Olive dan Ellen menoleh ke arah Nico, tidak lama kemudian Olive menangis begitu menangkap tatapan kekhawatiran Nico. Nico berjalan menghampiri Olive dan memeluknya, dielusnya rambut Olive dengan lembut. Tampak jelas bahwa ia sangat menyayangi gadis itu, rasanya ia pun tak tahan melihat Olive kesakitan.
“Nico… aku tidak mau dioperasi… aku takut….” rengek Olive seakan mengadu kepada Nico.
Nico melepaskan pelukannya, dipegangnya pipi Olive sembari menatapnya lekat-lekat. “Olive… ini demi kebaikanmu, operasi itu tidak bahaya sama sekali.”
“Tapi….”
“Stttt… kau tidak perlu takut, aku pasti menemanimu. Bagaimana? Kamu mau, kan?”
“Janji, kau akan menemaniku?” Olive terlihat berharap.
Nico diam sejenak menatap istrinya yang berusaha menginterogasinya, tak disangkanya bahwa istrinya akan peduli padanya, bahkan mungkin mencurigainya. “Itu karena…” ragu-ragu Nico menjawab, “aku juga masuk di ruang operasi,” lanjutnya, “maaf ya, Raihan… aku tidak sempat menelfon tadi karena aku capek….” Raihan menatap Nico seakan mencari kebenaran melalui sorot matanya namun yang dapat ia tangkap hanyalah wajah lelah Nico. “Istirahatlah kalau begitu! Jangan terlalu memaksakan diri untuk orang lain,” ucapnya, “besok kau kerja, kan? Biar aku siapkan air hangat untukmu….” “Ya….” Nico lalu berjalan menuju kamar dan menghempaskan tubuhnya di ranjang. Hari ini adalah hari yang begitu melelahkan bagi Nico, memang bukan lelah karena bekerja keras namun menunggu hingga operasi usus buntu Olive selesai ternyata begitu melelahkan
“Ya, Nyonya Raihan?”“Om Sam, bisa ke apartemenku sekarang? Ya, sekarang juga!”Langkah kaki jenjang Raihan terlihat agak cepat begitu keluar dari gedung apartemen menuju mobil sedan Mercedes berwarna hitam yang terparkir tepat di depan gedung apartemen. Mobil itu adalah mobil keluarga milik Barack, sengaja ia memakai mobil kakaknya karena ia tak ingin diketahui oleh orang-orang di kantor Nico. Untuk itu, Raihan meminta tolong ke supir keluarga Barack untuk membantunya kali ini.“Kita ke mana, Nyonya?”“Kita ke kantor suamiku, Om tahu kan tempatnya?”“Baik, Nyonya….” Pria yang disebut Om Sam itu, mengenakan kaca mata hitamnya sebelum melajukan mobilnya menuju gedung kantor perusahaan milik Nico.
Malam itu Raihan tidak banyak bicara saat Nico pulang bahkan tak mengubrisnya ketika Nico pulang walau malam itu Nico pulang kebih cepat. Ia lebih memilih bermain handphone-nya dibandingkan sekedar menanyakan apakah suaminya sudah makan di luar atau belum. Untungnya Nico terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga tidak merasakan ada yang beda dari sikap Raihan.Kini Raihan berbaring sembari merenung. Tatapannya mengarah pada jendela besar yang mengarah ke balkon, tepat sisi ranjangnya. Ia berusaha mencoba untuk tidur namun pikirannya penuh dengan kekalutan karena bertambah persoalan dalam hidupnya, yang awalnya ia hanya memikirkan perasaan kesalnya pada mantannya lalu bertambah juga rasa kesalnya pada suaminya.Raihan berpikir, sebelumnya ia dikecewakan oleh kekaish dan sahabatnya sendiri dan kini ia baru mengetahui kenyataan bahwa suaminya mencintai gadis lain di luar. Semua itu membuatn
Nico menjambak rambutnya sendiri, pikirannya saat ini benar-benar seperti benang kusut. Ia menyadari bahwa luapan-luapan emosinya kini sudah tidak pada tempatnya, Ia menjadi uring-uringan dan lebih sensitif.Tidak lama kemudian seseorang membuka pintu.“Siapa lagi itu?!” teriak Nico, “kenapa pegawai di sini tidak tahu sopan santun!”“Hei hei hei…” ternyata orang itu tak lain adalah Jeremy, iya terheran-heran memandang Nico, “kenapa kau ini? Kau sampai membuat Stefani menangis di luar.”Nico tidak menjawab, ia hanya menatap tajam Jeremy.“Apa kau ada masalah dengan Olive? Atau dengan istrimu?”“Dengan Raihan mungkin….” sahut Nico kesal.
