Gadis bernama kintan itu, tersenyum manis pada Alden. Gadis blasteran India dan indonesia itu mendekat pada Alden, dan mengulurkan tangannya. Alden tergugu melihat teman semasa SMP-nya kini berada di depannya. Penampilannya sungguh sangat berbeda, dulu tubuhnya yang tambun kini berubah menjadi langsing dan kulitnya putih bersih, perubahan pada fisiknya pun terlihat nyata, dengan buah dadanya yang membusung besar.
Akhirnya, Alden menyalami Kontan, dengan ragu-ragu. Ada firasat yang tidak enak atas kehadirannya.
"Sekali lagi, aku tanya, ada keperluan apa, kau kemari? Ada acara reuni?" Alden bertanya dengan egoisnya, tanpa basa-basi pada seorang wanita cantik macam Kintan.
Gadis berpakaian sopan itu, tersenyum, "Kau tak berubah, Alden. Masih saja angkuh seperti dulu. Aku pun baru tahu kalau kau belum punya pasangan. Ibumu yang memasang iklan, untuk jodohmu. Jadi ... Aku beranikan diri menemuimu. Maaf ..." serunya manja. Ada lirikan menggoda pada sudut matanya.
"Ish, kau ini, aku sudah punya calon isteri, tahu. Ibuku saja yang belum tahu." kata Alden, "Kau mau tahu, aku tunjukkan." Alden segera melangkahkan kakinya ke ruangan lainnya.
Joshua menjadi bingung, lalu memandang tamu di depannya, tanpa di komando keduanya pun mengikuti langkah Alden. Di tengah ruangan, Imelda melihat mereka berjalan cepat mengikuti Alden. Dirinya pun penasaran. Tak lama bergegas dirinya mengikuti pula langkah mereka.
Alden melihat, Laras sedang duduk agak jauh dari tempat duduk Ayahnya, tubuhnya berkeringat, karena baru saja membantu ayahnya mengupas kelapa. Langkah kaki panjang Alden mendekati Laras dengan pasti. Melihat ada lelaki yang mendekati, Laras berdiri, dengan secepat kilat, tangan Alden menyambar leher Laras pelan dan menariknya hingga mendekat dengan wajahnya, pandangan mereka saling beradu, sesaat kemudian, Alden mencium bibir Laras!
Semua yang ada di sana kaget dan terpukau apa lagi Imelda.
***
Apa lagi Josh!" teriak Alden pada Joshua yang sudah menahan tangannya.
"Apa bisa kau pikirkan lagi, Tuan?"
"Ini sudah aku pikirkan berbulan-,bulan, sampai aku rela sakit karena harus makan mangga jualannya."
Laras mendongak kaget, jadi ... Jadi ... Lelaki yang membeli tempo hari? Bahkan Laraspun tak mengenali sosok keluarga majikan Ayahnya.
"Sudah-sudah! Cukup drama hari ini, Alden! Kau selalu mencari alasan saja." Imelda sudah pusing melihat tingkah Anaknya. Apalagi pelukan Alden pada tubuh Laras sama sekali belum dilepaskan.
"Tapi, kali ini aku serius, Ibu, mengapa tak percaya padaku. Dia kurang apa? Dia cantik, dia elegan ... Dan tentunya ber- pendidikan, saya percaya wanita pilihanku sudah 'klop."
Imelda menghempaskan napasnya kasar, dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Kintan, pelan mundur, dan segera pamit meninggalkan tempat tersebut.
Siang ini, semua berita pun gempar oleh ulah Alden tersebut. Beberapa awak dapur, sudah menanyakan pada Laras sebenarnya ada hubungan istimewa apa dengan Tuan mudanya.
"Laras, ceritakan pada Ayah, Nak. Ada apa sebenarnya?"
"Aku pun tak tahu, Ayah. Aku mengenalnya pun tidak, tahu namanya saja tidak."
Laras hanya diam. Mulutnya terkunci. Tak tahu harus bicara apa lagi.
"Namanya, Alden. Dia Direktur utama, perusahaan Pelita Harapan. Mempunyai beberapa anak perusahaan. Sorang pewaris tahta tujuh warisan. Dari moyangnya yang berada di Swiss."
Laras, terdiam, sungguh tinggi sekali derajatnya.
"Mengapa Ayah, mengangguk saat laki-laki itu melamar aku?"
