“Come on, Bar. Aku hanya bercanda,” kekeh Mike terlihat senang sekali.
Usahanya kali ini untuk melihat kemarahan Bara berhasil. Bahkan tanpa peduli dengan orang di sekitarnya Bara membaringkan tubuh mungil sang mantan dengan hati-hati.
“Cepat suruh asisten wanitamu untuk menggantikan pakaiannya,” ucap pria dingin itu dengan suara pelan.
“Panggilkan dokter juga untuknya,” kata Bara melanjutkan omongannya.
Sementara menunggu Rena tengah ditangani oleh dokter, Bara dan Mike memilih duduk bersantai di atas balkon. Keduanya masih saling diam sembari disibukkan dengan rokok masing-masing.
“Hah, aku pikir kau akan memintaku untuk menggagalkan penyelundupan senjata atau minuman alkohol seperti biasa. Benar-benar payah,” ledek Mike
“Ada orang yang enggak dikenal nelepon aku dan nyuruh kami nyelamatin kamu.” Lidya terkesiap sembari menghela napas lega. David datang tepat waktu karena dirinya tak tahu harus mengatakan apa saat Rena melayangkan pertanyaan bertubi-tubi barusan.“Maaf ya. Rencana kita gagal. Aku harus tanya Jeno soal ...” ucapan Rena terhenti saat dirinya mulai memikirkan sesuatu.“Kayaknya aku tahu deh harus ngomong makasih sama siapa,” gumam gadis itu sembari mengatup-ngatupkan bibirnya. Sedangkan Lidya dan David hanya mengerutkan dahi karena sama sekali tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Rena. Mereka berdua saling menatap lalu mengendikkan bahu masing-masing.“Ren, kamu mau ke mana?” tanya Lidya saat gadis itu meraih tasnya.
Jeno mengerutkan dahinya karena masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis yang spontan memeluknya sekarang. Perlahan pelukan itu meregang dan keduanya mulai duduk di tempatnya masing-masing.“Pesan aja. Nanti aku yang traktir deh,” tawar Rena masih dengan senyuman manis di wajahnya.Jeno bergumam sejenak, “Kamu rada aneh, Ren. Tumben baik banget. Biasanya selalu nolak kalau aku ajak ketemuan.”“Iya dong, apalagi kamu udah bantuin aku tadi malam. Si Robert sialan itu hampir aja nyerang aku,” ucap Rena yang langsung mengerucutkan bibir mungilnya. Pembicaraan mereka terjeda saat seorang pramusaji menghidangkan menu yang baru saja dipesan. Keduanya disibukkan dengan makanan masing-masing. Melahap dengan penuh selera seolah memang benar
Semua mata tertuju pada sebuah meja yang baru saja dipukul dengan keras oleh seseorang. Sementara sang pelaku sudah beranjak dari tempat duduknya. Seolah tak sadar dengan apa yang barusan diperbuatnya, lelaki itu menatap nyalang para penghuni cafe.“Kenapa? Apa kalian merasa terganggu??” tanyanya dengan nada mengejek.“Pak, apa yang Anda lakukan?” tanya David yang juga terkejut dengan ulah atasannya. Belum sempat sang GM membuka suara, seorang manajer cafe menghampiri mereka.“Maaf, Pak. Apa yang —”“Aku akan mengganti kerusakan yang ada,” potong pria itu dengan tatapan menusuknya. Tanpa basa-basi dia menanyakan kerugian
Bara yang hampir saja masuk ke dalam mimpinya segera membuka mata saat mendengar pekikan dari sang mantan. Dengan berani kedua tangan Rena justru sibuk menggasak mobil mewah itu agar berhenti. “Ish, dasar bodoh. Kau tidurlah,” desis Bara seraya menepis tangan Rena agar berhenti melancarkan usahanya yang jelas akan sia-sia. “Katakan kita mau ke mana!!” Rena menusukkan pandangannya tetap pada kedua manik mata pria dingin di sampingnya. “Kita akan ke panti seberang, tetapi lewat jalur utara. Bukan lagi lewat jalur selatan yang harus menyeberang seperti ulah bodohmu saat itu. Sudahlah. Kau takkan mengerti,” lirih sang GM yang segera memalingkan wajahnya. Rena terdiam sejenak. Seolah sedang mencerna apa yang dikatakan sang mantan barusan. “Iya, Buk. Bulan lalu pemerintah sudah membuat akses jalan darat untuk ke sana, jembatan Tini Panegara sudah memiliki akses yang bagus,” jelas sang sopir yang tidak tega melihat raut wajah kebingungan sang gadis cantik di belakangnya.
