Duh, ada nenek ... 😎😎
“Nenek?!” seru keduanya.Nenek William berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi tak terbaca. Ada sedikit senyum di sudut bibirnya, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Keduanya langsung membenarkan posisi mereka, karena saat ini keduanya terlihat sangat dekat dan sedikit intim.“Maaf mengganggu,” ujar sang nenek, melangkah masuk tanpa menunggu izin. “Tapi aku harus mendiskusikan hal ini denganmu William.”William dan Kayla saling berpandangan. “Apa yang ingin nenek diskusikan?” tanya William dengan nada yang sedikit lebih dalam, menatap neneknya dengan penuh kewaspadaan.Daisy duduk di kursi seberang mereka. Pandangannya beralih pada Kayla sesaat, senyum hangat tersungging di bibirnya.“Sebenarnya ini aku ingin bicara hanya denganmu, Will. Tapi karena Kayla ada di sini, mungkin akan lebih baik sekalian.”Kayla berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan menundukkan pandangan, namun perasaannya seakan tertahan. Entah kenapa, setiap kalimat yang keluar dar
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Kayla sudah sampai di rumah. Usai sepenuhnya sadar, wanita itu langsung pergi tanpa banyak berpikir panjang, meninggalkan teman kakaknya yang masih tertidur dengan sangat pulas. “Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini!?” Tidak henti-hentinya Kayla mengulangi kalimat itu seperti merapal mantra sambil menutup wajahnya dengan frustasi. Seumur hidupnya, tidak pernah Kayla membayangkan bahwa dirinya akan tertimpa masalah sebesar dan segila ini! Beruntung, saat ini orang tua Kayla sedang pergi bersama dengan kakak laki-lakinya untuk mengurus bisnis keluarga mereka di luar kota. Demikian, selain para pelayan—yang tentunya tidak akan berani bertanya—tidak ada yang benar-benar tahu alasan dirinya tidak pulang tadi malam! Sejauh yang Kayla ingat, di malam lalu dirinya kalah berkali-kali dalam permainan dengan teman-temannya dan berakhir mabuk. Kemudian, di saat yang bersamaan, teman-teman Kayla ini menantangnya untuk memilih pria tertampan di bar untuk dicium, ya dicium! Kayla y
Visual yang sangat terpahat sempurna ini siapapun yang pernah melihatnya sudah jelas tidak akan bisa dengan mudah melupakannya. Apalagi tatapan mata tajam berwarna abu-abu ini, pria itu tampak jelas sangat memukau. Terutama untukKayla, yang baru beberapa hari lalu tidur dengannya! “K-Kak … Will?!” Panggilan kecil Kayla membuat sang pria yang berdiri tegap selagi menatap teman-temannya itu menurunkan pandangan, memandang lurus mata hitam milik Kayla. “Lama tidak bertemu, Kay,” ucap William dengan suara dalam. Mendengar balasan William, benak Kayla mendadak menjadi ribut. Bukankah Ghafa bilang temannya yang satu ini tidak diundang?! Lalu, kenapa sekarang William berada di sini? Apakah Ghafa membohongi Kayla!? Selagi deretan pertanyaan itu berputar di otak Kayla, terdengar suara seseorang berseru, "William!” Kayla menoleh dan mendapati sosok Ghafa bergegas turun dari panggung untuk kemudian menghampiri sahabat dekatnya itu. Sebuah pelukan hangat dihadiahkan kakak Kayla
Pertanyaan William membuat semua orang langsung terkesiap. “Astaga, Kayla! Sudah dilamar itu!” “Cepat terima!“ Mendengar komentar beberapa temannya itu, Ghafa juga langsung tertawa rendah seraya menatap saudarinya itu dengan tatapan terhibur. “Kalau kamu diam seperti ini, Kakak akan artikan kamu menerima lamaran William loh, ya? Dengan begitu, kita bisa—” PLAK! Suara pukulan mengejutkan semua orang, menyadari bahwa Kayla baru saja menepis tangan Ghafa dengan begitu kencang dari pundaknya. Dengan wajah dingin, gadis itu berkata, “Aku yakin kakak-kakak punya banyak hal untuk dibicarakan selain diriku, jadi aku izin dulu untuk menjamu tamu lain. Permisi.” Usai mengatakan hal tersebut, tanpa menoleh sedikit pun ke arah William maupun Ghafa, Kayla langsung berbalik dan berlari kecil untuk pergi meninggalkan tempat itu. Seorang teman wanita Ghafa yang merasa sedikit tidak enak melihat Kayla pergi seperti itu gegas bertanya, “Dia tidak marah ‘kan, Ghaf? Apa candaan kita tad