"Aku percaya pada tatapa
"Kuharap kau setuju dengan pendapatku. Aku tak mau sesuatu yang buruk akan terjadi padamu, Nak. Kau belum tahu, bagaimana di luar sana. Ayah semakin renta, Nak."
'Ayah!" Laras memeluk Ayahnya.
***
"Kuharap, kau cabut keputusanmu itu, Alden!" teriak Imelda dalam kemarahan
"Tidak! Aku jatuh cinta padanya, Ibu."
"Apa! Apa yang menarik dari dia. Kau bahkan tidak tahu namanya, bukan?"
Alden terhenyak, yap, betul. Aku tak tahu nama gadis , pikir Alden terdiam, sambil garuk-garuk kepala.
"Aku tak mau tahu! Aku tetap akan menikahi dia. Dia yang bisa membuat aku tersenyum." Alden segera pergi ke kamarnya.
Di dalam sudah ada Joshua yang sudah menunggunya dari tadi.
"Namanya Laras, umur 17 tahun, saat ini dirinya sudah terdaftar di sebuah perguruan tinggi negeri, karena beasiswanya. Selalu peringat pertama di sekolahnya. Gadis yang tangguh, juara propinsi karateka sewaktu SMP. Ibunya sudah meninggal. Putri satu-satunya Pak Pardi tukang kebun kita."
"Bagus,"
"Pak Pardi, adalah orang kepercayaan Ayah Tuan muda besar, dulu. Sebelum Ayah Tuan Alden menikah dengan Ibu anda."
Alden sedikit terkejut, "Benarkah?"
Joshua mengangguk.
"Sangat menarik, jangan halangi aku untuk menikah dengannya."
Jushua hanya melengos saja, "Coba saja dekati dia."
"Betul juga Josh, aku harus dekati dia dulu," Alden memandang Asistennya dengan penuh arti. Ada tatapan rahasia antara mereka.
***
Sinar bulan malam ini, membuat siluet wajah Laras di keremangan malam. Hati segelap malam ini. Mengapa pula ada kejadian mendadak seperti tadi.
Laras mengigit bibirnya, ada rasa geli, saat bibir merah kenyal itu mengecupnya lembut, hingga dirinya terbuai dalam aroma blueberry di bibirnya. Ini pertama kalinya, ada lelaki yang menciumnya. Rasanya tak bisa digambarkan. Apalagi saat tubuhnya teramat dekat dengan dadanya yang hangat. Tinggi tubuhnya tepat diantara leher lelaki itu, Alden, Ya namanya Alden, batin Laras.
Dirinya merasa terpasung dalam perasaannya. Lagi-lagi, jiwa mudanya berontak. "Ayo saja, kalau kau berani mendekatiku, dan memelukku seperti itu lagi."
Laras sudah siap, baju setelan putih dan hitam, dikenakannya. Wajahnya dipoles sedikit dengan mikup. Ada harapan yang indah untuk masa depannya. Pasalnya. Wawancara ini, hanya ada satu orang yaitu dirinya saja.
Pekerjaan yang orang nggak bakal melamarnya. Hanya sebagai Office girl saja. Tapi, mengapa harus ada wawancaranya ya? Ah, mungkin saja tes untuk membuat kopi yang enak, atau harus punya atitdute yang baik. Laras tersenyum, aku pasti bisa mengatasi semuanya, katanya bermonolog.
"Ayah! Aku berangkat dulu! Ayah!?" Laras melihatnya ke dapur. Tak di dapati sosok Ayahnya. Hanya ada catatan kecil di atas sebuah kulkas. AYAH BERANGKAT KERJA LEBIH PAGI, NAK. ADA TAMU JAUH DATANG DI RUMAH MAJIKAN. Begitu pesan yang tertulis di selembar kertas .
Ah, Ayah ... Laras hanya mengembuskan napasnya. Ya, sudahlah. Inilah yang membuat Laras, terbiasa mandiri.
"Baiklah, Laras! Ayo, semangat kerja!" serunya di depan cermin.
Sesampainya di perusahaan itu. Laras tak tahu kalau perusahaan itu adalah kantor tempat di mana Alden bekerja.
Laras terus berdoa. Agar hari ini lancar dan aman-aman saja.
Laras masuk lewat tangga khusus karyawan. Dirinya bertemu dengan ibu Ira, yang akan mewawancarainya.
