Home / Pernikahan / Jodoh Pilihan Ayah / 003 | Menata Ulang

Share

003 | Menata Ulang

Author: Mochallate
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Garis takdir memang tidak pernah bisa ditebak, sebagai manusia biasa kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik."

°°°

Adinda tersenyum ketika melihat Bunda Amira—ibu Damian—masuk bersama Mama ke ruang inap Papa. Dia mendekati wanita itu dan Mama kemudian menyalim tangannya. 

Sementara Mama mendekati Papa dan bertanya keperluan suaminya, Adinda dan Amira memilih sofa panjang di dekat pintu masuk. Keduanya diam dalam kebisuan. Adinda yang masih memperhatikan interaksi kedua orang tuanya, sedangkan Amira melihat wajah gadis yang digadang-gadang akan menjadi menantunya itu. 

"Gimana pertemuan kamu sama Damian kemarin?" tanya Bunda Amira yang kalau dihitung menjadi pertanyaan ketiga yang ditanyakan orang berbeda hari ini. 

Adinda memilin ujung kemeja tuniknya, sedang memilih jawaban yang kira-kira tidak membuat senyum di wajah Bunda Amira luntur. 

Belum selesai rencana di kepalanya, Papa sudah lebih dulu bersuara. Beliau menjawab pertanyaan Bunda Amira dengan tenang. 

"Kayaknya bakal gagal deh, Mir. Anakku ini masih polos banget ternyata," kata Papa. 

Adinda tidak pernah berpikir bahwa Papa akan menjawab demikian. Awalnya ia pikir Papa akan mengungkapkan seperti yang tadi ia ceritakan, ternyata dugaannya salah. Seberapa besar keinginan Papa memiliki menantu, rasa cintanya lebih besar kepada putrinya. 

"Oalah, kamu pasti ditakut-takuti Damian, ya?" 

Dahi Adinda mengernyit, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Dia tidak paham maksud Bunda Amira. Ditakut-takuti? Adinda tidak merasa begitu, dia hanya merasa sedang diambil keuntungan dari kesiapannya menerima perjodohan ini. 

Mungkinkah persyaratan kemarin agar Adinda menolak tanpa Damian harus mengatakan penolakan pada orang tuanya? 

"Dia itu memang gitu, Din. Maaf nih ya, anakku emang agak maniak soal berhubungan itu, makanya aku sama Mas Dirga mau cepat-cepat nikahin dia." 

Jadi, perkataan Damian tentang dia yang punya kebutuhan biologis tinggi itu benar? Berarti bukan menakut-nakuti dong!

"Kalian mengambil keuntungan dari perjanjian itu, ya?" tanya Mama mulai ikut dalam pembinaan. 

Iya sih, sepertinya memang mereka sedang mencari keuntungan. Sudah tahu anaknya seperti itu masa mau diberikan pada anak gadis orang. Mana masih polos lagi. 

Bunda Amira langsung salah tingkah, ia menggerakkan telapak tangannya ke kanan dan kiri dengan gerakan cepat. "Bukan gitu, Jeng! Damian mulai kayak gitu baru belakangan ini, makanya aku mau dia nikah supaya kebiasaannya bisa ilang. Kalau punya istri 'kan jadi nggak suka 'jajan' diluar." 

Papa berdeham setelah penjelasan Bunda Amira selesai, Mama juga ikut terdiam salah tingkah. Kini Adinda yang dibuat bingung, kenapa sih? Ada apa dengan kedua orang tuanya? Aneh sekali tingkahnya!

"Bunda nggak akan maksa kamu, meskipun Bunda berharap kamu jadi mantu Bunda. Semua keputusan ada di tanganmu, Din, jangan dijadiin beban ya!" 

Gadis itu mengangguk. Dia juga akan memikirkan ulang keputusannya, tidak mau gegabah dalam bertindak. Masalahnya ini menyangkut masa depannya, seumur hidup sekali saja menjalaninya. Adinda tidak mau salah mengambil keputusan yang berakibat membuatnya menyesal di kemudian hari. 

°°°

Adinda mengeluarkan laptop dari dalam tas, meletakkannya ke atas meja belajar. Dia menyalakan laptopnya, kemudian beralih mengganti pakaian selama laptopnya memproses tampilan windows. 

Gadis itu memakai baju tidur dan jilbab instan warna pink pucat. Setelah memastikan semua pakaian kotor masuk ke tempatnya, gadis itu mendudukkan tubuh di depan laptop. 

