"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."
°°°
Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.
Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.
Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.
Dia ... Damian.
Adinda sudah akan mengeluarkan protesannya ketika kunci mobil di tangannya diambil alih, Damian dengan tidak tahu diri menyingkirkan Adinda dari samping pintu kemudi kemudian masuk ke dalamnya.
Diketuknya pintu mobil tersebut, kacanya terbuka sedikit menampilkan wajah Damian yang sudah terbebas dari masker. Alis pria itu naik sebelah seolah bertanya 'ngapain sih ketok-ketok?' Hei! Bukankah yang harusnya protes di sini adalah Adinda?
"Siapa suruh masuk mobil saya?" tanya Adinda ketus.
Bahu pria itu mengendik. "Mau pulang bareng nggak?"
Orang lain kalau mengajak pulang bersama biasanya bawa kendaraan sendiri, meminta izin terlebih dahulu, tapi memang berbeda dengan Damian yang langsung masuk ke dalam mobilnya selayaknya milik sendiri. Benar-benar manusia aneh!
"Mau nggak?" ulang Damian.
Dengan bersungut-sungut Adinda memutari mobilnya, agak kesal juga karena tidak bisa menolak. Gimana mau menolak kalau tubuh besar itu sudah lebih dulu masuk tanpa tahu malu?
Setelah memastikan Adinda duduk dengan nyaman di posisinya, Damian mulai menjalankan mobilnya—ralat, mobil Adinda yang sedang dikendarainya. Membelah jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang.
Bukannya langsung mengantar Adinda pulang ke rumah, Damian malah memutar arah menuju salah satu restoran langganannya. Protesan Adinda ia abaikan, perutnya lebih membutuhkan asupan.
"Makan bentar, habis itu anterin gue ke lokasi syuting." Dia bertitah seenaknya.
"Harusnya Mas anterin saya pulang, bukan saya yang anterin Mas syuting!" seru Adinda kesal.
"Sama aja," katanya cuek.
Adinda kembali melayangkan protes yang tetap diabaikan Damian, hari ini dia jadi orang budek. Begitu sampai di restoran tujuannya, Damian langsung masuk, mengantongi kunci mobil, tidak membiarkan Adinda membawa kabur mobil miliknya sendiri. Damian benar-benar memaksa Adinda untuk ikut bersamanya.
Jalannya menghentak kesal sepanjang memasuki restoran, mulai pelan ketika beberapa pelanggan melihat ke arahnya. Ini Damian pergi kemana sih? Ngajak kesini, tapi ninggalin!
"Mbak temannya Mas Damian, ya? Mari saya antar ke ruangannya," kata seorang pelayan muda yang menghampirinya.
Adinda mengikuti langkah kecil gadis itu, menuju lantai dua di mana ruangan-ruangan terpetak untuk dijadikan VIP. Mereka berhenti di ruangan paling ujung, tepat di dekat kamar mandi.
"Silakan, Mbak. Mas Damian sudah ada di dalam," katanya lagi.
"Makasih, ya!"
Begitu pintu dibuka Adinda mendapati Damian sudah sibuk dengan makanannya. Oh, dia sudah reservasi? Makanya bersikeras harus singgah kesini?
Adinda duduk, tidak mau makan sebelum ditawari. Namun, sudah menunggu cukup lama, bibir Damian masih sibuk menyantap makanan, tidak sempat menyuruh Adinda untuk ikut menikmati hidangan bersamanya.
Bah! Apa-apaan ini?
"Enak banget ya, Mas, makan sendiri," sindir Adinda. Sengaja.
Damian mengangguk. "Iya, soalnya kayaknya teman yang diajak kesini nggak tertarik untuk makan. Dari tadi diam aja," ucapnya seolah tidak sadar sedang disindir.
"Kalau nggak ditawari masa mau asal comot aja," desisnya tajam, menolak disalahkan. Lagi pula dia memang tidak salah 'kan?
Pria itu terkekeh, tangannya dengan sigap memindahkan beberapa lauk ke dalam piring, lalu menggeser ke hadapan Adinda. "Makan ya, Calon Istri." Dia menekankan pada dua kata terakhir.
"Habis ini kita harus bicara ya, Mas!"
Adinda tidak bisa menunggu terlalu lama untuk membicarakan ini, meskipun dengan ucapannya nanti akan membuat Damian semakin diatas langit. Dia pasti akan sangat bahagia karena 'kebutuhannya' akan terpenuhi.
°°°
Damian mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang disediakan. Matanya masih menatap Adinda yang sejak tadi terus menunduk dan menghela napas dalam.
"Lo kenapa sih? Gelisah banget kayaknya," komentar Damian. Dia tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk bertanya.