Seorang wanita berumur setengah abad. Wajah keibuan memberikan beberapa peraturan di perusaahan tersebut. Juga tentang tata krama, dan nama-nama karyawan di lantai 2. Laras harus hapal. Juga apa-apa saja yang harus di sajikan pada saat ada pertemuan atau meeting dadakan.
"Berarti aku langsung diterima kerja Bu? tanya Laras.
"Belum tentu, aku tes selama satu Minggu, bila kau bekerja dengan baik. Kau di terima di tempat ini."
Laras mengagguk, "aku lakukan yang terbaik. Maaf aku juga butuh bimbingan ibu," tutur Laras sopan.
Ibu Ira, mendekati Laras, dan membetulkan kerah bajunya, "Usahakan, pakai baju yang terbaik, harum dan tidak kusut. Bila sudah di terima, kau akan mendapatkan seragam kantor."
"Baik, Bu."
"Ikat rambutmu dengan rapi, bila perlu, gunakan garnet, agar tak ada sehelai rambutmu, jatuh mengenai makanan ataupun minuma yang akan di sajikan."
"Baik, Bu."
"Kini, aku akan mengajarkan beberapa makanan yang cepat saja. Juga minuman yang mereka suka." Bu Ira berjalan pelan menuju dapur yang bersih dan rapi.
"Tempat ini, harus bersih ya, jangan beraroma busuk."
"Baik, Bu."
Hari ini, Laras banyak belajar pada Ibu Ira. Hari yang melelahkan.
***
Di kamar yang luas, duduk dua orang pemuda tampan. Mereka dua adik tiri Alden. Kunjungan dua hari, dimanfaatkan mereka untuk pulang. Jamuan besar sudah disiapkan. Kebiasaan yang membuat Alden membencinya. Terlalu dimanja. Semua keperluannya serba terpenuhi. Alden menjadi tidak suka dengan sikap mereka.
"Tuan, apa anda tidak turun?" tanya Markus, pelayan yang akan melayani mereka setiap datang.
"Aku ingin makan di kamar saja, boleh?"
"Tapi, ibu dan kakak, tuan sudah siap di meja makan."
"Ah, aku jadi malas, pasti kita akan diceramahi oleh Alden." cakap Brendon.
"Betul, nasehatnya bikin aku muak!" timpal Tomi kesal.
"Tuan, sebaiknya turuti peraturan rumah. Ibu anda dan Tuan Alden, menunggu kalian." Nada tegas dari Markus untuk mereka.
"Hai! Markus kau hanya perkerja, mengapa pula memaksa kami. Cepat ambil sarapanku saja ke kamar! Aku malas turun." Brandon sudah membentak Markus.
Brak! Pintu kamar terbuka tiba-tiba, "jangan lakukan itu, Markus. Kalian mau turun atau tidak itu terserah. Tapi ingat, besok! jangan pulang ke rumah ini lagi. Hormati ibumu!"
Mata Alden mendelik pada ke dua adiknya, dirinya paling tidak suka pada sikap keduanya yang membuatnya berang. Tanpa penjelasan yang panjang. Alden meninggalkan mereka di kamarnya, begitu juga Markus. Tomi dan Brendon cuma mendesah saja, lalu mereka pun, turun dengan gerutuan panjang. Kini mereka berkumpul, Nyonya besar, Alden, Tomi dan Brandon. Tomi memandang kakak tirinya yang duduk di ujung meja makan berukuran besar. "Kau tak terima dengan sikapku?" tanya Alden. "Tidak, kak." "Bagus! Aku harap nilai kalian untuk semester ini bagus dan patut dibanggakan." Lanjut Alden, dan memulai memakan sarapannya. "Baik, kak" jawab mereka hampir bebarengan. "Bagus! Aku tak perlu banyak cakap untuk kalian berdua. Pesanku, jaga sikap dan perilaku kalian di rumah." Nyonya Imelda hanya diam saja, atas kejadian yang baginya sudah terbiasa.Terkadang malah terjadi sebuah persilihan antara mereka. "Apa kau tidak masuk kerja, Alden?" tanya ibunya. "Tidak, Bu, hari ini, perutku masih agak mula
