“Thanks ya, Fin. Untung ada kamu yang bisa bantuin aku,” kata Rena usai meneguk minumannya.
“Udah ah. Kayak sama siapa aja sih kamu. Kakakku bilang ruam di kulit temanmu itu bakalan hilang paling enggak dua bulanan loh. Apa enggak masalah?”
Rena menggeleng pelan, “Bagus kalau gitu. Mereka bakalan jijik sama Lidya dan enggak mau make dia lagi di Laura Club.”
“Hati-hati ya, Ren. Habis ini jangan terlibat jauh sama geng mafia itu. Meskipun ada Jeno, tetapi aku enggak begitu yakin,” ucap Fina menunjukkan raut wajah khawatirnya pada sang sahabat.
“Udah, tenang aja. Ibu hamil kayak kamu enggak usah overthinking,” timpal Rena.
Tak lama setelah obrolan singkat tadi Rena segera pamit undur diri. Sudah satu bulan lebih gadis itu harus bolak-balik ke rumah sakit demi melihat keadaan Lidya. Setidaknya teman Rena
Bara menggeram di ruangan kerjanya seorang diri. Entah mengapa semakin hari pria dingin itu selalu merasa semakin tertarik dengan perasaan lama tanpa persetujuannya. Bahkan dia semakin merasa bingung saat melihat tanda kedekatan sang mantan dengan David selama satu bulan belakangan ini.“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya David yang sudah berada di hadapannya.Bara bergumam sejenak sembari mengatup-ngatupkan bibirnya, “Sebenarnya aku tidak berhak bertanya, namun ...Ah, lupakan saja.” Sang asisten GM itu hanya mengulum senyumnya. Bara terlalu meninggikan rasa egonya sehingga mengurungkan niat untuk melakukan interogasi singkat pada David.“Apa Anda ingin bertanya tentang hubungan saya dengan Nona Rena? Apa Anda tidak penasaran meng
Rena hampir kehilangan keseimbangan diri. Nyaris ponsel gadis itu terpental saat menyadari siapa yang tengah mendekat ke arahnya.Bara berdecih, “Apa kau tak sabar hingga pekerjaanmu usai? Kau tak digaji untuk menelepon di sela-sela waktu kerjamu!” Gadis bersurai panjang itu menggeleng pelan. Dia hanya pasrah saat sang mantan mencekal kuat tangan kanannya. Percuma saja berdebat kalau akhirnya pria kepala batu seperti Bara tak bisa mengontrol emosinya. Sepanjang kaki mereka melangkah tentunya tak lepas dari sorot mata para bawahan yang melihat adegan tak biasa itu. Apalagi tanpa rasa belas kasih Rena terseok-seok hingga tiba di depan meja Ami kembali.“Tak bisakah kau memberikan contoh yang baik sebagai seorang asisten? Bahkan untuk berbohong sekalipun takkan masalah
Rena segera menyandarkan tubuhnya di pohon rindang yang ada di taman kota. Hari libur ini benar-benar dimanfaatkan olehnya untuk berolah raga. Bibirnya yang basah usai meneguk air mineral memancarkan pesona gadis berumur 28 tahunan yang bak bidadari. Peluh keringat yang membanjiri kulit mulusnya menambah kecantikan tersendiri bagi kaum Adam yang melirik ke arahnya. Pandangan gadis itu beralih pada ponsel yang ada di saku bagian kirinya.“Halo, cewek cantik. Apa kabar hmm?” sapa Rena dengan senyumannya. Panggilan bervideo itu menampakkan wajah tirus Lidya yang sedang menjalani masa penyembuhannya di kampung halaman. Meskipun terlihat kurus, namun aura kebahagian terpancar dari paras
Sudah beberapa kali Rena memekik keras, namun suaranya tak diindahkan oleh kawanan pria berwajah bengis yang sedang berada di dekatnya. “Kau mencoba membohongiku ‘kan? Di mana Lidya??” Rena menghela pelan napasnya. Mencoba berpikir tenang sebelum berbicara agar tak salah mengucapkan sesuatu yang nantinya akan membahayakan siapapun juga. “Katakan di mana dia!!”“Diamlah. Aku tak berbohong. Lepaskan aku dulu,” ketus gadis itu sembari menusukkan pandangannya pada sang ketua komplotan.Di waktu yang bersamaan, bocah lelaki muncul sambil berlari-lari kecil hingga langkah kakinya terhenti tepat di depan Lidya dan David. Sang GM yang sedari tadi sibuk menyesap rokok di luar rumah segera mengikuti si bocah. Matanya langsung menangkap aura yang tak biasa dari kedatangan tiba-tiba anak kecil itu.“Tante Rena mana?” tanya Lidya.Anak lelaki usia 6 tahunan itu menggeleng pelan, “Tante cantik enggak ikutan pulang. Tadi Tante titip pesan ke aku.”“Maksudny