Foto dirinya dan kedua orang tuanya menjadi background depan windows. Tangannya beralih membuka file dan membaca-baca ulang hasil pekerjaannya, kemudian melanjutkan menuliskan beberapa kalimat. 

Kalau Mama menjadi seorang scripwriter, maka Adinda bercita-cita ingin menjadi sutradara film. Tapi, seiring berjalannya waktu ia juga mendalami pekerjaan yang sama dengan Mama. Dia suka menulis skrip film yang ada di kepalanya. 

Denting ponselnya berbunyi ketika ia sedang asyik menuangkan ide ke dalam laptopnya. Ia melirik sekilas pada layar ponselnya yang menampilkan pop up pesan dari nomor tidak dikenal. 

Mengabaikan ketidakjelasan seseorang yang mengiriminya pesan, Adinda kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, tidak lama kemudian suara ponselnya tidak berhenti berdering. Pesan spam yang masuk berkali-kali membuat fokusnya pecah. 

Disambarnya benda pipih warna hitam itu kemudian membuka layar kunci. Adinda langsung beralih pada aplikasi chatting miliknya. Membuka pesan dari nomor asing. 

+62 812-2769-8xxx

[Ini gue Damian.]

[Bunda kasih nomor lo ke gue.]

[Lo ngadu ya kalau gue ngajuin syarat? Dasar tukang ngadu!]

[Eh, balas dong.]

[Aktif tapi nggak dibalas.]

[Cewek tuh emang suka gitu, ya? Harus bolak-balik di chat baru mau balas biar dicariin gitu?]

[Hei.]

[Sombong amat sih. Kayak artis lo.] 

[Adinds.]

[*Adinda. Maaf typo.]

[Eh bener kan nama lo Adinda?]

[Nanti kalau udah nikah lo panggil gue Kakanda nggak?]

Adinda tidak suka dikirimin pesan spam seperti ini, menggangu sekali menurutnya. Jika orang tidak kenal pasti langsung di blokirnya. 

Adinda:

[Mas nggak ada kerjaan, ya?]

[Gabut banget kayaknya nge-chat spam kayak gitu.]

Gadis itu segera mematikan ponselnya setelah menyimpan nomor Damian dalam daftar kontaknya. Dia harus fokus pada pekerjaannya selagi ide di dalam kepalanya mengalir lancar. 

Setengah jam kemudian kegiatannya kembali terusik, bukan karena dering ponselnya, melainkan ketukan di pintu. 

"Non, saya bawain susu buat Non Adin. Saya masuk, ya?" 

Itu suara Bi Ina, asisten rumah tangganya yang diizinkan Mama tinggal di sini karena beliau sebatang kara di Jakarta. Kisah hidup Bi Ina ini cukup tragis, dia diusir suaminya dari rumah karena tidak kunjung mengandung. Karena malu untuk kembali ke rumah, akhirnya Bi Ina ke Jakarta dan sekarang tinggal di rumah ini sebagai asisten rumah tangga. 

"Iya, Bi. Masuk aja, nggak aku kunci kok!"

Suara pintu terbuka membuat Adinda memutar kursi belajarnya. Ia melihat Bi Ina membawa nampan berisi segelas susu dan camilan ringan di atas piring. Wanita itu meletakkannya di meja kopi sebelah meja belajarnya. 

"Non matiin hape, ya? Tadi Ibu nelpon ke hape saya, katanya nomor Non Adin ndak bisa dihubungi." 

Astaga! Ini pasti karena pesan dari Damian yang membuatnya malas membuka ponsel. Adinda mengucapkan terima kasih pada Bi Ina yang sudah menyampaikan pesan dari Mama. Setelah Bi Ina keluar dari kamarnya barulah Adinda menyalakan ponselnya kembali. 

Kontan saja chat dari Damian masuk pada notifikasi paling atas. Mengabaikan pesan yang dikirim oleh Damian, Adinda langsung menghubungi nomor Mamanya. 

Panggilan diterima pada dering pertama. Mama langsung mengucap syukur begitu menerima panggilan dari anaknya. 

"Kenapa, Ma? Tadi hape memang aku matikan, ada yang mengganggu banget-banget!" ujarnya langsung menjelaskan sebelum Mama bertanya. 

"Mama pikir ada apa-apa! Jangan kebiasaan gitu ah, Din, matiin hape!" pekik Mama heboh dari seberang sana. 

Adinda terkekeh mendengar Mama mengomel, ini bukan karena dia mengejek Mamanya, Adinda hanya terlalu hafal kebiasaan Mama jika khawatir. Menghebohkan semua orang, habis itu sudah lupa apa yang pernah terjadi, jika terulang lagi maka akan mengungkit-ungkit kejadian lama. 

