[“Apa maksudmu??”] David menghela napas pelan. Pria itu menyugar rambutnya ke belakang. Tak ada pilihan lain selain memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.[“Halo, apa kau mendengarkanku?”][“Aku tak peduli apapun yang terjadi dengannya.”][“Baiklah kalau memang begitu.”]Tuut ...Tuut... Pembicaraan itu terputus secara sepihak oleh David. Senyum tipisnya terbit usai menyudahi panggilan tadi.“Kita lihat kawan, seberapa besar cinta dan rasa bencimu,” gumam David bermonolog ria. Di waktu yang bersamaan Rena dan ketiga pria itu sudah tiba di tempat tujuan. Gedung tinggi berlantai empat dengan nuansa gelap sudah berada di hadapan mereka.Rena membasahi bibirnya sembari menetralisir rasa gugupnya sendiri. Setelah mendapatkan isyarat dari salah satu pria tadi, dia melangkah dengan anggun menuju pintu utama.“Apa kau yakin? Bagaimana jika dia menginginkan tubuhmu?”“Jen, kalaupun iya milik kotornya itu takkan mampu menembus selaput daraku,”
“Thanks ya, Fin. Untung ada kamu yang bisa bantuin aku,” kata Rena usai meneguk minumannya.“Udah ah. Kayak sama siapa aja sih kamu. Kakakku bilang ruam di kulit temanmu itu bakalan hilang paling enggak dua bulanan loh. Apa enggak masalah?”Rena menggeleng pelan, “Bagus kalau gitu. Mereka bakalan jijik sama Lidya dan enggak mau make dia lagi di Laura Club.”“Hati-hati ya, Ren. Habis ini jangan terlibat jauh sama geng mafia itu. Meskipun ada Jeno, tetapi aku enggak begitu yakin,” ucap Fina menunjukkan raut wajah khawatirnya pada sang sahabat.“Udah, tenang aja. Ibu hamil kayak kamu enggak usah overthinking,” timpal Rena. Tak lama setelah obrolan singkat tadi Rena segera pamit undur diri. Sudah satu bulan lebih gadis itu harus bolak-balik ke rumah sakit demi melihat keadaan Lidya. Setidaknya teman Rena
Bara menggeram di ruangan kerjanya seorang diri. Entah mengapa semakin hari pria dingin itu selalu merasa semakin tertarik dengan perasaan lama tanpa persetujuannya. Bahkan dia semakin merasa bingung saat melihat tanda kedekatan sang mantan dengan David selama satu bulan belakangan ini.“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya David yang sudah berada di hadapannya.Bara bergumam sejenak sembari mengatup-ngatupkan bibirnya, “Sebenarnya aku tidak berhak bertanya, namun ...Ah, lupakan saja.” Sang asisten GM itu hanya mengulum senyumnya. Bara terlalu meninggikan rasa egonya sehingga mengurungkan niat untuk melakukan interogasi singkat pada David.“Apa Anda ingin bertanya tentang hubungan saya dengan Nona Rena? Apa Anda tidak penasaran meng
Rena hampir kehilangan keseimbangan diri. Nyaris ponsel gadis itu terpental saat menyadari siapa yang tengah mendekat ke arahnya.Bara berdecih, “Apa kau tak sabar hingga pekerjaanmu usai? Kau tak digaji untuk menelepon di sela-sela waktu kerjamu!” Gadis bersurai panjang itu menggeleng pelan. Dia hanya pasrah saat sang mantan mencekal kuat tangan kanannya. Percuma saja berdebat kalau akhirnya pria kepala batu seperti Bara tak bisa mengontrol emosinya. Sepanjang kaki mereka melangkah tentunya tak lepas dari sorot mata para bawahan yang melihat adegan tak biasa itu. Apalagi tanpa rasa belas kasih Rena terseok-seok hingga tiba di depan meja Ami kembali.“Tak bisakah kau memberikan contoh yang baik sebagai seorang asisten? Bahkan untuk berbohong sekalipun takkan masalah