“Jangan!” sahut Raihan cepat-cepat lalu mengambil buket bunga indah itu dari tangan Nico, “sayang kalau dibuang!” Raihan menghirup wangi bunga-bunga dalam buket dan Nico tampak senang karena sepertinya Raihan menyukai bunga pemberiannya.“Tumben kau membelikanku bunga,” ujar Raihan dingin.“Ya… sekali-sekali aku juga ingin membuatmu senang,” ucap Nico sembari mengusap tengkuknya dengan salah tingkah.Akhirnya, hampir seminggu wanita itu bersikap dingin pada Nico dan kini senyuman manisnya kembali menghias wajah jelitanya. Rasanya Nico ingin sekali mengangkat istrinya lalu membawanya ke dalam kamar tapi tidak, kali ini ia ingin sedikit mengalah pada egonya sebagai pria dan berusaha menahan nafsunya. Ia ingin agar istrinya tahu bahwa ia benar-benar menyayanginya.Kedua tangan Nico meraih pundak Raihan, ditatapnya mata indah Raihan lekat-lekat. “Raihan… aku… akan berusaha menjadi pria
Senyuman manis tak henti terukir di wajah Olive tiap memandang Nico yang kini berada di sampingnya, yang sedang menyetir mobil Jeep besarnya dengan tatapan serius. Gadis itu merasa senang karena Nico selalu menemaninya di rumah sakit hingga kini mereka di perjalanan menuju apartemen Olive. Rasanya, ia masih seperti kekasih Nico walau Nico kini sudah memiliki istri sekali pun. Olive begitu mengenal Nico, ia tahu bahwa semua sikap dan perhatian yang Nico berikan padanya itu semua spontanitas yang berasal dari perasaan Nico. Semua yang terjadi selama di rumah sakit membuktikan bahwa ia masih menjadi prioritas bagi Nico.Kini mereka sampai di parkiran gedung apartemen tempat tinggal Olive. Nico membuka pintu mobilnya lalu berlari mengelilingi depan mobilnya untuk segera membukakan Olive pintu. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Olive turun dari mobil besarnya.“Hati-hati!” ucap Nico sembari merangkul Olive lalu mereka jalan menuju lift.Kini m
Raihan kini memasuki suatu cafe, kacamata coklat bergradasi coklat tampak menutup mata indahnya yang tajam dan dingin. Diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe, di ujung tampak seorang pria berwajah tampan nan lembut walau kini jenggotnya menghiasi rahangnya yang tegas.Raihan langsung menghampirinya dan duduk tepat di depannya sembari melemparkan tatapan tajamnya dibalik kacamata.“Kupikir kau tidak mau datang …” ujar pria yang ternyata adalah Bily.“Aku tidak akan datang kalau bukan menyangkut suamiku … “ terang Raihan, “cepat katakan! Ada apa dengan suamiku?”Bily malah menyerahkan amplop besar berwarna coklat. Raihan menerima amplop coklat itu dengan tatapan bingung, entah apa isi dalam amplop itu hingga Bily menghubunginya dengan nomor handphone yang baru oleh karena Raihan sudah mem-blokir nomor Bily.Raihan membuka amplop coklat berukuran besar yang isinya ternyata beberapa lem
Dengan langkah yang lebar dan cepat Nico menghampiri istrinya, direbutnya gelas kaca dari tangan Raihan lalu meletakkannya di atas meja. Nico memandang istrinya dengan pandnagan kekhawatiran. “Raihan, ada apa? Kau baik-baik saja, kan?”Raihan menoleh ke arah Nico sambil memajukan sedikit badannya, mata tajamnya menatap mata wajah Nico. Satu tangannya bergerak menangkup rahang tegas milik Nico. “Kau … sudah pulang, ya?” lalu terdengar suara cegukan keluar dari mulutnya.Nico bisa mencium bau alkohol yang tajam dari mulut Raihan. “Raihan, kau tidak apa-apa, kan?”Raihan tampak keheranan dengan pertanyaan suaminya. “Apa aku kelihatan tidak baik-baik saja? Aku baik-baik saja ….” “Aku belum pernah melihatmu minum seperti ini…”Manik indah milik Raihan bergerak ke arah bucket bunga. “Cantik sekali bunganya ….”“Oh, ini? I