"Iya-iya, Ma, maaf ya."

"Ini tadi Damian kesini, cerita sama Mama katanya kamu nggak balas pesan dia, ya? Kamu kok gitu sih, Din? Kalau nolak itu bicara baik-baik, bukan malah menghindar kayak gini." 

Damian ... mengaduh? Kok kelakuannya seperti anak-anak sih! Kalau tidak dibalas ya tunggu dong, bukan malah main ngaduh-ngaduh begini. Lagian itu artis papan atas memangnya tidak punya pekerjaan sampai repot-repot mendatangi Mamanya? Benar-benar kurang kerjaan!

"Iya, Ma, nanti aku balas pesan dia. Udah 'kan itu aja?" Adinda ingin mengakhiri percakapan ini. 

"Kamu istirahat, minum susu buatan Bi Ina. Mama tutup teleponnya ya? Assalamualaikum!" 

Setelah menjawab salam dari Mamanya, Adinda kembali terdiam. Dia sudah memikirkan jawabannya, Adinda hanya berharap apa pun yang akan terjadi merupakan hal baik. Ia akan menata ulang niatnya ketika menerima perjodohan ini. 

Ya, semoga keputusannya menerima Damian menjadi suaminya bukan keputusan yang salah. 

__________b a t a s  s u c i__________

Catatan Penulis:

'Jika memang diputuskan setelah meminta petunjuk, semoga saja keputusan itu bukan sesuatu yang akan berakibat buruk. Bismillah, semua pasti bisa!'

Selamat menikmati ya, Dear. Semoga suka dan betah. 

Salam sayang, Dee❤️

Related chapters

  • Jodoh Pilihan Ayah   004 | Bertemu Lagi

    "Meskipun bukan pertama kali bertemu tapi tatapannya tetap membuat salah tingkah."°°°Awalnya Damian menolak ketika disuruh Gilsa-manajernya-untuk ikut bersama Dedi Kuncoro-sutradara film terbarunya-mengisi kelas sebagai dosen tamu, tapi begitu Gilsa menyebutkan nama Universitas tujuan mereka jawabannya langsung berubah. IKJ, tempat Adinda menimba ilmu.Mungkinkah dia akan bertemu dengan gadis itu? Kira-kira bagaimana reaksinya saat melihat Damian? Terkejutkah atau senang?"Lo kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Dedi kepada artisnya itu.Damian diam seketika, senyum yang semula terkulum tipis mendadak lenyap tak berjejak. Masalahnya dia tidak mungkin mengatakan bahwa ada gadis yang ingin dijumpainya. Mau ditaruh kemana wajah tampannya jika orang lain tahu Damian sedang tergila-gila pada seorang gadis. Gadis yang bahkan jauh sekali dari kriteria idama

  • Jodoh Pilihan Ayah   005 | Pembicaraan

    "Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."°°°Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.Dia ... Damian.

  • Jodoh Pilihan Ayah   006 | Memikirkan

    "Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana

  • Jodoh Pilihan Ayah   007 | Tersipu Malu

    "Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit

  • Jodoh Pilihan Ayah   008 | Persiapan

    "Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi

  • Jodoh Pilihan Ayah   009 | Pernikahan

    "Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk

  • Jodoh Pilihan Ayah   010 | Pagi Pertama

    "Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?

  • Jodoh Pilihan Ayah   011 | Arti Pernikahan

    "Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 

Latest chapter

  • Jodoh Pilihan Ayah   036 | Made in Lembang

    Sepanjang perjalanan menuju villa milik Damian, pria itu lebih banyak mengunci mulutnya. Ia menyetir dengan tenang, sesekali merespon kalimat Adinda dengan anggukan atau gumaman singkat, dan setelah sampai ke villa pun ia hanya mempersilakan Adinda masuk sebelum akhirnya menghilang terlalu lama di kamar mandi. Melihat semua keanehan itu, Adinda tidak bisa untuk diam saja, ia penasaran. Maka begitu Damian keluar dari kamar mandi, Adinda langsung menyerangnya dengan pertanyaan. "Kamu kenapa sih, Mas, kok daritadi diem aja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Adinda kepo. Damian menggeleng, tapi tetap enggan membuka suara. Membuat Adinda semakin penasaran dengan sikapnya. Wanita itu mengikuti kemanapun Damian pergi, bahkan saat pria itu berganti pakaian. Tidak perduli bahwa wajahnya memerah karena melihat tubuh polos suaminya. Adinda mengikuti Damian ke atas ranjang, ikut duduk di tempat empuk itu. Damian meliriknya. "Nggak mandi?" tanyanya risih. Damian tahu kalau sikapnya ini membu