Rena terdiam sejenak seolah menerka-nerka siapa yang baru saja berteriak di malam hari begini. Baru saja dia hendak membuka pintu, suara ketukan dari luar membuatnya segera bergegas.“Maaf, Bu kalau mengganggu. Apakah Ibu yang berteriak barusan?” tanya salah satu petugas panti.Rena segera menggeleng cepat, belum lagi dia bersuara suara pekikan itu terdengar lagi. Tanpa berkata apapun Rena dan sang petugas segera mendatangi sumber suara.TOK!! TOK!! Sudah dua kali mereka mengetuk pintu, namun tak ada sahutan dari orang yang ada di dalam.“Saya ijin dobrak ya, Buk,” pamit sang petugas keamanan seraya mengambil ancang-ancang.Anggukan Rena membu
“Dasar ceroboh. Jangan buat malu perusahaan karena tingkahmu yang sembarangan,” gumam sang GM usai menyeka noda kuah mie di bagian wajah sang mantan. Jelas saja dia ingin menutupi rasa pedulinya karena tak ingin terbaca oleh si cantik Rena. Sengaja Bara menunjuk ke arah seorang juru kamera yang tengah meliput kegiatan mereka seolah wajah yang terkena noda itu bisa memperburuk citra perusahaan.“Hah, setidaknya aku tak perlu berteriak seperti tadi malam. Apa jadinya kalau tingkah gilamu itu terekam olehnya,” cibir Rena yang segera kabur dengan berjalan menuju tempat Bu Risa yang sedang berdiam diri. Bara tak dapat membalas serangan telak dari sang mantan. Jadilah pria tampan berlesung pipi itu bergabung dengan para bocah lelaki.&
Mendadak Rena membeku di tempatnya. Ingatannya teringat saat dirinya masih memakai seragam putih abu-abu. Masa yang seharusnya indah bagi para remaja justru menjadi momok menakutkan baginya. Sang mami meninggalkan rumah dan seminggu setelahnya dia tahu tentang kabar tentang sindrom yang dideritanya.“Ami,” ucap Rena tanpa melihat sang teman yang mulai menoleh ke arahnya.“Aku ...Ada urusan dan harus pergi. Laporannya sudah siap dan tolong berikan.” Tanpa mendengar jawaban Ami, gadis itu berjalan setengah berlari menuju pintu lift. Dadanya terasa sesak karena tak tahu lagi harus berkata apa. Ya, dia benar-benar merasa takut saat ini. Sementara itu di ruangan sang G
Bara tergagap seketika. Tidak mungkin baginya untuk jujur pada sang mantan. Di mana letak harga dirinya? Itulah yang sedang merasuki isi pikirannya saat ini. Alih-alih menjawab pertanyaan Rena, sang GM itu malah kembali memasang wajah seramnya."Kau belum menyelesaikan tugasmu dengan baik."Rena mengeryitkan dahinya, "Bukankah aku sudah menitipkannya pada Ami?" sergah Rena membela diri."Aku ingin kau menjelaskannya padaku hari ini juga," tegas sang GM tak ingin dibantah. Percuma berdebat dengan atasan seperti Bara, gadis itu hanya bungkam sembari menatap jalanan yang mulai terbelah oleh mobil yang dikendarai sang GM tampan. Baik Rena maupun Bara tak ada yang berbicara. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing."Turunlah! Kau tak digaji untuk berdiam diri," titah sang GM saat kendaraan mereka sudah tiba di parkiran. Rena berdecak pelan sembari melepas sabuk pengamannya. Sementara dia berjalan, Bara mengamatinya yang masih meringis memegang siku bag
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku