Lengan pakaian di sisi kiri Rena robek dengan sekali sentakan keras. Buliran bening dari sudut mata gadis itu mulai mengalir. Memohon dengan cara apapun sepertinya tidak akan berhasil. Tatapan liar penuh penasaran dari seorang Robert terasa mustahil akan menuruti permintaannya.
Bibir ranum menggoda milik gadis itu perlahan memucat saat sinar terang dari kedua matanya mulai meredup. Tak ada suara. Bahkan rintihan sekalipun. Pria yang tadi sedang dipenuhi gairah yang membara mulai menghentikan aksinya. Jangankan untuk melawan, pergerakan tubuh dari Rena bahkan sudah tak lagi terasa.“Hei, Sayang. Bangunlah! Bahkan aku belum benar-benar menanggalkan pakaianmu,” decak Robert sembari mengguncang-guncang tubuh mungil Rena. Diam. Wajahnya berubah semakin pucat. Robert berdecak kesal karena aksinya masih tanggung. Miliknya yang tadi sudah menegang sempurna perlahan mulai berangsur layu saat melihat sang mangsa tak bergerak sama sekali. Tubuh Robert duduk di tepi ranjang“Come on, Bar. Aku hanya bercanda,” kekeh Mike terlihat senang sekali. Usahanya kali ini untuk melihat kemarahan Bara berhasil. Bahkan tanpa peduli dengan orang di sekitarnya Bara membaringkan tubuh mungil sang mantan dengan hati-hati.“Cepat suruh asisten wanitamu untuk menggantikan pakaiannya,” ucap pria dingin itu dengan suara pelan.“Panggilkan dokter juga untuknya,” kata Bara melanjutkan omongannya. Sementara menunggu Rena tengah ditangani oleh dokter, Bara dan Mike memilih duduk bersantai di atas balkon. Keduanya masih saling diam sembari disibukkan dengan rokok masing-masing.“Hah, aku pikir kau akan memintaku untuk menggagalkan penyelundupan senjata atau minuman alkohol seperti biasa. Benar-benar payah,” ledek Mike
“Ada orang yang enggak dikenal nelepon aku dan nyuruh kami nyelamatin kamu.” Lidya terkesiap sembari menghela napas lega. David datang tepat waktu karena dirinya tak tahu harus mengatakan apa saat Rena melayangkan pertanyaan bertubi-tubi barusan.“Maaf ya. Rencana kita gagal. Aku harus tanya Jeno soal ...” ucapan Rena terhenti saat dirinya mulai memikirkan sesuatu.“Kayaknya aku tahu deh harus ngomong makasih sama siapa,” gumam gadis itu sembari mengatup-ngatupkan bibirnya. Sedangkan Lidya dan David hanya mengerutkan dahi karena sama sekali tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Rena. Mereka berdua saling menatap lalu mengendikkan bahu masing-masing.“Ren, kamu mau ke mana?” tanya Lidya saat gadis itu meraih tasnya.