Rena segera menyandarkan tubuhnya di pohon rindang yang ada di taman kota. Hari libur ini benar-benar dimanfaatkan olehnya untuk berolah raga. Bibirnya yang basah usai meneguk air mineral memancarkan pesona gadis berumur 28 tahunan yang bak bidadari. Peluh keringat yang membanjiri kulit mulusnya menambah kecantikan tersendiri bagi kaum Adam yang melirik ke arahnya. Pandangan gadis itu beralih pada ponsel yang ada di saku bagian kirinya.“Halo, cewek cantik. Apa kabar hmm?” sapa Rena dengan senyumannya. Panggilan bervideo itu menampakkan wajah tirus Lidya yang sedang menjalani masa penyembuhannya di kampung halaman. Meskipun terlihat kurus, namun aura kebahagian terpancar dari paras
Sudah beberapa kali Rena memekik keras, namun suaranya tak diindahkan oleh kawanan pria berwajah bengis yang sedang berada di dekatnya. “Kau mencoba membohongiku ‘kan? Di mana Lidya??” Rena menghela pelan napasnya. Mencoba berpikir tenang sebelum berbicara agar tak salah mengucapkan sesuatu yang nantinya akan membahayakan siapapun juga. “Katakan di mana dia!!”“Diamlah. Aku tak berbohong. Lepaskan aku dulu,” ketus gadis itu sembari menusukkan pandangannya pada sang ketua komplotan.Di waktu yang bersamaan, bocah lelaki muncul sambil berlari-lari kecil hingga langkah kakinya terhenti tepat di depan Lidya dan David. Sang GM yang sedari tadi sibuk menyesap rokok di luar rumah segera mengikuti si bocah. Matanya langsung menangkap aura yang tak biasa dari kedatangan tiba-tiba anak kecil itu.“Tante Rena mana?” tanya Lidya.Anak lelaki usia 6 tahunan itu menggeleng pelan, “Tante cantik enggak ikutan pulang. Tadi Tante titip pesan ke aku.”“Maksudny
Lengan pakaian di sisi kiri Rena robek dengan sekali sentakan keras. Buliran bening dari sudut mata gadis itu mulai mengalir. Memohon dengan cara apapun sepertinya tidak akan berhasil. Tatapan liar penuh penasaran dari seorang Robert terasa mustahil akan menuruti permintaannya.Bibir ranum menggoda milik gadis itu perlahan memucat saat sinar terang dari kedua matanya mulai meredup. Tak ada suara. Bahkan rintihan sekalipun. Pria yang tadi sedang dipenuhi gairah yang membara mulai menghentikan aksinya. Jangankan untuk melawan, pergerakan tubuh dari Rena bahkan sudah tak lagi terasa. “Hei, Sayang. Bangunlah! Bahkan aku belum benar-benar menanggalkan pakaianmu,” decak Robert sembari mengguncang-guncang tubuh mungil Rena.Diam. Wajahnya berubah semakin pucat. Robert berdecak kesal karena aksinya masih tanggung. Miliknya yang tadi sudah menegang sempurna perlahan mulai berangsur layu saat melihat sang mangsa tak bergerak sama sekali. Tubuh Robert duduk di tepi ranjang
“Come on, Bar. Aku hanya bercanda,” kekeh Mike terlihat senang sekali. Usahanya kali ini untuk melihat kemarahan Bara berhasil. Bahkan tanpa peduli dengan orang di sekitarnya Bara membaringkan tubuh mungil sang mantan dengan hati-hati.“Cepat suruh asisten wanitamu untuk menggantikan pakaiannya,” ucap pria dingin itu dengan suara pelan.“Panggilkan dokter juga untuknya,” kata Bara melanjutkan omongannya. Sementara menunggu Rena tengah ditangani oleh dokter, Bara dan Mike memilih duduk bersantai di atas balkon. Keduanya masih saling diam sembari disibukkan dengan rokok masing-masing.“Hah, aku pikir kau akan memintaku untuk menggagalkan penyelundupan senjata atau minuman alkohol seperti biasa. Benar-benar payah,” ledek Mike
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku