Nico merasa aneh, di halaman kantornya begitu tenang bahkan nyaris tak ada orang yang berlalu lalang apalagi berkumpul. Seperti di jam kerja pada umumnya dimana orang-orang berkutat dengan pekerjaannya masing-masing di ruangan mereka. Berbeda dengan yang ia bayangkan bahwa para pekerjanya kini berkumpul di halaman gedung kantor, membawa spantuk sambil berteriak mengeluarkan protes dan umpatan kepadanya, serta Jeremy yang kewalahan menjelaskan ini itu ke para karyawan mereka.
Nico lalu berlari menuju lift dan langsung mencari Jeremy di ruangan sahabatnya itu. Malah terdengar alunan musik jazz yang lembut saat Nico membuka pintu di ruangan Jeremy
“Di mana karyawan-karyawan itu? Katamu, mereka mau demo…” tanya Nico panik ketika memasuki ruangan Jeremy yang kini sedang duduk bersandar di kursi kerjanya sambil menatap ke arah jendela.
Jeremy membalikkan kurs
Raihan tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya ketika melihat sosok yang kini duduk di sofa dan menatapnya tajam. Sejenak tubuhnya mendadak kaku tak berkutik namun ia segera berusaha menenangkan dirinya, ia melirik barang belanja yang dibawanya, seharusnya Nico pasti mempercayainya, pikirnya. “Darimana saja kamu?” tanya Nico dengan nada curiga. “Seperti yang kau lihat… aku keluar untuk belanja…” jawab Raihan sewajar mungkin sambil mengangkat kantong belanjaannya, “kulkasmu tidak ada bahan makanan jadi aku keluar mencari makanan…” Nico melirik belanjaan Raihan. “Aku menelponmu daritadi, kenapa tidak diangkat?” “Aku lupa bawa hape-ku… kalau kau tidak percaya, hape-ku ada di atas ranjang.” Nico diam sejenak, sorot matanya tampak menyelidik. “Tadi aku melihatmu di jalan, turun da
Raihan mulai mendesah saat kecupan Nico menjamah tiap senti di kulit lehernya, makin lama makin liar. Wajahnya mendongak, memperluas akses Nico bermain-main di sana, menikmati permainan suaminya. Tangan Nico mulai meraba-raba lekukan tubuh Raihan, sesekali ia meremas titik-titik sensitif Raihan. Nico menghentikan aksinya sejenak, menatap mata Raihan yang kini tampak sayu karena terbakar gairah. Tangan Raihan menyentuh wajah Nico, jari-jarinya menyelusuri rahang Nico yang tegas. Nico mengecup jari-jari lentik milik Raihan saat jari-jari itu menyentuh bibirnya. Kembali Nico menatap mata Raihan, mencoba meyakinkan Raihan yang menatapnya takut. Tapi, Raihan belum melupakan bagaimana sakitnya saat tubuh mereka menyatu untuk pertama kalinya. “Nico… aku masih merasa sa-” “Sstt…” potong Nico sembari menaruh telunjuknya di atas
“Jadi, kau menyerahkan proyek itu ke orang baru itu?” tanya Nico, wajahnya terlihat serius menatap Jeremy yang duduk di hadapannya. “Ya, dia berpengalaman dan memiliki track record yang bagus dalam menjalankan proyek di perusahaan tempat dia kerja sebelumnya,” sahut Jeremy. Nico mengernyit, “apa tidak terlalu cepat? Dia kan baru di sini…” “Ya, dia memang baru tapi kemampuan dia seperti profesional, dia sudah tau apa yang harus dia lakukan.” “Lalu, bagaimana perkembangan proyek baru itu?” “Cukup mengejutkan dan sepertinya clien kita puas.” “Hm….” Nico tampak berpikir, “bisakah aku melihat informasi tentang orang baru itu?” “Ya, tentu saja…” Jeremy meraih telpon dan menghubungi sekretarisnya, “Stefani, tolong beritahu
Sesaat tubuh Bily menjadi kaku saat Nico melontarkan pertanyaan tajamnya. Namun, Dengan cepat Bily menenangkan dirinya, menatap mata tajam milik Nico yang tampak berusaha mengintimidasinya. “Tidak ada maksud apa pun, aku bekerja bukan berarti aku mengabdi tapi aku bekerja untuk memuaskan diriku…” Kening Nico mengerut. “Memuaskan diri?” “Ya, aku sudah tahu seluk beluk perusahaan milik Adhinata dan aku butuh tantangan baru. Pyramid, saingan Royal Crown milik Adhinata, adalah salah satu grup perusahaan terbaik. Kurasa itu tempat yang cocok untuk menambah pengalamanku.” “Tapi, bisa saja kau memberitahu kelemahan dan rahasia Royal Crown ke Pyramid?” “Selama ini aku bekerja profesional, aku tidak akan memberitahu kelemahan perusahaan lain apa pun itu, tak terkecuali, termasuk Royal Crown Grup., aku tidak peduli dengan hal it
Nico terus berkutat dengan laptopnya, mencari informasi mengenai Bily Rahendra melalui media online namun hasilnya nihil. Bily Rahendra, seorang pria muda nan rupawan yang konon katanya selalu menorehkan prestasi di tempat ia bekerja, sepertinya adalah orang yang amat misterius. Tak banyak infomasi yang Nico temukan mengenainya kecuali informasi bahwa ia menjadi lulusan terbaik di salah satu universitas terbaik dan di mana saja pria itu pernah bekerja. Sangat disayangkan pria itu tak memiliki sosial media satu pun. Nico jadi teringat oleh Raihan dan keluarga Adhinata. Raihan dan semua anggota keluarga Adhinata juga demikian, sama sekali tidak memiliki sosial media. Jauh sebelum menikah, Nico pernah mencari tahu tentang keluarga Adhinata apalagi semasa kecil ia pernah menyukai adik Barack yang kini ia tahu sekarang telah menjadi istrinya, namun hasilnya nihil. Yah, sekedar kepo saja tentang cinta pertamanya.
Tiba-tiba Nico menbungkam bibir Raihan dengan bibirnya. Melumatnya dan mengajak lidah Raihan bercengkrama dengan lidahnya yang liar hingga Raihan kewalahan membalasnya. Raihan kebingungan saat Nico mengisap liur Raihan dengan amat rakus. Nico melepaskan ciumannya dan liur mereka terlihat saling bertautan di luar bibir mereka. Nico menjilat sekali bibir Raihan, mata mereka saling menatap lekat. Wajah Raihan memerah. “Nico… apa kita harus melakukannya di sini?” Nico mengangkat tubuh ramping Raihan dan mendudukkannya di meja bar. “Aku tidak bisa menahannya…” Kembali Nico melahap bibir Raihan dengan liar. Raihan melingkarkan lengannya ke leher Nico dan berusaha mengimbangi ciuman Nico, lidah mereka bermain-main di antara rongga mulut mereka, sesekali Nico menghisap liur Raihan bagai menyesap nectar madu.
