"Meskipun bukan pertama kali bertemu tapi tatapannya tetap membuat salah tingkah."
°°°
Awalnya Damian menolak ketika disuruh Gilsa-manajernya-untuk ikut bersama Dedi Kuncoro-sutradara film terbarunya-mengisi kelas sebagai dosen tamu, tapi begitu Gilsa menyebutkan nama Universitas tujuan mereka jawabannya langsung berubah. IKJ, tempat Adinda menimba ilmu.
Mungkinkah dia akan bertemu dengan gadis itu? Kira-kira bagaimana reaksinya saat melihat Damian? Terkejutkah atau senang?
"Lo kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Dedi kepada artisnya itu.
Damian diam seketika, senyum yang semula terkulum tipis mendadak lenyap tak berjejak. Masalahnya dia tidak mungkin mengatakan bahwa ada gadis yang ingin dijumpainya. Mau ditaruh kemana wajah tampannya jika orang lain tahu Damian sedang tergila-gila pada seorang gadis. Gadis yang bahkan jauh sekali dari kriteria idamannya selama ini.
"Lagi pengin aja," jawab Damian seadanya.
Dedi tidak langsung percaya dengan jawaban itu, Damian yang dikenalnya tidak akan membuang-buang waktu untuk melakukan hal yang tidak diinginkannya. Pasti ada alasan lain dibalik sikapnya saat ini. Namun, kendati bertanya kembali, pria akhir empat puluhan itu memilih mengangguk saja sebelum mengalihkan fokus menatap jalanan. Sebentar lagi mereka tiba, begitu seingatnya.
"Lo tahu nggak anaknya teman gue ada yang kuliah di IKJ, lo mungkin kenal orangnya." Dedi kembali bersuara begitu matanya menangkap gerbang besar Universitas tujuannya.
"Dia cantik, kalau ketemu dia lo bisa jatuh cintrong kayaknya." Dedi menambahkan kalimatnya.
Mobil yang membawa mereka berhenti di lobby, Damian segera memakai maskernya. Dedi turun lebih dulu, memantau keadaan sekitar. Mahasiswa cukup ramai pada pukul sepuluh pagi, semoga saja yang mengikuti kelasnya tak kalah ramai.
"Ayo, Dam, cepetan!"
Tangan Dedi membuka pintu tempat Damian duduk, menarik tangan kekar artisnya agar segera turun. Kalau menunggu Damian bersiap bisa-bisa dia telat menghadiri kelas. Dedi paling tidak suka membuat orang lain menunggu.
"Iya, sabar dong, Om!" pekik Damian kesal.
Mereka menjadi sorotan beberapa mahasiswa, beberapa yang mungkin mengidolakan Damian berbisik-bisik karena yakin bahwa yang ada di depan mereka adalah sang idol. Di depannya Dedi semakin mempercepat langkah, membuat Damian harus mengimbangi dan menghentikan tebar pesonanya sampai di sana.
Mereka masuk ke dalam Aula Jurusan Film dan Televisi, ada sekitar seratus kursi yang tersedia. Hampir semua kursi terisi Mahasiswa. Sepertinya mereka sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Ya, memang kehadiran dosen tamu bisa menjadi refreshing. Damian pun dulu lebih rajin menghadiri kelas dosen tamu daripada kelas wajib yang diambilnya.
"Saya nggak sendirian loh, ada tamu spesial juga untuk kalian. Dam, ayo masuk! Buka dong maskernya!"
Dengan gerakan malas Damian masuk ke dalam Aula, ketika masker yang dipakainya terbuka terdengar pekikan dari banyak gadis di dalam ruangan. Para pemuda yang memutar bola mata malas merasa kesal karena pacarnya menyebut pemuda lain dengan heboh, ada juga yang menatap kagum sosok Damian yang terlihat sempurna.
Damian memberikan senyum tipis kepada mahasiswa di ruangan tersebut sambil meneliti setiap sudut—mencari sosok Adinda, ia dapati gadis itu duduk di kursi bagian tengah, matanya mendelik saat Damian memberi kedipan padanya.