Mendengar suara Kayla, empat orang yang terduduk di sofa ruang tamu itu langsung menoleh ke arahnya. "Kayla?" Andre dan Hana—ayah dan ibu Kayla—langsung menatap sang putri dengan kaget. “Ternyata dari tadi kamu sembunyi di kamar tamu? Pantas sulit sekali mencarimu,” ucap Ghafa dengan tangan terlipat dan wajah santai, seakan apa yang baru saja dibicarakan tidak sepenting itu. Sementara itu, Kayla mengabaikan ucapan kakaknya. Dia langsung menatap sang ayah dan bertanya, “Apa aku tidak salah dengar? Papa baru saja berkata kalau aku akan menikah dengan Kak William?” Mendengar pertanyaan putrinya, Andre pun menghela napas. Kentara jelas bahwa Kayla sudah mendengar inti pembicaraan dan tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Alhasil, pria itu langsung menganggukkan kepala tegas. “Ya, itu benar. Kamu dan William akan menikah,” ucap pria paruh baya itu membenarkan. Jantung Kayla berdebar. “Kenapa?!” Dia merasa sangat takut dan bingung. Mungkinkah kejadian di malam itu sudah terbong
Balasan Kayla membuat seisi ruangan menjadi hening. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan penolakan yang begitu keras dari gadis itu! Sampai akhirnya, Ghafa menjadi orang pertama yang memecah keheningan. “Kay, kamu jangan konyol. Selama ini kamu yang terus merengek ingin menikah dengan William, kenapa sekarang malah menolak!?” tanya kakak Kayla itu dengan wajah menekuk. Kayla membalas tatapan Ghafa dengan serius. “Terakhir kali aku mengatakan itu adalah ketika aku masih SD, Kakak percaya omongan anak SD?” balasnya ketus sebelum menatap sang ayah. “Aku sudah dewasa, dan aku punya hak untuk memilih jalan hidupku sendiri. Demikian, aku tidak menerima perjodohan ini.” tegasnya. Andre dan Hana langsung terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mereka tidak menyangka reaksi sang putri akan seperti ini. Namun, wasiat dari Nenek Yulia yang juga mengungkit janji dengan kakek Kayla—ayah dari Hana—juga bukan hal yang bisa ditepis begitu saja. Apa kiranya yang harus mereka lakukan?
Kayla terpana. William tadi bilang apa?“Kak Will … ingat semuanya?” tanya Kayla dengan tubuh bergetar.“Setiap detiknya,” William memandang gadis itu tanpa berkedip, “dan setiap jengkal tubuhmu.” Dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah yang merona merah akibat malu dan marah, Kayla berucap setengah berseru, “Lalu, ketika tadi bertemu denganku, kenapa Kakak bersikap seakan tidak terjadi apa-apa!?”Reaksi Kayla membuat William terdiam sesaat. Dia menjauhkan diri dari gadis itu, lalu bertanya, “Memang, kamu ingin keluargamu tahu mengenai apa yang terjadi di antara kita malam itu?” Ucapan pria tersebut sukses membuat Kayla tersentak. “I-itu—““Aku tidak keberatan jika demikian,” ucap William santai. “Hal terburuk yang bisa terjadi adalah … mereka akan menikahkan kita lebih cepat.”Kayla memasang wajah tidak percaya saat melihat sikap pria di hadapannya ini. Bisa-bisanya William berbicara mengenai pernikahan seakan hal tersebut bukanlah apa-apa!?‘Inikah pria yang selama bertahun-tahun
“Nenek?!” seru keduanya.Nenek William berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi tak terbaca. Ada sedikit senyum di sudut bibirnya, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Keduanya langsung membenarkan posisi mereka, karena saat ini keduanya terlihat sangat dekat dan sedikit intim.“Maaf mengganggu,” ujar sang nenek, melangkah masuk tanpa menunggu izin. “Tapi aku harus mendiskusikan hal ini denganmu William.”William dan Kayla saling berpandangan. “Apa yang ingin nenek diskusikan?” tanya William dengan nada yang sedikit lebih dalam, menatap neneknya dengan penuh kewaspadaan.Daisy duduk di kursi seberang mereka. Pandangannya beralih pada Kayla sesaat, senyum hangat tersungging di bibirnya.“Sebenarnya ini aku ingin bicara hanya denganmu, Will. Tapi karena Kayla ada di sini, mungkin akan lebih baik sekalian.”Kayla berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan menundukkan pandangan, namun perasaannya seakan tertahan. Entah kenapa, setiap kalimat yang keluar dar