"Kakak!" seorang gadis cantik dengan rambut pendek model wolf cut-nya berlari-lari sambil menarik kopernya untuk menghampiri Barack, matanya bulat dengan softlens berwarna kelabu. Tubuh langsingnya yang tinggi langsung memeluk Barack dengan hebohnya. Barack pun tersenyum dan membalas pelukan gadis itu."Kangennya sama Kak Barack," kata gadis itu, "kenapa Kak Barack tidak mengabariku kalau Kakak sakit?" protesnya dengan bibir yang dimanyunin, "aku bahkan tahu dari salah satu asisten rumah tangga." "Siapa itu?" tanya Barack. "Secret," jawab sang gadis sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, "ia lalu mengedarkan pandangannya seperti mencari-cari seseorang. "Dimana ya dia?" "Kau mencari siapa, Shiena?" tanya Barack pada adiknya yang bernama Shiena."Raihan," sahut Shiena, "kudengar dia sempat pulang dan tidak lama itu dia menikah." Barack terdiam sejenak, agak kaget darimana Shiena tahu bahwa Raihan sudah menikah. "Siapa yang memberitahumu?" tanya Barack. "Kak Ginanjar," j
Nico berjalan mengitari ruang keluarga mansion keluarga Adhinata. Setapak demi setapak kakinya melangkah, pandangannya menatap tiap foto-foto yang menghiasi dinding ruangan itu. Pertama, ia melihat foto Barack remaja yang merangkul seorang gadis kecil yang Nico tahu persis bahwa gadis itu adalah adik Barack, dia cinta masa kecil Nico.Nico menatap raut wajah gadis itu, tak ada sedikit pun kesamaan dengan wajah Raihan. Tapi, bukankah banyak orang yang mengalami perubahan yang signifikan ketika ia beranjak dewasa? Nico terus mengamati foto-foto di dinding itu. Ada foto Barack semasa ia kuliah bersama gadis cantik yang juga beranjak remaja dan juga orang tua Barack Adhinata. Tapi, jika diperhatikan dengan seksama, gadis itu bukanlah Raihan. Nico mengalihkan pandangannya ke foto keluarga yang paling besar terpampang di sana, foto Barack Adinata bersama istrinya, Raihan dan ada gadis cantik yang Nico tak kenal siapa gadis itu. Tapi, gadis itu berdiri di samping Barack sementara Raihan dan
"Nic ... ada apa?" tanya Jeremy yang tampak begitu penasaran. "Aku ....." Nico masih tampak tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari Adrian. "Nic?" "Aku harus pergi dulu." Nico mematikan panggilan telepon Adrian lalu bergegas cepat keluar dari ruangannya, meninggalkan Jeremy yang tampak terheran-heran melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa itu. "Kau mau kemana?" seru Jeremy"Memastikan sesuatu yang penting!" balas Nico.*** Nico berlari menuju mobilnya dan segera meluncur ke arah apartemennya dengan kecepatan tinggi. Ia bahkan tak peduli lagi dengan keselamatannya hingga ia mengabaikan untung memasang sabuk pengamannya, mobil yang melaju di depannya ia klakson tanpa ampun. Ia bahkan hampir dua kali menambrak mobil yang melaju di depannya hingga ia akhirnya menepi dan berusaha menenangkan pikirannya terlebih dahulu namun ucapan dari Adrian tidak dapat lenyap di otaknya bahwa adik ipar Barack Adhinata ternyata adalah istrinya. Nico merasa ditipu oleh keluarga Adhinata.