°°°
Adinda risih sekali karena sejak tadi ditatapi oleh Damian, dia tidak terbiasa. Matanya sesekali mendelik ke arah pria itu, memberi peringatan agar pria itu berhenti menatap ke arahnya. Dia itu sedang menjadi pusat perhatian, bisa bahaya jika teman-temannya sadar kalau Damian sedang menatap objek lain. Lebih bahaya kalau mereka mengikuti arah pandang Damian dan mendapati dirinya.
Mau menjawab apa dia jika ditanya?
"Gue kok ngerasa Damian lagi melamun, ya?" bisik Angel di sebelah telinga Adinda.
Melamun? Begitu kah pemikiran orang terhadap sikap Damian saat ini? Bagus kalau memang begitu!
"Hah? Oh, mungkin sih. Bosan kali dia," kata Adinda memberi balasan.
"Tapi, kok gue ngerasa dia ngelihat ke arah kita? Masa ngeliatin gue?" Pertanyaan lain datang dari Ayara, gadis itu merupakan fans Damian, dia terlalu peka terhadap sikap seseorang. "Atau malah ... ngeliatin Adin?!" pekik Ayara tertahan.
Adinda melirik Ayara lewat sudut matanya, bisa dirasakannya sahabatnya itu sedang menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban kebenaran pertanyaannya sendiri. Menatap Damian dan Adinda bergantian.
"Tuh kan! Bener deh dia ngeliatin elo, Din. Wah, ada apa ini? Apa Yayang gue itu terpesona sama sahabat gue sendiri? Cinta gue tertolak sebelum diperjuangkan," rengek Ayara dari tempatnya, kesal pada pemikirannya sendiri—yang memang adalah kebenaran.
"Apa sih? Ngadi-ngadi kamu kalau ngomong," desis Adinda, tidak suka dituduh seperti itu, meskipun yang Ayara katakan tidak salah.
"Iya-iya, setelah gue liat lagi ternyata dia emang ngeliatin kesini, ngeliat Adin! Tuh tuh, dia senyum-senyum sendiri!" Angel kembali berkomentar, kali ini setuju dengan pemikiran Ayara.
Rasanya Adinda tidak betah berlama-lama mengikuti kelas ini. Dia mengerang dalam hati, kapan sih kelasnya selesai?!
°°°
"Ternyata benar, memang Adin!" pekik Dedi heboh begitu langkahnya semakin dekat dengan anak dari temannya. "Ini Dam yang saya bilang tadi, anaknya teman gue!" ujarnya pada Damian.
Pria itu tersenyum simpul menanggapi ucapan Dedi, terlebih saat ini ia berhadapan dengan Adinda dan dua gadis lainnya. Matanya meneliti Adinda dari atas sampai bawah, gadis itu tidak menatapnya, padahal sejak kelas tadi terus-menerus memberi pelototan tajam padanya. Dia ... punya kepribadian ganda ya?
"Halo, Pak!" sapa Adinda ramah, dia kenal dosen tamu hari ini, salah satu sutradara kondang dan teman Mama.
"Kok Pak, sih? Biasanya juga manggil Om," dengkus Dedi tidak suka. "Santai aja, Din, kelasnya udah selesai kok!" timpalnya.
Adinda mengangguk sopan, ia memperkenalkan dua sahabatnya pada Dedi. Angel yang merupakan fans Dedi dan Ayara yang mengidolakan Damian. Dedi mengajak tiga gadis itu ikut bersamanya ke kantin, katanya ingin mencoba makanan di almamaternya itu.
Mereka jadi pusat perhatian, tentu karena ada Damian di tengah-tengah mereka. Dedi geleng-geleng kepala melihat antusias para gadis menyambut artisnya. Agak menyesal karena eksistensinya tenggelam jika berjalan bersama Damian.
"Bapak emang sering ajak artis kalau jadi dosen tamu?" tanya Angel penasaran. Sejak tadi ia terus bertanya, kenapa Dedi membawa artis? Padahal itu agak melenceng dari pelajaran yang mereka terima.