Adinda tanpa mau repot-repot menatap ke arahnya langsung menjawab. "Saya mau bicara, Mas, sesuatu yang serius!"
Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat di dada. "Mau bahas apa emangnya?" tanya pria itu.
"Tentang kita, syarat aneh Mas Dami lebih tepatnya!" ujarnya agak ngegas.
Sebagai seorang pria yang selalu ditatap dengan pemujaan dan diajak bicara dengan suara lemah lembut, Damian kaget mendengar lontaran kalimat Adinda. Namun, kendati marah dan menatap tidak suka pada gadis di depannya, Damian justru terkekeh. Adinda itu hiburan untuknya.
"Kenapa? Lo nerima syarat dari gue?" tanya Damian bersama kekehannya.
"Iya. Kata Papa itu emang kewajiban, jadi ya ... saya terima," lirihnya. Jawaban yang membuat Damian langsung menegakkan tubuh. Dia tidak salah dengar 'kan? Seolah mendengar pertanyaan yang terlintas dalam benak pria itu, Adinda menjawab. "Saya serius nerima syarat Mas Dami, tapi ada beberapa yang harus direvisi," katanya menekankan.
Damian mengangguk semangat, tidak masalah dengan revisi yang ada di kepala Adinda, yang terpenting keinginannya terpenuhi. Lagian, memang revisi seperti apa yang gadis itu inginkan?
"Saya mau melakukan kewajiban, tapi Mas Dami juga harus nahan diri untuk nggak buat saya hamil!" sengit Adinda ketika merasakan aura berbeda dari Damian.
Dia sudah memikirkannya sejak semalam, bahwa keputusannya harus menguntungkan dua pihak. Jangan hanya membuat Damian enak saja, tapi pria itu juga harus diberi batasan. Setidaknya sampai Adinda bisa menangani beberapa proyek film ke depannya.
Damian tercengang mendengar kalimat Adinda. "Maksudnya gimana? Lo minum pil, gitu ... 'kan?"
Adinda menggeleng kuat. "Mas yang harus nahan diri untuk nggak keluar di dalam atau pakai pengaman!" sentaknya.
Waw! Ini sama saja seperti melakukannya dengan para jalang. Bedanya jika dengan mereka Damian harus bersusah payah memakai pengaman. Masa sudah menikah harus tetap pakai benda itu juga sih?!
"Tapi, Din ...,"
"Saya masih kuliah, seperti yang Mas katakan di pertemuan kita sebelumnya, jadi Mas harus nahan diri untuk nggak mempermalukan saya karena disangka hamil diluar nikah."
"Kenapa gitu? Kita 'kan nggak harus nyembunyiin pernikahan ini!"
"Mas itu baru naik daun. Kalau tersiar kabar Mas sudah nikah, bukannya itu akan menghambat karir Mas Dami di perfilman? Jadi, demi kebaikan bersama lebih baik kita sembunyikan pernikahan ini."
Damian nyaris mengumpat. Bagaimana bisa seorang gadis berpikiran untuk menyembunyikan pernikahannya? Bukankah biasanya di film-film seorang pria yang akan memberi penawaran seperti itu? Apakah Adinda malu menikah dengannya yang menjadi artis karena modal tampang dan koneksi? Tapi, dirinya 'kan sudah membuktikan dengan filmnya yang lalu keras, bahkan masuk box office!
"Gue bakal pikirin ulang soal ini," putus Damian tidak langsung menyetujui.
__________b a t a s s u c i_________
Catatan Penulis:
'Kadang kala suatu hubungan memang akan memberi dampak yang tidak baik jika dipertontonkan pada publik.'
Gimana nih sama bagian terbaru ini? Makin mau dong ikutin terus. Tungguin ya!