William berusaha untuk tetap tenang, tetapi baru kali ini dia benar-benar tak mampu menutupi rasa kekhawatirannya. Khawatir akan kesalahpahaman Kayla dengan kejadian barusan, dan juga kalimat yang dilontarkan oleh Laura sedikit banyak, jelas akan menimbulkan kesalahpahaman.Tanpa berkata apa-apa, William dengan cepat menggenggam tangan Kayla dan menariknya menuju ruangannya. Kayla sedikit terkejut dengan gerakan mendadak itu tetapi membiarkannya. Ia tahu suaminya sedang mencoba menjelaskan sesuatu.Begitu sampai di ruangannya, William menutup pintu dan memastikan tidak ada orang yang mendengar mereka. Ia menatap Kayla dengan ekspresi penuh penyesalan.“Kay, aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi dengar dulu,” ujar William, suaranya lembut tetapi tegas. Kayla memberikan respons dengan mengangguk-anggukan kepalanya perlahan.“Laura itu … dia hanya datang untuk memberikan penawaran kerjasama terkait proyek besar Ellysium dengan perusahaan mereka yang basenya ada di–”“Tidak perlu menjelask
“Nenek …?” gumam Kayla pelan nyaris tak terdengar.Daisy, dengan penampilan anggun berdiri di dekat pintu masuk, tatapannya tajam namun penuh wibawa. Wanita itu berjalan dengan langkah pasti mendekati Kayla, dia lalu melihat ke sekitar mereka. Baik satpam maupun resepsionis itu tertunduk melihat Daisy.“Kenapa kalian berlaku tidak sopan dengan keluarga kami?” Daisy berkata dengan nada dingin.“Ma-maaf Nyonya besar, kami benar-benar tidak tahu, karena … banyak wanita yang sering datang ke tempat ini dan mengaku-ngaku sebagai orang-orang yang dekat dengan Tuan William, kami hanya ingin menjalankan prosedur keamanan saja dan Nona ini mengaku sebagai istri dari Tuan William.” Resepsionis itu menjelaskanDaisy tidak menghiraukan penjelasan yang diberikan wanita muda itu, dia menghampiri Kayla dengan cepat.“Kayla, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Daisy dengan nada khawatir dan penuh perhatian.Kayla diam sejenak, banyak hal yang berkecamuk dalam kepalanya yang dia tidak mengerti, nenek Willia
Kayla terlihat sangat bersemangat saat akan memasak makan siang untuk dibawa ke kantor William, hal ini juga bisa dirasakan oleh Rose, yang saat ini sedang membantu Kayla memasak di dapur.“Nyonya sangat bahagia menyiapkan makan siang untuk Tuan William,” ucap Rose pada Kayla ditengah kesibukan mereka.Kayla tersenyum mendengarnya. “Karena semua ini harus disiapkan dengan hati yang bahagia, Bibi, dengan begitu makanan yang kita buat akan terasa nikmat, karena ada cinta di dalamnya.”“Nyonya, Anda benar-benar istri yang sangat baik.” Rose memujinya.Kayla tertawa rendah. “Bibi bisa saja. Bukankah kita tentunya harus menjadi istri yang baik untuk suami kita sendiri.”“Anda benar, Nyonya.” Rose berkata dengan penuh semangat.Tidak begitu lama kegiatan mereka selesai. Kayla memasukkan sendiri makanan itu ke dalam kotak makanan yang akan dibawa oleh Kayla kepada suaminya lalu meletakkannya di atas meja.“Bi, aku ke atas dulu,” ucap Kayla pada Rose lalu pergi ke kamarnya.Sesampainya di kama
William tidak terlalu banyak berpikir tentang pembicaraannya dengan Daisy barusan. Yang terpikir olehnya saat ini adalah menghadapi sang kakek, Walter, yang pasti akan sangat marah padanya terkait pertemuannya dengan Laura semalam.Benar saja, ketika William membuka pintu ruang kerja Walter, pemandangan yang menyambutnya langsung membuat dadanya terasa sesak. Walter duduk di sofa dengan postur tegap, menatap cucunya dengan pandangan tajam penuh intimidasi. Suasana ruangan yang sudah dingin terasa semakin mencekam. Aura Walter yang kuat seolah menyerap setiap percik energi positif pagi itu.“William, kau datang tepat waktu. Duduklah,” ujar Walter dengan nada berat, menyiratkan bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa.William mengangguk tanpa banyak bicara, lalu mengambil tempat duduk di sofa yang berseberangan dengan kakeknya. Ia tahu, percakapan ini tidak akan berakhir baik.Walter memulai pembicaraan dengan suara rendah tetapi penuh tekanan. “Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya ada d
