"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"
°°°
Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.
Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo.
"Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.
Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?
Adriana menggelengkan kepalanya, menepis kemungkinan-kemungkinan itu karena hal seperti itu tidak mungkin bisa membuat Damian seperti orang gila. Dia sudah sering ditawari proyek besar, bahkan syuting film luar, tapi ekspresinya tidak pernah sesenang ini. Untuk harta warisan? Bukankah Damian memang punya saham di perusahaan orang tuanya? Jadi, tidak ada yang perlu disenangi.
"Emang apaan yang buat lo berubah jadi orgil kayak gini?" tanya Adriana memastikan.
Damian menatapnya cepat, matanya memicing tajam. "Kepo banget sih!" katanya berubah ketus.
"Dia mau nikah, Na!" umum satu suara dari balik tubuh Damian.
Mata Adriana langsung membulat begitu Dedi—sutradara film mereka—mengucapkan fakta yang tidak disangkal Damian. Benarkah demikian? Adriana selama ini berpikir Damian merupakan jenis pria bebas yang tidak mau memiliki ikatan, tapi ternyata dugaannya salah.
"S-serius, Dam? Cewek sial mana yang mau lo jadiin istri?" tanya Adriana tidak habis pikir.
Damian mendelik. "Sial kepalamu! Dia malah beruntung bisa nikah sama cowok ganteng kayak gue!"
Adriana memutar bola mata malas. "Ganteng doang, tapi berengsek. Gue kalau ditawarin nikah sama lo juga ogah, Dam!" nyinyirnya.
"Emang lo pikir gue mau nawarin lo nikah? Enggak lah ya, sorry, selera gue tinggi!"
Skakmat!
Meski Adriana memang tidak mengharapkan Damian seperti yang dikatakannya tadi, tapi balasan Damian cukup menyakitinya. Iya, siapa juga yang mau dengan gadis tomboy seperti dirinya?
"Sialan lo, Buaya Buntung!" maki Adriana kesal, ia melempar bantal di pangkuannya ke arah Damian.
Pria itu malah tertawa saat melihat amarah Adriana, paling tahu jika rekan artisnya itu sumbu pendek. Menggoda Adriana membuat Damian terhibur, setidaknya dia punya teman yang bisa diajak bercanda. Meski dia agak sangsi, apakah Adriana menganggap kelakuannya selama ini hanya candaan semata?
"Jangan baperan dong! Gitu aja ngamuk!"
"Punya hati makanya baperan! Lagian orang sekarang kenapa sih, semenjak kenal kata baperan lupa kalau manusia itu punya sifat perasa, mudah tersinggung, terlebih karena manusia punya hati, tempat menyimpan segala rasa. Jadi, kesal gue sama kata baperan ini!" erang Adriana kesal.
"Yee dia curhat," cibir Damian tidak merasa bersalah sama sekali.
"Lo nggak boleh biarin sifat berengsek lo ini bertahan ketika udah nikah nanti, lo harus mempertimbangkan apa keinginan bini lo, jangan seenaknya aja. Bisa hancur kalo lo masih egois gini," ujar Adriana memberi nasihat.
Mendengar nasihat dari Andriana, Damian jadi kembali teringat dengan pembicaraannya bersama Adinda ketika di restoran tadi. Tentang permintaan gadis itu yang menyuruhnya menahan diri. Haruskah Damian turuti? Tapi, mereka 'kan sudah sah, tidak enak sekali kalau harus mengeluarkan di luar!
"Ngelamun aja lo! Dipanggil tuh, disuruh take!" seru Adriana tepat di depan wajah Damian, membuat pria itu mendengkus sembari bangkit dari duduknya.
Adinda ... gadis itu memang seperti rentenir, suka berkeliaran dan menghantui pikiran, tapi dalam konteks berbeda. Ah, sialan!
°°°
"Iya, Bun. Nanti aku pulang ya," ujar Damian lembut kepada sang Bunda.