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan
"Yang paling menyakitkan itu memang berpisah dari orang yang kita sayangi." °°° Keesokan harinya, Adinda langsung diboyong ke apartemen milik Damian. Pria itu beralasan kalau ada panggilan syuting mendadak di dua hari berikutnya yang tidak bisa ditunda, jadilah Adinda menurut. Untungnya dia memang sudah berkemas dari kemarin. Gadis itu sedang menyusun baju-baju yang dibawanya pada walk in closed. Dia hanya membawa baju untuk kuliah hari Senin nanti dan beberapa potong baju tidur, sisanya masih tertinggal di rumah orang tuanya. Damian masuk ke kamar dengan berlembar-lembar kertas di tangannya, dia mengatakan itu kontrak-kontrak baru yang perlu dibaca terlebih dahulu sebelum ditandatangani. Sejak tiba di apartemen, pria itu sudah berkutat dengan pekerjaannya itu, mengabaikan jika ada satu makhluk lain yang butuh room tour singkat darinya. "Mas masih sibu
Sepanjang perjalanan menuju villa milik Damian, pria itu lebih banyak mengunci mulutnya. Ia menyetir dengan tenang, sesekali merespon kalimat Adinda dengan anggukan atau gumaman singkat, dan setelah sampai ke villa pun ia hanya mempersilakan Adinda masuk sebelum akhirnya menghilang terlalu lama di kamar mandi. Melihat semua keanehan itu, Adinda tidak bisa untuk diam saja, ia penasaran. Maka begitu Damian keluar dari kamar mandi, Adinda langsung menyerangnya dengan pertanyaan. "Kamu kenapa sih, Mas, kok daritadi diem aja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Adinda kepo. Damian menggeleng, tapi tetap enggan membuka suara. Membuat Adinda semakin penasaran dengan sikapnya. Wanita itu mengikuti kemanapun Damian pergi, bahkan saat pria itu berganti pakaian. Tidak perduli bahwa wajahnya memerah karena melihat tubuh polos suaminya. Adinda mengikuti Damian ke atas ranjang, ikut duduk di tempat empuk itu. Damian meliriknya. "Nggak mandi?" tanyanya risih. Damian tahu kalau sikapnya ini membu
Damian benar-benar membawanya untuk jalan-jalan seperti yang dia katakan sebelum memaksa ikut Adinda survey lokasi syuting. Pria itu mengajaknya ke Bandung, butuh waktu tiga jam tiga puluh menit untuk sampai di lokasi tujuan, floating market Lembang. Pria itu ingin merasakan sensasi belanja di pasar terapung, membeli beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka membeli beberapa buah-buahan segar siap makan untuk mengisi perut sembari berkeliling di area air di area tersebut. Adinda mengajak Damian untuk membeli pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang. Damian setia mengikutinya dengan topi yang menutupi kepalanya, kaca mata hitam dan masker yang menyamarkan dirinya. "Ini lucu banget," kata Adinda sembari menunjuk gantungan kunci. "Beli deh kalau lucu," sahut Damian kalem. Tidak hanya menanggapi kalimat istrinya, tangannya juga turut serta mengambil gantungan kunci yang ditunjuk Adinda. Pria itu mengambil dua sekaligus. "Biar couple," ucapnya santai. Adinda gelen
Pagi-pagi sekali Damian sudah bangun. Pria itu langsung mandi dan bersiap untuk pergi salat subuh ke masjid. Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, ia menyempatkan diri mencium istrinya, cara paling efektif membangunkan Adinda yang sedang tidur pulas. "Gue ke masjid, lo jangan tidur lagi," bisiknya setelah kedua mata Adinda terbuka. Menuruti perkataan suaminya, Adinda langsung beranjak duduk. Menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Wanita itu melirik jam yang menggantung di dinding, masih pukul setengah lima pagi. "Tumben," gumamnya yang merujuk pada Damian. Adinda bangkit, merapikan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah. Wanita itu langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu, lalu salat ketika waktunya telah tiba. Selepas salat, Adinda tidak membuang waktu pagi dengan malas-malasan, wanita itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan dirinya sendiri. Butuh waktu dua puluh menit untuk menyiapkan nasi goreng seafoo
Taksi online yang mengantarkannya pulang berhenti di lobby apartemen dua puluh menit kemudian. Wanita muda itu keluar dari dalam taksi sembari membawa belanjaannya yang memang diletakkan di kursi samping. Dia mengucapkan terima kasih pada si sopir, lalu lanjut masuk ke gedung pencakar langit itu dengan langkah ringan. Untuk bisa sampai ke unitnya berada, Adinda harus naik lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemen milik Damian, dia langsung melangkah keluar. Lorong apartemen tidak pernah ramai, hanya sesekali jika petugas kebersihan sedang bekerja. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang beberapa menit, jadi tidak ada satu orang pun manusia yang berlalu lalang di lorong ini. Kekosongan apartemen menjadi pemandangan kedua yang menyambutnya begitu tiba di apartemen. Adinda meletakkan barang-barang belanjaan lalu kembali melangkahkan kaki menuju kamar, ia ingin mandi dulu sebelum salat dan akhirnya memasak makan malam. Dua puluh menit membersihkan di