Raihan melihat-lihat koleksi parfum Nico terlebih dahulu sebelum bersiap-siap pergi lalu dengan mobilnya ia melaju ke mall yang dekat dari apartemennya. Sesampainya di mall, Raihan langsung mencari toko yang menjual parfum mewah. “Silahkan masuk!” kata pegawai toko yang menyambut Raihan dengan ramahnya. Begitu Raihan masuk, semerbak aroma kemewahan langsung menyambar indera penciumannya, benar-benar wangi. Raihan melihat-lihat sebentar beberapa parfum yang sekiranya tidak dimiliki Nico. “Yang best seller untuk pria yang mana, ya?” tanya Raihan tanpa basa basi. “Yang best seller di sini…” kata pegawai toko sembari mengambilkan Raihan beberapa botol prafum untuk pria dan juga parfum unisex. Raihan masih mengingat merk parfum yang Nico miliki, ia memilih salah satu parfum unisex dan menh
Raihan merenung sembari menatap ke arah jendela kaca, tatapan matanya terlihat sendu. Di luar sedang gerimis dan suara titik air hujan yang menyentuh bumi menambah pilu hatinya. Kenangan menyakitkan itu kini menarik-nari di pikirannya, masih jelas di ingatannya bagaimana Bily dan Wulan mengkhianati dirinya. Raihan merasa betapa bodohnya ia mempercayai kedua orang itu hingga dia lebih memilih hidup bersama mereka dibanding dengan keluarga angkatnya yang telah menyekolahkannya hingga lulus kuliah. Raihan mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisanya dia melakukan itu pada keluarganya untuk orang-orang yang menikamnya dari belakang. Kedua pengkhiatan itu tak lebih dari komplotan serigala berbulu domba yang sudah menipunya selama bertahun-tahun. Namun, yang paling menyakitkan bagi Raihan, ia masih belum bisa percaya bahwa mengapa sahabatnya bisa setega itu padanya dan juga pria itu, pria yang palin
"Kakak!" seorang gadis cantik dengan rambut pendek model wolf cut-nya berlari-lari sambil menarik kopernya untuk menghampiri Barack, matanya bulat dengan softlens berwarna kelabu. Tubuh langsingnya yang tinggi langsung memeluk Barack dengan hebohnya. Barack pun tersenyum dan membalas pelukan gadis itu."Kangennya sama Kak Barack," kata gadis itu, "kenapa Kak Barack tidak mengabariku kalau Kakak sakit?" protesnya dengan bibir yang dimanyunin, "aku bahkan tahu dari salah satu asisten rumah tangga." "Siapa itu?" tanya Barack. "Secret," jawab sang gadis sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, "ia lalu mengedarkan pandangannya seperti mencari-cari seseorang. "Dimana ya dia?" "Kau mencari siapa, Shiena?" tanya Barack pada adiknya yang bernama Shiena."Raihan," sahut Shiena, "kudengar dia sempat pulang dan tidak lama itu dia menikah." Barack terdiam sejenak, agak kaget darimana Shiena tahu bahwa Raihan sudah menikah. "Siapa yang memberitahumu?" tanya Barack. "Kak Ginanjar," j
Nico berjalan mengitari ruang keluarga mansion keluarga Adhinata. Setapak demi setapak kakinya melangkah, pandangannya menatap tiap foto-foto yang menghiasi dinding ruangan itu. Pertama, ia melihat foto Barack remaja yang merangkul seorang gadis kecil yang Nico tahu persis bahwa gadis itu adalah adik Barack, dia cinta masa kecil Nico.Nico menatap raut wajah gadis itu, tak ada sedikit pun kesamaan dengan wajah Raihan. Tapi, bukankah banyak orang yang mengalami perubahan yang signifikan ketika ia beranjak dewasa? Nico terus mengamati foto-foto di dinding itu. Ada foto Barack semasa ia kuliah bersama gadis cantik yang juga beranjak remaja dan juga orang tua Barack Adhinata. Tapi, jika diperhatikan dengan seksama, gadis itu bukanlah Raihan. Nico mengalihkan pandangannya ke foto keluarga yang paling besar terpampang di sana, foto Barack Adinata bersama istrinya, Raihan dan ada gadis cantik yang Nico tak kenal siapa gadis itu. Tapi, gadis itu berdiri di samping Barack sementara Raihan dan
"Nic ... ada apa?" tanya Jeremy yang tampak begitu penasaran. "Aku ....." Nico masih tampak tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari Adrian. "Nic?" "Aku harus pergi dulu." Nico mematikan panggilan telepon Adrian lalu bergegas cepat keluar dari ruangannya, meninggalkan Jeremy yang tampak terheran-heran melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa itu. "Kau mau kemana?" seru Jeremy"Memastikan sesuatu yang penting!" balas Nico.*** Nico berlari menuju mobilnya dan segera meluncur ke arah apartemennya dengan kecepatan tinggi. Ia bahkan tak peduli lagi dengan keselamatannya hingga ia mengabaikan untung memasang sabuk pengamannya, mobil yang melaju di depannya ia klakson tanpa ampun. Ia bahkan hampir dua kali menambrak mobil yang melaju di depannya hingga ia akhirnya menepi dan berusaha menenangkan pikirannya terlebih dahulu namun ucapan dari Adrian tidak dapat lenyap di otaknya bahwa adik ipar Barack Adhinata ternyata adalah istrinya. Nico merasa ditipu oleh keluarga Adhinata.