Nico menatap tajam ke arah Bily saat pria itu menghampirinya bersama Raihan. Nico lalu berdiri, menyambut istrinya. Raihan lalu melangkah ke samping Nico. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Raihan pada suaminya. "Tidak, kok," jawab Nico, "aku langsung meneleponmu saat sampai di sini. Raihan mengangguk paham. "Bily, kami pulang dulu, ya," ucap Raihan pada pria itu, "tolong jaga Wulan, besok aku ke sini lagi, pungkasnya." Bily hanya mengangguk sekali. Nico lalu menggenggam erat tangan Raihan lalu pergi meninggalkan Bily sendirian di sana. *** "Kau tidak bilang kalau Bily ada di sana juga," kata Nico saat mereka berada di dalam mobil. Pria itu tampak serius, ia menatap ke arah Raihan dengan kening mengerut."Ya, kau tidak tanya, kan?" balas Raihan, "lagi pula kau pasti bisa menebaknya kalau dia pasti ada untuk menjaga Wulan. Bagaimana pun mereka sudah seperti saudara," terang Raihan. "Aku hanya ingin kau memberitahuku biar aku tidak salah paham ...," ujar Nico. "Kau cemburu?" tuduh
Nico duduk terdiam di ranjang sambil memandang istrinya yang kini memejamkan matanya di sampingnya. Ia terus memikirkan pertemuan terakhir ia dan Olive, ada rasa kecewa karena Raihan mengijinkan Olive untuk membujuknya bercerai dengannya. "Apa segitu tak inginnya kau membuka hatimu padaku, Raihan?" ucap Nico dalam hati. Tiba-tiba Raihan membuka matanya, ia mengernyit karena mendapati suaminya tengah memandangnya dalam hening. "Kau belum tidur?" tanya Raihan sambil membangunkan tubuhnya. "Um ... iya," jawab Nico. "Kau lagi banyak pikiran?" tanya Raihan, wajahnya agak khawatir memandang Nico. Nico terdiam sejenak sebelum ia bersuara. "Raihan, apa kau ingin meninggalkanku?" tanya Nico tiba-tiba. Raihan terhenyak mendengar pertanyaan Nico. "Kenapa kau bisa bilang seperti itu?" "Aku takut kehilanganmu," ucap Nico jujur. Raihan terdiam sejenak lalu ia berusaha tersenyum. "Jangan berpikir terlalu banyak, aku akan selalu bersamamu selama kau menginginkannya," kata Raihan. "Raihan ap
Nico terdiam membaca begitu banyak berkas di mejanya hingga keningnya mengerut tajam. Agak lama ia berkutat dengan berkas-berkas itu, ia lantas mengambil pena dan mulai menandatangi berkas di hadapannya. "Wah, kau rajin sekali," ujar Jeremi. Nico menoleh ke arah sahabatnya itu, ia bahkan tak menyadari ketika pria itu masuk ke ruangannya. Jeremi berjalan menuju sofa dan duduk santai di sana. Bagaimana sekarang hubungan kau dan istrimu itu?" tanya Jeremi. "Sangat baik," jawab Nico santai, "kami bahkan makin mesra." "Syukurlah kalau begitu," gumam Jeremi. Tiba-tiba handphone Nico berdering, tanda ada panggilan masuk. Mata Nico mendelik saat melihat nama Olive terpampang di layar handphone-nya. Nico terdiam sejenak, ia ragu antara ingin menerima panggilan itu atau membiarkannya. Tapi Nico tak tega pada gadis itu, ia pun memutuskan untuk menerima panggilan telepon itu. "Ya, halo?" sapa Nico. "Nico," suara lembut Olive di seberang, "bisakah kita bertemu hari ini?" Nico terdiam, ia
