Semua mata tertuju pada sebuah meja yang baru saja dipukul dengan keras oleh seseorang. Sementara sang pelaku sudah beranjak dari tempat duduknya. Seolah tak sadar dengan apa yang barusan diperbuatnya, lelaki itu menatap nyalang para penghuni cafe.
“Kenapa? Apa kalian merasa terganggu??” tanyanya dengan nada mengejek.
“Pak, apa yang Anda lakukan?” tanya David yang juga terkejut dengan ulah atasannya.
Belum sempat sang GM membuka suara, seorang manajer cafe menghampiri mereka.
“Maaf, Pak. Apa yang —”
“Aku akan mengganti kerusakan yang ada,” potong pria itu dengan tatapan menusuknya.
Tanpa basa-basi dia menanyakan kerugian
Bara yang hampir saja masuk ke dalam mimpinya segera membuka mata saat mendengar pekikan dari sang mantan. Dengan berani kedua tangan Rena justru sibuk menggasak mobil mewah itu agar berhenti. “Ish, dasar bodoh. Kau tidurlah,” desis Bara seraya menepis tangan Rena agar berhenti melancarkan usahanya yang jelas akan sia-sia. “Katakan kita mau ke mana!!” Rena menusukkan pandangannya tetap pada kedua manik mata pria dingin di sampingnya. “Kita akan ke panti seberang, tetapi lewat jalur utara. Bukan lagi lewat jalur selatan yang harus menyeberang seperti ulah bodohmu saat itu. Sudahlah. Kau takkan mengerti,” lirih sang GM yang segera memalingkan wajahnya. Rena terdiam sejenak. Seolah sedang mencerna apa yang dikatakan sang mantan barusan. “Iya, Buk. Bulan lalu pemerintah sudah membuat akses jalan darat untuk ke sana, jembatan Tini Panegara sudah memiliki akses yang bagus,” jelas sang sopir yang tidak tega melihat raut wajah kebingungan sang gadis cantik di belakangnya.
Rena terdiam sejenak seolah menerka-nerka siapa yang baru saja berteriak di malam hari begini. Baru saja dia hendak membuka pintu, suara ketukan dari luar membuatnya segera bergegas.“Maaf, Bu kalau mengganggu. Apakah Ibu yang berteriak barusan?” tanya salah satu petugas panti.Rena segera menggeleng cepat, belum lagi dia bersuara suara pekikan itu terdengar lagi. Tanpa berkata apapun Rena dan sang petugas segera mendatangi sumber suara.TOK!! TOK!! Sudah dua kali mereka mengetuk pintu, namun tak ada sahutan dari orang yang ada di dalam.“Saya ijin dobrak ya, Buk,” pamit sang petugas keamanan seraya mengambil ancang-ancang.Anggukan Rena membu
“Dasar ceroboh. Jangan buat malu perusahaan karena tingkahmu yang sembarangan,” gumam sang GM usai menyeka noda kuah mie di bagian wajah sang mantan. Jelas saja dia ingin menutupi rasa pedulinya karena tak ingin terbaca oleh si cantik Rena. Sengaja Bara menunjuk ke arah seorang juru kamera yang tengah meliput kegiatan mereka seolah wajah yang terkena noda itu bisa memperburuk citra perusahaan.“Hah, setidaknya aku tak perlu berteriak seperti tadi malam. Apa jadinya kalau tingkah gilamu itu terekam olehnya,” cibir Rena yang segera kabur dengan berjalan menuju tempat Bu Risa yang sedang berdiam diri. Bara tak dapat membalas serangan telak dari sang mantan. Jadilah pria tampan berlesung pipi itu bergabung dengan para bocah lelaki.&
Mendadak Rena membeku di tempatnya. Ingatannya teringat saat dirinya masih memakai seragam putih abu-abu. Masa yang seharusnya indah bagi para remaja justru menjadi momok menakutkan baginya. Sang mami meninggalkan rumah dan seminggu setelahnya dia tahu tentang kabar tentang sindrom yang dideritanya.“Ami,” ucap Rena tanpa melihat sang teman yang mulai menoleh ke arahnya.“Aku ...Ada urusan dan harus pergi. Laporannya sudah siap dan tolong berikan.” Tanpa mendengar jawaban Ami, gadis itu berjalan setengah berlari menuju pintu lift. Dadanya terasa sesak karena tak tahu lagi harus berkata apa. Ya, dia benar-benar merasa takut saat ini. Sementara itu di ruangan sang G