Amira menghela napas panjang di seberang sana, takut kembali dibohongi oleh putra semata wayangnya. Pasalnya ini bukan pertama kalinya Damian memberi janji akan pulang, tapi sudah berkali-kali, dan nahasnya janji itu tidak pernah ditepati. Alasannya banyak sekali, mulai capek, ada syuting tambahan, atau pertemuan dadakan, dan lain sebagainya yang Amira hapal luar kepala.
"Kamu udah janji harus ditepati loh, Damian. Nggak baik ngingkari janji kayak gitu!" katanya memberi peringatan.
"Iya, Bun, kali ini janji bakal pulang. Bahkan sekarang aku udah di jalan, nih."
Damian juga bukan sengaja ingin mengingkari janji, tapi pekerjaan memaksanya untuk tetap stay. Meskipun harusnya perintah Ibu didahulukan, tapi ia tidak bisa juga melakukannya jika karir menjadi ancaman. Anggaplah dia anak durhaka karena jarang sekali menemui orang tuanya, tapi sungguh ia tidak dengan sengaja melakukannya.
"Oke, kalau begitu Bunda tunggu ya! Bunda tutup teleponnya, mau buat makanan kesukaan kamu. Assalamualaikum!"
Setelah mendapat ucapan salam dari Damian, barulah Amira memutus sambungan telepon. Damian menyandarkan tubuh lelahnya pada jok belakang mobilnya.
"Kita ke rumah ya, Pak!" perintah Damian pada sopir pribadinya.
Pria akhir enam puluhan itu mengangguk sesaat ketika mendengar perintah tuannya, ia kembali fokus pada pekerjaannya. Sedangkan di kursi belakang Damian sedang memijat batang hidungnya karena merasakan nyut-nyutan.
Damian kembali memikirkan permintaan Adinda, pemikiran itu terus bermunculan disaat Damian sedang tidak sibuk seperti ini, mengakibatkan kepalanya jadi berdenyut. Adinda selain membuatnya gemas juga bisa membuat Damian stres.
Mobil yang ditumpanginya akhirnya tiba di pekarangan rumah orang tuanya. Damian turun di depan beranda rumahnya, kemudian mobil dibawa ke tempat parkir oleh sopir.
Sambutan heboh dia dapati dari sosok wanita yang sudah merawatnya itu, Amira langsung memeluk anaknya erat-erat. Tangannya yang sudah mulai keriput mengusap kepala Damian dengan sayang.
"Bunda kangen banget sama kamu, Dami!" pekiknya girang.
"Me too, Ibunda."
Damian digiring masuk oleh Amira, sepanjang perjalanan memasuki rumah wanita itu tidak berhenti bicara. Banyak sekali yang dibahasnya, mulai dari taman bunganya yang mulai ditumbuhi bunga-bunga indah, Adinda yang baru menelepon memberi kabar tentang penerimaannya, sampai topik yang paling malas Damian dengar—Ayah yang meminta Damian untuk bergabung mengurus perusahaan.
"Aku udah bilang dari awal 'kan, Bun, aku nggak tertarik sama perusahaan," katanya malas.
Helaan napas Bunda terdengar berat. "Terus siapa yang mau ngurusin perusahaan setelah Ayah dan Bunda nggak ada nanti?" tanyanya sarkas.
"Ayah pasti punya orang kepercayaan, kasih aja sama orang itu. Kenapa harus berharap sama aku sih?"
"Percuma punya anak kalau mengandalkan orang lain!" ujar Bunda Amira menohok Damian.
Percuma punya anak.
Percuma.
Damian tertawa miris setelah Bunda beranjak menuju dapur. Ia merasa tidak berguna jika sudah seperti ini, tapi tidak mungkin menerima permintaan Ayah dengan paksaan.
"Kamu dipaksa nikah sama Adin mau, masa ngurus perusahaan nggak mau! Dasar anak aneh!" seru Bunda dari arah dapur, masih kesal dengan putranya.