Dedi tertawa sebelum menjawabnya. "Saya tadi niatnya mau menjelaskan bagaimana sikap salah satu artis jika bertemu sutradara dan bagaimana kita akan merespons mereka, tapi karena sepertinya perhatian mahasiswa lebih fokus pada Damian daripada ke saya, maka saya batalkan. Nyesal juga bawa Damian, tapi tidak menghasilkan apa-apa," jelasnya.
Angel tertawa mendengar penjelasan tersebut. Dia akui bahwa fokusnya memang terpecah saat di kelas tadi. Satu sisi menyimak materi yang Dedi bawakan, sisi yang lain memikirkan alasan kenapa ada Damian di sana.
"Bang Damian beneran masih sendiri, ya?" Kali ini pertanyaan datang dari Ayara, si fans garis keras Damian.
Pria itu terkekeh pelan, matanya melirik Adinda yang fokus pada minumannya sebelum berkata. "Sampai tadi malam iya, tapi sekarang sudah tidak. Saya mau menikah, tapi ini rahasia kita aja, ya?" Ia mengedip pada Ayara.
Sebagai fans yang berharap bahwa artisnya akan menjadi pasangannya—meskipun kecil kemungkinan—merasa patah hati mendengar itu. Ia memastikan sekali lagi jika hal itu hanya bercandaan, tapi Damian kembali menjawab sama. Dia sudah mau menikah.
"Kok nggak ada bilang ke gue, Dam?" tanya Dedi, agak tersinggung karena tidak diberitahu.
"Belum resmi, nanti aja kalau udah mau dibawa ke depan umum ya, Om!"
Dedi kembali geleng-geleng melihat tingkah bocah yang tiga tahun ini banyak terlibat kerja sama dengannya. Penasaran gadis seperti apa yang akan menjadi sial nasibnya karena memilih Damian.
Satu gadis lain mendadak bisu, ia panas dingin mendengar jawaban Damian. Pria itu ... kenapa bisa percaya diri sekali Adinda mau menerima dirinya menjadi suami?
Apalagi sekarang pria itu curi-curi pandang ke arahnya. Dia tidak takut ya? Damian itu artis yang sedang naik daun, apakah dengan tersiarnya kabar pernikahannya tidak membuat karirnya meredup?
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
'Kadang ada satu orang yang walaupun bertemu berkali-kali tetap bisa menggetarkan hati.'
Halo, kembali lagi dengan Damian-Adinda. Semoga betah dan mau lanjut baca yaa.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."°°°Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.Dia ... Damian.
"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan
Sepanjang perjalanan menuju villa milik Damian, pria itu lebih banyak mengunci mulutnya. Ia menyetir dengan tenang, sesekali merespon kalimat Adinda dengan anggukan atau gumaman singkat, dan setelah sampai ke villa pun ia hanya mempersilakan Adinda masuk sebelum akhirnya menghilang terlalu lama di kamar mandi. Melihat semua keanehan itu, Adinda tidak bisa untuk diam saja, ia penasaran. Maka begitu Damian keluar dari kamar mandi, Adinda langsung menyerangnya dengan pertanyaan. "Kamu kenapa sih, Mas, kok daritadi diem aja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Adinda kepo. Damian menggeleng, tapi tetap enggan membuka suara. Membuat Adinda semakin penasaran dengan sikapnya. Wanita itu mengikuti kemanapun Damian pergi, bahkan saat pria itu berganti pakaian. Tidak perduli bahwa wajahnya memerah karena melihat tubuh polos suaminya. Adinda mengikuti Damian ke atas ranjang, ikut duduk di tempat empuk itu. Damian meliriknya. "Nggak mandi?" tanyanya risih. Damian tahu kalau sikapnya ini membu
Damian benar-benar membawanya untuk jalan-jalan seperti yang dia katakan sebelum memaksa ikut Adinda survey lokasi syuting. Pria itu mengajaknya ke Bandung, butuh waktu tiga jam tiga puluh menit untuk sampai di lokasi tujuan, floating market Lembang. Pria itu ingin merasakan sensasi belanja di pasar terapung, membeli beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka membeli beberapa buah-buahan segar siap makan untuk mengisi perut sembari berkeliling di area air di area tersebut. Adinda mengajak Damian untuk membeli pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang. Damian setia mengikutinya dengan topi yang menutupi kepalanya, kaca mata hitam dan masker yang menyamarkan dirinya. "Ini lucu banget," kata Adinda sembari menunjuk gantungan kunci. "Beli deh kalau lucu," sahut Damian kalem. Tidak hanya menanggapi kalimat istrinya, tangannya juga turut serta mengambil gantungan kunci yang ditunjuk Adinda. Pria itu mengambil dua sekaligus. "Biar couple," ucapnya santai. Adinda gelen
