi anak itu dengan lembut. "Sayang, ayo, bangun!"Anya mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya merasa kesulitan untuk membuka kedua mata. Anak itu pun kembali tidur lagi. "Anya hari ini kan, mau pergi ke sekolah. Ayo, bangun!"Anya sontak membuka mata mendengar Dayana menyebut kata sekolah karena dia sudah lama ingin pergi ke sekolah. Gad
Sakhala dan Dayana kini sudah menjadi orang tua baru untuk Anya. Meski gadis kecil itu tidak terlahir dari rahim Dayana, namun mereka sudah menganggap dan menyayangi Anya seperti darah daging mereka sendiri. Sepasang suami-istri itu kini lebih banyak tersenyum sejak kehadiran Anya di kehidupan mereka. Anya seolah-olah membawa kebahagiaan tersendiri untuk Sakhala dan Dayana yang sudah lama menantikan kehadiran seorang anak.Kehadiran Anya benar-benar mengisi relung hati Sakhala dan Dayana yang selama ini kosong."Apa kamu ingin mampir ke suatu tempat, Sayang?" tanya Sakhala pada istrinya.Dayana terlihat berpikir sejenak, sebenarnya dia sedang tidak membutuhkan sesuatu atau pun ingin pergi ke suatu tempat.Namun, jika mereka bertiga pulang ke rumah sekarang pasti itu akan membosankan. Lagi pula setelah menjemput Anya, mereka masih memiliki waktu yang cukup banyak. Dayana lalu menawari Anya untuk pergi jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Tetapi dia khawatir jika Anya lelah karen
"Mama?!" Dayana begitu terkejut karena Ruth tiba-tiba datang ke rumahnya. Dia pun membuka pintu rumahnya lebar-lebar lalu mempersilahkan ibu mertuanya itu masuk ke rumahnya. "Kenapa Mama tidak memberi tahu Dayana kalau mau datang ke rumah?" Dayana mendudukkan diri di samping Ruth yang sudah lebih dulu duduk di ruang tamu. "Kebetulan mama tadi ada acara di dekat sini. Jadi mama mampir karena kangen sama cucu mama. Di mana Anya?" Ruth melihat ke sekeliling untuk mencari Anya. "Anya lagi tidur siang Ma." Dayana menatap Ruth tidak enak, tapi dia juga tidak mungkin membangunkan Anya. "Ya sudah nggak papa. Oh iya, Day, kalian kan, sudah lama mengadopsi Anya. Apa kamu sudah ada tanda-tanda hamil?" Ruth berbicara dengan enteng seolah-olah pertanyaannya tersebut tidak menyakiti hati Dayana. Mereka tidak pernah lagi memikirkan persoalan anak semenjak mengadopsi Anya dua tahun yang lalu. Kehidupan yang mereka jalani pun seperti keluarga harmonis pada umumnya. Namun, Dayana sekarang dihadapk
Sinar matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Tebalnya gorden berwarna abu-abu nyatanya tak bisa menghalangi sinar itu untuk masuk ke dalam ruangan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sakhala dan Dayana masih terlelap dalam tidurnya setelah melakukan pergulatan panas semalam. Kedua insan itu seolah-olah hanyut dalam mimpi mereka masing-masing. Dayana sendiri terlihat nyaman dengan posisi tidurnya yang menjadikan dada Sakhala sebagai bantalan kepalanya. "Erngh ...." Sakhala melenguh pelan lalu mengerjabkan kedua matanya perlahan.Tatapan kedua matanya seketika tertuju pada seorang wanita yang masih tertidur lelap di atas dada bidangnya. Sakhala masih ingat dengan jelas ketika Dayana membujuknya untuk melakukan hubungan suami istri padahal kondisi wanita itu saat itu sedang kalut.Sakhala mengusap puncak kepala Dayana dengan penuh sayang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dayana sekarang. Istrinya itu pasti merasa sangat kacau karena Ruth terus
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han
"Sayang!" Sakhala terus mengetuk pintu kamar mandi yang ada di hadapannya karena Dayana tidak kunjung keluar.Apa mungkin Dayana pingsan?"Kamu baik-baik saja, kan? Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tidak juga keluar!" ucap Sakhala cemas. Dia terus mondar-mandir di depan pintu kamar mandi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam.Apa Dayana baik-baik saja? Sakhala melirik jam tangannya sekilas. Sudah lima menit dia menunggu tapi Dayana belum juga keluar. Sepertinya dia harus mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Dayana dari dalam."Tunggu, Sakha. Sebentar lagi aku keluar." Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya keluar dari kamar mandi. "Demi Tuhan, Sayang. Aku sudah berdiri di sini selama dua puluh menit. Apa kamu ingin membuatku khawatir?" Dayana malah terkekeh alih-alih merasa bersalah pada Sakhala. "Maaf Sakha. Aku tadi berendam air hangat sambil dengerin musik. Jadi nggak dengar kalau kamu mengetuk pintu.
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth