Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
"Lepaskan! Aku tak bersalah!" teriak gadis berambut panjang dan sedikit berwarna semburat merah. Sementara di dekatnya beberapa pot bunga nampak becah berantakan. "Hai, gadis kecil. Sepertinya tidak pada tempatnya, kau bermain bola di sini!" Sebuah suara berwibawa terdengar. Beberapa orang lelaki yang memegang lengannya segera melepasnya. Gadis itu segera menengok ke sumber suara tersebut, terlihat seseorang memakai stelan jas berwarna hitam, rapi. Rambutnya begitu licin berbelah pinggir, aroma parfumnya sudah menguasai penciuman gadis tersebut. "Maafkan aku, aku tak tahu kalau bola yang ditendang temanku mengenai pot-pot ini, tuan. Aku hanya hendak mengambil bola tersebut. Tapi algojo tuan, malah memfitnahku memecahkan pot itu." Tuan beraroma wangi itu, memandang gadis di depannya, wajah imut, celana belel sebatas lutut, terlihat sangat tak sopan berpakaian seperti itu. "Bukankah kau putri, Pak Pardi, bukan?" "Betul, aku anak bungsu, tukang kebun anda, tuan." Jawaban gadis itu
"Laras ..." panggil balik. Mereka pun tertawa bersama, "Tidak usahlah, datang ke tempat ayah," "Aku ingin, ayah. Lihat aku buat makanan ini untuk Ayah." Laras membuka bekalnya, dan terlihat makanan yang mengunggah selera. "Laras apa aku, juga boleh makan?" "Oh tentu saja , ayo ..." Kebahagian yang membuat iri semua orang, Laras, besar bersama Ayahnya. Ibunya sudah meninggal, Laras dititipkan pada adiknya, kini sudah tumbuh besar dan menjadi gadis cantik yang periang dan tomboy. Akhir-akhir ini, dirinya membantu bibinya menjualkan buah-buahan. "Ayah, aku pergi dulu, pasti bibi, sudah menungguku." "Pergilah, hati-hati,' pesan Ayahnya. "Baik, Ayah." *** "Silakan Tuan, buah ini rasanya manis sekali. Berbeda dengan buah tetangga. Ini buah matang di pohonnya nggak pake karbit, Tuan. Silakan incipi yang sudah saya kupas ini." Tawar gadis itu dengan lihatnya. Lalu menyodorkan piring kecil berisi potongan buah mangga yang sudah terpotong kecil-kecil. "Apa ini, bersih?" tanya lelak
Terjadi tragedi Mangga, Alden yang terlalu makan banyak buah mangga itu mengalami diare. "Sudah aku ingatkan, tapi tuan tidak percaya." "Sudahlah kau jangan banyak meracau. Mengapa kau tak diare Josh, bukan kah kau pun makan begitu banyak?" "Oh perut aku nggak latah, tuan, sudah terbiasa dalam keadaan apapun." 'Hai! Kau pikir perutku latah juga karena kena diare!" Bentakan dari Alden membuat Josh langsung menghentikan candaannya. "Maaf, Tuan." "Ah, kau ini. Bantu aku. Hari ini ada rapat, gunakan slide saja. Aku tinggal duduk dan prestasi. Usahakan rapat hanya 25 menit saja, paham!" "Paham, Tuan. Apa sisa mangga perlu kita kembalikan lagi, Tuan?" Alden langsung mendelik pada Josh. *** Karena diare, Alden tak berangkat ke kantor hari ini, ini pertama kalinya dirinya hanya berdiam diri di rumah. Semua tugas kantor di serahkan pada Joshua. Dari jam sembilan tadi, sudah hampir 20 lebih, Alden mondar-mandir ke toilet. "Tuan, apa tak sebaiknya, kau ke rumah sakit?" tanya Rosa.
"Apa! Maksudmu, aku? Aku mendapat panggilan kerja?" "Iya, kau berhasil Laras! Kali ini kau yang terpilih." Kedua sahabat itu berlompatan kegirangan. "Ayah ... Ayah ... Lihat kertas pemberitahuan ini. Aku masuk mendapatkan panggilan kerja." "Benarkah?" "Iya, Ayah nggak bakal percaya kan? Lihat lah, cuma aku yang mendapatkannya." Lelaki berkacamata itu, melihat kertas pemberitahuan itu. Benar adanya nama anaknya Laras Kencana mendapat panggilan wawancara kerja di sebuah perusahaan Ayahnya segera memeluk anak semata wayangnya. "Bersyukurlah, Nak. Kepada Tuhan. Karena sudah mengabulkan semua doa-doamu, Nak. Capailah cita-citamu." "Oh, Ayah. Aku menyayangi mu, yah." Ada hujan air mata siang ini. Juga dari Meta sahabatnya. *** Hari ini, apa yang dijanjikan Ibunya, untuk mendatangnya dua calon isteri untuk Alden terpenuhi. Dua wanita anggun sudah duduk di ruang tamu yang luas. Satu berbaju biru muda, berbahan satin. Model sabrina, nampak kulit mulusnya bersinar. Layak sebagi istr
"Apa! Maksudmu, aku? Aku mendapat panggilan kerja?" "Iya, kau berhasil Laras! Kali ini kau yang terpilih." Kedua sahabat itu berlompatan kegirangan. "Ayah ... Ayah ... Lihat kertas pemberitahuan ini. Aku masuk mendapatkan panggilan kerja." "Benarkah?" "Iya, Ayah nggak bakal percaya kan? Lihat lah, cuma aku yang mendapatkannya." Lelaki berkacamata itu, melihat kertas pemberitahuan itu. Benar adanya nama anaknya Laras Kencana mendapat panggilan wawancara kerja di sebuah perusahaan Ayahnya segera memeluk anak semata wayangnya. "Bersyukurlah, Nak. Kepada Tuhan. Karena sudah mengabulkan semua doa-doamu, Nak. Capailah cita-citamu." "Oh, Ayah. Aku menyayangi mu, yah." Ada hujan air mata siang ini. Juga dari Meta sahabatnya. *** Hari ini, apa yang dijanjikan Ibunya, untuk mendatangnya dua calon isteri untuk Alden terpenuhi. Dua wanita anggun sudah duduk di ruang tamu yang luas. Satu berbaju biru muda, berbahan satin. Model sabrina, nampak kulit mulusnya bersinar. Layak sebagi istr
Gadis bernama kintan itu, tersenyum manis pada Alden. Gadis blasteran India dan indonesia itu mendekat pada Alden, dan mengulurkan tangannya. Alden tergugu melihat teman semasa SMP-nya kini berada di depannya. Penampilannya sungguh sangat berbeda, dulu tubuhnya yang tambun kini berubah menjadi langsing dan kulitnya putih bersih, perubahan pada fisiknya pun terlihat nyata, dengan buah dadanya yang membusung besar. Akhirnya, Alden menyalami Kontan, dengan ragu-ragu. Ada firasat yang tidak enak atas kehadirannya. "Sekali lagi, aku tanya, ada keperluan apa, kau kemari? Ada acara reuni?" Alden bertanya dengan egoisnya, tanpa basa-basi pada seorang wanita cantik macam Kintan. Gadis berpakaian sopan itu, tersenyum, "Kau tak berubah, Alden. Masih saja angkuh seperti dulu. Aku pun baru tahu kalau kau belum punya pasangan. Ibumu yang memasang iklan, untuk jodohmu. Jadi ... Aku beranikan diri menemuimu. Maaf ..." serunya manja. Ada lirikan menggoda pada sudut matanya. "Ish, kau ini, aku suda