Terjadi sebuah perdebatan sengit antara Alden dan Bimo . Keduanya dari perusahan yang berbeda, keduanya ingin menangkan tender besar. Alden menatap tajam pada Bimo. Sialan anak ini, benar-benar ingin menusukku dari belakang. Senyum seringai kesombongan ada pada bibir Bimo. Alden menutup meeting, tanpa ada hasil atau keputusan, meeting berikutnya, akan diadakan Minggu depan. Malam menjelang, Alden pulang. Tiba-tiba. "Rosa, aku ingin bicara dengan Ibu." "Baik, tuan." Tak lama, Imelda sudah duduk, menunggu anaknya ingin membicarakan sesuatu. "Tolong Bu, sekali ini jangan halangi aku, siapkan acara untuk aku melamar Laras." "Apa!" Imelda berdiri saling kagetnya. "Kau serius? Ibu sudah ..." "Jangan banyak bertanya Bu, aku ingin besok melamar Laras, bila perlu aku ingin menikah secepatnya, sebelum Bimo menikah." Ibunya kaget, namun masih terdiam. "Aku ingin bertemu, kakek." "Jangan! Dia baru saja istirahat, mohon, jangan diganggu." "Aku hanya ingin, ijin, padanya." "Nanti ibu
Markus memandang Denok, dan Rosa bergantian. Dirinya paham atas perilaku tersembunyi, bahkan ada hubungan terlarang. Siapa lagi kalau bukan dari Nyonya Imelda. "Pergilah, ke belakang, kau aman di sana Markus." "Aku akan tetap membongkar ketidak adilan ini, bibi Rosa. Bila ada sebagian dari mereka ada yang tersakiti. Terutama, Pak Pardi. Jangan sakiti orang baik itu." Rosa mengangguk, "aku tahu, Markus, stt, tolong pelankan nada bicaramu." Rosa pun menarik lengan baju Markus untuk keluar dari dapur utama. Markus menuruti saja perintah Rosa, saat tahu ada Nyonya Imelda ada di depan pintu dapur. "Markus! Apa yang kau lakukan di sini!?" "Maafkan dia, Nyonya. Dia hanya haus dan meminta segelas air. Makanya sekarang aku suruh dia pergi dari dapur utama." Markus segera permisi dan meminta maaf karena telah lancang masuk ke dapur utama, yang merupakan dapur khusus untuk orang rumah bukan dapur untuk pekerja rendahan macam Markus, yang hanya sebagai sopir cadangan saja. Markus berjalan
Terjadi sebuah perdebatan sengit antara Alden dan Bimo . Keduanya dari perusahan yang berbeda, keduanya ingin menangkan tender besar. Alden menatap tajam pada Bimo. Sialan anak ini, benar-benar ingin menusukku dari belakang. Senyum seringai kesombongan ada pada bibir Bimo. Alden menutup meeting, tanpa ada hasil atau keputusan, meeting berikutnya, akan diadakan Minggu depan. Malam menjelang, Alden pulang. Tiba-tiba. "Rosa, aku ingin bicara dengan Ibu." "Baik, tuan." Tak lama, Imelda sudah duduk, menunggu anaknya ingin membicarakan sesuatu. "Tolong Bu, sekali ini jangan halangi aku, siapkan acara untuk aku melamar Laras." "Apa!" Imelda berdiri saling kagetnya. "Kau serius? Ibu sudah ..." "Jangan banyak bertanya Bu, aku ingin besok melamar Laras, bila perlu aku ingin menikah secepatnya, sebelum Bimo menikah." Ibunya kaget, namun masih terdiam. "Aku ingin bertemu, kakek." "Jangan! Dia baru saja istirahat, mohon, jangan diganggu." "Aku hanya ingin, ijin, padanya." "Nanti ibu
"Gila! Menikah! A-ku ..." Laras terbata mendengar ajakan menikah dari Alden. "Kalau kau mau, kalau nggak diterima, kau tahu akibatnya bukan?" Alden menatap tajam pada Laras. Walau hatinya berharap wanita di depannya mau menerima permintaannya yang konyol. "Tuan ... Apa sebaiknya?" Joshua tak melanjutkan kata-katanya, tatkala tangan Alden menyuruhnya untuk diam. ""Aku hanya butuh kata trima atau tidak? Cukup itu saja, lalu kita menikah." Laras lagi-lagi hanya diam, perkataan ayahnya tempo hari masih terngiang, bila akibat menolak permintaan dari tuan muda ini. Namun, bukan Laras namanya, kalau tantangan seperti ini harus mundur. Kasih sayang pada Ayahnya lah yang menjadikan Laras harus menerima kesepakatan konyol ini. Laras mengangguk! "Bagus!" Alden langsung menjentikkan jarinya, "Joshua antar dia pulang, mobil aku bawa. Kau pesanlah greb untuk pulang." Tanpa banyak kata, Alden langsung membawa mobil itu pergi, meninggalkan Joshua , Asisten pribadinya dan Laras yang masih tak