  • Jodoh Pilihan Ayah   035 | Jatuh Cinta

    Damian benar-benar membawanya untuk jalan-jalan seperti yang dia katakan sebelum memaksa ikut Adinda survey lokasi syuting. Pria itu mengajaknya ke Bandung, butuh waktu tiga jam tiga puluh menit untuk sampai di lokasi tujuan, floating market Lembang. Pria itu ingin merasakan sensasi belanja di pasar terapung, membeli beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka membeli beberapa buah-buahan segar siap makan untuk mengisi perut sembari berkeliling di area air di area tersebut. Adinda mengajak Damian untuk membeli pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang. Damian setia mengikutinya dengan topi yang menutupi kepalanya, kaca mata hitam dan masker yang menyamarkan dirinya. "Ini lucu banget," kata Adinda sembari menunjuk gantungan kunci. "Beli deh kalau lucu," sahut Damian kalem. Tidak hanya menanggapi kalimat istrinya, tangannya juga turut serta mengambil gantungan kunci yang ditunjuk Adinda. Pria itu mengambil dua sekaligus. "Biar couple," ucapnya santai. Adinda gelen

  • Jodoh Pilihan Ayah   034 | Sarapan

    Pagi-pagi sekali Damian sudah bangun. Pria itu langsung mandi dan bersiap untuk pergi salat subuh ke masjid. Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, ia menyempatkan diri mencium istrinya, cara paling efektif membangunkan Adinda yang sedang tidur pulas. "Gue ke masjid, lo jangan tidur lagi," bisiknya setelah kedua mata Adinda terbuka. Menuruti perkataan suaminya, Adinda langsung beranjak duduk. Menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Wanita itu melirik jam yang menggantung di dinding, masih pukul setengah lima pagi. "Tumben," gumamnya yang merujuk pada Damian. Adinda bangkit, merapikan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah. Wanita itu langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu, lalu salat ketika waktunya telah tiba. Selepas salat, Adinda tidak membuang waktu pagi dengan malas-malasan, wanita itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan dirinya sendiri. Butuh waktu dua puluh menit untuk menyiapkan nasi goreng seafoo

  • Jodoh Pilihan Ayah   033 | Kembali ke Rumah

    Taksi online yang mengantarkannya pulang berhenti di lobby apartemen dua puluh menit kemudian. Wanita muda itu keluar dari dalam taksi sembari membawa belanjaannya yang memang diletakkan di kursi samping. Dia mengucapkan terima kasih pada si sopir, lalu lanjut masuk ke gedung pencakar langit itu dengan langkah ringan. Untuk bisa sampai ke unitnya berada, Adinda harus naik lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemen milik Damian, dia langsung melangkah keluar. Lorong apartemen tidak pernah ramai, hanya sesekali jika petugas kebersihan sedang bekerja. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang beberapa menit, jadi tidak ada satu orang pun manusia yang berlalu lalang di lorong ini. Kekosongan apartemen menjadi pemandangan kedua yang menyambutnya begitu tiba di apartemen. Adinda meletakkan barang-barang belanjaan lalu kembali melangkahkan kaki menuju kamar, ia ingin mandi dulu sebelum salat dan akhirnya memasak makan malam. Dua puluh menit membersihkan di

  • Jodoh Pilihan Ayah   032 | Final Meeting

    Adinda mengangguk setuju ketika Bunga mengatakan bahwa proses syuting akan dimulai dalam waktu dekat, mungkin minggu depan. Kepalanya tertoleh pada Ares yang duduk di sisi kirinya, meminta jawaban pada pemuda itu. Ares membalas tatapan Adinda sambil berpikir dan mengingat ulang jadwalnya. "Untuk dua minggu ke depan gue bisa sih karena jadwal kosong, tapi habis itu harus selang-seling syutingnya karena gue ada jadwal foto iklan," jawab Ares sambil matanya menatap satu per satu orang yang ada di sekitarnya. Bunga mengangguk paham. Dia menulis susunan jadwal yang akan mereka lakukan. "Berarti minggu ke depan full, ya? Gue udah nyocokin jadwal juga sama Nayla, katanya dia free juga minggu depan. Setelah itu nanti gue hubungi kalian lagi soal jadwal selanjutnya," kata Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Yep," sahut Ares setuju. Mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana syuting dan beberapa adegan tambahan yang harus Ares lakoni. Bunga menyerahkan hasil print naska