Bara tergagap seketika. Tidak mungkin baginya untuk jujur pada sang mantan. Di mana letak harga dirinya? Itulah yang sedang merasuki isi pikirannya saat ini. Alih-alih menjawab pertanyaan Rena, sang GM itu malah kembali memasang wajah seramnya."Kau belum menyelesaikan tugasmu dengan baik."Rena mengeryitkan dahinya, "Bukankah aku sudah menitipkannya pada Ami?" sergah Rena membela diri."Aku ingin kau menjelaskannya padaku hari ini juga," tegas sang GM tak ingin dibantah. Percuma berdebat dengan atasan seperti Bara, gadis itu hanya bungkam sembari menatap jalanan yang mulai terbelah oleh mobil yang dikendarai sang GM tampan. Baik Rena maupun Bara tak ada yang berbicara. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing."Turunlah! Kau tak digaji untuk berdiam diri," titah sang GM saat kendaraan mereka sudah tiba di parkiran. Rena berdecak pelan sembari melepas sabuk pengamannya. Sementara dia berjalan, Bara mengamatinya yang masih meringis memegang siku bag
"Ren, belakangan ini artis senior yang namanya Adhisty lagi laris manis loh di tv. Kamu udah lihat beritanya?" tanya Ami yang masih sibuk memoles wajahnya dengan peralatan make up.Rena menjeda kunyahan sarapan salad sayurnya. Beruntung sisa makanan di dalam mulut gadis itu tinggal sedikit lagi. Bisa-bisa karena ulah rekan kerjanya ini dia hampir tersedak."Kemarin wartawan sempat ngeliput ada cewek pake jaket kulit yang keluar dari ruangannya si artis senior Adhisty itu, nggak asing sih aku ngelihat tuh jaket, cuma ya sayang banget nggak bisa lihat wajahnya karena keburu kabur pas dikejar, mereka ketinggalan jejak maybe," lanjut Ami lagi. Rena kembali melanjutkan sarapannya seolah memang tak mendengar apa yang dikatakan Ami barusan.Menyadari tak ada respon dari Rena yang menyahuti obrolan panjangnya, Ami berdecak kesal. Gadis itu tergerak melambaikan telapak tanga
“Matikan saja televisinya!” ujar Bara tanpa menoleh ke arah sang mantan yang hampir menitikkan air mata. Pria itu sengaja untuk duduk di belakang meja kerjanya. Bersikap seolah tak menyaksikan bagaimana si mantan berusaha terlihat tegar. Dia tak tahu harus berbuat apa jika sang gadis menangis di depannya. Jelas saja pertahanannya akan runtuh seperti saat melihat Rena kehilangan papinya dua bulan yang lalu. Rena menghela pelan napasnya. Tangan gadis itu mulai bergerak untuk menyusun beberapa berkas dokumen yang berserakan di atas meja ruangan diskusi mereka tadi.“Temui chef Arnold sekarang. Aku ingin apa yang kita bahas tadi segera dilaksanakan hari ini juga. Sampaikan hasilnya secepat mungkin,” kata Bara yang sempat melirik sekilas ke arah sang mantan.“Baik, Pak,” sahut Rena seraya pamit undur diri dari hadapannya. Bahkan hingga punggung gadis itu sampai benar-benar menghilang dari pandangannya, Bara masih memperhatikan sang mantan can
Baik Rena maupun Tora sama-sama membelalak kaget melihat Tita yang sudah tersungkur di lantai. Selang beberapa saat kakak ipar Bara itu berteriak histeris usai meraba bagian belakang dressnya yang terasa basah. Bahkan bagian bawah perutnya mulai bereaksi tak biasa.Rena yang melihat kejadian itu segera meraih ponselnya sementara Tora segera mendekat ke arah Tita.“Mas, anak kita,” ringis Tita sembari mengalungkan lengannya di leher Tora.“Tenanglah, Tit. Kita akan ke rumah sakit sekarang!” ucap Tora yang sudah membopong tubuh sang istri. Sementara Rena yang baru saja menelepon ambulans segera menghampiri sepasang suami istri itu.“Kak, ambulannya udah di depan,” lapor Rena yang kini berjalan di belakang Tora.“Pergi kamu jalang! Pergi!!” hardik Tita masih sempat meluapkan emosinya.“Mas, aku