Hah! Iya juga. Kenapa menikah dengan Adinda dirinya mau, sedangkan bertahun-tahun dibujuk untuk mengurus bisnis keluarga masih saja menolak? Apakah Damian tidak berminat sama sekali? Atau hanya alibi karena tidak sanggup menjalankan perusahaan?
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
'Ada satu keputusan yang sebenarnya kita ingin, hanya butuh dorongan lebih keras agar kita percaya diri mengambilnya.'
Ikuti terus ya kisah mereka!
Ajak teman-teman kalian untuk baca juga.
Salam sayang, Dee❤️
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan
"Yang paling menyakitkan itu memang berpisah dari orang yang kita sayangi." °°° Keesokan harinya, Adinda langsung diboyong ke apartemen milik Damian. Pria itu beralasan kalau ada panggilan syuting mendadak di dua hari berikutnya yang tidak bisa ditunda, jadilah Adinda menurut. Untungnya dia memang sudah berkemas dari kemarin. Gadis itu sedang menyusun baju-baju yang dibawanya pada walk in closed. Dia hanya membawa baju untuk kuliah hari Senin nanti dan beberapa potong baju tidur, sisanya masih tertinggal di rumah orang tuanya. Damian masuk ke kamar dengan berlembar-lembar kertas di tangannya, dia mengatakan itu kontrak-kontrak baru yang perlu dibaca terlebih dahulu sebelum ditandatangani. Sejak tiba di apartemen, pria itu sudah berkutat dengan pekerjaannya itu, mengabaikan jika ada satu makhluk lain yang butuh room tour singkat darinya. "Mas masih sibu
"Yang paling menyebalkan adalah ketika temanmu membicarakan sesuatu, tapi kamu tidak pahami." °°° Adinda tentu tidak sendirian saat belanja peralatan dapur di salah satu toko perkakas. Dia membawa serta dua sahabatnya yang tidak punya pekerjaan itu untuk menemani. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena menyembunyikan tentang pria yang akan menjadi suaminya. Dua gadis yang punya sifat berbeda itu meminta dibelikan banyak barang setelah ini, cari kesempatan. Mereka memilih penanak nasi, teflon, wajan, sodet, dua lusin piring dan gelas, sendok dan garpu, dan banyak lagi alat-alat dapur lainnya. Adinda benar-benar merasakan euforia menjadi pengantin baru karena kegiatan satu ini. Angel dan Ayara mengomel panjang lebar saat diceritakan bagaimana kondisi dapur di apartemen milik Damian. Mereka memiliki pikiran yang sama dengan Adinda, bagaimana Damian bisa bertahan menunggu makana
Sepanjang perjalanan menuju villa milik Damian, pria itu lebih banyak mengunci mulutnya. Ia menyetir dengan tenang, sesekali merespon kalimat Adinda dengan anggukan atau gumaman singkat, dan setelah sampai ke villa pun ia hanya mempersilakan Adinda masuk sebelum akhirnya menghilang terlalu lama di kamar mandi. Melihat semua keanehan itu, Adinda tidak bisa untuk diam saja, ia penasaran. Maka begitu Damian keluar dari kamar mandi, Adinda langsung menyerangnya dengan pertanyaan. "Kamu kenapa sih, Mas, kok daritadi diem aja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Adinda kepo. Damian menggeleng, tapi tetap enggan membuka suara. Membuat Adinda semakin penasaran dengan sikapnya. Wanita itu mengikuti kemanapun Damian pergi, bahkan saat pria itu berganti pakaian. Tidak perduli bahwa wajahnya memerah karena melihat tubuh polos suaminya. Adinda mengikuti Damian ke atas ranjang, ikut duduk di tempat empuk itu. Damian meliriknya. "Nggak mandi?" tanyanya risih. Damian tahu kalau sikapnya ini membu
Damian benar-benar membawanya untuk jalan-jalan seperti yang dia katakan sebelum memaksa ikut Adinda survey lokasi syuting. Pria itu mengajaknya ke Bandung, butuh waktu tiga jam tiga puluh menit untuk sampai di lokasi tujuan, floating market Lembang. Pria itu ingin merasakan sensasi belanja di pasar terapung, membeli beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka membeli beberapa buah-buahan segar siap makan untuk mengisi perut sembari berkeliling di area air di area tersebut. Adinda mengajak Damian untuk membeli pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang. Damian setia mengikutinya dengan topi yang menutupi kepalanya, kaca mata hitam dan masker yang menyamarkan dirinya. "Ini lucu banget," kata Adinda sembari menunjuk gantungan kunci. "Beli deh kalau lucu," sahut Damian kalem. Tidak hanya menanggapi kalimat istrinya, tangannya juga turut serta mengambil gantungan kunci yang ditunjuk Adinda. Pria itu mengambil dua sekaligus. "Biar couple," ucapnya santai. Adinda gelen