Alden memandang Laras tak berkedip. Begitu juga Joshua. Dirinya pun kaget kalau Laras bekerja sebagai ofice girl khusus untuk lantai dua."Kau? Mengapa ada di sini?" tanya Josh."A-ku, aku kerja di sini, Tuan, sudah dua hari yang lalu. Maaf.""Josh, kau mengenalnya?" tanya Alden penuh selidik, sementara Lucky sibuk dengan berkasnya.Laras memandang Alden dengan bingung, apakah ini sebuah lelucon? Pikir Laras. Pandangan Laras seakan tak percaya, gampang sekali Tuan muda ini, mengajaknya menikah, lalu melupakan begitu saja, dan sekarang dihadapannya pura-pura tak mengenalku, batin Laras.Wajahnya ,menunduk tak paham akan semua ini. Jushua menunggu reaksi Tuan mudanya. Wajah kaku dan acuh tak acuh pada wanita di depannya, membuat Joshua ingin menjelaskan pada Tuannya tersebut, namun ... Tak lama, Laras pun pamit meninggalkan ruangan kerja milik Alden."Tuan Alden tak mengenal wanita tadi?""Tidak, tapi rasanya aku pernah mencium aroma ....""Aroma?" Lucky bertanya tak mengerti."Ah, bai
"Ayah!" Laras langsung memanggil ayahnya. Lihatlah."Ayah hanya bisa tergugu melihat begitu banyak belanjaan anaknya."Kau sudah gajian, Nak?""Ini, semua dari Alden, dan aku sekarang bekerja di kantornya.""Maksudnya? Kau ...""Iya, ternyata aku kerja di perusahaan Alden, lalu dia memindahkan tempat kerjaku yang tadinya aku ... a-ku." Laras tak melanjutkan kalimatnya. "Iya, magangnya sudah selesai jadi aku, sudah ditempatkan, dan aku bekerja pada Alden." jelas Laras berbohong."Lalu, ada hubungan apa, dia membelikan semua ini? Apakah ini, bertanda?"Laras langsung menyanggahnya, teringat sikap Alden yang berubah.'Tidak, Ayah. Tidak ada maksud apa-apa. Aku masuk dulu ke kamar." Laras segera membawa semua barang belanjaan itu.Dalam kamar, Laras bernapas lega. Pelan-pelan, Laras mencoba baju kerjanya, komplit dengan sepatu tinggi, dan tas bermerek mahal.Sementara itu, dalam kamar Joshua masih terus mendekati Alden."Tuan, apa tuan sudah teringat sesuatu? Sebelum kecelakaan yang meni
Joshua memesan sebuah greb dan membawa Laras pergi dari tempat tersebut. Joshua teringat kembali dengan sosok Annabel. Alden dan gadis itu tumbuh bersama. Annabel adalah anak sahabat Nyonya Imelda. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi, Alden tak pernah akrab ataupun akur dengan Annabel. Tapi wanita itu terus saja membayangi kehidupan Alden. Hingga saat dirinya harus melanjutkan sekolahnya di Belanda, tetap saja Annabel tak kurang akal. Tetap, mengikuti semua kehidupan Alden. Entah ini, kabar dari mana? Tiba-tiba, Annabel ada di sini. Apakah Nyonya Imelda yang menyuruhnya datang? Ataukah ada alasan yang lain?Joshua terus berpikir keras. Apa yang akan terjadi apakah, Alden akan terlihat atau lupa dengan Annabel?Laras, merasakan sakit hati. Sama sekali tak mengenal wanita itu, tapi dirinya merasa terhina. Apalagi menyebut dirinya, anak babu! Sepertinya, dia tahu banyak, tentang Laras dan Ayahnya."Siapa dia, Joshua?""Nanti aku jelaskan, Nona. Maaf tidak sekarang."Laras diam, tap