Pagi-pagi sekali Damian sudah bangun. Pria itu langsung mandi dan bersiap untuk pergi salat subuh ke masjid. Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, ia menyempatkan diri mencium istrinya, cara paling efektif membangunkan Adinda yang sedang tidur pulas. "Gue ke masjid, lo jangan tidur lagi," bisiknya setelah kedua mata Adinda terbuka. Menuruti perkataan suaminya, Adinda langsung beranjak duduk. Menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Wanita itu melirik jam yang menggantung di dinding, masih pukul setengah lima pagi. "Tumben," gumamnya yang merujuk pada Damian. Adinda bangkit, merapikan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah. Wanita itu langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu, lalu salat ketika waktunya telah tiba. Selepas salat, Adinda tidak membuang waktu pagi dengan malas-malasan, wanita itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan dirinya sendiri. Butuh waktu dua puluh menit untuk menyiapkan nasi goreng seafoo
Taksi online yang mengantarkannya pulang berhenti di lobby apartemen dua puluh menit kemudian. Wanita muda itu keluar dari dalam taksi sembari membawa belanjaannya yang memang diletakkan di kursi samping. Dia mengucapkan terima kasih pada si sopir, lalu lanjut masuk ke gedung pencakar langit itu dengan langkah ringan. Untuk bisa sampai ke unitnya berada, Adinda harus naik lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemen milik Damian, dia langsung melangkah keluar. Lorong apartemen tidak pernah ramai, hanya sesekali jika petugas kebersihan sedang bekerja. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang beberapa menit, jadi tidak ada satu orang pun manusia yang berlalu lalang di lorong ini. Kekosongan apartemen menjadi pemandangan kedua yang menyambutnya begitu tiba di apartemen. Adinda meletakkan barang-barang belanjaan lalu kembali melangkahkan kaki menuju kamar, ia ingin mandi dulu sebelum salat dan akhirnya memasak makan malam. Dua puluh menit membersihkan di
Adinda mengangguk setuju ketika Bunga mengatakan bahwa proses syuting akan dimulai dalam waktu dekat, mungkin minggu depan. Kepalanya tertoleh pada Ares yang duduk di sisi kirinya, meminta jawaban pada pemuda itu. Ares membalas tatapan Adinda sambil berpikir dan mengingat ulang jadwalnya. "Untuk dua minggu ke depan gue bisa sih karena jadwal kosong, tapi habis itu harus selang-seling syutingnya karena gue ada jadwal foto iklan," jawab Ares sambil matanya menatap satu per satu orang yang ada di sekitarnya. Bunga mengangguk paham. Dia menulis susunan jadwal yang akan mereka lakukan. "Berarti minggu ke depan full, ya? Gue udah nyocokin jadwal juga sama Nayla, katanya dia free juga minggu depan. Setelah itu nanti gue hubungi kalian lagi soal jadwal selanjutnya," kata Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Yep," sahut Ares setuju. Mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana syuting dan beberapa adegan tambahan yang harus Ares lakoni. Bunga menyerahkan hasil print naska
Halo! Balik lagi nih. Semoga suka ya. Happy reading♡ ♡♡♡ Rahang Damian menegang sempurna saat mendapat kiriman pesan tersebut. Dia tidak pernah mengira bahwa 'orang itu' akan berani dekat dengan istrinya. Huh, atau apakah Damian terlalu memberi kelonggaran pada Adinda dalam urusan pertemanan? Haruskah dia memberi wanita itu batasan? Tangannya secara langsung mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, menelepon orang di seberang pulau. Pada dering keempat, teleponnya diangkat, seolah orang itu memang sedang menunggunya. Atau memang karena sedang memegang handphone. "Iya, Mas? Kenapa?" Oh, lihatlah sekarang. Bahkan hanya dengan mendengar suara wanita itu saja, bara amarah yang semula menggelegak seperti hilang entah kemana. Damian berdeham. "Lo emang dekat sama dia, ya?" tanyanya ambigu. Damian yakin jika saat ini wanita di seberang telepon sedang mengerutkan dahi dengan cara paling menggemaskan. Ah, bukankah Damian sudah gila kalau seperti ini? "Maksud gue ... Ares."