Pagi-pagi sekali Damian sudah bangun. Pria itu langsung mandi dan bersiap untuk pergi salat subuh ke masjid. Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, ia menyempatkan diri mencium istrinya, cara paling efektif membangunkan Adinda yang sedang tidur pulas. "Gue ke masjid, lo jangan tidur lagi," bisiknya setelah kedua mata Adinda terbuka. Menuruti perkataan suaminya, Adinda langsung beranjak duduk. Menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Wanita itu melirik jam yang menggantung di dinding, masih pukul setengah lima pagi. "Tumben," gumamnya yang merujuk pada Damian. Adinda bangkit, merapikan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah. Wanita itu langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu, lalu salat ketika waktunya telah tiba. Selepas salat, Adinda tidak membuang waktu pagi dengan malas-malasan, wanita itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan dirinya sendiri. Butuh waktu dua puluh menit untuk menyiapkan nasi goreng seafoo
Taksi online yang mengantarkannya pulang berhenti di lobby apartemen dua puluh menit kemudian. Wanita muda itu keluar dari dalam taksi sembari membawa belanjaannya yang memang diletakkan di kursi samping. Dia mengucapkan terima kasih pada si sopir, lalu lanjut masuk ke gedung pencakar langit itu dengan langkah ringan. Untuk bisa sampai ke unitnya berada, Adinda harus naik lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemen milik Damian, dia langsung melangkah keluar. Lorong apartemen tidak pernah ramai, hanya sesekali jika petugas kebersihan sedang bekerja. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang beberapa menit, jadi tidak ada satu orang pun manusia yang berlalu lalang di lorong ini. Kekosongan apartemen menjadi pemandangan kedua yang menyambutnya begitu tiba di apartemen. Adinda meletakkan barang-barang belanjaan lalu kembali melangkahkan kaki menuju kamar, ia ingin mandi dulu sebelum salat dan akhirnya memasak makan malam. Dua puluh menit membersihkan di
Adinda mengangguk setuju ketika Bunga mengatakan bahwa proses syuting akan dimulai dalam waktu dekat, mungkin minggu depan. Kepalanya tertoleh pada Ares yang duduk di sisi kirinya, meminta jawaban pada pemuda itu. Ares membalas tatapan Adinda sambil berpikir dan mengingat ulang jadwalnya. "Untuk dua minggu ke depan gue bisa sih karena jadwal kosong, tapi habis itu harus selang-seling syutingnya karena gue ada jadwal foto iklan," jawab Ares sambil matanya menatap satu per satu orang yang ada di sekitarnya. Bunga mengangguk paham. Dia menulis susunan jadwal yang akan mereka lakukan. "Berarti minggu ke depan full, ya? Gue udah nyocokin jadwal juga sama Nayla, katanya dia free juga minggu depan. Setelah itu nanti gue hubungi kalian lagi soal jadwal selanjutnya," kata Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Yep," sahut Ares setuju. Mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana syuting dan beberapa adegan tambahan yang harus Ares lakoni. Bunga menyerahkan hasil print naska
Halo! Balik lagi nih. Semoga suka ya. Happy reading♡ ♡♡♡ Rahang Damian menegang sempurna saat mendapat kiriman pesan tersebut. Dia tidak pernah mengira bahwa 'orang itu' akan berani dekat dengan istrinya. Huh, atau apakah Damian terlalu memberi kelonggaran pada Adinda dalam urusan pertemanan? Haruskah dia memberi wanita itu batasan? Tangannya secara langsung mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, menelepon orang di seberang pulau. Pada dering keempat, teleponnya diangkat, seolah orang itu memang sedang menunggunya. Atau memang karena sedang memegang handphone. "Iya, Mas? Kenapa?" Oh, lihatlah sekarang. Bahkan hanya dengan mendengar suara wanita itu saja, bara amarah yang semula menggelegak seperti hilang entah kemana. Damian berdeham. "Lo emang dekat sama dia, ya?" tanyanya ambigu. Damian yakin jika saat ini wanita di seberang telepon sedang mengerutkan dahi dengan cara paling menggemaskan. Ah, bukankah Damian sudah gila kalau seperti ini? "Maksud gue ... Ares."