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras menatap Alden yang tiba-tiba jatuh pingsan saat sudah sampai di rumah sakit.Lelaki yang baru saja semalam menjadi suaminya ini, terbaring dalam luka yang cukup serius, sedangkan dirinya hanya luka ringan pada sikunya. Ponsel Alden sudah aman dalam tas Laras. "Bangun, Alden .... Jangan buat aku jadi janda. Baru saja nikah tadi malam." kata Laras pelan dan mengembuskan napasnya kesal.Namun, Alden masih juga terdiam, dalam pikiran Alden ada seseorang yang memanggilnya dengan pelan. Alam bawah sadarnya terbawa ke masa kecilnya, di mana ayahnya, memeluk erat dirinya saat mobil yang ditumpanginya bermanuver. Hingga tubuh mereka terbentur dalam badan mobil.Tangan ayahnya melindungi kepala Alden dengan kuat. "Ayah, bangun yah!" teriak Alden kecil. Melihat ayahnya terbujur kaku.Beberapa benturan pun akhirnya mengenai kepala bagian kiri Alden. Malang tak dapat di tolak, Alden mengalami gegar otak ringan. Laras melihat suaminya tanpa berkedip. Membelai pipinya, dan tiba-tiba, mengecu
Joshua memandang tajam pada Laras begitu juga Alden."Lepaskan, sakit tahu!""Katakan darimana kau tahu?""Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku?""Kapan?""Saat ... Saat di pantai dulu."Keruyuk .. terdengar dari perut Laras. Alden menelan salivanya."Jalan Josh, kita cari rumah makan."Alden melepas tangan Laras. Dirinya pernah menceritakan tentang hal tersebut? Alden masih meraba-raba lagi ingatannya.Laras mengelus bekas cengkraman tangan Alden, ada bekas merah yang membuatnya meringis sakit."Maaf ..." bisik Alden pelan pada Laras.Laras mengangguk pelan.Joshua pun memasuki area rumah makan yang terlihat sedikit sepi. Mereka pun masuk, mengisi perut yang terasa lapar. Sementara itu, dalam rumah besar itu, duduk Imelda, sedang berusaha menghubungi seseorang berkali-kali."Tante, apa yang harus aku lakukan ..." Annabel cemberut."Buat, wanita hina itu tak betah di rumah ini, ibumu jagonya, tanyakan pada dia," jawab, Imelda masih terus sibuk dengan ponselnya."Mengapa harus t
Laras terdiam duduk di sudut pembaringan yang empuk. Namun hatinya tak tenang. Karena Alden yang terus menatapnya dari tadi dari sudut ruangan dimana Alden duduk di sebuah sofa besar. Bak seorang tawanan. Laras tak tahu lagi mau bicara apa. Dan akhirnya,"Aku mau berganti pakaian." lirih Laras berucap.Alden masih juga menatapnya dalam pandangan yang berbeda.Lebih baik aku katakan terus terang saja, batin Laras."Kau masih ingat perjanjian sebelum nikah kan?" "Perjanjian? Perjanjian yang mana? Sekarang aku saja bingung. Mengapa aku menikahimu. Tapi aku harus menikahimu, membingungkan bukan? Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?" "Hah! Masih belum ingat toh," ucap Laras, seakan ada kesempatan untuk bisa menghindari sesuatu yang tak inginkan."Baik, sekarang aku mau berganti pakaian, jadi lebih baik kau keluar saja dulu.""Tapi, kau istriku aku ...""Saat ini jangan fikirkan hal tersebut. Aku mohon." Suara Laras merendah, agar sifat Alden yang sedikit arogan tidak kambuh lagi.T
Laras memperhatikan terus, lelaki yang marah-marah pada Vespanya. Laras hanya tertarik pada kamera jadul yang melingkar pada leher lelaki itu. Sepertinya dia pernah lihat seseoarang membawa dan memegang kamera mahal tersebut. Tapi di mana? Laras kecil sejak ibu pengasuhnya meninggal langsung ikut dengan bibinya di desa. Adik ayahnya inilah yang merawat hingga Laras dewasa, setelah dirinya mampu mandiri. Laras kini bersama ayahnya, menemani sekaligus harus dekat dengan ayah ini. Karena bibinya sudah meninggal. Mata Alden menatap Laras tak berkedip. Cewek ini terlihat biasa saja, tapi mengapa Alden merasa Pasti bahwa Laras adalah orang yang istimewa."Kau kenal dengan diam" tanya Alden"Tidak," Laras tersadar dan menjawab sambil menggelengkan kepalanya.Alden masih menikmati kopi dan rotinya. Kni giliran Laras yang memandang lelaki gagah di depannya. Sepertinya sebuah cerita rahasia yang Alden ungkapkan tempo hari pada Laras sebelum kecelakaan itu, masih terngiang di ingatan Laras. Apa