"Ngg ... Nico ... Ahh!" desah Raihan saat lidah Nico menyapu milik Raihan yang mulai basah. Tangan wanita itu mencengkran bantal, sesekali ia menengok untuk memandang suaminya yang tengah menyantap nikmat miliknya. "Ahh! Nic ..." desahnya saat Nico mengisap miliknya, seakan menyesap nektar madu di sana. Kini tangan Nico tak tinggal diam, ia memasukkan jari tengah dan manisnya ke dalam rongga nikmat itu. "Nico! Ngg ... ahh ... sshhh ...." Raihan mulai meracau saat gerakan kedua jari semakin cepat, belum lagi permainan lidah dan isapannya di bawah sana. "Nico ... aku ... aku tidak ta ... ahh!" Akhirnya Raihan mengalami klimaksnya, tubuhnya mengejang dan napasnya terdengar memburu. Nico tersenyum puas saat menyaksikan istrinya mengalami orgasme. Ia lalu memeluk tubuh Raihan dan mengajaknya berciuman. "Bisakah kau memegangnya?" bisik Nico penuh gairah. Raihan lalu memegang milik Nico dan memerasnya dengan lembut. "Ah ... nikmat sekali," desah Nico. Ia lalu mengajak Raihan berciuma
"Nyonya, sudah sampai ...." Raihan tersadar dari lamungannya begitu mendengar suara supir. Ia langsung melemparkan pandangannya ke jendela, ternyata ia susah berada di depan restoran mewah. Ia lalu mengambil tas kecil dengan hiasan manik permata yang indah lalu segera membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Semua orang terpana begitu memandang Raihan yang begitu cantik dan anggunnya masuk ke dalam gedung restoran. Ia pun acuh tak acuh dengan pandangan pria-pria yang terpesona pada dirinya, melenggang begitu anggun tanpa menoleh. "Aku sudah ada janji dengan Pak Nicolas Kuiper," ucap Raihan pada seorang resepsionis wanita. "Sebentar, saya cek dulu." Resepsionis itu pun membuka mengecek di monitor. "Baik, Nyonya. Pak Nicalas sedang menunggu anda di ruang VIP, sebentar saya panggilkan pelayan untuk mengantar anda ke sana." Resepsionis itu pun menelepon seseorang dan tidak lama kemudian seorang pria menghampiri Raihan. "Mari, saya antar, Nyonya!" kata pria itu. Raihan mengangguk se
Raihan terdiam saat mendengar suara lembut gadis itu. Tiba-tiba kekhawatiran melandanya. Ia belum lupa bahwa Nico pernah begitu mencintainya hingga berebut gadis itu dengan pria lain di apartemen mereka. Raihan khawatir, apakah cinta yang diucapkan Nico akan sirna oleh kehadiran Olive? "Ya, Olive?" tanya Raihan. "Raihan, bisakah kita bertemu hari ini?" Raihan diam, menimbang-nimbang permintaan bertemu dengannya. Apalagi kalau bukan menyangkut Nico? "Baiklah. Kau mau bertemu di mana?" *** Brak! Nico tersentak dan langsung memandang ke arah pintu. Tampak Hasya berdiri dan memandangnya dengan tatapan geram. Sambil mendengus, gadis itu melangkah mendatangi Nico yang masih terkejut memandangnya. Hasya langsung memukul meja di hadapan Nico. "Kau kenapa, sih?" sergah Nico. "Kakak yang kenapa?" balas Hasya tak kalah sengitnya, "kenapa Kakak memecat Bily?" Nico memutar kesal bola matanya. "Oh, pria itu ... ku kira apa sampai kau terlihat marah begitu tapi baguslah dia sudah tidak ke