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras menatap Alden yang tiba-tiba jatuh pingsan saat sudah sampai di rumah sakit.Lelaki yang baru saja semalam menjadi suaminya ini, terbaring dalam luka yang cukup serius, sedangkan dirinya hanya luka ringan pada sikunya. Ponsel Alden sudah aman dalam tas Laras. "Bangun, Alden .... Jangan buat aku jadi janda. Baru saja nikah tadi malam." kata Laras pelan dan mengembuskan napasnya kesal.Namun, Alden masih juga terdiam, dalam pikiran Alden ada seseorang yang memanggilnya dengan pelan. Alam bawah sadarnya terbawa ke masa kecilnya, di mana ayahnya, memeluk erat dirinya saat mobil yang ditumpanginya bermanuver. Hingga tubuh mereka terbentur dalam badan mobil.Tangan ayahnya melindungi kepala Alden dengan kuat. "Ayah, bangun yah!" teriak Alden kecil. Melihat ayahnya terbujur kaku.Beberapa benturan pun akhirnya mengenai kepala bagian kiri Alden. Malang tak dapat di tolak, Alden mengalami gegar otak ringan. Laras melihat suaminya tanpa berkedip. Membelai pipinya, dan tiba-tiba, mengecu
Joshua memandang tajam pada Laras begitu juga Alden."Lepaskan, sakit tahu!""Katakan darimana kau tahu?""Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku?""Kapan?""Saat ... Saat di pantai dulu."Keruyuk .. terdengar dari perut Laras. Alden menelan salivanya."Jalan Josh, kita cari rumah makan."Alden melepas tangan Laras. Dirinya pernah menceritakan tentang hal tersebut? Alden masih meraba-raba lagi ingatannya.Laras mengelus bekas cengkraman tangan Alden, ada bekas merah yang membuatnya meringis sakit."Maaf ..." bisik Alden pelan pada Laras.Laras mengangguk pelan.Joshua pun memasuki area rumah makan yang terlihat sedikit sepi. Mereka pun masuk, mengisi perut yang terasa lapar. Sementara itu, dalam rumah besar itu, duduk Imelda, sedang berusaha menghubungi seseorang berkali-kali."Tante, apa yang harus aku lakukan ..." Annabel cemberut."Buat, wanita hina itu tak betah di rumah ini, ibumu jagonya, tanyakan pada dia," jawab, Imelda masih terus sibuk dengan ponselnya."Mengapa harus t
Laras terdiam duduk di sudut pembaringan yang empuk. Namun hatinya tak tenang. Karena Alden yang terus menatapnya dari tadi dari sudut ruangan dimana Alden duduk di sebuah sofa besar. Bak seorang tawanan. Laras tak tahu lagi mau bicara apa. Dan akhirnya,"Aku mau berganti pakaian." lirih Laras berucap.Alden masih juga menatapnya dalam pandangan yang berbeda.Lebih baik aku katakan terus terang saja, batin Laras."Kau masih ingat perjanjian sebelum nikah kan?" "Perjanjian? Perjanjian yang mana? Sekarang aku saja bingung. Mengapa aku menikahimu. Tapi aku harus menikahimu, membingungkan bukan? Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?" "Hah! Masih belum ingat toh," ucap Laras, seakan ada kesempatan untuk bisa menghindari sesuatu yang tak inginkan."Baik, sekarang aku mau berganti pakaian, jadi lebih baik kau keluar saja dulu.""Tapi, kau istriku aku ...""Saat ini jangan fikirkan hal tersebut. Aku mohon." Suara Laras merendah, agar sifat Alden yang sedikit arogan tidak kambuh lagi.T
Laras memperhatikan terus, lelaki yang marah-marah pada Vespanya. Laras hanya tertarik pada kamera jadul yang melingkar pada leher lelaki itu. Sepertinya dia pernah lihat seseoarang membawa dan memegang kamera mahal tersebut. Tapi di mana? Laras kecil sejak ibu pengasuhnya meninggal langsung ikut dengan bibinya di desa. Adik ayahnya inilah yang merawat hingga Laras dewasa, setelah dirinya mampu mandiri. Laras kini bersama ayahnya, menemani sekaligus harus dekat dengan ayah ini. Karena bibinya sudah meninggal. Mata Alden menatap Laras tak berkedip. Cewek ini terlihat biasa saja, tapi mengapa Alden merasa Pasti bahwa Laras adalah orang yang istimewa."Kau kenal dengan diam" tanya Alden"Tidak," Laras tersadar dan menjawab sambil menggelengkan kepalanya.Alden masih menikmati kopi dan rotinya. Kni giliran Laras yang memandang lelaki gagah di depannya. Sepertinya sebuah cerita rahasia yang Alden ungkapkan tempo hari pada Laras sebelum kecelakaan itu, masih terngiang di ingatan Laras. Apa