Halo! Selamat membaca ya♥️♡♡♡Damian baru menyelesaikan syutingnya ketika dering ponsel di saku celana menarik atensinya. Buru-buru pria itu mengambil benda pipih warna hitam miliknya, mengusap layar ke sebelah kiri untuk mengangkat panggilan. Sudah sejak tadi pagi dia menunggu panggilan ini. "Halo, Mas! Mas maaf banget ya baru nelepon kamu jam segini, aku beneran lupa ada janji mau teleponan sama kamu. Ini aku baru pulang setelah meeting budget sama temen-temenku," ujar suara di seberang sana tampak buru-buru, seolah takut kalimatnya dipotong. Damian terkekeh tanpa suara. Dia mengusap tulang lehernya yang terasa pegal karena sejak siang dia belum ada istirahat. Hari ini jadwalnya padat sekali, dari pagi sampai malam begini dia terus membaca teks, menghafal, dan mulai take. Mendengar suara istrinya menjadi angin segar untuknya. "Gue kira udah lupa kalau punya suami," kata Damian, ingin mengerjai istrinya. "Ih Mas, nggak gitu!" rengek Adinda di seberang telepon. "Aku beneran lupa,
Lama ya nggak update, hehe. Maaf ya. silakan baca bagian terbaru ini dengan hati gembira✨ °°° Pagi-pagi sekali Adinda sudah berangkat dari apartemen menuju kampusnya. Hari ini, ada banyak agenda yang harus dikerjakannya. Mulai dari sarapan bersama teman-temannya di kantin— agenda ini berlangsung selama seminggu setelah mereka berada di semester atas, agar komunikasi tetap terjalin—lalu ada rapat anggaran untuk produksi film, dan yang terakhir akan menjadi komunikasi dengan calon "aktor" dalam film mereka. "Lo udah nemu belum tema dan alur kayak apa yang mau dibuat?" tanya Ayara pada Angel yang sedang menyeruput kuah bakso di mangkuknya. Angel mengangguk-angguk kecil. "Gampang itu. soal beginian mah gampang sama gue kalau," sahutnya sombong. "Gaya lu!" dengkus Ayara. Tatapannya beralih pada Adinda yang masih mengaduk-aduk jus jeruk di gelasnya agar dinginnya merata. "Kalau lo udah sampe mana pembahasan film, Din?" tanyanya Adinda letakkan sedotan yang dia untuk mengaduk jus je
"Dalami peran dan kau akan rasakan." ♡♡♡ Adinda menggelengkan kepala atas pertanyaan dari sosok yang dikenalnya tersebut. Ares. Salah satu artis ibu kota yang namanya sedang naik daun karena salah satu series yang diperankannya. Ares terkenal sebagai aktor yang ramah dan sangat sederhana, hal itu terbukti dengan kehadirannya di kedai kopi dekat apartemen Adinda ini. "Enggak kok, Mas. Saya cuma kaget karena ... bisa ketemu Mas di sini," kata Adinda, agak mengernyit mendengar panggilannya pada Ares yang ditaksir lebih muda darinya.