Jeno mengerutkan dahinya karena masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis yang spontan memeluknya sekarang. Perlahan pelukan itu meregang dan keduanya mulai duduk di tempatnya masing-masing.“Pesan aja. Nanti aku yang traktir deh,” tawar Rena masih dengan senyuman manis di wajahnya.Jeno bergumam sejenak, “Kamu rada aneh, Ren. Tumben baik banget. Biasanya selalu nolak kalau aku ajak ketemuan.”“Iya dong, apalagi kamu udah bantuin aku tadi malam. Si Robert sialan itu hampir aja nyerang aku,” ucap Rena yang langsung mengerucutkan bibir mungilnya. Pembicaraan mereka terjeda saat seorang pramusaji menghidangkan menu yang baru saja dipesan. Keduanya disibukkan dengan makanan masing-masing. Melahap dengan penuh selera seolah memang benar
Semua mata tertuju pada sebuah meja yang baru saja dipukul dengan keras oleh seseorang. Sementara sang pelaku sudah beranjak dari tempat duduknya. Seolah tak sadar dengan apa yang barusan diperbuatnya, lelaki itu menatap nyalang para penghuni cafe.“Kenapa? Apa kalian merasa terganggu??” tanyanya dengan nada mengejek.“Pak, apa yang Anda lakukan?” tanya David yang juga terkejut dengan ulah atasannya. Belum sempat sang GM membuka suara, seorang manajer cafe menghampiri mereka.“Maaf, Pak. Apa yang —”“Aku akan mengganti kerusakan yang ada,” potong pria itu dengan tatapan menusuknya. Tanpa basa-basi dia menanyakan kerugian
Bara yang hampir saja masuk ke dalam mimpinya segera membuka mata saat mendengar pekikan dari sang mantan. Dengan berani kedua tangan Rena justru sibuk menggasak mobil mewah itu agar berhenti. “Ish, dasar bodoh. Kau tidurlah,” desis Bara seraya menepis tangan Rena agar berhenti melancarkan usahanya yang jelas akan sia-sia. “Katakan kita mau ke mana!!” Rena menusukkan pandangannya tetap pada kedua manik mata pria dingin di sampingnya. “Kita akan ke panti seberang, tetapi lewat jalur utara. Bukan lagi lewat jalur selatan yang harus menyeberang seperti ulah bodohmu saat itu. Sudahlah. Kau takkan mengerti,” lirih sang GM yang segera memalingkan wajahnya. Rena terdiam sejenak. Seolah sedang mencerna apa yang dikatakan sang mantan barusan. “Iya, Buk. Bulan lalu pemerintah sudah membuat akses jalan darat untuk ke sana, jembatan Tini Panegara sudah memiliki akses yang bagus,” jelas sang sopir yang tidak tega melihat raut wajah kebingungan sang gadis cantik di belakangnya.
Rena terdiam sejenak seolah menerka-nerka siapa yang baru saja berteriak di malam hari begini. Baru saja dia hendak membuka pintu, suara ketukan dari luar membuatnya segera bergegas.“Maaf, Bu kalau mengganggu. Apakah Ibu yang berteriak barusan?” tanya salah satu petugas panti.Rena segera menggeleng cepat, belum lagi dia bersuara suara pekikan itu terdengar lagi. Tanpa berkata apapun Rena dan sang petugas segera mendatangi sumber suara.TOK!! TOK!! Sudah dua kali mereka mengetuk pintu, namun tak ada sahutan dari orang yang ada di dalam.“Saya ijin dobrak ya, Buk,” pamit sang petugas keamanan seraya mengambil ancang-ancang.Anggukan Rena membu
“Dasar ceroboh. Jangan buat malu perusahaan karena tingkahmu yang sembarangan,” gumam sang GM usai menyeka noda kuah mie di bagian wajah sang mantan. Jelas saja dia ingin menutupi rasa pedulinya karena tak ingin terbaca oleh si cantik Rena. Sengaja Bara menunjuk ke arah seorang juru kamera yang tengah meliput kegiatan mereka seolah wajah yang terkena noda itu bisa memperburuk citra perusahaan.“Hah, setidaknya aku tak perlu berteriak seperti tadi malam. Apa jadinya kalau tingkah gilamu itu terekam olehnya,” cibir Rena yang segera kabur dengan berjalan menuju tempat Bu Risa yang sedang berdiam diri. Bara tak dapat membalas serangan telak dari sang mantan. Jadilah pria tampan berlesung pipi itu bergabung dengan para bocah lelaki.&
Mendadak Rena membeku di tempatnya. Ingatannya teringat saat dirinya masih memakai seragam putih abu-abu. Masa yang seharusnya indah bagi para remaja justru menjadi momok menakutkan baginya. Sang mami meninggalkan rumah dan seminggu setelahnya dia tahu tentang kabar tentang sindrom yang dideritanya.“Ami,” ucap Rena tanpa melihat sang teman yang mulai menoleh ke arahnya.“Aku ...Ada urusan dan harus pergi. Laporannya sudah siap dan tolong berikan.” Tanpa mendengar jawaban Ami, gadis itu berjalan setengah berlari menuju pintu lift. Dadanya terasa sesak karena tak tahu lagi harus berkata apa. Ya, dia benar-benar merasa takut saat ini. Sementara itu di ruangan sang G