Alden terus menatap Laras yang duduk di hadapannya. Laras merasa jengah dan tak nyaman, saat mata tajam Alden terus menatapnya tanpa berkedip."Aku suka memandangmu, tapi apa yang aku suka? Aroma tubuhmu aku suka. Aku seakan terikat dengan pesonamu, siapa sebenarnya kamu?" tanya Alden sambil terus mengingat sesuatu.Laras terdiam, ingin rasanya Laras ungkapkan rahasia yang dulu pernah Alden ungkapkan antara mereka berdua saja. Akan tetapi bibir Laras terkunci rapat. Apakah betul amnesia itu akan hilang. Bila itu terjadi ? Apa Alden ingat rahasia besar yang diungkapkannya secara empat mata bersamanya."Tuan ..." Bisik Laras."Panggil aku Alden dulu kau panggil aku hanya nama bukan?""Tuan ...""Alden ... Al–den""Al den.." Laras berbisik lirih. Suaranya seperti tercekat, pasti kau sangat tersiksa Alden atas ingatan yang tak bisa kau jangkau.Cukup lama Laras memandang Alden, begitu juga Alden, yang sedang dalam taraf penyembuhan ingatannya itu. Secara perlahan, kepala mereka semakin
Joshua memesan sebuah greb dan membawa Laras pergi dari tempat tersebut. Joshua teringat kembali dengan sosok Annabel. Alden dan gadis itu tumbuh bersama. Annabel adalah anak sahabat Nyonya Imelda. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi, Alden tak pernah akrab ataupun akur dengan Annabel. Tapi wanita itu terus saja membayangi kehidupan Alden. Hingga saat dirinya harus melanjutkan sekolahnya di Belanda, tetap saja Annabel tak kurang akal. Tetap, mengikuti semua kehidupan Alden. Entah ini, kabar dari mana? Tiba-tiba, Annabel ada di sini. Apakah Nyonya Imelda yang menyuruhnya datang? Ataukah ada alasan yang lain?Joshua terus berpikir keras. Apa yang akan terjadi apakah, Alden akan terlihat atau lupa dengan Annabel?Laras, merasakan sakit hati. Sama sekali tak mengenal wanita itu, tapi dirinya merasa terhina. Apalagi menyebut dirinya, anak babu! Sepertinya, dia tahu banyak, tentang Laras dan Ayahnya."Siapa dia, Joshua?""Nanti aku jelaskan, Nona. Maaf tidak sekarang."Laras diam, tap
"Ayah!" Laras langsung memanggil ayahnya. Lihatlah."Ayah hanya bisa tergugu melihat begitu banyak belanjaan anaknya."Kau sudah gajian, Nak?""Ini, semua dari Alden, dan aku sekarang bekerja di kantornya.""Maksudnya? Kau ...""Iya, ternyata aku kerja di perusahaan Alden, lalu dia memindahkan tempat kerjaku yang tadinya aku ... a-ku." Laras tak melanjutkan kalimatnya. "Iya, magangnya sudah selesai jadi aku, sudah ditempatkan, dan aku bekerja pada Alden." jelas Laras berbohong."Lalu, ada hubungan apa, dia membelikan semua ini? Apakah ini, bertanda?"Laras langsung menyanggahnya, teringat sikap Alden yang berubah.'Tidak, Ayah. Tidak ada maksud apa-apa. Aku masuk dulu ke kamar." Laras segera membawa semua barang belanjaan itu.Dalam kamar, Laras bernapas lega. Pelan-pelan, Laras mencoba baju kerjanya, komplit dengan sepatu tinggi, dan tas bermerek mahal.Sementara itu, dalam kamar Joshua masih terus mendekati Alden."Tuan, apa tuan sudah teringat sesuatu? Sebelum kecelakaan yang meni