Alden terus menatap Laras yang duduk di hadapannya. Laras merasa jengah dan tak nyaman, saat mata tajam Alden terus menatapnya tanpa berkedip."Aku suka memandangmu, tapi apa yang aku suka? Aroma tubuhmu aku suka. Aku seakan terikat dengan pesonamu, siapa sebenarnya kamu?" tanya Alden sambil terus mengingat sesuatu.Laras terdiam, ingin rasanya Laras ungkapkan rahasia yang dulu pernah Alden ungkapkan antara mereka berdua saja. Akan tetapi bibir Laras terkunci rapat. Apakah betul amnesia itu akan hilang. Bila itu terjadi ? Apa Alden ingat rahasia besar yang diungkapkannya secara empat mata bersamanya."Tuan ..." Bisik Laras."Panggil aku Alden dulu kau panggil aku hanya nama bukan?""Tuan ...""Alden ... Al–den""Al den.." Laras berbisik lirih. Suaranya seperti tercekat, pasti kau sangat tersiksa Alden atas ingatan yang tak bisa kau jangkau.Cukup lama Laras memandang Alden, begitu juga Alden, yang sedang dalam taraf penyembuhan ingatannya itu. Secara perlahan, kepala mereka semakin
Joshua memesan sebuah greb dan membawa Laras pergi dari tempat tersebut. Joshua teringat kembali dengan sosok Annabel. Alden dan gadis itu tumbuh bersama. Annabel adalah anak sahabat Nyonya Imelda. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi, Alden tak pernah akrab ataupun akur dengan Annabel. Tapi wanita itu terus saja membayangi kehidupan Alden. Hingga saat dirinya harus melanjutkan sekolahnya di Belanda, tetap saja Annabel tak kurang akal. Tetap, mengikuti semua kehidupan Alden. Entah ini, kabar dari mana? Tiba-tiba, Annabel ada di sini. Apakah Nyonya Imelda yang menyuruhnya datang? Ataukah ada alasan yang lain?Joshua terus berpikir keras. Apa yang akan terjadi apakah, Alden akan terlihat atau lupa dengan Annabel?Laras, merasakan sakit hati. Sama sekali tak mengenal wanita itu, tapi dirinya merasa terhina. Apalagi menyebut dirinya, anak babu! Sepertinya, dia tahu banyak, tentang Laras dan Ayahnya."Siapa dia, Joshua?""Nanti aku jelaskan, Nona. Maaf tidak sekarang."Laras diam, tap
"Ayah!" Laras langsung memanggil ayahnya. Lihatlah."Ayah hanya bisa tergugu melihat begitu banyak belanjaan anaknya."Kau sudah gajian, Nak?""Ini, semua dari Alden, dan aku sekarang bekerja di kantornya.""Maksudnya? Kau ...""Iya, ternyata aku kerja di perusahaan Alden, lalu dia memindahkan tempat kerjaku yang tadinya aku ... a-ku." Laras tak melanjutkan kalimatnya. "Iya, magangnya sudah selesai jadi aku, sudah ditempatkan, dan aku bekerja pada Alden." jelas Laras berbohong."Lalu, ada hubungan apa, dia membelikan semua ini? Apakah ini, bertanda?"Laras langsung menyanggahnya, teringat sikap Alden yang berubah.'Tidak, Ayah. Tidak ada maksud apa-apa. Aku masuk dulu ke kamar." Laras segera membawa semua barang belanjaan itu.Dalam kamar, Laras bernapas lega. Pelan-pelan, Laras mencoba baju kerjanya, komplit dengan sepatu tinggi, dan tas bermerek mahal.Sementara itu, dalam kamar Joshua masih terus mendekati Alden."Tuan, apa tuan sudah teringat sesuatu? Sebelum kecelakaan yang meni