Halo! Selamat membaca ya♥️♡♡♡Damian baru menyelesaikan syutingnya ketika dering ponsel di saku celana menarik atensinya. Buru-buru pria itu mengambil benda pipih warna hitam miliknya, mengusap layar ke sebelah kiri untuk mengangkat panggilan. Sudah sejak tadi pagi dia menunggu panggilan ini. "Halo, Mas! Mas maaf banget ya baru nelepon kamu jam segini, aku beneran lupa ada janji mau teleponan sama kamu. Ini aku baru pulang setelah meeting budget sama temen-temenku," ujar suara di seberang sana tampak buru-buru, seolah takut kalimatnya dipotong. Damian terkekeh tanpa suara. Dia mengusap tulang lehernya yang terasa pegal karena sejak siang dia belum ada istirahat. Hari ini jadwalnya padat sekali, dari pagi sampai malam begini dia terus membaca teks, menghafal, dan mulai take. Mendengar suara istrinya menjadi angin segar untuknya. "Gue kira udah lupa kalau punya suami," kata Damian, ingin mengerjai istrinya. "Ih Mas, nggak gitu!" rengek Adinda di seberang telepon. "Aku beneran lupa,
Lama ya nggak update, hehe. Maaf ya. silakan baca bagian terbaru ini dengan hati gembira✨ °°° Pagi-pagi sekali Adinda sudah berangkat dari apartemen menuju kampusnya. Hari ini, ada banyak agenda yang harus dikerjakannya. Mulai dari sarapan bersama teman-temannya di kantin— agenda ini berlangsung selama seminggu setelah mereka berada di semester atas, agar komunikasi tetap terjalin—lalu ada rapat anggaran untuk produksi film, dan yang terakhir akan menjadi komunikasi dengan calon "aktor" dalam film mereka. "Lo udah nemu belum tema dan alur kayak apa yang mau dibuat?" tanya Ayara pada Angel yang sedang menyeruput kuah bakso di mangkuknya. Angel mengangguk-angguk kecil. "Gampang itu. soal beginian mah gampang sama gue kalau," sahutnya sombong. "Gaya lu!" dengkus Ayara. Tatapannya beralih pada Adinda yang masih mengaduk-aduk jus jeruk di gelasnya agar dinginnya merata. "Kalau lo udah sampe mana pembahasan film, Din?" tanyanya Adinda letakkan sedotan yang dia untuk mengaduk jus je
"Dalami peran dan kau akan rasakan." ♡♡♡ Adinda menggelengkan kepala atas pertanyaan dari sosok yang dikenalnya tersebut. Ares. Salah satu artis ibu kota yang namanya sedang naik daun karena salah satu series yang diperankannya. Ares terkenal sebagai aktor yang ramah dan sangat sederhana, hal itu terbukti dengan kehadirannya di kedai kopi dekat apartemen Adinda ini. "Enggak kok, Mas. Saya cuma kaget karena ... bisa ketemu Mas di sini," kata Adinda, agak mengernyit mendengar panggilannya pada Ares yang ditaksir lebih muda darinya.