Nico menatap tajam ke arah Bily saat pria itu menghampirinya bersama Raihan. Nico lalu berdiri, menyambut istrinya. Raihan lalu melangkah ke samping Nico. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Raihan pada suaminya. "Tidak, kok," jawab Nico, "aku langsung meneleponmu saat sampai di sini. Raihan mengangguk paham. "Bily, kami pulang dulu, ya," ucap Raihan pada pria itu, "tolong jaga Wulan, besok aku ke sini lagi, pungkasnya." Bily hanya mengangguk sekali. Nico lalu menggenggam erat tangan Raihan lalu pergi meninggalkan Bily sendirian di sana. *** "Kau tidak bilang kalau Bily ada di sana juga," kata Nico saat mereka berada di dalam mobil. Pria itu tampak serius, ia menatap ke arah Raihan dengan kening mengerut."Ya, kau tidak tanya, kan?" balas Raihan, "lagi pula kau pasti bisa menebaknya kalau dia pasti ada untuk menjaga Wulan. Bagaimana pun mereka sudah seperti saudara," terang Raihan. "Aku hanya ingin kau memberitahuku biar aku tidak salah paham ...," ujar Nico. "Kau cemburu?" tuduh
Nico duduk terdiam di ranjang sambil memandang istrinya yang kini memejamkan matanya di sampingnya. Ia terus memikirkan pertemuan terakhir ia dan Olive, ada rasa kecewa karena Raihan mengijinkan Olive untuk membujuknya bercerai dengannya. "Apa segitu tak inginnya kau membuka hatimu padaku, Raihan?" ucap Nico dalam hati. Tiba-tiba Raihan membuka matanya, ia mengernyit karena mendapati suaminya tengah memandangnya dalam hening. "Kau belum tidur?" tanya Raihan sambil membangunkan tubuhnya. "Um ... iya," jawab Nico. "Kau lagi banyak pikiran?" tanya Raihan, wajahnya agak khawatir memandang Nico. Nico terdiam sejenak sebelum ia bersuara. "Raihan, apa kau ingin meninggalkanku?" tanya Nico tiba-tiba. Raihan terhenyak mendengar pertanyaan Nico. "Kenapa kau bisa bilang seperti itu?" "Aku takut kehilanganmu," ucap Nico jujur. Raihan terdiam sejenak lalu ia berusaha tersenyum. "Jangan berpikir terlalu banyak, aku akan selalu bersamamu selama kau menginginkannya," kata Raihan. "Raihan ap
Nico terdiam membaca begitu banyak berkas di mejanya hingga keningnya mengerut tajam. Agak lama ia berkutat dengan berkas-berkas itu, ia lantas mengambil pena dan mulai menandatangi berkas di hadapannya. "Wah, kau rajin sekali," ujar Jeremi. Nico menoleh ke arah sahabatnya itu, ia bahkan tak menyadari ketika pria itu masuk ke ruangannya. Jeremi berjalan menuju sofa dan duduk santai di sana. Bagaimana sekarang hubungan kau dan istrimu itu?" tanya Jeremi. "Sangat baik," jawab Nico santai, "kami bahkan makin mesra." "Syukurlah kalau begitu," gumam Jeremi. Tiba-tiba handphone Nico berdering, tanda ada panggilan masuk. Mata Nico mendelik saat melihat nama Olive terpampang di layar handphone-nya. Nico terdiam sejenak, ia ragu antara ingin menerima panggilan itu atau membiarkannya. Tapi Nico tak tega pada gadis itu, ia pun memutuskan untuk menerima panggilan telepon itu. "Ya, halo?" sapa Nico. "Nico," suara lembut Olive di seberang, "bisakah kita bertemu hari ini?" Nico terdiam, ia