  • Jodoh Pilihan Ayah   031 | Perkara Foto

    Halo! Balik lagi nih. Semoga suka ya. Happy reading♡ ♡♡♡ Rahang Damian menegang sempurna saat mendapat kiriman pesan tersebut. Dia tidak pernah mengira bahwa 'orang itu' akan berani dekat dengan istrinya. Huh, atau apakah Damian terlalu memberi kelonggaran pada Adinda dalam urusan pertemanan? Haruskah dia memberi wanita itu batasan? Tangannya secara langsung mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, menelepon orang di seberang pulau. Pada dering keempat, teleponnya diangkat, seolah orang itu memang sedang menunggunya. Atau memang karena sedang memegang handphone. "Iya, Mas? Kenapa?" Oh, lihatlah sekarang. Bahkan hanya dengan mendengar suara wanita itu saja, bara amarah yang semula menggelegak seperti hilang entah kemana. Damian berdeham. "Lo emang dekat sama dia, ya?" tanyanya ambigu. Damian yakin jika saat ini wanita di seberang telepon sedang mengerutkan dahi dengan cara paling menggemaskan. Ah, bukankah Damian sudah gila kalau seperti ini? "Maksud gue ... Ares."

  • Jodoh Pilihan Ayah   030 | Damian Feeling

    Halo! Selamat membaca ya♥️♡♡♡Damian baru menyelesaikan syutingnya ketika dering ponsel di saku celana menarik atensinya. Buru-buru pria itu mengambil benda pipih warna hitam miliknya, mengusap layar ke sebelah kiri untuk mengangkat panggilan. Sudah sejak tadi pagi dia menunggu panggilan ini. "Halo, Mas! Mas maaf banget ya baru nelepon kamu jam segini, aku beneran lupa ada janji mau teleponan sama kamu. Ini aku baru pulang setelah meeting budget sama temen-temenku," ujar suara di seberang sana tampak buru-buru, seolah takut kalimatnya dipotong. Damian terkekeh tanpa suara. Dia mengusap tulang lehernya yang terasa pegal karena sejak siang dia belum ada istirahat. Hari ini jadwalnya padat sekali, dari pagi sampai malam begini dia terus membaca teks, menghafal, dan mulai take. Mendengar suara istrinya menjadi angin segar untuknya. "Gue kira udah lupa kalau punya suami," kata Damian, ingin mengerjai istrinya. "Ih Mas, nggak gitu!" rengek Adinda di seberang telepon. "Aku beneran lupa,

  • Jodoh Pilihan Ayah   029 | Meeting With "Partner"

    Lama ya nggak update, hehe. Maaf ya. silakan baca bagian terbaru ini dengan hati gembira✨ °°° Pagi-pagi sekali Adinda sudah berangkat dari apartemen menuju kampusnya. Hari ini, ada banyak agenda yang harus dikerjakannya. Mulai dari sarapan bersama teman-temannya di kantin— agenda ini berlangsung selama seminggu setelah mereka berada di semester atas, agar komunikasi tetap terjalin—lalu ada rapat anggaran untuk produksi film, dan yang terakhir akan menjadi komunikasi dengan calon "aktor" dalam film mereka. "Lo udah nemu belum tema dan alur kayak apa yang mau dibuat?" tanya Ayara pada Angel yang sedang menyeruput kuah bakso di mangkuknya. Angel mengangguk-angguk kecil. "Gampang itu. soal beginian mah gampang sama gue kalau," sahutnya sombong. "Gaya lu!" dengkus Ayara. Tatapannya beralih pada Adinda yang masih mengaduk-aduk jus jeruk di gelasnya agar dinginnya merata. "Kalau lo udah sampe mana pembahasan film, Din?" tanyanya Adinda letakkan sedotan yang dia untuk mengaduk jus je

  • Jodoh Pilihan Ayah   028 | Kami Nyambung

    "Dalami peran dan kau akan rasakan." ♡♡♡ Adinda menggelengkan kepala atas pertanyaan dari sosok yang dikenalnya tersebut. Ares. Salah satu artis ibu kota yang namanya sedang naik daun karena salah satu series yang diperankannya. Ares terkenal sebagai aktor yang ramah dan sangat sederhana, hal itu terbukti dengan kehadirannya di kedai kopi dekat apartemen Adinda ini. "Enggak kok, Mas. Saya cuma kaget karena ... bisa ketemu Mas di sini," kata Adinda, agak mengernyit mendengar panggilannya pada Ares yang ditaksir lebih muda darinya.

DMCA.com Protection Status