Di sisi lain, William duduk di dalam mobil dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gabriel melirik ke arahnya melalui kaca spion, mencoba menilai suasana hati atasannya.“Bos, sepertinya kalian sudah menyelesaikan masalah salah paham akibat gambar yang dikirimkan oleh sekretarismu itu ke Kayla, ya?” tanya Gabriel dengan santai, karena dia hanya ingin mencairkan suasana.William tidak menjawab dia hanya menghela napas dalam.“Kenapa lagi? Masih ada hal baru yang belum aku ketahui?” tanya Gabriel penasaran.“Kita ke rumah Kakek dulu.” William berkata singkat.Hal ini memicu pertanyaan yang makin membuat Gabriel penasaran. “Apa kamu mau membuat kekacauan di sana?!”Kembali William menghembuskan napas dengan kasar mendengar pertanyaan Gabriel barusan.“Kamu bicara apa sih?! Apa menurutmu ini bisa diselesaikan dengan membuat kekacauan?!” Nada bicara William terdengar tidak suka.“Maaf-maaf. lagipula, ditanya malah diam-diam begitu. Ingat aku ini bukan dukun atau jin yang bisa nebak isi otak ka
Suara Walter terdengar tegas dan dingin, membuat William merasa terpojok sejak awal. Pagi itu, suasana hati William sudah kacau sejak telepon berdering. Dia tahu persis arah pembicaraan ini, terutama setelah dia memutuskan untuk menentang aturan kakeknya semalam dengan memberitahukan pada Laura kalau dia sudah menikah, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.“William! Katakan padaku, apa yang kamu perbuat sampai dia menjadi seperti itu?!” Walter kembali bertanya padanya dengan suara yang cukup tajam.William menghela napas panjang. Kali ini, dia tak berniat menyembunyikan ketidaksenangannya. “Aku tidak menyangka sepagi ini kakek menghubungiku hanya untuk bertanya hal yang tidak ada kepentingan mendesak terkait dengan pekerjaan.”“Apa kamu bilang?! Apa menurutmu ini tidak ada kepentingannya? Apa kamu sudah mulai bodoh setelah menikah, Will?” Suara Walter makin dingin, tetapi William bisa merasakan gejolak emosi yang cukup tinggi saat ini.“Soal suasana hati ini, Kakek tahu ban
Kayla menunduk, wajahnya memerah karena ucapan William barusan. Ia mencoba menahan senyumnya, tapi tidak berhasil. Tangannya bergerak memainkan renda yang ada di ujung baju dengan telunjuknya, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan hangat yang merayap di dadanya. “Kak Will ini … suka sekali bikin aku malu,” gumam Kayla pelan, tapi cukup keras untuk didengar William. William tertawa kecil, meletakkan piring stik keju ke meja di depannya. Ia menatap Kayla dengan lembut, senyumnya penuh arti. “Bukannya aku bikin kamu malu, tapi aku cuma jujur.” “Jujur apanya? Itu kan jelas-jelas gombal!” Kayla mendengkus, mencoba mengusir rasa malunya dengan nada yang sedikit protes. William mendekatkan tubuhnya, membuat Kayla secara refleks bergeser sedikit ke samping. Tapi sofa itu terlalu sempit, hingga akhirnya Kayla tak punya ruang untuk menjauh lagi. “Kenapa mundur? Takut, ya?” goda William lagi, suaranya rendah, tapi nadanya terdengar main-main. Kayla mendongak, menatap William dengan a
Kayla kembali ke kamar membawa sepiring camilan yang telah ia buat sebelumnya. Namun, kemudian dia mendapati William duduk termenung di tepi tempat tidur. Punggung tegap pria itu sedikit membungkuk, tangannya terlipat di atas lutut, dan tatapan matanya menerawang ke arah jendela. Ada sesuatu di dalam sorot matanya—sebuah kerumitan yang sulit dijelaskan.“Kak, camilannya sudah siap. Mau coba?” Kayla tersenyum, meletakkan piring di atas meja kecil di samping tempat tidur sambil memecahkan pikiran William.William menatap Kayla, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih.”Kayla duduk di sebelah William, memperhatikan wajah suaminya dengan seksama. “Kak, ada yang mau diceritakan?” tanyanya hati-hati.William menggeleng. “Tidak ada apa-apa, Kay.”“Tapi aku merasa ada sesuatu,” balas Kayla pelan.William tersenyum, lalu meraih tangan Kayla. “Bukannya kamu penasaran akan sesuatu, Kay?”Kayla mengerutkan keningnya.“Yakin tidak mau tanya padaku?” William berkata mendesak dengan nada sedikit menggod