Lengan pakaian di sisi kiri Rena robek dengan sekali sentakan keras. Buliran bening dari sudut mata gadis itu mulai mengalir. Memohon dengan cara apapun sepertinya tidak akan berhasil. Tatapan liar penuh penasaran dari seorang Robert terasa mustahil akan menuruti permintaannya.Bibir ranum menggoda milik gadis itu perlahan memucat saat sinar terang dari kedua matanya mulai meredup. Tak ada suara. Bahkan rintihan sekalipun. Pria yang tadi sedang dipenuhi gairah yang membara mulai menghentikan aksinya. Jangankan untuk melawan, pergerakan tubuh dari Rena bahkan sudah tak lagi terasa. “Hei, Sayang. Bangunlah! Bahkan aku belum benar-benar menanggalkan pakaianmu,” decak Robert sembari mengguncang-guncang tubuh mungil Rena.Diam. Wajahnya berubah semakin pucat. Robert berdecak kesal karena aksinya masih tanggung. Miliknya yang tadi sudah menegang sempurna perlahan mulai berangsur layu saat melihat sang mangsa tak bergerak sama sekali. Tubuh Robert duduk di tepi ranjang
“Come on, Bar. Aku hanya bercanda,” kekeh Mike terlihat senang sekali. Usahanya kali ini untuk melihat kemarahan Bara berhasil. Bahkan tanpa peduli dengan orang di sekitarnya Bara membaringkan tubuh mungil sang mantan dengan hati-hati.“Cepat suruh asisten wanitamu untuk menggantikan pakaiannya,” ucap pria dingin itu dengan suara pelan.“Panggilkan dokter juga untuknya,” kata Bara melanjutkan omongannya. Sementara menunggu Rena tengah ditangani oleh dokter, Bara dan Mike memilih duduk bersantai di atas balkon. Keduanya masih saling diam sembari disibukkan dengan rokok masing-masing.“Hah, aku pikir kau akan memintaku untuk menggagalkan penyelundupan senjata atau minuman alkohol seperti biasa. Benar-benar payah,” ledek Mike
“Ada orang yang enggak dikenal nelepon aku dan nyuruh kami nyelamatin kamu.” Lidya terkesiap sembari menghela napas lega. David datang tepat waktu karena dirinya tak tahu harus mengatakan apa saat Rena melayangkan pertanyaan bertubi-tubi barusan.“Maaf ya. Rencana kita gagal. Aku harus tanya Jeno soal ...” ucapan Rena terhenti saat dirinya mulai memikirkan sesuatu.“Kayaknya aku tahu deh harus ngomong makasih sama siapa,” gumam gadis itu sembari mengatup-ngatupkan bibirnya. Sedangkan Lidya dan David hanya mengerutkan dahi karena sama sekali tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Rena. Mereka berdua saling menatap lalu mengendikkan bahu masing-masing.“Ren, kamu mau ke mana?” tanya Lidya saat gadis itu meraih tasnya.
Jeno mengerutkan dahinya karena masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis yang spontan memeluknya sekarang. Perlahan pelukan itu meregang dan keduanya mulai duduk di tempatnya masing-masing.“Pesan aja. Nanti aku yang traktir deh,” tawar Rena masih dengan senyuman manis di wajahnya.Jeno bergumam sejenak, “Kamu rada aneh, Ren. Tumben baik banget. Biasanya selalu nolak kalau aku ajak ketemuan.”“Iya dong, apalagi kamu udah bantuin aku tadi malam. Si Robert sialan itu hampir aja nyerang aku,” ucap Rena yang langsung mengerucutkan bibir mungilnya. Pembicaraan mereka terjeda saat seorang pramusaji menghidangkan menu yang baru saja dipesan. Keduanya disibukkan dengan makanan masing-masing. Melahap dengan penuh selera seolah memang benar