"Ngg ... Nico ... Ahh!" desah Raihan saat lidah Nico menyapu milik Raihan yang mulai basah. Tangan wanita itu mencengkran bantal, sesekali ia menengok untuk memandang suaminya yang tengah menyantap nikmat miliknya. "Ahh! Nic ..." desahnya saat Nico mengisap miliknya, seakan menyesap nektar madu di sana. Kini tangan Nico tak tinggal diam, ia memasukkan jari tengah dan manisnya ke dalam rongga nikmat itu. "Nico! Ngg ... ahh ... sshhh ...." Raihan mulai meracau saat gerakan kedua jari semakin cepat, belum lagi permainan lidah dan isapannya di bawah sana. "Nico ... aku ... aku tidak ta ... ahh!" Akhirnya Raihan mengalami klimaksnya, tubuhnya mengejang dan napasnya terdengar memburu. Nico tersenyum puas saat menyaksikan istrinya mengalami orgasme. Ia lalu memeluk tubuh Raihan dan mengajaknya berciuman. "Bisakah kau memegangnya?" bisik Nico penuh gairah. Raihan lalu memegang milik Nico dan memerasnya dengan lembut. "Ah ... nikmat sekali," desah Nico. Ia lalu mengajak Raihan berciuma
"Nyonya, sudah sampai ...." Raihan tersadar dari lamungannya begitu mendengar suara supir. Ia langsung melemparkan pandangannya ke jendela, ternyata ia susah berada di depan restoran mewah. Ia lalu mengambil tas kecil dengan hiasan manik permata yang indah lalu segera membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Semua orang terpana begitu memandang Raihan yang begitu cantik dan anggunnya masuk ke dalam gedung restoran. Ia pun acuh tak acuh dengan pandangan pria-pria yang terpesona pada dirinya, melenggang begitu anggun tanpa menoleh. "Aku sudah ada janji dengan Pak Nicolas Kuiper," ucap Raihan pada seorang resepsionis wanita. "Sebentar, saya cek dulu." Resepsionis itu pun membuka mengecek di monitor. "Baik, Nyonya. Pak Nicalas sedang menunggu anda di ruang VIP, sebentar saya panggilkan pelayan untuk mengantar anda ke sana." Resepsionis itu pun menelepon seseorang dan tidak lama kemudian seorang pria menghampiri Raihan. "Mari, saya antar, Nyonya!" kata pria itu. Raihan mengangguk se
Raihan terdiam saat mendengar suara lembut gadis itu. Tiba-tiba kekhawatiran melandanya. Ia belum lupa bahwa Nico pernah begitu mencintainya hingga berebut gadis itu dengan pria lain di apartemen mereka. Raihan khawatir, apakah cinta yang diucapkan Nico akan sirna oleh kehadiran Olive? "Ya, Olive?" tanya Raihan. "Raihan, bisakah kita bertemu hari ini?" Raihan diam, menimbang-nimbang permintaan bertemu dengannya. Apalagi kalau bukan menyangkut Nico? "Baiklah. Kau mau bertemu di mana?" *** Brak! Nico tersentak dan langsung memandang ke arah pintu. Tampak Hasya berdiri dan memandangnya dengan tatapan geram. Sambil mendengus, gadis itu melangkah mendatangi Nico yang masih terkejut memandangnya. Hasya langsung memukul meja di hadapan Nico. "Kau kenapa, sih?" sergah Nico. "Kakak yang kenapa?" balas Hasya tak kalah sengitnya, "kenapa Kakak memecat Bily?" Nico memutar kesal bola matanya. "Oh, pria itu ... ku kira apa sampai kau terlihat marah begitu tapi baguslah dia sudah tidak ke