Adinda mengangguk setuju ketika Bunga mengatakan bahwa proses syuting akan dimulai dalam waktu dekat, mungkin minggu depan. Kepalanya tertoleh pada Ares yang duduk di sisi kirinya, meminta jawaban pada pemuda itu. Ares membalas tatapan Adinda sambil berpikir dan mengingat ulang jadwalnya. "Untuk dua minggu ke depan gue bisa sih karena jadwal kosong, tapi habis itu harus selang-seling syutingnya karena gue ada jadwal foto iklan," jawab Ares sambil matanya menatap satu per satu orang yang ada di sekitarnya. Bunga mengangguk paham. Dia menulis susunan jadwal yang akan mereka lakukan. "Berarti minggu ke depan full, ya? Gue udah nyocokin jadwal juga sama Nayla, katanya dia free juga minggu depan. Setelah itu nanti gue hubungi kalian lagi soal jadwal selanjutnya," kata Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Yep," sahut Ares setuju. Mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana syuting dan beberapa adegan tambahan yang harus Ares lakoni. Bunga menyerahkan hasil print naska
Halo! Balik lagi nih. Semoga suka ya. Happy reading♡ ♡♡♡ Rahang Damian menegang sempurna saat mendapat kiriman pesan tersebut. Dia tidak pernah mengira bahwa 'orang itu' akan berani dekat dengan istrinya. Huh, atau apakah Damian terlalu memberi kelonggaran pada Adinda dalam urusan pertemanan? Haruskah dia memberi wanita itu batasan? Tangannya secara langsung mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, menelepon orang di seberang pulau. Pada dering keempat, teleponnya diangkat, seolah orang itu memang sedang menunggunya. Atau memang karena sedang memegang handphone. "Iya, Mas? Kenapa?" Oh, lihatlah sekarang. Bahkan hanya dengan mendengar suara wanita itu saja, bara amarah yang semula menggelegak seperti hilang entah kemana. Damian berdeham. "Lo emang dekat sama dia, ya?" tanyanya ambigu. Damian yakin jika saat ini wanita di seberang telepon sedang mengerutkan dahi dengan cara paling menggemaskan. Ah, bukankah Damian sudah gila kalau seperti ini? "Maksud gue ... Ares."
Halo! Selamat membaca ya♥️♡♡♡Damian baru menyelesaikan syutingnya ketika dering ponsel di saku celana menarik atensinya. Buru-buru pria itu mengambil benda pipih warna hitam miliknya, mengusap layar ke sebelah kiri untuk mengangkat panggilan. Sudah sejak tadi pagi dia menunggu panggilan ini. "Halo, Mas! Mas maaf banget ya baru nelepon kamu jam segini, aku beneran lupa ada janji mau teleponan sama kamu. Ini aku baru pulang setelah meeting budget sama temen-temenku," ujar suara di seberang sana tampak buru-buru, seolah takut kalimatnya dipotong. Damian terkekeh tanpa suara. Dia mengusap tulang lehernya yang terasa pegal karena sejak siang dia belum ada istirahat. Hari ini jadwalnya padat sekali, dari pagi sampai malam begini dia terus membaca teks, menghafal, dan mulai take. Mendengar suara istrinya menjadi angin segar untuknya. "Gue kira udah lupa kalau punya suami," kata Damian, ingin mengerjai istrinya. "Ih Mas, nggak gitu!" rengek Adinda di seberang telepon. "Aku beneran lupa,
Lama ya nggak update, hehe. Maaf ya. silakan baca bagian terbaru ini dengan hati gembira✨ °°° Pagi-pagi sekali Adinda sudah berangkat dari apartemen menuju kampusnya. Hari ini, ada banyak agenda yang harus dikerjakannya. Mulai dari sarapan bersama teman-temannya di kantin— agenda ini berlangsung selama seminggu setelah mereka berada di semester atas, agar komunikasi tetap terjalin—lalu ada rapat anggaran untuk produksi film, dan yang terakhir akan menjadi komunikasi dengan calon "aktor" dalam film mereka. "Lo udah nemu belum tema dan alur kayak apa yang mau dibuat?" tanya Ayara pada Angel yang sedang menyeruput kuah bakso di mangkuknya. Angel mengangguk-angguk kecil. "Gampang itu. soal beginian mah gampang sama gue kalau," sahutnya sombong. "Gaya lu!" dengkus Ayara. Tatapannya beralih pada Adinda yang masih mengaduk-aduk jus jeruk di gelasnya agar dinginnya merata. "Kalau lo udah sampe mana pembahasan film, Din?" tanyanya Adinda letakkan sedotan yang dia untuk mengaduk jus je
"Dalami peran dan kau akan rasakan." ♡♡♡ Adinda menggelengkan kepala atas pertanyaan dari sosok yang dikenalnya tersebut. Ares. Salah satu artis ibu kota yang namanya sedang naik daun karena salah satu series yang diperankannya. Ares terkenal sebagai aktor yang ramah dan sangat sederhana, hal itu terbukti dengan kehadirannya di kedai kopi dekat apartemen Adinda ini. "Enggak kok, Mas. Saya cuma kaget karena ... bisa ketemu Mas di sini," kata Adinda, agak mengernyit mendengar panggilannya pada Ares yang ditaksir lebih muda darinya.